Sarah, Aku Pengganti Istri Anakku

Sejak kematian menantuku, Lina, anakku Dodi menjadi duda. Dia tinggal di rumahku, dengan membawa anaknya yang berusia 6 tahun. Kebetulan sekali putri tunggalnya itu begitu dekat denganku. Dodi pun seperti kehilangan semangat untuk melakukan apa saja. Setelah mengantar anaknya ke sekolah, dia langsung pulang ke rumah tak mau lagi mengerjakan apa pun juga. Aku sudah lelah menyemangatinya. Aku mengakui, kalau Lina orangnya sangat baik dan cantik. Pantas kalau Dodi anakku sangat kehilangan dirinya. Oh iya Perkenalkan namaku Sarah, Umur 42 tahun. Ukuran Bra 36D.

“Sudahlah, Dod. Semua sudah ditakdirkan oleh Tuhan,” kataku menenangkan jiwanya. Aku menyuruhnya untuk menikah lagi, Tapi Dodi yang kini sudah berusia 25 tahun itu, tak mau menikah. Takut anaknya punya ibu tiri dan tak dapat menerima anaknya. Aku mengalah. Tapi aku tak sampai hati melihatnya selalu uring-uringan. Selalu termenung. Mungkin inilah kesalahanku. Aku mendekatinya, dengan maksud agar dia tetap hidup semangat menghadapi semua ini.


Jika pagi, kami selalu berdua di rumah. Dua anakku yang lain sedang bekerja dan kuliah. Sementara suamiku sudah lebih dulu meninggal dunia, 5 tahun lalu. Aku hidup dari deposito suamiku dan dari hasil sewa tanah dan sewa 7 buah toko di pusat perbelanjaan mewah, serta sewa beberapa hektar sawah di kampung.

Seusai mandi, aku memakai kimonoku, tanpa apa pun yang melapisinya di dalam kimonoku. Itu biasa kulakukan, karena di rumah tak ada yang melihat. Aku berjemur di atas kursi malas di halaman belakang yang dipagari tinggi pada sebuah taman kecil. Tiba-tiba Dodi datang dengan melilitkan handuk di tubuhnya. Dia juga baru usai mandi. Dia mendatangiku dan menyeruput kopi panas yang tersedia di meja kecil dekat kursi malasku. Aku meraih tengkuknya dan mencium pipinya dengan kasih sayang, agar dia tetap semangat. Entah apa yang dipijaknya, Dodi terpeleset, hingga menimpa tubuhku dari atas. Saat itu aku sangat terkejut, Dodi mencium bibirku dengan lembut.

“Mama cantik sekali,” katanya lembut di telingaku. Lalu dia mengecup kembali bibirku dan menjulurkan lidahnya.

“Dodi… Kenapa mencium bibir mama, sayang?” balasku dengan lembut pula. Dodi tersenyum. Dan berulang-ulang mengatakan, aku cantik. Ia mencium kembali bibirku dan mengelus rambutku.

“Jangan, Dod… mama risih,” kataku. Aku berharap, Dodi menghentikan perlakuannya. Tapi malah sebaliknya, bibirku dikecupnya kembali dan sebelah tangannya menelusup di belahan kimono-ku dan mengelus buah dadaku.

“Dodi!” kataku membentak.

Dodi tersenyum. “Kenapa, Ma? Aku menyayangi Mama.”
“Tapi…”

Kembali Dodi mencium bibirku dan memelukku erat sembari terus mengelus-elus buah dadaku. Aku ingin melawan, tapi sudah terlambat. Tali kimonoku sudah terlepas. Demikian juga handuk yang melilit tubuh Dodi sudah terbuang entah kemana. Kini bukan bibirku lagi yang dikecupnya, tapi buah dadaku sebelah, sudah berada dalam kulumannya dan sebelah dia remas. Aku berusaha menolak tubuhnya yang kekar itu. Sia-sia saja. Sebelah tangannya sudah menelusup mengelus vaginaku dan satu jarinya sudah memasuki lubang vaginaku.

“Dodi… Kamu ini…” Saat itu mulutnya yang berada di tetekku, sudah berpindah ke mulutku dan Dodi mempermainkan lidahnya dalam mulutku. Aku ditindihnya dari atas. Aku dikangkangkannya. Aku melawan sekuat tenagaku. Tapi aku mau bilang apa lagi, penisnya sudah berada dalam lubang vaginaku. Blesss! Penisnya masuk ke dalam vaginaku.

“Dodi… Aku ini ibumu, nak! Bagaimana ini?”

Dodi terus menekan penisnya ke dalam vaginaku. Makin dalam dan makin dalam sampai ke ujung yang paling jauh dalam vaginaku. Setelah semuanya berada dalam vaginaku, Dodi terus menjilati leherku, telingaku dan meremas-remas tetekku. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Jujur saja, lama kelamaan aku menikmatinya juga. Sudah lima tahun lebih aku tidak merasakan penis berada dalam liang vaginaku.

“Dodi, jangan, nak! Aku ibumu!” hanya itu yang bisa kukatakan.


Dodi justru semakin buas dan terus memompaku dari atas tubuhku. “Mama… mama cantik sekali. Aku tak mau menikah lagi… Mama sudah ada. Semuanya sudah terpenuhi, Ma.” katanya sembari terus memompa tubuhku.

“Tidak, Dodi… aku mamamu, sayang…” kataku terbata-bata dan tanpa sadar aku sudah memeluknya juga.

“Aku tak mau menikah lagi, Ma. Mama segalanya bagiku,” katanya pula.

“Jangan, Dodi… nanti ketahuan.” kataku.

“Kita harus pandai merahasiakannya, Ma.” jawab Dodi, sembari terus menggenjotku dari atas.

“Tapi…”


“Ya, kita harus pandai menjaga rahasia ini, Ma,” jawabnya. Dodi terus menggenjot tubuhku dan aku tak mungkin berkata-kata lagi, karena aku sudah berada di puncak nikmat.

“Dodi… mama sudah mau sampai, nak. Cepatlah!” kataku tak sadar. Mungkin ini pula kesalahanku yang kedua.

Dodi menggenjotku dengan lebih cepat, sampai aku memeluknya sekuat tenagaku dan menahan nafasku pada puncak kenikmatanku. Dodi menekan kuat penisnya ke dalam lubangku sembari memelukku kuat sekali. Aku merasakan tembakan spermanya berkali-kali dalam vaginaku. Aku juga melepas nikmatku sampai aku rasanya kehilangan nafasku.

Kami terkulai sejenak. Kami melepas nafas kami yang memburu. Penis Dodi keluar dari vaginaku. Nafas kami sudah normal. Dodi membopongku ke kamar mandi dan menceboki vaginaku, lalu dia mencuci penisnya. Setelah Dodi melap vaginaku dan penisnya, dia mengecup bibirku dengan lembut.

“Aku mencintaimu, Ma… Aku mencintaimu!” Aku tak bisa menjawab apa-apa. Lalu Dodi membopongku kembali ke taman belakang rumah dan meletakkan aku kembali di atas kursi malam yang terbuat dari kayu jati. Dia pakaikan kimonoku, lalu dia melilitkan handuk pada pinggangnya dan kami menyeruput segelas kopi bergantian.

“Kenapa ini bisa terjadi, Do?” tanyaku seperti menyesal.

“Karena aku mencintai mama. Aku yang salah, Ma. Tapi izinkan aku mencintaimu seumur hidupku,” katanya.

“Tapi bukan begitu caranya, sayang.”

“Inilah cara terbaik buatku, Ma. Izinkan aku terus melakukan ini,” katanya sembari mengecup bibirku dengan lembut. Kepalaku dibelai-belainya. Aku diperlakukannya seperti anak kecil, seperti cucu anakku sendiri.  photomemek.com Kini Dodi sudah duduk di tepi kursi malasku. Dia terus mengelus-elus kepalaku dan terus memuji kecantikanku.Tangannya mengelus tetekku dan sesekali mengecup pentil tetekku.

“Dodi, jangan ah. Nanti mama nafsu lagi. Mama sudah tua,” kataku. Kata nafsu lagi membuatku menyesal, karena memang itu yang kutakutkan, aku takut bernafsu lagi. Dulu aku memang pantang disentuh suamiku, aku lantas meminta untuk disetubuhi.

“Gak apa-apa, Ma. Untuk mama, aku akan siap terus melayani,” katanya. Dodi mengelus-elus perutku, terus ke bawah. Kini tangannya sudah mengelus-elus bulu vaginaku. Sesekali dia menyentuh klitorisku.

“Dodi… ah! Ntar mama jadi mau lagi. Kita tak boleh melakukan ini. Jangan, sayang!” kataku.

“Akan aku lakukan, Ma!” katanya sembari terus mengulum bibirku dan mempermainkan lidahnya. Lidah kami sudah berkaitan dan tanpa sadar, aku memegang penisnya yang sudah mengeras. Besar dan panjang. Lebih besar dan lebih panjang serta lebih keras dari milik almarhum suamiku.

