Tidur Bareng |

Pak Rochim dan ibu
sangat baik kepadaku. Saat itu aku mulai numpang tinggal dan hidup di
rumah Pak Rochim semenjak kelas satu SMP, dan aku tidur di sebuah kamar
kecil dengan pembantunya, seorang perempuan berusia sekitar 21 tahun.
Namanya Tina, gadis Bali berkulit hitam manis. Dia sudah lama tinggal
dengan Pak Rochim. Orangnya tidaklah cantik, tapi tubuhnya bagus. Aku
memanggilnya Kak Tina. Dia baik dan suka membantuku. Ternyata dia
pernah bersekolah sampai tamat SMP. Kerjanya membersihkan dan
membereskan rumah Pak Rochim yang tidak terlalu besar, mencuci pakaian,
dan memasak. Hanya itu. Sehingga waktunya cukup banyak untuk membaca.
Dia suka membaca. Terkadang novel-novelnya Freddy S, Abdullah Harahap,
dan Motinggo Busye. Juga Nick Carter.
Aku tidak diijinkannya
membaca novel-novel stensilan itu. Dia hanya memberikan Kho Ping Hoo
untukku. Aku tak protes. Mulai saat itu aku menyukai Pendekar Mata
Keranjang dan sejenisnya. Setiap siang sepulang sekolah, sambil
mengembalakan tiga ekor sapi milik Pak Rochim, aku membaca Kho Ping
Hoo. Sesekali aku ingin juga membaca novel lainnya, tapi Kak Tina tak
pernah mengijinkan aku menyentuh apa lagi membaca novel-novel itu. Rasa
penasaranku makin bertambah.
Suatu siang sepulang sekolah, rumah
tampak sepi. Kak Tina tidak ada di rumah. Sedang disuruh mengobras
kain, kata Bu Rochim. Akupun makan. Setelah makan, aku beristirahat di
dalam kamar. Saat mataku melihat lemari Kak Tina yang terbuka (biasanya
selalu dikunci), aku tergerak untuk mencari novel yang
disembunyikannya. Beberapa buah novel ada di situ. Kuambil Nick Carter.
Kubaca bagian depannya, aku memutuskan untuk tidak tertarik membacanya.
Kubolak-balik halamannya, ada bagian yang ditandai. Aku tergerak untuk
membacanya.
Degh! Jantungku berdebar kencang. Membaca halaman
itu. Tertulis di sana cerita tentang Nick Carter yang sedang
menyetubuhi seorang wanita Rusia (sayangnya aku lupa judulnya). Aku
terus membacanya, jakunku yang mulai tumbuh bergerak-gerak menelan
ludah. Aku yang masih bocah terus membacanya. Muka dan kepalaku
memanas. Tanpa sadar tanganku menggosok bagian kelaminku. Mengelus-elus
si kecil yang telah bangun. Aku mulai merasakan kenikmatan.
Tiba-tiba terdengar suara sepeda yang disandarkan ke dinding.
Kak
Tina! Aku segera menyudahi keasyikanku. Kumasukkan kembali novel-novel
itu. Aku tertarik untuk membacanya lagi nanti. Pantas, Kak Tina tak
mengijinkanku membacanya, pikirku. Jahat, masak cuma dia yang boleh
tahu hal-hal semacam itu. Akupun keluar kamar, menyongsong dirinya. Kak
Tina tampak kepanasan. Keringatnya mengucur, bau badannya tercium
begitu menyengat. Bau yang membuat kejantananku langsung bertambah
kencang. photomemek.com Bau tubuh Kak Tina memang aneh, agak-agak sangit. Tapi entah
kenapa, sangat mengundang gairah lelakiku saat itu. Besok-besoknya aku
tak pernah memiliki kesempatan untuk menggerayangi lemarinya. Kak Tina
tak pernah lupa mengunci lemarinya. Aku tak punya keberanian untuk
membongkar paksa.
Suatu malam, setelah aku kelas tiga, setelah
hampir dua tahun di rumah Pak Rochim, aku sedang tidur dengan Kak Tina
di sebelahku. Aku saat itu berusia hampir 16 tahun. Saat tidur aku
merasa ingin pipis. Aku terbangun, tak tahunya tanganku ada di atas
dada Kak Tina, sedang tangannya menimpa tanganku itu. Gadis itu sedang
tidur dengan nyenyaknya. Pasti dia tak sadar kalau tanganku tanpa
sengaja telah terlempar ke tubuhnya. Dapat kurasakan kehangatan dada
perawannya. Jantungku berdebar-debar. Kejantananku yang semakin matang
terasa mengeras, apalagi karena aku memang ingin pipis.
Ingat
kalau aku ingin pipis, maka aku dengan perlahan mengangkat tangan Kak
Tina dan menarik tanganku. Saat itulah kurasakan puting susu Kak Tina
mengelus punggung tanganku. Ternyata Kak Tina tidak mengenakan bra.
