SUAMI SELIPAN

CERITA SEX TERBARU | CERITA SEX NYATA INI KUDAPATKAN DARI SEORANG TEMAN DI DUNIA MAYA. IA PERNAH MENCERITAKAN KISAH NYATA

hidupnya yang unik dan ingin agar kisahnya itu diabadikan dalam suatu kisah nyata. Aku menyanggupinya.
Dan pada suatu hari aku ketemuan dengan wanita berusia 32 tahunan itu. Ia menyerahkan sebuah flashdisk,
isinya semacam buku harian pribadinya. Ia memintaku agar mengedit catatan hariannya itu, karena kalimat-
kalimatnya belum teratur rapi. Kusanggupi permintaannya, termasuk menyembunyikan identitas semua pelaku
dan nama tempat di dalam kisah nyata ini agar tiada yang merasa dirugikan. Inilah hasilnya. Mohon maaf
atas segala kekurangannya.

Perjalanan hidupku memang aneh. Kisah demi kisah yang terjadi dalam kehidupanku, sering membuatku
bertanya-tanya,

“Kenapa aku harus mengalami semuanya ini?”

Dahulu, ketika rumah tanggaku dengan Mas Bimo sedang harmonis, aku merasa laksana wanita yang paling
bahagia di dunia ini. Kedua anakku juga lahir dengan lancar, lalu aku ikut program KB. Karena aku dan Mas
Bimo sudah mencapai target untuk memiliki anak 2 saja.

Soal kesetiaanku tak perlu diragukan. Meski aku punya wajah cantik, kulit yang putih bersih dan bentuk
tubuh yang aduahai, aku tak pernah memanfaatkannya untuk menyeleweng.

Lalu tragedi itu terjadi. Mas Bimo sangat marah ketika mengetahui bahwa aku sering mengirim uang kepada
orang tuaku, untuk membantu biaya kuliah adikku Rendi. Suamiku demikian marahnya, karena ia menganggap
aku sudah sering selingkuh dalam hal duit. Aku berusaha menerangkan, bahwa aku merasa kasihan kepada
adikku, kasihan juga kepada orang tuaku yang kelabakan mencari dana untuk biaya kuliah adikku itu. Tapi
Mas Bimo malah semakin marah. Mencercaku sebagai istri yang tidak jujur dan sebagainya.

Lalu terjadilah tragedi itu. Mas Bimo menjatuhkan talak tiga padaku! Itu pertanda bahwa kesalahanku tak
dapat diampuni lagi !

Sebagai seorang wanita, aku bisa berbuat apa? Talak tiga sudah dijatuhkan. Berarti tak mungkin aku bisa
berkumpul dengan Mas Bimo lagi.

Akhirnya kuterima saja keputusan itu, meski dengan hati yang luar biasa perihnya. Aku pulang ke rumah
orang tuaku dengan sikap seperti panglima yang kalah perang.

Berbulan-bulan aku hidup sebagai seorang janda bersama kedua anakku di rumah orang tuaku.

Sedihkah hatiku? Tentu saja aku merasa sedih dan pilu, karena tak pernah terpikirkan akan mengalami nasib
seperti ini. Tapi aku tak mau mendramatisir keadaan. Dengan uang tabungan yang masih lumayan banyak di
bank, aku bisa melanjutkan kuliahku yang dulu terputus gara-gara dipersunting oleh Mas Bimo. Aku ingin
melupakan kegagalanku dengan mencurahkan pikiran ke arah kuliahku yang cuma tinggal dua semester lagi.

Aku jadi seperti masa gadis lagi. Hampir tiap hari mengikuti kuliah di kampusku. Tapi teman-teman
seangkatanku sudah pada lulus S1, bahkan ada beberapa orang yang sudah S2. Teman-teman kuliahku sekarang
pada umumnya 7-8 tahun lebih muda dariku. Tapi aku bukan yang tertua di angkatan ini. Masih ada yang
lebih tua dariku. Ada yang mendapat tugas belajar dari tempat kerjanya, ada juga yang atas keinginannya
sendiri melanjutkan pendidikannya meski usianya sudah hampir 40 tahun.

Waktu aku mulai kuliah lagi, usiaku sudah 32 tahun. Tapi orang-orang gak percaya kalau umurku sudah 32
tahun. Pada umumnya mereka mengira usiaku di bawah 25 tahun.

Perjuanganku berhasil. Akhirnya aku diwisuda sebagai sarjana ekonomi. Tapi pada hari inilah aku
mendapatkan jabatan tangan dari seseorang yang tak kusangka akan hadir. Ia adalah Mas Bimo ! Mantan
suamiku !

“Selamat ya Hen,” bisik Mas Bimo setelah menjabat tangan dan mencium pipi kanan-kiriku.
“Makasih Mas,” sahutku dengan perasaan tak menentu.

Ia adalah satu-satunya orang yang hadir dalam wisudaku. Karena orang tua dan adik-adikku tidak kuberitahu
bahwa hari itu aku akan diwisuda. Tapi Mas Bimo malah tahu, entah dari mana dia mendapatkan beritanya.

Mas Bimo menawarkan untuk mengantarku pulang, sekalian ingin menengok anak-anak, katanya. Dan aku hanya
mengangguk dengan sikap datar.

Mas Bimo tidak langsung mengantarku pulang. Ia mengajakku makan siang dulu di sebuah rumah makan terdekat
dengan kampusku.

Di rumah makan itulah Mas Bimo meminta maaf padaku, karena sudah melakukan kesalahan besar dengan
menceraikanku. Sekaligus ia juga menyatakan keinginannya untuk rujuk lagi denganku.

“Gak bisa Mas,” kataku setelah Mas Bimo selesai mencurahkan keinginannya,
“Kan Mas sudah menjatuhkan talak tiga.”
“Iya…iya…aku tau. Tapi katanya kita bisa nikah lagi dengan syarat…kamu harus nikah dulu dengan orang
lain.”

Aku menunduk terdiam. Sebenarnya aku memang masih berat pada Mas Bimo. Masih sangat mencintainya. Tapi
keputusan menyakitkan itu sangat menyakitkan hatiku.

“Aku ingin memperbaiki diri, memperbaiki hubungan kita dan anak-anak kita. Kasian mereka kalau kita gak
berkumpul lagi kan?”
“Tapi hukumnya itu Mas….”
“Soal harus nikah dulu dengan orang lain? Gak apa-apa. Aku rela…asal sebulan kemudian cerai lagi…lalu
nikah denganku.”
“Nikah sama siapa?” tanyaku dalam bingung.
“Mmm….gini…kalau kamu gak punya calon, biar aku yang sediakan ya,” kata Mas Bimo.

Aku cuma menatapnya. Tak kuasa menanggapinya.

“Kamu tau Toni kan?” tanyanya.
“Toni? Yang suka Mas suruh-suruh itu?”
“Iya. Dia kan bawahanku di kantor.”
“Terus ?”
“Aku akan bujuk dia supaya menikah denganmu. Katakanlah menikah semu….”
“Iiih….Toni kan masih muda banget Mas.”
“Iya…yang penting bisa kita atur aja. Bagaimana? Setuju?”
“Gak tau Mas. Aku mau pikir-pikir dulu…” sahutku mengambang.
“Iya…pikirkanlah dulu baik-baik. Tapi mikirnya jangan kelamaan. Kalau bisa, dalam seminggu ini sudah ada
keputusan.”
“Emangnya Mas Bimo sudah mempertimbangkan baik buruknya?” tanyaku.
“Sudah lebih dari tiga bulan aku mempertimbangkannya, sayang. Aku menyesal…sangat menyesal, karena telah
bertindak tanpa memikirkan akibatnya….maafkan aku Hen…aku tak bisa hidup tanpamu…”

Berhari-hari aku memikirkan semuanya itu. Sebenarnya hatiku masih sakit, karena merasa telah diperlakukan
sewenang-wenang. Tapi aku harus melihat kedua anakku yang masih kecil-kecil. Yang masih sangat
membutuhkan figur seorang ayah. Dan aku sendiri merasa bahwa status janda ini seperti status yang tak
berharga. Seperti status wanita yang terbuang.

Akhirnya aku seperti biasanya wanita timur. Keputusan yang sangat penting itu kujawab dengan “terserah”.
Dan aku pun lalu menikah dengan Toni yang 7 tahun lebih muda dariku. Memang ada peringatan dari Mas Bimo,
bahwa aku dilarang melakukan hubungan sex dengan Toni.

Maka di malam-malam pertamaku bersama Toni yang sudah diresmikan sebagai suamiku, memang tak terjadi
apa-apa, meski Toni tidur sekamar denganku.

Tapi pada suatu malam, ketika aku sudah nyenyak tidur, kurasakan ada yang menyentuh dan merayap-rayap
dari betis ke pahaku.

Kubuka mataku dan mencoba bertahan,

“Toni…mau ngapain?”
“Mbak…aku kepengen nyobain….masa kita nikah secara sah tapi gak bisa ngapa-ngapain?” kataToni sambil
memelukku.
“Tapi Ton…perjanjiannya kan tidak boleh…”
“Tapi Mbak…aku sudah pengen banget…masa Mbak tega membiarkanku tersiksa begini? Lihatlah…sudah ngaceng
gini Mbak,” bisik Toni sambil menyembulkan penisnya dari balik celananya.

Dan memaksa tanganku agar menyentuh bagian vital tubuh lelaki muda itu. Bagian tubuh yang tak pernah
kulihat selama masa menjandaku. Meski cuma menyentuh sekejap, aku langsung tahu bahwa penis Toni jauh
lebih panjang dan gede daripada penis Mas Bimo. Jujur…aku jadi degdegan dibuatnya.

“Mbak…seorang istri kan berdosa kalau tidak mau melayani suaminya. Sekarang aku kan suamimu Mbak.”

Aku jadi bingung. Memang benar, aku sering mendengar bahwa berdosalah istri yang tak mau meladeni
suaminya. Sedangkan Toni sudah disahkan menjadi suamiku. Artinya aku wajib melayaninya jika ia
menghendaki hubungan seksual.

“Sudahlah,” kataku sambil meremas-remas penis tegang itu dengan lembut,
“Kukocok aja ya punyamu.”

Toni merayapkan tangannya ke pangkal pahaku,

“Tapi minimal aku harus menyentuh punya Mbak….”

Dan…oooh…jemari lelaki yang jauh lebih muda dariku itu memaksa masuk ke balik celana dalamku. Mulai
menyentuh kemaluanku. photomemek.com Mulai mengelus-elus, bukan cuma menyentuh….oooh…apa yang sedang terjadi ini? Kalau
kubiarkan lelaki muda ini menyetubuhiku, salahkah aku? Dan kenapa hasrat birahi ini mendadak berkecamuk
dan sulit dikendalikan?

Dan ketika tanganku meremas-remas penis Toni, aku mulai menikmati elusan jemari lelaki muda itu…yang
membuat kemaluanku mulai basah. Sehingga akhirnya aku menyerah.

“Matikan dulu lampunya, takut ada yang ngintip,” kataku agak tersendat.

Toni mengangguk dengan sikap bersemangat. Lalu turun dari tempat tidur dan melangkah ke arah sakelar di
dekat pintu. Lalu mematikan lampu penerangan, sehingga kamar ini menjadi gelap. Pada saat itulah aku
menanggalkan daster dan celana dalamku, sehingga aku menjadi telanjang bulat di gelapnya kamarku, karena
sejak tadi pun aku tak mengenakan beha.

Terdengar langkah Toni menghampiriku lagi. Lalu naik ke atas tempat tidur, menyentuh perut dan
payudaraku…pasti ia kaget campur senang setelah menyadari bahwa aku sudah telanjang bulat.

Dalam kegelapan kurasakan ia merayapi sekujur tubuhku. Dan aku merinding-rinding dalam hasrat yang
semakin sulit mengendalikannya. Bahkan akhirnya kubisiki telinganya, “Kamu juga telanjang dong Ton.”Cerita Sex Terbaru

Toni mengiyakan. Dan buru-buru menelanjangi dirinya. Kemudian rebah di sampingku, sambil merayap-rayapkan
tangannya di sekitar kemaluanku yang berbulu lebat ini. Aku pun melanjutkan kegiatan yang tadi terputus.
Kugenggam batang kemaluannya yang jauh lebih “jangkung gede” daripada penis Mas Bimo itu. Lalu kuremas-
remas dengan lembut. Sementara jemari Toni mulai menyelusup ke liang vaginaku yang mulai membasah ini.

Dalam kegelapan itu aku sering terpejam-pejam dalam hasrat yang kian menggebu-gebu.

“Beneran kamu kepengen dan gak bisa nahan lagi?” tanyaku setengah berbisik.

Toni mengiyakan dengan napas tersengal-sengal.

“Ya udah…kalau gitu masukin aja,” kataku sambil meraih kuraih batang kemaluan Toni ke dekat vaginaku.

Lalu kutempelkan puncak penisnya di mulut vaginaku. Kuelus-eluskan ke celah kewanitaanku, sampai akhirnya
kuminta agar ia mendorong batang kemaluannya.

Dan…oooh….kurasakan penis tegang yang panjang gede itu mulai membenam ke dalam liang kemaluanku. Ini
sangat terasa, membuat desir nikmatku seolah menggelusur dari lutut sampai ke ubun-ubun !

Ketika Toni menjatuhkan dadanya ke atas dadaku, cepat kusambut dengan pelukan erat di lehernya, sambil
berbisik,

“Duuuh…sudah masuk Ton….punyamu gede banget sih?!”
“Iya Mbak…makasih ya…Mbak baik hati dan gak tega membiarkanku tersiksa…” kata Toni sambil mencium
pipiku.

Lalu ia mulai mengayun batang kemaluannya, maju mundur dan maju mundur dan maju mundur seperti mesin
fotocopy. Aku mulai terkejang-kejang dalam nikmat yang sulit kulukiskan dengan kata-kata. Geseran demi
geseran penisnya terasa sekali enaknya, menggesek liang kenikmatanku dengan mantap.

Barangkali kalau aku harus jujur, akan kuakui bahwa apa yang sedang kulakukan dengan pemuda tampan
bernama Toni ini, sungguh jauh lebih nikmat daripada yang sering kulakukan bersama Mas Bimo dahulu.
Apakah karena aku sudah terlalu lama tidak mengalami digauli oleh lelaki, ataukah karena ukuran penis
Toni yang jauh lebih “gagah” daripada penis Mas Bimo….entahlah. Yang jelas, aku benar-benar menikmati
persetubuhan dengan pemuda yang jauh lebih muda dariku ini.

Pada mulanya Toni terasa canggung melakukan semuanya ini. Tapi beberapa menit kemudian ia mulai mengenjot
penisnya sambil meremas-remas buah dadaku. Terkadang ia pun menciumi dan menjilati leherku. Ini membuatku
serasa melayang-layang di langit kenikmatan. Dan aku pun semakin lupa daratan. Aku jadi ingin menikmati
persetubuhan ini selengkapnya. Maka ketika penis Toni semakin gencar memompa liang kewanitaanku, aku pun
mulai memagut bibirnya. Melumatnya dengan penuh desir birahi. Bahkan tanganku juga sering meremas-remas
rambutnya, lalu kuelus dengan lembut, kuacak-acak lagi, kuelus lagi dan seterusnya. Pinggulku juga mulai
refleks bergoyang-goyang…meliuk-liuk dan menghentak-hentak…sementara keringat Toni terasa mulai
berjatuhan ke wajah dan leherku.

“Mbak Henny….ini enak banget Mbak…oooh Mbak….adududuuuh….enak sekali Mbak…” rengek Toni ketika aku
mempergila goyangan pantatku.

Harusnya aku mengatakan hal yang sama. Bahwa persetubuhan yang sedang kualami ini nikmat sekali. Tapi aku
masih berusaha agar tidak sembarangan mencetuskan kata-kata. Dan aku mencetuskannya dalam bentuk gerakan
tubuhku. Bahwa terkadang kuangkat kakiku sampai melingkari pinggang Toni, sehingga Toni bisa membenamkan
penisnya sedalam mungkin. O…ini indah sekali !

Tapi tak lama kemudian aku merasakan akan mencapai orgasme. DI puncak orgasme ini kuhentak-hentakkan
pantatku, sehingga liang kemaluanku menggesek-gesek penis Toni dengan kencangnya. Lalu….datanglah puncak
kenikmatanku….yang membuatku seperti dialiri arus dari ujung kaki sampai ke ubun-ubun….arus birahi dan
kenikmatan, yang membuatku melenguh,

“Ooooh….Toni….aku keluaaaaar……..”

Tiba-tiba Toni pun mempercepat gerakan penisnya,

“Aku juga mau keluar Mbak…. ooooh…..Mbaaaak……”

Toni mendengus seperti kerbau disembelih. Lalu kurasakan moncong penisnya menyemprot-nyemprotkan cairan
hangat dan kental di dalam liang kewanitaanku. Kubiarkan semua itu terjadi, tanpa rasa takut, karena
setelah bercerai dengan Mas Bimo, alat KB tetap terpasang di dalam rahimku.

Beberapa menit kemudian kurasakan penis Toni melemas dan mengecil, lalu terlepas dari liang vaginaku.

Kukenakan dasterku, tanpa mengenakan celana dalam lagi, lalu turun dari tempat tidur. Kupijit sakelar
lampu kamarku, sehingga kamarku jadi terang lagi. Kuhampiri Toni yang terlentang dalam keadaan masih
telanjang.

Kuperhatikan pemuda yang sudah sah menjadi suamiku itu. Suami yang harus menceraikanku setelah waktu yang
ditetapkan tiba.

Entah kenapa, setelah aku digauli olehnya, timbul rasa sayangku padanya. Bahkan semakin jelas di mataku,
bahwa Toni itu tampan dan memiliki tubuh yang atletis. Tinggi tegap. Tapi…bukankah nanti dia harus
menceraikanku seperti sudah ditetapkan dalam perjanjian dengan Mas Bimo?

Bukankah hal itu berarti bahwa aku tak dapat lagi menikmati indahnya persetubuhan seperti yang barusan
kualami?

Ada kemelut di batinku. Lalu aku duduk di dekat Toni yang masih celentang telanjang. Dan entah kenapa,
aku ingin menyentuh penis yang tadi sudah memberiku kepuasan itu. Penis yang masih tergolek lemas itu.

“Puas?” tanyaku sambil meremas-remas penis Toni dan sesekali mengelus moncongnya.
“Hehehe…puas banget Mbak. Makasih,” sahutnya sambil meraih pinggangku, sehingga aku jadi sama-sama rebah
saling berhadapan.
“Tapi kita hanya dikasih waktu sebulan, Ton.”
“Iya,” sahut Ton lirih, “Kalau sudah berpisah, kita gak bisa begini lagi, ya Mbak.”
“Ya iyalah. Bahkan sekarang juga kita sudah melanggar perjanjian. Harusnya kan gak boleh melakukan
seperti yang tadi.”
“Tapi aku tersiksa sekali tadi Mbak. Soalnya Mbak begini mulusnya…lagian sebenarnya aku berhak untuk
merasakannya kan?” Toni mengelus lututku, “Untunglah Mbak penuh pengertian…”

Pada saat yang sama, kurasakan penis yang sedang kugenggam ini mulai membesar dan menegang. Dan aku tahu
persis apa yang sedang terjadi di dalam jiwa Toni. Aku juga tahu persis apa yang sedang terjadi di dalam
jiwaku sendiri….bahwa badai birahi berkecamuk lagi di dalam jiwaku !

Dan entah dari mana datangnya kekuatan ini. Kekuatan yang memaksaku untuk berlutut, dengan pinggul Toni
berada di antara kedua lututku. Lalu kugenggam penis Toni, kuarahkan ke mulut vaginaku. Saat itu aku
mengenakan daster, tapi tak mengenakan celana dalam dan beha. Sehingga dengan mudah puncak penis Toni
bisa kutempelkan ke mulut kemaluanku. Lalu kudesakkan vaginaku, menekan batang kemaluan perkasa itu.
Dan…ahhh…blessss…..penis Toni mulai terbenam lagi di liang kewaniaatnku !

Toni hanya tersenyum-senyum. Tampak senang sekali dengan perlakuanku padanya.

“Kamu mau lagi kan?” tanyaku sambil menanggalkan dasterku, sementara penis Toni sudah berada di dalam
cengkraman liang kewanitaanku.

“Iya…” sahut Toni sambil memegang kedua pahaku, “Mbak juga sama kan?”
“Telanjur basah…” sahutku sambil mulai mengayun pinggulku, sehingga liang kemaluanku jadi bergesekan
lagi dengan penis Toni.

Gesekan yang menimbulkan nikmat luar biasa buatku. Dan Toni meraih pinggangku ke dalam dekapannya,
sehingga dadaku terjerembab ke atas dadanya.

Kini aku yang aktif, menaik-turunkan pantatku, sehingga liang kemaluanku membesot-besot penis Toni.
Sementara Toni pun tak tinggal diam. Meski posisinya di bawah, ia berusaha mewnggerak-gerakkan penisnya
dengan arah yang berlawanan dengan gerakan vaginaku. Kalau vaginaku menekan, ia pun memajukan penisnya.
Kalau vaginaku ditarik, ia pun menarik penisnya. Oooh…semuanya ini terasa nikmat sekali. Nikmat yang
sulit kulukiskan dengan kata-kata. Nikmat yang seolah tak pernah kurasakan dari Mas Bimo semasa menjadi
istrinya.

Persetubuhan yang terlalu nikmat ini membuatku cepat sekali mencapai puncaknya. Aku hanya mampu bertahan
beberapa saat, kemudian aku merengek manja,

“Toni…aku mau keluar lagi, sayang…..”

Lalu kupeluk leher Toni kuat-kuat. Dan liang vaginaku terasa berdenyut-denyut di puncak orgasmeku. Oh,
puasnya hatiku….sungguh tiada bandingannya. Kepuasan yang kucapai setelah sekian lamanya tak kualami di
masa jandaku.

Aku tahu bahwa Toni belum ejakulasi. Tapi aku tak kuat lagi main di atas. Lalu aku berguling ke samping,
sehingga batang kemaluan Toni terlepas dari vaginaku. Setelah menelentang, kupersilakan Toni memasukkan
lagi penisnya ke liang vaginaku yang baru mencapai orgasme ini. Lalu kunikmati lagi ayunan surgawi ini.
Ayunan penis Toni di dalam liang kewanitaanku, yang membuatku terkejang-kejang dalam nikmat tiada
bandingannya.

Kedua pahaku sengaja kurentangkan selebar mungkin, supaya Toni leluasa membenamkan penisnya sedalam
mungkin. Dan Toni memanfaatkannya. Pada waktu penisnya maju, terasa sampai menyundul dasar liang
vaginaku, aaaaah…ini benar-benar fantastis !

Terlebih ketika Toni meremas-remas buah dadaku, mempermainkan putingnya dan terkadang menjilatinya….enak
banget !

Kenikmatan ini membuatku lupa daratan. Sehingga tanpa bisa dikendalikan lagi aku berceloteh dalam bentuk
bisikan di dekat telinga Toni,

“Duuuh…Toniiii….ini….enak sekali, Ton…..aku kan udah lama gak merasakannya….aaaah…terus enjot yang keras,
Ton…..iya….begitu…iya….oooh, enak Ton….”
“Iya Mbak….ini pengalaman terindah dalam hidupku,” sahut Toni sambil mengenjot penisnya makin lama makin
keras, dalam arti waktu dibenamkan benar-benar didorong sampai full dan menyundul dasar liang vaginaku
dengan kuatnya (karena ukuran penisnya yang dahsyat…panjang sekali).

Semuanya membuatku gila. Gila dalam nikmat yang luar biasa. Sehingga aku tak mau diam pasif. Kugoyang
pantatku seedan mungkin, dengan gerakan meliuk-liuk dan menghentak-hentak.

Semakin ganas juga Toni mengentotku sambil meremas-remas payudaraku, sambil menciumi bibirku, menjilati
leherku yang sudah dibanjiri keringat ini.

Suasananya memang berbeda dengan persetubuhan pertama tadi. Karena sekarang semuanya dilakukan dalam
keadaan terang. Tidak gelap gulita seperti tadi lagi. Sekarang aku bisa melihat dengan jelas bentuk Toni
sekujurnya. Sementara Toni pun bisa melihat dengan jelas sekujur tubuhku, bisa melihat ekspresiku pada
saat ia mengenjotku dengan gagahnya.

Meski penisnya sedang mengenjot liang kewanitaanku, masih sempat Toni membisikiku, “Punya Mbak kok enak
sekali ya……wuiiiih….beneran Mbak….enak banget…”

Aku cuma tersenyum sambil meremas-remas rambut Toni. Sekilas aku teringat keterangannya menjelang nikah
tempo hari. Bahwa ia pernah menikah dengan seorang janda. Tapi pernikahannya hanya bertahan beberapa
bulan, kemudian bercerai. Jadi, waktu nikah denganku, status Toni itu duda, meski usianya baru 25 tahun.

Lalu…mungkin Toni membandingkan diriku dengan mantan istrinya itu. Dan berkali-kali ia mencetuskan
pujiannya, disertai dengan belaian dan kecupan mesra.

Dan…lagi-lagi aku mencapai klimaks…mencapai puncak kenikmatan alias orgasme. Sungguh semuanya ini
merupakan hal baru, hal yang tak pernah kudapatkan dari Mas Bimo dahulu.

Dan ketika penis Toni ejakulasi, sebenarnya aku sudah 5 kali mencapai orgasme. Wajar kalau kukecup
pipinya sambil berkata perlahan,

“Kamu hebat sekali Ton….aku sampai lima kali keluar tadi.”
“Justru Mbak yang hebat. Sebentar lagi juga pasti aku pengen lagi…karena Mbak sangat menggiurkan,” sahut
Toni sambil mencabut batang kemaluannya dari liang vaginaku.

Terasa lendir meluap dari vaginaku, sperma Toni yang sudah bercampur dengan lendir kenikmatanku.

“Sebenarnya aku sedih juga Mbak,” kata Toni sambil merebahkan diri di sisiku.
“Sedih kenapa?”
“Aku sudah telanjur berat sama Mbak. Tapi hanya sebulan aku boleh memiliki Mbak. Lalu…lalu kita harus
berpisah….”

Batinku terhenyak. Timbul rasa haru dan sayang kepada lelaki muda yang sudah memiliki diriku ini. Tapi
aku tak bisa mengutarakan isi hatiku. Aku hanya mengelus dada Toni yang masih telanjang, sambil sesekali
meremasnya.

“Nanti, kalau Mbak sudah rujuk dengan Mas Bimo, kita gak bisa begini lagi ya Mbak,” kata Toni sambil
mengelus pentil buah dadaku.
“Ya iyalah,” sahutku dengan perasaan tak menentu, “Kalau aku sudah menjadi istri Mas Bimo lagi, hubungan
kita harus putus total.”
“Hmmm….kebayang sedihnya hatiku nanti. Kalau Mbak sudah jadi istri Mas Bimo lagi, semuanya ini hanya
akan jadi kenangan saja, ya Mbak.”
“Iya…sebaiknya kalau kita sudah pisah, jangan ingat-ingat aku lagi, Ton.”
“Wah, gak mungkin aku bisa melupakan Mbak. Apalagi kita sudah melangkah jauh begini….”

Suasana hening sesaat.

Tiba-tiba Toni menggumuliku lagi, diawali dengan kata-katanya, “Kalau begitu aku harus memanfaatkan waktu
sebaik-baiknya. Selama sebulan ini aku ingin menikmati tubuh Mbak….sesering mungkin….supaya kelak aku tak
terlalu sedih.”

Meski masih letih, kusambut Toni dengan bisikan, “Lakukanlah apa yang ingin kamu lakukan, sayang….”

Dan terjadilah persetubuhan yang ketiga kalinya di malam itu. Persetubuhan yang membuatku terkapar dalam
kepuasan.

Toni membuktikan kata-katanya. Di hari-hari berikutnya ia selalu menyetubuhiku, tiap malam. Dalam semalam
ia selalu menyetubuhiku lebih dari dua ronde. Istirahatnya hanya pada waktu aku datang bulan saja. Selama
5 hari istirahat. Tapi setelah aku bersih, ia benar-benar ganas. Menyetubuhiku sampai 5 kali, dari jam
delapan malam sampai dinihari ! Luar biasa perkasanya Toni itu.

Maka ketika dekat waktunya untuk berpisah, hatiku benar-benar berat berpisah dengan Toni. Tapi aku harus
teguh pada perjanjian dengan Mas Bimo, meski hatiku merasa ingin jauh lebih lama hidup bersama lelaki
muda bernama Toni itu.

Pada malam perpisahan, ketika Toni bilang akan menyetubuhiku untuk terakhir kalinya, aku meladeninya
sambil bercucuran air mata. Lalu aku melakukannya dengan perasaan cinta. Ya…aku harus mengakuinya bahwa
aku sudah telanjur mencintai Toni. Tapi besok ia harus menceraikanku. Harus meninggalkanku, demi
perjanjiannya dengan Mas Bimo.

Oooh….mengapa aku harus mengalami kisah sepelik ini?

Bagian Kedua

Suka atau tidak suka, aku harus menikah lagi dengan Mas Bimo. Harus rujuk lagi dengan mantan suamiku,
karena aku harus menepati perjanjian dengannya. Selain daripada itu, aku juga menerima rujuk lagi dengan
Mas Bimo demi anak-anakku.

Pada awalnya perkawinan rujuk dengan Mas Bimo tak ada masalah. Syarat-syarat dariku juga dipenuhinya.
Bahwa anak-anakku dititipkan di rumah orang tuaku, karena yang sulung harus mulai masuk TK. Sedangkan di
dekat rumah orang tuaku ada TK yang kualitasnya baik sekali. Kalau kami kangen pada mereka, bisa saja
kedua anakku dibawa ke rumah kami, kapan saja kami mau. Syarat lainnya, aku diperkenankan bekerja, karena
percuma saja aku berjuang untuk mendapatkan S1 kalau tetap menganggur dan cuma berstatus ibu rumah
tangga.

Untungnya nasibku bagus. Aku diterima bekerja sebagai auditor di kantor pusat sebuah perusahaan besar,
yang punya cabang di seluruh ibu kota propinsi di Indonesia.

Sebagai auditor sebuah PT, aku sering melaksanakan perjalanan ke luar kota, untuk memeriksa keuangan di
kantor-kantor cabang yang tersebar di semua ibu kota propinsi. Dalam perjalanan-perjalanan itu aku selalu
ditemani asistenku, seorang cewek bernama Maria.

Buat seorang wanita, tugasku ini lumayan berat. Apalagi kalau tugasku ke luar Jawa. Bisa berhari-hari aku
meninggalkan suami dan anak-anakku. Untungnya Mas Bimo tak pernah cemburu. Lagian ia sangat percaya
padaku. Percaya bahwa aku ini seorang istri yang setia. Setiap aku mau tugas jauh, suamiku cuma berpesan,
“Jaga diri baik-baik ya sayang.”

Tapi pada suatu saat, Maria pindah ke bagian lain, karena sudah menikah. Mungkin suaminya berkeberatan
kalau Maria sering-sering tugas jauh. Asistenku diganti oleh seorang lelaki muda 25 tahunan bernama
Ananto.

Aku tak mau memberitahu suamiku bahwa asistenku diganti oleh cowok, karena takut dipaksa pindah bagian
atau resign sekalian. ceritaSexTerbaru.org Sedangkan aku sudah terlanjur enjoy dengan pekerjaanku sebagai auditor ini. Karena
setiap kali ditugaskan jauh-jauh, apalagi ke luar Jawa, aku dapat penghasilan yang lumayan besar. Karena
tiket pesawat, biaya hotel, uang makan dsb., semuanya ditanggung oleh perusahaan. Belum lagi bonus ini
dan itu. Sehingga waktu pulang tugas aku selalu membawa uang lebih yang cukup banyak (untuk ukuranku).

Dalam soal kecerdasan dan ketelitian, ternyata Ananto lebih baik daripada Maria. Makanya aku senang juga
mendapat asisten yang 8 tahun lebih muda dariku itu. Beberapa kali aku disertai Ananto melaksanakan tugas
mengaudit cabang-cabang di beberapa ibukota propinsi. Tanpa kendala sedikit pun.

Sampai pada suatu hari, dalam pesawat yang sedang menuju Medan, Ananto berkata padaku, “Mbak…kita kan
selalu punya jatah dua kamar di hotel bintang tiga.”

“Iya. Kalau dulu asistenku kan cewek, jadi jatahnya cuma satu kamar,” sahutku.
“Kalau kita pakai satu kamar saja, lalu kita minta kuitansinya dua kamar kan bisa Mbak. Jadi ada
kelebihan dana untuk satu kamar, kan lumayan Mbak.”
“Lho…berarti kita jadi satu kamar dong.”
“Iya. Kan gak apa-apa Mbak. Kalau sekamar kita kan sekalian bisa diskusi sebelum tidur.”

Kupikir-pikir saran Ananto boleh juga. Aku gak mikir masalah duit kelebihan yang bisa untuk jajan. Yang
kupikirkan, aku sering takut-takut juga tidur sendirian di kamar hotel yang jauh dari kotaku.

“Nantilah kita pikirkan lagi,” kataku.

Setibanya di hotel, di Medan, aku berbicara dengan resepsionis. Bisakah dia mengeluarkan kuitansi untuk
pembayaran dua kamar padahal kami mau pakai satu kamar? Ternyata bisa. So, kami pilih hotel ini.

Jujur, saat itu aku tidak berpikir yang aneh-aneh, selain ingin mengikuti saran Ananto (biasa kupanggil
Anto), karena mungkin ia butuh duit lebih untuk beli rokok.

Malamnya, tiada sesuatu yang aneh. Aku tidur nyenyak dan merasa aman karena ada cowok yang kuanggap bisa
melindungiku. Ananto yang tidur di bed lain, juga tampak nyenyak sekali tidurnya. Esok paginya kami
memakai taksi, menuju kantor cabang yang akan diaudit. Di kantor cabang, ternyata banyak sekali yang
harus diaudit, sehingga aku putuskan untuk dilanjutkan keesokan harinya.

Pada malam kedua inilah aku dan Ananto ngobrol di kamar, di atas bed masing-masing.

“Kalau lagi tugas jauh gini, Mbak gak suka kangen sama keluarga?” tanyanya setelah selesai membicarakan
masalah audit tadi siang.

“Ya iyalah. Terutama kangen sama anak-anak. Masih kecil-kecil sih.”
“Sama ayahnya anak-anak gak kangen?”
“Kangen juga. Tapi lebih kangen sama anak-anak.”
“Aku sih belum punya anak. Jadi kangen sama istri doang. Kalau udah kangen berat…kadang-kadang ngabisin
sabun di kamar mandi. Hihihihi.”
“Woooi…ngawur kamu To. Ngabisin sabun dipakai apa? Dipakai ngocok?”
“Hihihi…iya Mbak. Aku sih jujur aja. Soalnya kalau lagi kepengen, susah nahannya.”

Aneh. Darahku jadi tersirap-sirap mendengar pengakuan asistenku yang tujuh tahun lebih muda dariku itu.

“Istrimu kerja juga?” tanyaku berusaha mengalihkan topik pembicaraan, karena jujur aja aku jadi bayangin
yang satu itu.
“Nggak Mbak. Ngurusin anak-anak aja di rumah.”
“Lho…katanya belum punya anak.”
“Memang belum punya. Tapi punya anak tiri dua orang.”
“Ooo…jadi waktu nikah, istrimu udah janda?”
“Iya. Umurnya juga udah tigapuluh tujuh, Mbak.”
“Ohya?”
“Aku suka sama yang lebih tua Mbak. Heheheee…”

Ucapan Ananto itu membuatku membayangkan sesuatu lagi. Maklum aku baru bersih dari menstruasi. Berarti
sepuluh hari aku tak dapat jatah dari suamiku.

“Kenapa suka sama cewek yang lebih tua?” tanyaku.
“Gak tau Mbak…pokoknya kalau sama yang lebih tua, saya cepat terangsang. Sama cewek yang lebih muda sih
kurang daya rangsangnya.”

Gila. Ucapan Ananto membuatku makin membayangkan yang satu itu.

“Wah, gawat dong. Berarti sama aku juga bisa terangsang hebat, karena umurku sudah tigapuluhdua.”
“Sama Mbak sih gak berani lah. Aku kan asisten Mbak. Kecuali…”
“…Kecuali apa?”
“Kecuali kalau…kalau Mbak mau…”
“Emang kalau aku mau, bakal ngapain?”
“Hehehe…gak berani nyebutinnya ah. Takut Mbak ngambek.”

Lalu kami sama-sama terdiam. Tapi aku semakin digoda oleh sesuatu itu.

Kemudian, entah apa yang membuat pikiranku jadi binal. Aku turun dari tempat tidurku, menghampiri tempat
tidur Ananto (sebenarnya ganteng juga asistenku itu). “To,” kataku, “Aku pengen liat kalau kamu ngocok
itu diapain?”

“Ah, Mbak…ada-ada aja…”
“Ayo dong…aku serius nih…aku pengen tau kalau cowok masturbasi itu kayak apa? Ayo dong, To…aku pengen
liat.”

Ananto memandangku dengan sorot ragu-ragu. Tapi tak lama kemudian ia menyembulkan penisnya dari balik
celana pendeknya. Gila ! Batang kemaluan asistenku itu gede banget !

“Ya diginiin aja Mbak…tapi harus pakai pelumas…bisa sabun, bisa cream, bisa juga baby lotion…”

Mungkin libidoku lagi bergolak-golak, sehingga aku tak bisa lagi mengendalikan diri. Mendekatkan tanganku
ke penis panjang gede itu. Lalu memegangnya. Terasa hangat penis asistenku itu.

Ananto diam saja. Cuma sesaat ia menatapku, lalu menatap tanganku yang sedang menggenggam penisnya.
Genggaman yang bergerak ke bawah dan ke atas, disusul dengan tanyaku, “Kalau ngocok dibeginiin kan?”

“Iii…iya Mbak….tapi harus pakai pelumas, biar licin…” sahut Ananto pada saat penisnya terasa semakin
tegang.
“To…sebenarnya aku juga lagi kepengen,” kataku tanpa ragu lagi, “Tapi aku gak mau ML. Kita saling kocok
aja yok. Aku ngocok punyamu, kamu mainin punyaku. Mau?”
“Mau Mbak. Mauuu…” Ananto tampak bersemangat.

Aku pun merebahkan diri di samping asistenku, sambil menurunkan celana dalamku sampai terlepas dari
kakiku. Lalu kusingkapkan dasterku tinggi-tinggi, sehingga kemaluanku yang berjembut agak jarang ini tak
tertutup apa-apa lagi.

“Waaah….kemaluan Mbak indah sekali….sangat merangsang, Mbak,” kata Ananto sambil melepaskan celana
panjang dan celana dalamnya, lalu merangkak di antara kedua pahaku.
“Lho, kok punyamu malah jadi jauh ? Kamu mau ngapain To? Awas…jangan dimasukin !” cetusku takut-takut.
“Mau jilatin punya Mbak sambil ngocok punya saya. Boleh Mbak?” sahut Ananto dengan mulut sudah berada di
dekat kemaluanku.

Baru mendengarnya saja aku sudah terangsang. Karena aku tahu vagina dijilatin itu terkadang lebih enak
daripada ML yang sebenarnya (penetrasi).

“Iya,” sahutku sambil merenggangkan jarak kedua belah pahaku.

Ananto dengan sigap menyibakkan bulu kemaluanku yang menutupi mulut vagina dan clitorisku. Lalu ia
menempelkan mulutnya di vaginaku. Menjulurkan lidahnya dan mulai menjilati labia mayoraku, terkadang agak
masuk ke dalam sampai menyentuh labia minoraku.

Aku pun mulai terkejang-kejang dalam nikmat. Gila, dalam mengoral kemaluanku, Ananto jauh lebih pandai
daripada suamiku ! Terlebih waktu ia mulai menjilati clitorisku. Menyedot-nyedot dan mengelus-eluskan
ujung lidahnya di clitorisku. Oh, ini nikmatr sekali. Membuatku lupa daratan. Membuat nafasku tertahan-
tahan saking nikmatnya.

Tapi sekilas tampak Ananto melakukan semuanya ini sambil memegang dan meremas-remas batang kemaluannya
dengan tangan kiri. Kasihan juga melihatnya, karena seolah-olah hanya aku yang merasakan nikmatnya,
sementara ia harus berjuang sendiri. Maka ketika aku merasa seakan melayang-layang di langit kenikmatan,
aku berusaha untuk mengendalikannya sesaat.

“To…” kataku sambil mengangkat kepala asistenku agar menjauh dari kemaluanku,
“Kepala penismu colek-colekin aja ke kelentitku. Mungkin kamu juga akan ikut merasakan enaknya. Tapi
awas….jangan coba-coba memasukkan ke lubangnya ya.”
“Iya Mbak,” sahut Ananto sambil berlutut di antara sepasang pahaku, kemudian mengikuti saranku.

Moncong penisnya dielus-eluskan ke kelentitku. Ooooh….ini membuatku makin tenggelam di dalam lautan
birahi.

“Agak kuat gesekinnya To…oooh…enak To….” rintihku tanpa canggung-canggung lagi.

Ananto pun mengikuti permintaanku. Moncong penisnya digesek-gesekkan ke kelentitku dengan agak uat.
Membuatku terpejam-pejam dalam nikmat.

Tapi nafsuku semakin menuntut lebih. Membuatku semakin lupa daratan. Sehingga pada satu saat aku berkata
terengah,

“To…masukin aja punyamu…tapi sedikit aja…kepalanya aja ya…awas…jangan dimasukin semuanya.”
“Iya Mbak,” lagi-lagi cuma “iya” yang terlontar dari mulut asistenku yang sebenarnya lumayan ganteng
itu.

Dan Ananto mulai berusaha memasukkan kepala penisnya ke dalam liang kemaluanku. Oooh…mulai masuk dengan
sesaknya, karena penis Ananto memang lebih gede daripada penis suamiku.

Lalu terasa Ananto menggerak-gerakkan penisnya, tapi hanya gerakan-gerakan pendek, mungkin karena takut
kebablasan masuk semuanya.

“Duuuh To…gimana ya? Coba masukin setengahnya To…nanggung nih…” kataku tanpa malu-malu lagi.
“I…iya Mbak…”sahut Ananto sambil mendorong batang kemaluannya lebih dalam lagi…blessssss……
“To…kok dimasukin semuanya?” tanyaku ketika merasa dasar liang vaginaku disundul oleh moncong penis
asistenku.
“I…i…iya maaf Mbak…gi…gimana ya? Susah ngaturnya…jadi ma…masuk semuanya…”
“Ya udah, biarin aja, udah kepalangan masuk semuanya…entot aja semaumu…malah enak kok…” kataku sambil
menarik pinggang Ananto dan kulingkarkan lenganku di pinggangnya itu.

Ananto tak menjawab dengan kata-kata, melainkan dengan gerakan maju mundur penisnya yang sudah telanjur
membenam sekujurnya.

Ananto pun terjerembab ke atas dadaku yang masih berdaster ini. Dan ia mulai benar-benar menyetubuhiku.
Ini untuk pertama kalinya aku disetubuhi lelaki yang bukan suamiku. Dan gilanya, malah lebih enak
daripada disetubuhi suamiku sendiri !

Dan aku yang merasa sudah telanjur seperti ini, lalu ingin sekalian menikmatinya. Maka kusuruh Ananto
melepaskan baju kausnya, sementara aku pun menanggalkan daster dan behaku. Semua itu kami lakukan tanpa
melepaskan penis Ananto dari jepitan liang kewanitaanku.

Kini kami sama-sama bertelanjang bulat, seperti Adam dan Hawa waktu baru diturunkan ke bumi.

Dalam keadaan sudah sama-sama telanjang begini, Ananto mulai leluasa menyetubuhiku. Apalagi setelah aku
membisikinya agar ia melakukan apa pun yang ia inginkan, seperti waktu menggauli istrinya.

Aku pun membisikinya meski nafasku sedang tersengal-sengal, “To…ini pertama kalinya aku di….disetubuhi
o…oleh lelaki yang…yang bukan suamiku.”

“Iya Mbak, aku percaya,” sahutnya,
“karena selama ini Mbak kan gak pernah keliatan ramah kepada siapa pun. Makanya aku juga gak nyangka
bakal mendapat kesempatan ini….”

Aku pun mulai mendekap leher Ananto, lalu mencium bibirnya, sementara ia mulai mengayun penisnya
bermaju-mundur di dalam liang meqiku.

Geseran-geseran penis Ananto membuatku ngoceh tak keruan (seperti biasanya, kalau digauli suamiku juga
begini):

“Aduh To…enjotanmu kok enak banget sih? Tooo…….. duuuh…Toooo….” Lalu aku seperti orang kepedasan…
mendesah-desah tiada henti.

Gila, gak nyangka aku bakal mengalami peristiwa ini. Peristiwa yang tak pernah kurencanakan sebelumnya…
memikirkannya pun tidak.

Saking enaknya genjotan penis Ananto ini, baru belasan menit saja aku mulai merasakan mau mencapai
orgasme. Sehingga aku tergetar-getar dalam nikmat. Lalu terkejang-kejang dalam yang lebih nikmat
lagi….makin lebih nikmat lagi dan settttt….aku merasa seolah melesat ke langit yang tinggi, lalu aku
menjambak rambut Ananto, karena merasa seperti takut jatuh….berbarengan dengan pekik nikmatku,

“Antooooooooooooo….”

Ananto seperti tahu bahwa aku sudah orga. Karena ia mulai mempercepat ayunan batang kemaluannya.

“Mbak…boleh lepasin di dalam?” tanya asistenku sambil memperlambat gerakan penisnya.
“Boleh,” sahutku,
“aku ikut KB kok.”
“Asyik…” kata Ananto sambil mempercepat lagi pompaan batang kemaluannya. Maju,mundur,maju,mundur……dan
akhirnya ia menancapkan penisnya sedalam-dalamnya, sehingga aku tergetar lagi, karena terasa puncak
penisnya menyodok ujung liang kewanitaanku.

Wuih…ini enak sekali. Terlebih ketika kurasakan ada cairan kental hangat yang menyemprot-nyemprot liang
kenikmatanku.

“Uuuu….ughhhhhhhhhhhhh….” Ananto mendengus lalu terkulai di atas perutku.

Setelah penisnya melemas, Ananto mencabutnya dari jepitan liang vaginaku yang sudah banjir ini.

Cepat aku bangkit sambil menutup kemaluanku dengan telapak tangan kiri, karena takut sperma Ananto
membludak ke seprai. Bergegas aku masuk kamar mandi. Di situ aku melihat sperma Ananto bukan cuma
membasahi telapak tangan kiriku, tapi juga meleleh ke pahaku.

Banyak benar air mani asistenku yang disemburkan ke meqiku tadi.

Entah kenapa, tiba-tiba saja aku teringat pada Toni yang pernah menjadi suami selinganku selama sebulan
itu. Dan…ah…rasanya gairahku jadi bangkit lagi. Lalu kubuka pintu kamar mandi, “Toooo….”

“Ya Mbak…?” Ananto bergegas menghampiriku.
“Mandi bareng yuk…biar kamu bisa menyabuni punggungku. Mau kan?”
“Mau Mbak…mau !” kata asistenku dengan sikap bersemangat.

Ananto menelanjangi dirinya lagi tanpa ragu-ragu, karena aku pun masih telanjang.

Kuputar kran shower ke air panas. Shower yang kupegang sudah memancarkan air hangat, kusemprotkan ke
kepalaku, ke dadaku dan bahkan ke kemaluanku. Di sini agak lama aku menyemprotkan air hangat, sampai
terasa menyembur ke dalam lubang kemaluanku.

“Aku sabunin ya Mbak,” tawar Ananto yang sudah memegang botol sabun cair punyaku.
“Iya,” sahutku sambil mengangguk.

Ananto mulai menyabuni punggungku.

Bayangan Toni merajalela lagi di dalam ingatanku. Masalahnya usia Toni sebaya dengan Ananto ini.

Maka aku pun memutar badan, jadi menghadap ke arah Ananto, “Sabunin semuanya aja ya To…kamu kan asistenku
yang baik…” kataku sambil memperhatikan penis asistenku yang tampak terkulai lemas.

“Iya Mbak…ini tugas yang sangat menyenangkan,” kata Ananto sambil menyabuni betisku, lalu pahaku dan
akhirnya kemaluanku.

Tampaknya ia senang sekali menyabuni kemaluanku. Jemarinya trerasa menyelinap-nyelinap ke dalam mulut
meqiku, terkadang juga menyelusup ke dalam liang kenikmatanku. Aku pun tak mau kalah. Kutuangkan sabun
cair ke telapak tangan kiriku, sementara tangan kananku meraih shower. Lalu kusemprotkan air hangat
shower ke penis Ananto yang tampak mulai agak membesar itu. Dan sabun cair di tangan kiriku diusap-
usapkan ke penis itu. Lalu kugenggam penis berlumuran sabun cair itu. Genggaman ini kugerak-gerakkan
seperti tangan pria pada waktu bermasturbasi.

Dalam tempo singkat saja batang kemaluan Ananto sudah tegang dan menunjuk ke depan.

Aku yang sudah dikuasai nafsu ini benar-benar sudah lupa segalanya. Yang aku ingat, aku jadi terangsang
hebat ketika merasakan batang kemaluan yang kugenggam ini sudah tegang sekali. Lalu aku menyandar ke
dinding kamar mandi sambil menarik batang kemaluan Ananto.

Kuletakkan puncak penis asistenku itu tepat di mulut vegyku yang masih licin oleh air sabun ini.
Kutekan-tekankan sedikit ke mulut vegyku sambil memegang leher penis Ananto, lalu kataku, “AYo…dorong
lagi To. Kamu kepengen lagi kan?”

“I…iya Mbak…” terasa moncong penis Ananto mendesak…dan…blessssss….mudah saja melesak masuk ke dalam
lubang kewanitaanku, karena licin sekali oleh air sabun itu.

Tanpa kusuruh lagi, Ananto mulai memompakan penisnya di dalam liang senggamaku. Aku pun memeluk lehernya
erat-erat, agar dadanya merapat ke payudaraku.

“Enak mana sama ngocok, To?” tanyaku.
“Waduh, punya Mbak mah enak banget. Sama punya istriku juga enakan punya Mbak.”
“Masa sih? Tapi emang…ternyata selingkuh itu enak ya?”
“Iya Mbak. Yang penting asal rapi aja. Hhhh…hhhh…hhhh…”

Ananto seperti tak bisa bicara lagi, karena mulai gencar mengenjot liang kewanitaanku.

“Duuuh…ooooh….sam…sambil berdiri gini….enak juga ya To….” celotehkku sambil menempelkan pipiku ke pipi
Ananto.
“Iii…iya Mbak…ini sih lu…luar biasa enaaaaknyaaa….”

Ketika penis Ananto makin garang memompa liang kemaluanku, terdengar bunyi kecrak-kecrok dari dalam
kemaluanku. Crak…crek…crak…crek…crak..crek….

Mungkin keadaan di dalam liang kemaluanku seperti di dalam mesin cuci miniatur…berbusa-busa di sana-sini.
Biar aja, sekalian mencuci liang kenikmatanku. Nanti akan kubilas dengan air hangat kalau senggama ini
sudah selesai.

Dan pada suatu saat, Ananto terlalu bersemangat memompakan batang kemaluannya, sehingga ia terlalu jauh
menariknya…plok…terlepas dari liang meqiku.

Di detik itu aku punya ide untuk ganti posisi. Aku membungkuk dan memegang bak washtafel sambil berkata,

“Nyobain masukin dari belakang To.”

Ananto pun mengerti. Menghadap ke arah pantatku yang sedikit menungging, lalu mencari-cari celah
kemaluanku. Dan blessss….penisnya terasa melesak masuk lagi.

Sambil berpegangan ke tekukan pangkal pahaku, Ananto mulai memompakan penisnya kembali.

Gilanya, pompaan tombak kejantanan Ananto luar biasa enaknya, meski dalam posisi berdiri seperti ini.
Sehingga aku menganggap asistenku itu akan menjadi orang yang sangat dibutuhkan.

Dan setelah Ananto mengguyurkan cairan maninya di dalam lubang surgawiku, sebenarnya aku sudah dibikin
dua kali orgasme olehnya. Maka wajar kalau kemudian aku memeluknya erat-erat. Menciuminya dengan batin
mulai menyayanginya. Dan bisikku,

“Mulai saat ini, kalau kamu mau lagi lakukanlah sepuasmu. Tapi kamu harus bisa merahasiakannya, ya
sayang.”
“Iya Mbak cantik.”
“Satu lagi, kita harus tetap profesional dalam pekerjaan kita. Jadi…pada waktu menghadapi pekerjaan,
lupakan dulu hasrat birahi kita.”
“Iya Mbak.Kita tak boleh mengecewakan pihak yang menggaji kita.”

Lalu kami mandi lagi. Membersihkan sisa-sisa air sabun di tubuh kami, juga lelehan air mani Ananto dari
meqiku.

Selesai mandi, untuk pertama kalinya kuizinkan Ananto tidur bersamaku. Bahkan kami tertidur sambil
berpelukan dengan suasana yang sudah berubah.

Tapi sekitar jam 5 pagi, aku terbangun karena ada sesuatu yang membuat darahku berdesir-desir lagi. Apa
yang sedang terjadi ini? Oh, rupanya Ananto sedang menjilati kemaluanku ! Membuat diriku berdesir-desir
lagi…deisr-desir yang mengalir dari ujung kaki sampai ke ubun-ubunku. Tentu saja aku tak menolak
“kebaikan” asistenku itu. Bahkan ketika terasa lubang kewanitaanku diterobos oleh penis Ananto yang sudah
keras lagi itu, kusambut dengan dekapan hangat di leher asistenku itu.

Tiada kata-kata yang terlontar dari mulut kami. Cuma alat vital kami yang berbicara. Saling gesek dan
saling gesek terus…..

Dinginnya pagi tak lagi kami rasakan. Bahkan terasa tubuh kami mulai berkeringat. Oh asistenku yang
ganteng, tak kusangka semuanya ini akan terjadi di antara kita berdua.

Sayup-sayup kudengar kokok ayam jantan mulai bersahutan di luar sana.

Dan aku yakin, ini bukan akhir dari kisahku bersama Ananto. Aku yakin, ini adalah awal dari kisahku
bersama asistenku itu.-,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,

Related posts