Dodi turun dari kursi malasku. Dia berada di antara kedua pahaku lalu menjilati vaginaku. Hal yang belum pernah aku rasakan. Aku protes, tapi terlanjur. Dodi sudah menjilati klitorisku. Benar-benar aku merasakan sesuatu yang baru dan sangat nikmat. Aku sudah tak mampu menahan nikmatku. Aku menjepit kepala Dodi dengan kuat dengan kedua pahaku. Aku menjambak rambutnya. ”Dodiiii…!!!” hanya itu yang keluar dari mulutku, sampai jepitanku mengendur, karena aku sudah merasakan nikmatku.

“Sudah, Dodi, mama sudah sampai dan sudah tak tahan lagi,” kataku. Saat itu pula Dodi justru memasukkan penisnya yang besar itu ke dalam vaginaku dan menekannya sampai amblas. Dodi membiarkan penisnya di dalam vaginaku tanpa mengerak-gerakkannya. Rambutku dielus-elusnya sampai nafasku kembali tenang dan normal.

Perlahan Dodi menarik penisnya dan memompanya kembali secara perlahan berulang-ulang dan berulang. Setelah lima menit demikian, aku kembali bernafsu dan memberinya respons. Dodi pun memberikan pompaan yang lebih agressif lagi. Kami saling merespons. Saling memeluk, saling mengecup dan saling membelai. Sampai akhirnya, aku meminta Dodi untuk mempercepat kocokan penisnya dalam vaginaku dan aku memeluknya. Dodi mempercepat kocokan penisnya dan memelukku dengan kuat juga, sampai kami sama-sama berteriak kecil penuh nikmat.

“Maaaa….”


“Ukhhh… sayaaaanngg…”

Dan kami sama-sama melepaskan nikmat kami yang tak dapat digambarkan dengan apa-saja. Kami saling berpandangan dan bertatapan dengan penuh mesra.

“Dodi, kamu jangan sampai bercerita pada siapapun,” kataku. Dodi hanya tersenyum dan mengecup bibirku dengan lembut dan penuh kasih sayang.

***


Setelah kejadian itu, aku melihat Dodi semakin bersemangat hidupnya. Dia semakin menyayangiku. Jika kami berdua di rumah, Dodi selalu memanggilku sayang. Dodi sudah mulai keluar rumah mencari pekerjaan. Justru kini aku yang kesepian. Gila! Kenapa ini bisa terjadi? Aku membutuhkan Dodi, anakku. Membutuhkan belaiannya. Saat aku menyiapkan masakan untuk makan siang, justru aku gelisah. Aku ingin dibelai. Tapi haruskah Dodi lagi yang membelaiku? Kalau bukan dia, terus siapa? Haruskah aku mencari laki-laki yang iseng? Belum tentu aku mendapatkan kepuasan dan kasih sayang seperti yang diberikan oleh Dodi.

Cepat aku mengambil HP. Aku pencet nomornya dan… nyambung!

“Ada apa, Ma?”

“Cepat pulang dong, sayang. Mama rindu…” kataku. Dadaku begetar ketika menutup HP. Salahkah aku mengatakan kepada Dodi kalau aku merindukannya? Salahkah aku? Nampaknya aku sudah tak perduli lagi. Sudah lima tahun aku tak merasakan sentuhan laki-laki dalam usiaku 42 tahun ini.

Aku sudah siap dengan segalanya. Aku sudah memakai kimono tanpa pakaian apapun di dalamnya. Kue dan dua gelas kopi susu panas sudah kusiapkan di halaman belakang. Aku menyiapkan segalanya. Kursi malasku sudah kuratakan. Aku sudah melapisinya dengan selimut tebal, agar sedikit lebih lembut dan sedikit lebih mesra. Saat aku membenahinya, aku mendengar suara bel berbunyi. Cepat aku keluar. Aku yakin, yang memencet bel itu adalah Dodi, anakku. Benar saja, Dodi sudah berada di ambang pintu. Gerbang sudah dikunci dan sepeda motor langsung dimasukkan ke dalam rumah, bukan ke garasi. Dia tersenyum. Manis sekali senyumnya.

“Ma, aku juga sudah rindu sama mama. Aku ingin seperti dua hari lalu,” katanya menggandeng tanganku.


Aku membawanya ke belakang rumah, taman yang asri dan teduh. Dengan cepat dia menggamit sebuah handuk besar dari jemuran. Dilepasnya semua pakaiannya. Aku dipeluknya dan mengecup bibirku. Oh… aku sudah tak tahan menantikan ini. Aku membalas kecupannya dengan hangat. Kami saling memagut.

“Oh, sayangku… cintaku…” bisiknya di telingaku. Aku melayang, kata-kata mesra itu. Nafsu membuncah-buncang tak menentu. Aku limbung. Dodi membopongku ke kursi malas. Aku direbahkannya. Mulai Dodi menjilati leherku, mengecup bibirku, menjilati leherku kembali dan terus menjilati buah dadaku. Perutku tak luput dari jilatannya. Kemudian wajahnya sudah berada diantara kedua pahaku. Kedua kakiku sudah mengangkang. Oh… lidah itu, bermain-main di sana. Aku membayangkan lidahnya menari bagaikan penari jaiponngan yang geraknya lincah dan gemulai.

“Oh… oh…” kataku tak beraturan.

“Aku akan memberikan yang terindah untuk mama,” katanya.

Kami berpelukan. Kutuntun penisnya yang sudah tegang, keras dan panjang itu memasuki lubang vaginaku. Aku sudah tak tahan. “Ayo, nak… sirami mama, sayang!” kataku tanpa malu lagi.


Perlahan Dodi memasuki lubang vaginaku yang sudah basah kuyup. Perlahan penis itu memasukinya sampai semuanya habis. Ujungnya menyentuh-nyentuh pangkal lubang vaginaku yang teramat dalam. Aku benar-benar sudah basah. Basah…

Clepp… plok… clepp… plok, suara itu berganti-ganti terdengar dengan irama yang temponya sama. Aku sudah tak mampu menahan nafsuku. Kupeluk Dodi dan menggigit bahunya dengan kuat sembari mendesah. Kujepit pinggangnya dengan kedua kakiku. Aku memeluknya erat sekali. Aku sudah tak mampu menahan nikmatku. Dan aku melepaskan semua yang tertumpah dari tubuhku yang terdalam.Berkali-kali dan berkali-kali, sampai akhirnya aku melepaskan pelukanku dan aku lemas.

“Mama sudah sampai?”

“Maafkan mama, nak. Mama sudah tak mampu membendungnya…”

Aku melihat Dodi sedikit kecewa. Kubiarkan dia terus memompa tubuhku, sampai akhirnya dia melepaskan spermanya dalam lubang vaginaku. Kami bepelukan dan saling mengecup sebagai ucapan sama-sama mengucapkan terima kasih kami. Setelah membersihkan diri, kami duduk di taman kecil itu. Kami menyeruput kopi susu yang masih hangat. Dodi memelukku dari sisi kiriku. Betapa mesranya pelukan itu. Pelukan yang tak pernah aku rasakan dari almarhum suamiku. Kami bercerita tentang sekolah cucuku, seakan tak pernah terjadi apa-apa. Sesekali kami bercerita sembari tertawa kecil. Layaknya dua pasang pengantin remaja yang sedang berbulan madu.

Dodi memelukku sembari meraba-raba buah dadaku. Dielusnya buah dadaku dengan lembut. Tak lama tangannya sudah berada di bulu-bulu kemaluanku, sembari lidahnya terus menjilati leherku. Aku tak tahu harus berbuat apa, selain menikmatinya. Kini salah satu ujung jarinya sudah mengelus-elus klitorisku dan aku semakin merasakan nikmatnya. Tubuhku seperti menggigil dan aku merasakan diriku kembali melayang. Kulepas handuk Dodi dan aku menaiki tubuhnya sembari memeluknya.

“Kita ulangi, Ma?” katanya lembut seperti mengejekku.

“Kamu yang memulai, sayang. Mama sudah basah lagi,” kataku.

“Mama raihlah dan dan mama masukkan sendiri,” katanya lagi seperti mengejekku. Aku tak perduli ejekannya. Kuraba penisnya yang juga sudah mengeras. Kutuntun penis besar, panjang dan keras itu memasuki lubangku. Kutekan tubuhku, agar penis itu benar-benar habis tertelan oleh vaginaku. Oh… penis itu sudah menyentuh bagian dalam vaginaku yang teramat dalam. Bulu-bulu penisnya, seperti mengelitik klitorisku. Aku tak mampu menahan diri. Aku mulai meliuk-liukkan tubuhku mencari kenikmatanku. Dodi mengisa-isap buah dadaku bergantian. Kedua tangannya mengelus-elus tubuhku.

Enak saja Dodi mengangkat-angkat tubuhku yang beratku hanya 53 kg sementara Dodi berat tubuhnya berkisat 79 kg. Tubuhnya juga tinggi, berkisar 175 cm sedang aku hanya 55 cm. Aku melingkarkan kedua tanganku di tengkuknya dan merapatkan dadaku ke dadanya. Gesekan pentil tetekku ke dadanya, membuatku semakin merasa nikmat. Sebelah tangannya mengelus-elus duburku dengan lembut. Ah… aku tak mampu lagi mengatakan apa pun, selain mendesah. Kenapa selama ini, aku tak pernah merasakan kenikmatan sex sepertai sekarang ini? Kenapa? Tapi aku tak menyesal. Kini aku menikmatinya saja.

Dengan kuat Dodi menekan tubuhku semakin rapat ke tubuhnya dan sebelah tangannya mencengkeram pantatku. “Sayang… ayo cepat, aku sudah mau sampai…” katanya.

“Iya, mama juga sudah mau sampai, sayang. Ayo lakukanlah… semprotlah tubuh mama, sayang!”

Dodi memelukku semakin erat. Tubuhnya bergetar kuat. Cengkeramannya pada pantatku semakin kuat dan ciumannya pada leherku semakin kuat juga. “Oh, mama. Sejak SMP aku mencintaimu, sayang. Nikmat sekali, sayang!”

“Ayolah, Dodi sayang. Puaskan dirimu, Nak. Ayo, Nak. Jangan buat mama gila, sayang…” Ah, aku tak mampu. Tak mampu. Aku melepaskan kenikmatanku. Dodi juga menyemprotkan spermanya ke dalam liangku. Kami benar-benar berpelukan semakin erat dan kuat. Rasanya tubuhku seperti hancur dipeluknya sekuat tenaga. Sampai akhirnya, kami sama-sama melemah. Nafasku terengah-engah.

“Mama cantik sekali…” bisiknya. Aku memaksakan senyumku dalam nafasku yang sangat terburu-buru. Dodi mencium keningku dengan lembut. “Aku ingin menikahimu, sayang…” katanya.

Aku diam saja. Karena itu tak mungkin sama sekali. Tapi Dodi justru menyelami tanganku dan berkata sendirian, “Kunikahi engkau dengan sepenuh hatiku. Dengan mahar, diriku sendiri,” katanya tulus. Aku meneteskan air mata.

“Ayo jawab, sayang…” katanya berbisik di telingaku.

“Aku terima maharmu dengan tubuhku sendiri,” kataku latah.


Dodi tersenyum manis dan aku juga tersenyum. Dia membopongku ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Begitu usai membersihkan diri, aku mendengar ada suara bel berbunyi. Pasti cucuku pulang sekolah. Ya ampun, tak sadar sekian jam kami bermesraan di taman belakang. Aku cepat keluar dan memakai kimonoku. Aku buka pintu dan memeluk cucuku. Dodi masih di kamar mandi membersihkan dirinya.


***


Selalu saja Dodi hampir keceplosan. Untung orang yang mendengarnya tidak menangkap.

“Kita mau makan apa, sayang?” kata Dodi padaku saat kami memasuki restoran. Kalau aku yang mengatakan itu, mungkin orang tak curiga. Tapi jika Dodi yang mengatakan itu, pasti orang tanda tanya. Usia Dodi, separuh dari usiaku.

Aku tak mengerti, semangat hidup Dodi semakin meninggi dan dia kerja selalu saja lembur. Uangnya bisa terkumpulkan dengan baik di salah satu bank. Jual beli mobil bekas yang ditekuninya semakin membuahkan hasil. Aku juga demikian, aku selalu siap bekerja menjualkan perhiasan berlian dan berbagai bentuk perhiasan dari emas. Kami maju bersama. Dodi justru sudah memiliki sebuah mobil sedang, walau bekas. Untuk mengatasi kesibukan, kami pun sudah memiliki seorang pembantu. Setelah cucuku pergi sekolah, aku menyarankan kepada pembantu untuk masak apa hari ini. Aku keluar rumah dengan Dodi pukul 09.00 Wib. Setelah mengantarku, Dodi pergi ke tempatnya mangkal untuk mencari mobil atau mencari pembeli mobil. Terkadang dia hanya mendapatkan komisi saja. Hasilnya lumayan banyak.

“Ma, Mama aku jemput ya? Aku sudah sangat kepingin. Kita ke hotel,” katanya. Jam baru menunjukkan pukul 11 siang. Akhirnya aku setujui, karena sebenarnya sejak tadi malam aku juga sudah menginginkannya.


Kami menuju puncak melalui jalan tol. Kami menyewa sebuah kamar di hotel kecil. Setelah mobil masuk ke dalam garasi, pintu garasi langsung kami tutup. Dari pintu kamar depan, seorang pelayan mendatangi kami dan Dodi langsung membayar sewa kamar. Nanti kami tinggal membuka garasi dan langsung pergi pulang.

Setelah semua beres dan minuman serta makanan kami pesan dan sudah terhidang di meja kecil, kami menyantapnya dengan lahap di udara yang dingin dalam rinai gerimis. Usai makan, kami langsung mencuci mulut dan menyabun tangan kami di kamar mandi.

“Ma, aku sudah gak tahan,” katanya merengek, persis rengekan anak SD.


Aku tersenyum. Aku langsung membuka pakaianku. Dodi juga menelanjangi dirinya dengan cepat. Blur..!!! Penisnya yang mengeras keluar dan berdiri seperti tiang bendera. Dodi langsung menerkam dan menciumi bibirku. Kami berpelukan dan saling membelai.

“Ma, jilatin dong punyaku!” pintanya. Aku menggeleng, karena aku tak mampu. Dodi diam saja dan tersenyum. “Oke, Ma. Kapan-kapan ya. Kalo mama sudah bersedia.” katanya.


Kini dia menuntunku ke tempat tidur. Aku terbaring di tempat tidur. Dodi menindihku dari samping dan mulai menjilati tubuhku. Remasan pada buah dadaku dan jilatan-jilatannya membuatku selalu saja merasa nikmat. Sekujur tubuhku sudah dijilatinya, sembari mengelus-elusnya.

Dodi mengarahkan jilatannya pada vaginaku. Klitorisku menjadi sasarannya. Aku merasakan, ini adalah permainan yang selalu kutunggu. Betapa terkejutnya aku, ketika lidah Dodi mulai menjilati lubang duburku. Ujung lidahnya berputar-putar pada lubang duburku. Aku menggelinjang.

“Dodi, jangan, sayang! Jijik, Nak!” kataku sembari menggelinjang. Dodi bukan malah diam, melainkan semakin memutar-mutar lidahnya pada duburku. Aku sudah tak mampu membendung hasratku. Kutarik kepalanya agar dia menindih tubuhku dan menyetubuhiku. Langsung kudekap tubuhnya dan kuarahkan penisnya ke lubang vaginaku.


Vaginaku yang basah, langsung menelan penisnya yang besar dan panjang serta keras itu. Aku mulai menggoyang pinggulku dari bawah. Dodi menggenjotku dari atas. Kami terus melakukannya berkisar 12 menit. sampai akhirnya kami sama-sama mendesah dan berpelukan erat. Kami sama-sama sampai pada batas kenikmatan yang tak terlukiskan dengan kata-kata. Aku membelai rambut Dodi dengan kasih sayang. Kami tidur bersisian sembari berpelukan. 


***


Kutuang air mineral ke dalam gelas. Kami meminumnya bergantian sampai habis satu botol ukuran sedang. Kami kembali berbaring dan menghela nafas kami. Lima belas menit kemudian, kami sudah kembali segar. Dodi mulai lagi menciumiku. Aku berpikir, anakku tak puas-puasnya kah menyetubuhi diriku? Aku sendiri tak puas-puasnya kah menerima tubuh Dodi yang menggenjot tubuhku? Kami ternyata sama-sama membutuhkan dan kami aman. Karena rahasia dapat kami jaga dengan ketat.


Kembali Dodi menjilati lubang duburku dan aku kembali menggelinjang kenikmatan. Dodi memintaku untuk menungging yang katanya gaya anjing. Kami sudah berkali-kali melakukannya dan memnag mendapatkan sensasi yang luar biasa. Aku mengikuti kehendaknya, aku menungging di ujung tempat tidur. Dodi pun kembali menjilati lubang duburku. Sebelah tangannya mengelus-elus klitorisku. Aku merasakan ujung penis Dodi menyentuh lubang duburku.

“Dodi, bukan itu lobangnya, sayang!” kataku.

“Mama diam saja. Mama Nikmati saja. Nanti rasanya akan nikmat,” katanya.

Aku membiarkannya. Ujung penis itu dia putar-putar di ujung lubang duburku. Perlahan Dodi menekan penisnya ke dalam duburku. Duburku yang sudah basah oleh ludahnya, terus ditusuknya. Aku merasa sakit. “Sakit, sayang…!” aku merintih.

Dodi mendiamkannya sejenak, kemudian menekan kembali. Aku merasakan sesuatu yang sangat berat. Sebelah tangannya terus mengelus-elus klitorisku. Ketika kujamah penisnya, aku yakin, penis itu sudah separoh menembus duburku. Dodi mendiamkanya sejenak, kemudian menembusnya lagi. Kemudian mendiamkannya, lalu menembusnya sampai ketika kuraba, penisnya sudah berada penuh dalam duburku.

“Sakit, sayang…” kembali aku merintih. Dodi terus mengelus-elus klitorisku. Aku merasakan nikmat. Saat itu, perlahan Dodi menarik penisnya berkisar sepertiga (mungkin), kemudian dia tusuk kembali. Menarik sedikit dan menusuknya. Begitu seterusnya.

“Perih, sayang…” kataku.

”Sebentar, Ma. Ini perawan mama untukku. Setelah terbiasa, nanti mama akan ketagihan,” katanya.

Aku diam saja. Sampai akhirnya, aku merapatkan kedua kakiku dan aku mulai merasakan kenikmatan. Sepertinya aku sedang memotong-motong tinja yang keluar dari duburku. Dodi meringkih. “Teruskan, Ma. Enak! Teruskan, sayang. Enak, sayang…” desahnya.

Aku terusmelakukannya dan aku juga merasakan kenimatan. Sampai akhirnya, aku tidak merasakan perih lagi saat Dodi mempercepat kocokan penisnya di dalam lubang duburku. Aku merasakan nikmat luar biasa.
Dodi memeluk erat tubuhku dari belakang dan aku meremas bantal yang mengganjal wajahku.

Saat itu Dodi mencabut penisnya dari duburku dan aku merasakan nikmat luar biasa. Kemudian dia mencucukkannya ke lubang vaginaku. Dan croot… croot… croot… Spermanya muncrat memenuhi vaginaku. Kujepit penis itu sekuat tenaga. Aku mengerang kenikmatan. Sampai penis Dodi keluar dengan sendirinya karena sudah mengecil. Aku merebahkan tubuhku. Aku berkeringat. Dodi membelai-belai kepalaku dan menciumi kening dan pipiku.

Setelah minum air putih, kami terbaring sejenak. Setelah segar, kami mandi air hangat dan kami bersiap untuk pulang ke rumah. Kami harus tiba di rumah pukul 16.30. karena pembantu akan pulang pukul 17.00.

Sepanjang jalan kami tersenyum dan kami bercerita tentang apa saja. Tapi kami tak pernah sepatah katapun bercerita tentang persetubuhan kami. Tak pernah!

***

Tak terpikirkan selama ini. Aku dan Dodi terlalu asyik. Sudah sepuluh hari aku terlambat datang bulan. Aku membisikkan kepada Dodi. Dia juga terkejut. Kami singgah di sebuah tempat untuk makan minum pagi itu, walau kami dari rumah sudah sarapan.

“Apa yang kita lakukan, sayang? Andaikan UU tidak melarangnya, aku akan menikahi Mama,” katanya setengah berbisik. Aku tersenyum. Aku tahu, Dodi sangat menyayangiku.

“Mama harus gugurkan, sayang!” kataku berbisik pula. Kulihat wajah Dodi tertunduk lesu.

“Kalau saja…”

“Ya sudah. Kita harus menjaga keadaan. Kita harus merelakannya untuk dibuang,” kataku.

Aku ingat seorang teman lima tahun lalu menggugurkan kandunganya dengan ramuan tradisional. Aku menelponnya. Aku mengatakan, kemana aku harus menggugurkan kandunganku? Temanku itu terperanjat. Dia memintaku untuk datang. Aku meminta Dodi untuk mengantarkan aku ke rumah teman akrabku itu. Aku minta Dodi meninggalkan aku, nanti aku akan hubungi dia via HP untuk menjemputku. Dodi setuju. Temanku tak menanyakan dengan siapa aku melakukannya, hingga aku hamil. Dia pasti mengetahui, aku melakukannya dengan seorang laki-laki yang amat kucintai. Karena dia tahu, aku orang yang tidak liar, seperti dirinya.

Aku dibawa ke rumah seseorang. Ketika nadiku dipegangnya, orang itu mengetahui kalau aku sudah terlambat haid. ”Ini masih gampang, karena baru beberapa hari,” katanya. Dia mengambil ramuan dari tiga buah topless kaca. Ramuan itu disedu dengan air panas. Setelah suam-suam kuku, aku meminumnya. Kemudian dia memberiku dua sendok makan ramuan itu yang dibungkus pakai kertas. Setiap lima jam harus diminum. ”Besok pagi sudah keluar,” katanya. Aku menjadi tenang. Bayarannya tidak mahal. Hanya Rp. 50.000,- Setelah haid datang, tiga hari kemudian aku disuruhnya untuk kembali datang.

Benar sekali. Besok paginya berkisar pukul 07.00 aku sudah haid seperti biasa. Haidku kental dan hitam. Aromanya lebih anyir. Aku melaporkannya kepada Dodi. Dengan lesu Dodi mengecup bibirku sejenak. Wajahnya murung.

“Anakku telah terbuang, Ma.”

“Tak ada jalan lain, sayang,” bisikku menenangkan gemuruh dadanya.

Aku kembali datang ke rumah pembuat ramuan itu. Dia berkata, sebaiknya aku tidak hamil lagi dan tidak melahirkan lagi, karena usiaku sudah menua. Aku setuju. Dia memberiku ramuan untuk dua minggu. Bulan depan untuk satu mingu dan bulan depannya lagi untuk tiga hari dan seterusnya tiap bulan tiga hari minum ramuannya. Aku setuju. Aku membayar Rp.75.000,- Nanti setiap datang aku akan membayar Rp. 25.000,- Aku setuju. Menurutku sangat manjur dan sangat murah.

Dalam perjalanan, kami singgah di sebuah warung kecil agak di sudut. Ada bangku memanjang di bawah sepohon rindang. Di sanalah aku diciumi oleh Dodi. Dia mengelus-elusku.

“Tunggu sampai kering, sayang. Tiga hari lagi, kita sudah bisa mulai,” kataku menyabarkannya.

Malamnya, di rumah, setelah cucuku tidur, dia dimasukkan ke dalam boxnya di kamarku. Kali ini Dodi tak mau tidur di kamarnya. Dia menemani aku tidur di kamarku. Dengan telaten, dia mengganti pembalutku. Aku risih sebenarnya, tapi Dodi memaksa.

“Sayang, aku sangat mencintaimu. Izinkan aku mengurusmu,” katanya lembut. Aku pun tersanjung sekali. “Aku sudah tak tahan, sayang…” bisiknya.

“Bagaimana, kan masih belum kering?” kataku.


Akhirnya kami sepakat, kami harus pindah kamar ke kamarnya. Aku memberinya lotion. Aku mengelus-eluskan lotion itu ke batang penisnya, lalu ke lubang duburku. Aku menungging dan perlahan Dodi menusukku dari belakang. Licin dan tak perih lagi seperti pertama kali.

Kocokannya semakin cepat dan cepat. Aku merasakan darah haidku berdesir-desir membanjir dari vaginaku. Aku merasakan nikmatnya. Kami pun terus melakukannya sampai kami merasakan puncak nikmat yang luar biasa.

Hanya lima menit kami istirahat. Dodi membopongku ke toilet. Kami membersihkan diri. Aku mengganti pembalutku. Dibopongnya aku kembali ke kamar tidurku. Aku melihat cucuku tertidur dengan pulasnya. Dodi tidur di sisiku malam itu, Kami berpelukan dan saling membelai. Akhirnya, setelah menjelang subuh, kami belum juga memejamkan mata. Kami tak bersuara sedikitpun. Hanya nafas kami yang mendesah-desah dan tangan kami saling mengelus-elus.

“Sayang, aku mencintaimu!” bisik Dodi ke telingaku.

“Mama juga mencintaimu, Nak…”

“Aku kepingin lagi, Ma!”

“Tak puas-puasnya kah, sayang?”

“Aku kepingin, Ma…”

Aku bangkit. Kubuka celana pendeknya. Kukeluarkan penisnya. Aku mengelus-elusnya. Perlahan aku memberanikan diri untuk menjilati batang penis yang besar itu. Aku memulainya dari bawah, ke ujung dan memutar-mutar lidahku pada ujung penisnya sebelah bawah. Perlahan aku memasukkannya ke dalam mulutku.

“Sayang, jagan kena giginya dong. Sakit!” bisik Dodi.

Aku menyadarinya. Aku mulai perlahan mengulumnya dan memasukkannya ke dalam mulutku. Aku merasakan Dodi menjepit kepalaku dengan kedua pahanya dan menjambak-jambak kecil rambutku. sampai pada pucaknya, Dodi menusukkan penisnya sedalam-dalamnya ke rongga mulutku dan dia melepaskan sperma di dalam rongga tenggorokanku. Setidanya tiga kali. Kepalaku ditariknya kuat-kuat dan penisnya terbenam di dalam. Aku seperti susah bernafas. Tak lama, penis itu mengecil dan Dodi melepas kepalaku.

“Terima kasih, Ma,” bisiknya.

Aku tersenyum. Aku telah memberikan kepuasan kepadanya. Aku lupa kalau hari ini Senin. Kami melakukannya setiap Senin, Rabu dan Sabtu. Jatah itu sudah kami atur. Kecuali kalau terkadang Dodi benar-benar kebelet atau aku yang kebelet minta disetubuhi.

Setelah meminum ramuan jamu, kami menjadi aman. Aku tak pernah hamil. Kini usiaku sudah 49 tahun. Sudah tujuh tahun lebih kami melakukan persetubuhan dengan rahasia yang ketat. Kami tak pernah bosan.,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,

Related posts