Seeerrr, darahku semakin berdesir. Segera saja aku berlalu ke kamar
mandi untuk pipis.
Waktu kembali ke kamar, posisi tidur Kak Tina
telah berubah. Kakinya terbuka lebar, sedang kain yang dikenakannya
tersingkap. Pahanya, yang walaupun sedikit gelap namun mulus itu
terpampang jelas di mataku. Samar-samar, dari sinar lampu templok dapat
kulihat pangkal pahanya yang tertutup celana dalam putih. Samar-samar
kuamati ada sekumpulan rambut di sana. Aku baru kali ini melihat hal
seperti ini. Jantungku berdebar kencang. Lama kupandangi selangkangan
Kak Tina sampai dia mengubah posisinya. Aku naik kembali ke tempat
tidur.
Tapi aku sudah telanjur tidak dapat tidur. Bolak-balik
saja aku di samping Kak Tina. Memandanginya. Dadanya yang membusung
turun naik ketika dia menarik nafas. Sepasang putingnya melesak di
balik daster tipisnya. Entah ide dari mana, pelan-pelan tanganku
menyentuh dadanya. Mataku kupejamkan, berpura-pura seperti orang tidur.
Ternyata Kak Tina tidak terpengaruh. Dia tetap tenang. Perlahan kutekan
dadanya, tetap tidak ada reaksi. Aku semakin berani. Kusentuh lagi
dadanya yang satu lagi. Benda lembut sebesar apel itu terasa lebih
hangat.
Kejantananku menegang. Kuingat cerita Nick Carter yang
kubaca beberapa waktu yang lalu. aah, aku semakin deg-degkan. Suatu
sensasi yang aneh. Antara rasa takut akan ketahuan dan kenikmatan
meletakkan tanganku di atas dada seorang dara. Inilah pertama kali aku
menyentuh dada seorang gadis, sepanjang umurku. Aku tetap memegang
dadanya, sampai aku tertidur dengan damai. Dalam tidur aku bermimpi.
Aku dan Kak Tina berpelukan telanjang bulat di atas ranjang kami.
“Bangun!
Sapto! Sudah pagi”, Guncangan di bahuku membuat aku terbangun.Memang
aku harus bangun pagi. Mengeluarkan sapi dan menambatkannya di kebun
belakang rumah, lalu kemudian mengisi bak mandi. Karena selalu mengisi
bak mandi, badanku jadi berisi.
Kak Tina selalu membangunkan aku setelah dia memasak air. Aku memicingkan mata, menguceknya dengan tanganku.
“Huuuaah” Aku menguap panjang, mengeluarkan bau naga.
“Bau, tahu?! Sana urus sapi”, Kak Tina menepuk bahuku sebelum dia bilang, “Astaga…, kamu ngompol ya, Sapto?”.
Aku
kaget! nggak mungkin, nggak mungkin aku ngompol! Aku memegang celana
pendekku di daerah depan. Astaga, memang basah! Aku ngompol? Aku tak
percaya. Tapi memang celanaku basah sekali. Hanya saja, rasanya
lengket. putri77.com Baunyapun beda, seperti bau akasia.
“Udah besar ngompol. Bikin malu saja”, Kata Kak Tina. Aku bersemu merah.
“Atau…”, Kak Tina memandangku, lalu tersenyum lebar, “Kamu mimpi basah ya, Sapto?”.
“Mimpi basah?”.
“Iya.
Tanda kamu sudah dewasa”. Dengan tangannya Kak Tina merasakan kain
celanaku. Aku agak risih saat tangannya menyentuh kejantananku.
“Benar. Ini memang mani” Kata Kak Tina. Lalu hidungnya mencium tangannya, aku agak heran.
“Mimpi apa kamu, Sapto?”.
“Mimpi…” Aku ingat mimpiku, tapi lalu ingat bahwa aku mimpi dengannya, “Gak mimpi apa-apa”.
“Ya sudah. Yang pasti ini menandakan kamu sudah besar. Sudah bisa dapat anak”.
“Emangnya..?” tanyaku heran.
“Sudahlah, Nanti juga kamu tahu sendiri”.
Aku berlalu menuju kamar mandi, membersihkan diri. Saat aku kembali ke kamar, Kak Tina menggodaku.
“Mulai sekarang, hati-hati bergaul” Katanya. Aku tersipu malu.
“Dan, kamu tak boleh lagi tidur denganku”, Katanya lagi.
“Iya Kak”, Jawabku pasrah.
“Cuma bercanda. Masih boleh kok. Kak Tina percaya. Kamu masih kecil dan polos”, Katanya.
Siang
itu aku pulang cepat dari sekolah, karena guru sedang rapat. Aku segera
pulang. Sesampainya di rumah keadaan memang sangat sepi. Aku baru
ingat, kalau Bu Rochim ada acara di Dinas Pertanian. Anak-anaknya
dibawa semua. