Kunikmati Sex dengan Pacar Baruku

 – Ini adalah sebuah cerita dewasa seks, kisah hot ngentot terbaru dan terpanas di awal tahun 2016 yang bisa anda baca karena diangkat dari sebuah kisah nyata. Selengkapnya, simak paparan ceritanya berikut ini!

“Mulai sekarang kamu tak usah menemuiku lagi. Kita putus..!”

Seuntai kalimat meluncur cepat menikam jantungku menghentikan sejenak udara yang mengalir disaluran pernafasanku. Kalimat itu keluar dari bibir seorang gadis cantik yang telah kupacari selama hampir 3 tahun.

Gadis bertubuh semampai dan seksi, dengan rambut panjang sering dibiarkan tergerai itu, sedang memandang tajam padaku dengan wajah dingin dan sorot mata yang mengandung kebencian. Gadis itu berdiri tepat didepanku sambil mengacungkan telunjuknya ke wajahku.

“Ada apa denganmu, Emily ?” Aku mencoba tenang dan mengajukan pertanyaan kepadanya.

Dia masih melototiku. Masih saja memandangku dengan tangan terkepal.

“Tak ada alasan apapun yang perlu kau dengar, Jay“ Ucapnya dingin.

“Setidaknya aku mesti tahu, kenapa kau memutuskan aku begitu saja“ Aku masih saja mencoba mengorek alasannya, meskipun aku tahu tak akan ada jawaban yang kelak keluar dari bibirnya.

Emily memalingkan wajahnya. Seakan tak ingin memandangku sama sekali. Bahkan jariku yang mencoba meraih tangannya ditepiskannya dengan kasar.

“Aku tak ingin berdebat denganmu tentang ini, Jay. Aku sudah bosan dengan hubungan kita. Aku tak bisa melanjutkannya lagi. Itu saja…!“

Dingin…, sangat dingin tatapan mata itu. Sinarnya memancar menyusup lewat mataku yang sedang balas menatapnya, sorot mata itu seakan menusuk tajam dan mengoyak-ngoyak hatiku yang tak pernah lekang mencintainya.

“Dan aku minta mulai sekarang kau tak usah menemuiku…”

Clebbbbbbb

Sakit rasanya. Terasa lebih sakit dari jatuh pada ketinggian 20 kaki saat menolong Emily yang terjebak tebing tinggi dan tak bisa turun saat kami melakukan pendakian minggu lalu. Terasa lebih sakit saat mengalami patah lengan waktu tabrakan dengan sepeda motor ketika hendak menjemputnya yang terjebak hujan deras di halte menunggu jemputan yang tak kunjung tiba sebulan yang lalu. Terasa lebih sakit ketika saat harus menjadi bulan-bulanan preman yang mencoba mengganggunya dua bulan yang lalu. Terasa lebih sakit dari semuanya….

“Aku mohon, Emily. Jangan mengambil keputusan sepihak seperti itu. Jangan lupakan apa yang telah kita lalui bersama, Emily…” Ucapku mencoba memohon.

Saat itu aku sangat berharap Emily akan tersenyum manis kepadaku dan berkata ‘ini hanya candaanku, Jay’. Ya, aku berharap dia mengatakan itu…

“Kisah tentang kita telah berakhir, Jay“ Emily tersenyum sinis. “Dan itu adalah kenangan terburuk dalam hidupku…”

Aku tercekat. Mataku nanar memandangnya. Semua harapanku untuk tetap bersamanya dihempaskannya begitu saja.

“Selamat tinggal, Jay“ Ucapnya datar dan kemudian berlalu dari hadapanku, lalu masuk ke dalam mobil New Kia Picanto berwarna Merah Muda miliknya dengan satu hempasan kuat pada pintu mobilnya.

“Tidak! Aku tak bisa menerima keputusanmu Emily. Aku terlalu mencintaimu…” Jeritku tak peduli dia mendengarnya atau tidak.
Aku masih berdiri terpaku, saat Emily pergi meninggalkanku sendirian di parkiran kampus. Laju mobilnya yang semakin menjauh seakan ikut menyeret separuh hidupku bersamanya. Tak bisa kumengerti keputusan sepihak yang diambilnya.

Sungguh rasanya aku tak ingin mempercayai semua ini. Emily yang sekarang telah berubah 180 derajat. Dia bukan lagi Emily yang ku kenal. Lenyap segala hal indah dan nyaman pada dirinya. Emily yang ku kenal adalah seorang gadis lembut, manja, dan selalu memberi senyum manis untukku, rela mengurai airmata kala aku bersedih, dia selalu ada untukku dengan hati penuh cinta.

Emily yang sekarang benar-benar telah berubah. Entah karena apa.

“Cari non Emily, Den?” Tanya Bi Inah sopan saat aku datang malam itu ke rumah Emily.

“Iya, Bi. Orangnya ada, Bi?“

“Bibi tak melihat pasti Den. Tapi tadi bibi dengar suara Non Emily kayak lagi ngobrol sama seseorang didalam kamarnya…”

Ngobrol dengan seseorang dikamarnya? Dengan siapa Emily dalam kamarnya? Tak biasanya dia mengajak temannya masuk kamarnya. Selama ini tak ada satupun yang boleh masuk ke kamar itu kecuali aku.

Segera aku melangkah masuk. Bibi pembantu yang sedang berdiri menghalangi jalan masuk aku dorong dengan pelan, membuat bibi menjerit kecil saat tanpa sadar tanganku menyentuh gundukan payudaranya. Aku cuek saja, terus melangkah dan menaiki tangga menuju ke lantai atas tempat kamar Emily berada. Tak ada suara apapun kudengar dari dalam kamar. Kutempelkan telingaku ke pintu kamarnya. Hening.

“Emily? Buka pintunya. Ini aku, Jay. Kumohon buka pintunya. Kita harus bicara, Emily“ Tak sabar aku langsung mengetuk pintunya dan mengucapkan kalimat permintaan itu padanya.

Suara langkah kaki terdengar pelan. Lalu gerakan berputar pada hendel pintu, dan seraut wajah cantik yang selalu kurindu muncul dari balik pintu kamar itu.

“Heh??? Kamu??? mau apa kesini?” Suara tak sedap terdengar dari mulut Emily. Wajahnya masam dengan ekspresi yang tak ingin diganggu.

“Kita mesti bicara, Emily.”

“Bicara soal apa..? Apa kamu tak dengar apa yang aku katakan di kampus tadi? Oh, baiklah. Aku akan ulangi. Buka lebar-lebar kuping budekmu itu. Kita Putus. Titik!“ Dan Brakkkk !. Pintu kamar dibantingnya dengan keras.

Aku berdiri terpaku memandang pintu kamar yang hampir saja jebol karena dibanting Emily. Ada apa denganmu Emily? Mengapa kau berubah drastis tanpa alasan yang jelas?
Aku masih tetap berdiri memandang pintu kamar itu ketika pintu kamar itu terbuka lagi, Emily muncul dari balik pintu. Hatiku agak sedikit terhibur dan seberkas harapan muncul disana. Siapa tahu Emily berubah pikiran, memohon maaf atas perlakuannya barusan, lalu kami…

“Sekali lagi kamu menemuiku dan menggangguku…, maka jangan salahkan aku jika berlaku kasar sama kamu! Ingat! Sekali lagi kamu ingat baik-baik, Bodoh! Jangan ganggu aku lagi!” Untuk kedua kalinya pintu kamar itu dibanting, mengeluarkan bunyi benturan keras.

Aku tercenung. Semua sudah terjawab kini. Hati Emily sudah benar-benar terkunci untukku, seperti pintu kamarnya yang telah dikuncinya rapat-rapat.

“Baiklah Emily“ Ucapku setengah berteriak agar dia bisa mendengarnya meski pintu kamarnya tertutup rapat. “Aku merasa tak pernah sekalipun menyakitimu. photomemek.com Aku merasa tak berbuat salah padamu, kecuali atas pradugamu padaku yang tak pernah kau jelaskan padaku. Aku akan pergi, dan tak akan menemuimu lagi. Semua kenangan indah yang pernah kita lalui akan kuhapus dan kutinggalkan didepan pintu kamarmu ini“

Setelah mengucapkan serentetan kalimat itu aku melangkah gontai keluar dari rumah Emily. Rumah yang mungkin tak akan pernah ku injak lagi selamanya.

Ku starter sepeda motorku. Sejenak pandanganku ku arahkan ke kamar Emily, lampunya masih menyala. Namun harapan terakhirku melihat Emily menjulurkan kepalanya keluar dari jendela dan melambaikan tangannya mengucapkan ‘Selamat Jalan Jay’, ternyata itu hanyalah keinginan semu semata.

“Selamat tinggal Emily…” Bisikku pelan diiringi luruhan air mataku membasahi pipi.

Sebuah mobil Honda Jazz warna hitam kulihat diparkir didepan rumah Emily saat malam itu aku melintas lewat di depan rumahnya. Tak tahu itu mobil siapa, yang pasti bukan milik Emily juga bukan milik Papanya.
Mungkinkah ada seseorang yang datang menemui Emily?. Tak mungkin ini tamu Papa Emily, karena aku tahu pasti dari cerita Emily bahwa Papa dan Mamanya sedang berada diluar negeri untuk waktu sebulan.
Ataukah ini mobil pacar baru Emily? Emily punya pacar sekarang?, dan pacarnya itu sedang menemuinya sekarang? Beribu pertanyaan dan praduga berkutat dalam otakku.

Ada perasaan geram dalam hatiku. Inikah penyebab Emily memutuskan aku? Jadi alasannya selama ini sebenarnya bukan seperti apa yang diucapkannya, tetapi alasannya yang sebenarnya adalah karena dia sudah mempunyai seorang pacar yang tajir?
Brengsek ! inikah bukti ikrar yang diucapkannya kala kami masih bersama, tak akan terpisahkan oleh godaan apapun dan tak akan lekang oleh hujaman sengsara sebesar apapun?

Dengan mengendap aku melihat ke dalam rumah melalui jendela. Tak kelihatan siapapun. Lampu dalam rumah temaram. Gagal melihat lewat jendela, aku menuju ke pintu rumah. Aneh. Pintunya tak dikunci. Ada perasaan was-was dalam hatiku. Dengan pelan ku buka pintu dan kupertajam pandanganku ke dalam rumah. Tak ada siapapun.
Segera kuloloskan tubuhku masuk ke dalam lalu menutup kembali pintu. Ku berjalan berjinjit agar tak menimbulkan suara. Sepi. Dimana Emily dan pemilik mobil itu? Jangan-jangan mereka…

Aku melangkah menuju ke arah tangga lalu naik dengan mengendap-ngendap menuju ke arah kamar Emily. Bersyukur Emily teledor kali ini dengan tidak mengunci pintu rumah.
Dengan tetap mengendap-ngendap aku mendekati pintu kamar Emily. Dadaku mulai berdegub kencang. Samar-samar kudengar suara erangan nikmat… Eh bukan…! Itu erangan kesakitan…!
Ada apa ini? Apa yang sedang terjadi pada Emily? Aku makin berdebar.
Kali ini Emily teledor lagi. Pintu kamarnya tak ditutup dengan sempurna. Dengan sangat pelan aku mendorong pintu kamar lalu mencoba mengintip dari celah yang sedikit terbuka. Suara itu semakin jelas terdengar, suara erangan kesakitan…!

Tubuhku terasa limbung, dadaku terasa panas, saat kulihat dengan jelas apa yang sedang terjadi. Emily sedang terlentang bugil dengan tangan terikat menyatu dengan kepala ranjangnya. Seorang pria yang juga bugil sedang melecutkan cambuk kecil ke tubuhnya. Suara jerit tertahan keluar dari mulut Emily saat cambuk itu mengenai kulit mulusnya. Hampir saja aku menerjang masuk dan menghajar pria itu, namun rasa penasaran dalam hatiku mencegah tindakanku. Aku ingin mengetahui lebih jelas apa yang sebenarnya terjadi.

Satu hal yang membuat aku semakin gemetar menahan rasa marah dan gugup adalah Blazer itu…, Blazer yang tergeletak begitu saja dilantai kamar…! Blazer berwarna cokelat yang kulihat dipakai oleh wanita yang menari bugil ditengah taman semalam, juga tank top itu, rok itu, semuanya adalah yang dikenakan wanita penari bugil semalam.
Artinya? wanita semalam itu adalah Emily…! Ya Emily! Dan mereka pasti melakukan ini sejak semalam hingga sekarang…! Atau setidaknya Emily tidak mengganti bajunya sejak semalam…, apa iya?

huh…….

Nampak pria itu menghentikan pecutan cambuknya ke tubuh Emily yang sudah sangat kesakitan. Ikatan pada tangan Emily dibukanya, lalu dengan kasar dipegangnya kepala Emily, dengan jambakan yang keras pada rambutnya, diseretnya tubuh Emily ke pinggir ranjang hingga pada batas bahu sehingga kepala Emily terjulur ke bawah dengan mulut yang ternganga lebar.

Aku makin melototkan mata melihat apa yang dilakukan pria itu selanjutnya pada Emily. Penis pria itu mengacung dengan tegangnya. Ukurannya lebih besar dan lebih panjang dari penisku.
Sambil membuka mulut Emily, digenggamnya batang penis besarnya, lalu diarahkan ke mulut Emily.

Blesssss…

Penis itu masuk dengan mulus kedalam mulut Emily. Ditekannya penis itu menyusup lebih dalam hingga ke kerongkongan Emily.
Tangan Emily menekan perut si pria, berusaha mendorong tubuh itu, namun sia-sia saja, malah semakin dalam penis itu masuk ke dalam kerongkongannya. Emily tersedak, matanya melotot menahan rasa sakit ditenggorokannya.
Kaki Emily nampak terangkat dan menendang-nendang. Sumpalan penis besar dikerongkongannya membuat jalan nafasnya tersumbat. Pria itu kelihatan menikmati hal itu. Dipompanya penisnya keluar masuk dimulut Emily, lalu ditariknya lepas, mungkin sekedar untuk memberi kesempatan pada Emily mengambil nafas. Air liur kental menetes dari mulut Emily, namun tak berapa lama mulut itu disumpal lagi dengan penis besar milik si pria.

“Ahhkkk…hrrkkkhh…“ Suara Emily terdengar. Entah dia menikmati permainan itu atau tidak, aku tak tahu.

Kembali hujaman-hujaman penis pada tenggorokannya diterimanya lagi. Pria itu memaju mundurkan pinggulnya membuat penis panjang besarnya menggesek kerongkongan Emily. Sekali-sekali tangannya menampar pipi Emily. Jeritan-jeritan kecil terdengar keluar dari mulut Emily, namun terus saja pria itu menghujamkan penisnya ke dalam mulut Emily.

Aku terus saja mengintip dari celah pintu yang terbuka. Entah mengapa saat itu aku seperti menikmati pemandangan yang sedang terjadi di depan mataku. Pacarku…, lebih tepatnya mantan pacarku sedang disetubuhi, bukan lewat vaginanya tapi pada mulutnya.
Aku bisa membayangkan betapa menderitanya Emily dengan hujaman penis besar itu pada tenggorokannya, dan aku mulai menyukai itu…

Kembali ku tajamkan pandanganku. Nampak mereka merubah posisi. Mungkin si pria sudah puas menyetubuhi mulut Emily dan ingin mencoba hal lain.

Emily bangun dengan rambut acak-acakan. Cairan kental nampak meleleh dari mulutnya. Diambilnya tissue di atas meja kecil dekat ranjang lalu dilapnya cairan kental itu. Si Pria lalu mendekati Emily sambil menggenggam batangnya yang masih mengacung keras. Perlahan didorongnya Emily. Seakan faham dengan dorongan pada punggungnya, Emily merubah posisinya menjadi menungging. Kulihat penis besar itu digenggam si pria dan diarahkan ke vagina Emily. Digesek-gesekkannya sebentar, lalu dengan satu dorongan yang kuat ditancapkannya penis itu.

“Awwwwwhhh….., Robert…, pelan-pelan…, shaakkithhh..” Emily menjerit keras ketika penis itu melesak masuk kedalam vaginanya.

Aku makin menajamkan pandanganku dari celah pintu. Sebesar apakah penis pria yang bernama Robert itu sehingga Emily menjerit kesakitan seperti itu?
Kuamati dengan seksama. Robert memompa penisnya dengan irama yang teratur diselingi erangan kesakitan dari mulut Emily. Ketika Robert mencengkeram pundak Emily, otomatis terlihat dengan jelas penisnya yang sedang menancap karena posisi mereka tepat membelakangiku dengan kedua kelamin mereka yang jelas terlihat dari arahku mengintip.

Owh..! Bukan vagina Emily yang dimasuki penis Robert melainkan anusnya. Pantas saja Emily terlihat kesakitan. Tangannya mencengkeram dengan kuat seprei dan tepi ranjang. Kakinya terangkat menandakan rasa sakit yang dialaminya. Kepalanya terhempas kesana kemari seiring dengan pompaan penis Robert pada anusnya yang semakin lama semakin cepat, hingga pada pompaan selanjutnya Robert menekan penisnya dengan kuat, lalu terdiam disertai kejutan-kejutan kecil pada tubuhnya. Robert mengalami orgasme.

Aku tersenyum kecut sambil menggeleng-gelengkan kepala. Inikah Emily yang kukenal? Rela disakiti, rela diperlakukan dengan kasar demi memuaskan seorang pria kasar yang mungkin juga adalah pacar barunya ?

Ohhh…, aku mengerti sekarang. Inikah yang dicari Emily? Inikah yang tak didapatinya dariku? Perlakuan lembut setiap kali bercinta dengannya membuatnya bosan padaku lalu memutuskan hubungan denganku begitu saja?

Aku menutup pintu itu dengan pelan, lalu bergegas turun dari lantai atas dan keluar dari rumah Emily, meninggalkan segala aktivitas mereka yang menyakitkan hatiku. Entah apalagi yang akan mereka lakukan, aku tak mau peduli lagi.

Dengan hati yang tak menentu aku menghenyakkan pantatku ke atas sadel sepeda motor.

“Baiklah, Emily…” Gumamku perlahan penuh rasa benci dan dendam. “Aku akan memberikan itu untukmu…, akan kulakukan itu untukmu nanti…”

Dan ku hidupkan sepeda motorku pergi meluncur dengan kecepatan full…

Tunggulah Emily…! Tunggulah….!

Rasa rindu dan cinta dihatiku untuk Emily perlahan mulai pudar. Tak kusangka Emily ternyata seperti itu. Dia yang selama ini kukenal sebagai wanita anggun dan penuh cinta, kini tak lebih dari seorang wanita liar yang rela disakiti dan dilecehkan oleh seorang pria yang baru dipacarinya kurang dari seminggu.

Tak sanggup aku menyaksikan pergumulan mereka pada malam itu. Rasa sakit dihati bercampur rasa jijik telah melenyapkan rasa rindu yang selama ini tak mau pergi dari hatiku.
Kini…, entah mengapa bayangan Emily yang selama ini selalu menari-nari indah di pelupuk mataku perlahan memudar dan berganti dengan bayangan menjijikkan.

Rasa jijik dan sakit dihatiku kini mulai berubah menjadi rasa dendam. Aku ingin memberikan apa yang diinginkan Emily. Rasa sakit dan derita. Itulah yang diinginkannya, pasti!. Jika tidak, mengapa dia berpindah hati ke seorang pria yang sedikitpun tak memperlakukannya dengan lembut?
Dan … oh…! Tidak! Aku masih ingat. Wanita yang pernah kulihat menari bugil ditengah taman adalah Emily! Brengsek dan liar!
Sebegitu besarkah rasa cinta Emily pada pria itu sehingga dia mau mengorbankan harga dirinya?

“Tunggu aku, Emily…! Akan kuberi apa yang kau inginkan…!” Gumamku dengan geram.

Dengan memakai jaket kulit berwarna hitam, dipadu celana jeans hitam dan sepatu warna hitam, aku memacu sepeda motorku menuju rumah Emily. Malam ini aku akan memberikan sesuatu pada Emily. Sesuatu yang dia inginkan.

Suasana rumah Emily sepi saat aku tiba. Lampu dalam rumah terlihat masih menyala namun sepertinya tak ada aktivitas dalam rumah.
Aku menekan bell dengan lama. Andai Emily yang muncul membukakan pintu untukku, maka aku akan menyeretnya keluar, lalu akan menggelandangnya sepanjang jalan dalam keadaan bugil, seperti yang pernah kulihat dilakukannya di taman malam itu bersama pacar barunya itu.

Tak ada gerak apa-apa dari dalam. Kutekan lagi, berulang kali hingga kemudian pintu terbuka. Lagi-lagi pembantu Emily yang membukakan pintu. Ada rasa kecewa dihatiku, tapi biarlah, mungkin akan lebih bagus jika ini dilakukan dalam rumahnya sendiri.

“Oh, Den Jay. Masuk Den. Non Emily lagi dikamarnya tuh…”

Bibi tahu rupanya bahwa kedatanganku untuk menemui Emily, dan itu wajar karena tak mungkin dia berpikir bahwa aku akan menemui dia.
Tapi tidak untuk malam ini Bi, jika kau melakukan hal yang tak kuinginkan.
Senyum sinis dibibirku tak sempat diperhatikan bibi.

“Aku boleh langsung ke kamarnya, Bi?” Tanyaku sekedar basa-basi sebenarnya.

“Silahkan Den. Bibi mau ke dapur dulu“ Ucap bibi berbalik hendak pergi meninggalkan aku yang masih berdiri di depan pintu.

“Bi, Sebentar Bi…” Aku mencegah bibi untuk pergi “Non Emily sendirian?”

Bibi mengangguk. Aman, pikirku.

Setelah mengunci pintu rumah, akupun langsung menuju kamar Emily. Pintu kamarnya masih tidak dikunci. Aku mendorong sedikit pintu kamar, mengintip kedalam. Tak ada siapa-siapa. Akupun masuk ke dalam. Terdengar bunyi guyuran air dilantai kamar mandi. Emily lagi mandi rupanya.
Dengan santai aku membuka jaket kulitku dan membuangnya begitu saja ke lantai. Ku lepas sepatuku dan melemparnya begitu saja. Santai. Aku langsung melompat ke atas ranjang hingga menimbulkan suara berderit yang cukup keras.

Dengan agak sedikit berdebar aku menanti Emily keluar dari kamar mandi. Malam ini aku akan memberikan apa yang kau inginkan, Emily.

Suara gemericik air berhenti. Tak lama kemudian pintu kamar mandi terbuka, dan Emily melangkah santai keluar kamar mandi dengan handuk dililitkan pada kepalanya. Selain handuk itu tak ada kain lain yang menutupi tubuhnya. Bugil.

Tubuhnya masih seksi seperti dulu, meskipun kulihat ada banyak guratan merah disekujur tubuhnya. Payudaranya masih menggantung kencang didadanya dengan puting pink yang indah. Lalu vagina tanpa bulu terapit diantara pahanya. Indah benar…

Emily tersentak kaget saat menyadari ada seseorang yang tengah berbaring diatas ranjangnya.

“Waaaaaw! Eh..Ka..Kau???“ Mata Emily melotot kaget melihatku.

“Apa kabar Emily sayang?” Ucapku dengan nada dingin. “Kangen padaku?”

Emily refleks menutupi payudara dan vaginanya dengan kedua telapak tangannya. Wajahnya memerah disinari lampu kamar yang terang.

“Mau apa kau kesini, cepat keluaaaaar….!” Jerit Emily sambil berjongkok berusaha menutupi area terlarangnya. “Brengsek kau..! Keluaaaaaarrrr…!”

Aku bangun lalu duduk ditepi ranjang. Dengan wajah sinis aku menatap Emily.

“Oh… begitu ya. Baiklah, aku akan keluar dari sini bahkan dari rumah ini. Tapi sebelumnya….”

Emily melotot tajam saat aku mulai membuka pakaianku satu persatu. Tubuhnya yang sedang berjongkok bugil perlahan beringsut sedikit demi sedikit ke arah sudut kamarnya. Emily menggigil menatapku. Andai hati ini belum dipenuhi dendam, mungkin aku akan memeluknya untuk menghilangkan rasa takut yang sedang dialaminya saat ini. Tapi tidak untuk sekarang ini!

“Ini yang kau inginkan Emily? Ini kan?“ Ucapku dengan suara serak. “Kenapa kau tutupi tubuhmu? kau malu aku melihatnya? Bukankah aku sudah sering melihatnya bahkan menikmatinya? Kau lupa itu, Emily? Hahahahahahahaha…“

Emily semakin menyudut. Aku mendekatinya lalu mencengkeram bahunya dengan kasar.

“Kau takut, Emily?” Tanyaku dengan senyum sinis.

Emily mengangguk pelan dan gugup. Matanya mulai berkaca-kaca.

Kucengkeram tubuhnya lalu kuangkat berdiri. Tak ada rasa kasihan dihatiku sedikitpun, semua telah berubah menjadi rasa marah dan dendam.

“Jangan, Jay. Aku mohon jangan lakukan itu…. Aku…Aku….” Suara Emily terbata. Matanya memancarkan sinar permohonan.

“Fuck You Emily…., You’re …JERK ! Air matamu menjijikkan.. Its …. Disgusting!“ Dengusku geram sambil mendorong tubuh Emily hingga terhempas ke atas kasur.

“Ku mohon….., Jay…., Kumohon….“

Aku melangkah mendekati Emily. Tak kupedulikan kata-kata permohonannya. Kuambil handuk yang masih melilit di kepalanya, lalu kugulung dan kugunakan untuk menyumpal mulutnya. Kedua tangannya kuikat ke ranjang menggunakan kaus dan jaketku. Tersisa kedua kakinya yang meronta-ronta menendang kesana kemari membuat vaginanya yang terlihat memar itu kadang terbuka kadang menutup.

“Kau dengan tulus membiarkan pacar barumu yang kaya itu memperlakukanmu dengan kasar. Mengapa denganku kau malah menolak?” Ucapku dingin. “Oh…, karena dia kaya? Sungguh wanita brengsek kau Emily! Dasar pelacur murahan! mata duitan!”

Emily melotot tajam padaku, rona kaget tersirat dari wajahnya. Mungkin dia kaget karena aku tahu semuanya.

“Tenanglah, Emily. Aku tak akan memperkosamu. Tak mungkin aku mengotori penisku dengan vagina busukmu yang telah kotor dengan mani pria lain…”

Kuambil sebuah botol lotion yang berada pada meja riasnya. Botol itu cukup besar sebesar lenganku. Kubuka penutupnya, lalu menuangkan sedikit ke telapak tanganku. Setelah mengoleskan lotion ke botol, aku mendekati Emily yang masih meronta berusaha melepaskan diri.
Ku renggangkan kakinya dengan paksa, lalu kutindih dengan kakiku.
Vagina mulus Emily terpampang. Ku elus sebentar dan kugesek bagian klitnya.

“Tenang Emily sayang. Sebentar lagi kamu akan merasakan sesuatu yang nikmat. Enjoy this game, honey… Ahahahahahaha…”

Tanpa menunggu vagina itu basah dan licin, aku langsung mencolokkan botol lotion ke belahan vaginanya. Botol lotion yang sudah ku olesi dengan lotion itu menancap masuk setengah ke dalam vaginanya. Emily tersentak. Tubuhnya melengkung. Punggungnya terangkat ke atas. Matanya mendelik.

“Nikmat kan sayang?“ Tanyaku sinis tanpa belas kasihan.

Botol lotion yang panjangnya lebih dari sejengkal dengan mulutnya yang tajam itu menancap setengahnya dengan susah payah. Terasa mengganjal dan mentok. Aku tak peduli. Ku tekan lagi botol itu dengan keras.

“Aaaaaawhwhwhwhwhwh…” Andai mulut Emily tak disumpal dengan handuk, pasti suaranya terdengar melengking keras. Hanya matanya mendelik disertai kepalanya yang terangkat keatas. Air matanya meleleh menahan rasa sakit pada belahan vaginanya.

“Nikmatilah sayang…. enjoy this…., arggghhhhh” Aku menggeram tanpa rasa kasihan.

“Uhm…Uhm…Uhmmm…” Suara Emily terdengar kecil. Matanya mendelik. Sebuah isyarat bisa ku tangkap dari gerakan tubuhnya. Emily mungkin ingin aku melepaskan sumpalan pada mulutnya.

“Kau ingin mengatakan sesuatu, Emily? Hehehehehe.., baiklah“

Sumpalan di mulut Emily ku lepaskan.

“Sss…saa..kkkiiitttt…Jay. Aku mohon jangan…. lakukan ini… padaku… Jay…hik…hik…” Emily terisak. Kakinya yang tadi meronta telah berhenti. Rasa sakit itu mungkin telah membuatnya seperti itu.

“Ini belum berakhir, Emily. Masih ada permainan selanjutnya. Nikmatilah sayang…”

“Kumohon Jay…”

“Diam!“ Bentakku keras. Tak peduli hal itu akan memancing kehadiran bibi. “Kau masih ingat berapa kali aku memohon padamu dan berapa kali kau menolaknya, Emily?”

Emily kembali terisak. Botol lotion itu masih menancap divaginanya.

“Sakit, Jay. Vaginaku sakit, Jay…” Suara memelas dari mulut Emily tak sedikitpun menggugah hatiku.

“Kau ingin aku memasukkannya lebih dalam lagi, Emily? Baiklah….”

“Tidak, Jay… Jangan…! Aaaaaaawwwwwhhhhh…..!“ Jeritan Emily melengking tajam saat botol lotion itu ku tekan dengan keras ke dalam vaginanya. Tubuhnya bergetar, punggungnya kembali terangkat ke atas. Darah segar menyembur membasahi botol lotion dan tanganku. Botol itu kucabut dengan tiba-tiba, membuat tubuh Emily kembali terhentak.
Ada bercak darah di badan botol itu.

Kembali kumasukkan dan kutekan dengan sekuat-kuatnya botol lotion ke dalam vagina Emily, kutekan hingga hampir amblas.

“Awwwwwhhhhhhhhhh….!” Jeritan kencang keluar dari mulut Emily seiring dengan semburan darah segar lagi dari vaginanya.

Tok…Tok…Tok…

Suara ketukan pintu membuatku menghentikan aksiku lalu turun dan membukakan pintu. Nampak bibi sedang berdiri depan pintu. Kubiarkan saja bibi masuk menghambur ke dalam kamar, dan lebih cuek lagi aku mendengar suara jeritan bibi yang melihat keadaan Emily.

“Ya Tuhan…, kenapa ini, Non?” Jerit bibi panik.

Emily diam saja memandang bibi yang segera memeluknya disertai isakan tangis. Darah segar meleleh keluar dari vagina Emily. Tubuhnya terlentang tak berdaya. Matanya perlahan meredup hingga akhirnya terpejam.

“Kau apakan Non Emily, hah??!” Bentak bibi sesaat kemudian. Matanya memancarkan amarah.

“Aku memberikan apa yang dia mau…, Bibi mau juga?” Aku malah mengucapkan kalimat yang bikin bibi tambah marah.

“Ada apa denganmu hah?!”

Aku hanya tersenyum sinis menanggapi ucapan bibi. Kulihat Emily diam saja. Matanya terpejam dengan bibir yang melengkung menahan sakit.

“Ughhh…” erangan kesakitan terengar lemah dari mulut Emily.

Bibi yang sedang menatapku dengan penuh amarah segera berbalik dan menghambur ke atas tubuh Emily.

“Non… Bangun, Non… hik..hik..”

Tak ada gerakan apapun di tubuh Emily. Diam, kaku, tak bergerak.

“Noooonnnn…!, bangun non… hik..hik…” Suara Bibi melengking nyaring. Digoyang-goyangkannya tubuh Emily. Kaku dan tak ada respon sama sekali.

Sejenak aku terpana. Kuperhatikan keadaan Emily saat itu. Bibirnya pucat, matanya terpejam. Tiba-tiba aku dihinggapi rasa panik. Bibi yang sedang memeluk tubuh Emily kusingkirkan dengan satu hentakan kuat. Aku memanggil-manggil nama Emily, tak ada jawaban.

“Emily…? Emily…? Emilyyyyyyy….!” Jeritku panik.

Ada apa denganku? Iblis dari mana yang telah merasuk dalam jiwaku sehingga aku tega menyakiti gadis yang selama ini aku cintai? Benar, dia telah menyakitiku…, benar dia telah mengkhianatiku, tapi apa mesti sekejam ini perlakuanku padanya?

“Kau…Kau… Iblis Kau… Biadaaaaaaab!” Jerit Bibi dengan mata melotot dan tangannya terkepal mengacung ke arahku.

Aku tak mempedulikan bibi. Aku panik. Aku mesti segera menolong Emly… Ya menolongnya dari akibat perbuatan bodohku sebelum semuanya terlambat.

Aku masih sendiri, duduk dibangku taman dengan pandangan kosong. 10 Tahun sudah kepergian Emily. Tepatnya tanggal 13 Februari 2005. Dan hari ini, hari kepergian Emily dari sisiku, 13 Februari 2015. Tak ada lagi Emily, dia benar-benar telah pergi membawa derita yang teramat sangat karena kebodohanku.

Emily telah menjauh dariku ke tempat yang tak terjangkau, meninggalkan pesan tegas tentang rasa cinta yang dimilikinya untukku.
10 Tahun lalu dia meninggalkan aku, dan masih terbayang jelas saat dia meregang nyawa dalam perjalanan ke Rumah Sakit. Masih terngiang suara erangan kesakitan dari mulutnya…

Aku baru tahu alasannya kenapa Emily memutuskan hubungan denganku dari cerita Bibi. Menurut bibi, Emily melakukan semuanya karena terpaksa. Ayah Emily terlilit hutang pada Robert, seorang pengusaha muda yang dulu kuanggap pacar baru Emily.
Ayah Emily mendekam di balik jeruji besi karena tak sanggup membayar hutangnya pada Robert meskipun telah menjual seluruh aset perusahaannya. Hanya ada satu cara yang bisa mengeluarkan Ayah Emily dari dalam penjara. Emily mesti berkorban. Dia harus mau melayani kebutuhan sex Robert yang seorang sadismine. Sayang sekali, sebelum semuanya selesai, aku telah merusak semuanya. Aku telah membuat Emily gagal menolong ayahnya sekaligus membuatnya gagal menjelaskan alasannya memutuskan hubungan denganku.
Sesungguhnya dengan perlakuanku itu, apa bedanya aku dengan Robert? Bahkan mungkin aku lebih buruk dari Robert!

Aku telah menerima balasan atas kebodohanku. Aku mendekam dalam sel tahanan selama 5 Tahun. Aku menjalaninya dengan ikhlas, sebagai hukuman atas kebodohanku.
Selama lima tahun kemudian pula aku menyesalinya. Tak akan pernah habis penyesalan ini dalam hatiku. Dan setiap tanggal 13 Februari aku duduk di bangku taman ini, entah untuk apa dan menunggu siapa, karena aku tahu dan aku sadari bahwa tak mungkin lagi ada Emily yang akan menemuiku disini, di bangku taman yang sering kami jadikan tempat memadu kasih.

Aku masih terus bermimpi, tentang harapan akan bertemu Emily disini, harapan yang akupun menyadarinya bahwa itu mustahil. Aku akan terus menunggu hingga besok dan berharap ada keajaiban yang bisa mengembalikan Emily ke kehidupanku.

13 Februari, hari yang terasa berat kulalui.
Dibangku taman ini, sebuah sandiwara kekerasan kembali berputar dalam kenanganku. Sebuah kenangan pahit. Aku telah membuat Cinta Sejatiku pergi menjauh dariku. Pergi kesuatu tempat yang jauh dan tak tergapai.

Aku tak pernah menghitung hari, tapi aku tahu hari ini tanggal 13 Februari, karena setiap tanggal ini pasti banyak pasangan muda membicarakan tentang sebuah hari, hari dimana mereka saling mengungkapkan rasa kasih pada keesokan harinya. Hari yang mereka sebut dengan Valentine.

“Ughhh…hufffhhh..”

Lara hatiku semakin dalam setiap kali sang surya memasuki peraduannya, digantikan sang Dewi Malam yang memancarkan cahaya terang menjelang purnama, lalu esoknya Sang Raja Siang kembali keluar dengan cahaya terangnya di hari Kasih Sayang, 14 Februari. Hari yang semakin meluruhkan airmataku.
Entah sampai kapan aku disini…, menanti Emily.

Semestiinya kau ada disini
Menemaniku menyambut hari kasih sayang ini…
Ah…
Sungguh aku tak mengerti,
Aku tak faham apa itu Valentine..
Kata orang itu hari Kasih Sayang…

Tapi itu bukan untukku kan ?

Emily….
Tak ada Valentine untukku..
Karena setiap hari, setiap saat…
Valentine itu ada bersamaku…

Seluruh hariku terasa hampa…
Aku masih terlalu merindukanmu…
Aku selalu mengasihimu, meskipun kata orang itu terlambat…
Tapi biarlah.
Aku akan terus mengasihimu
Hingga Tuhan memanggilku
Untuk mempertemukanku denganmu
Di sana… Di SurgaNya…,,,,,,,,,,,,,

Related posts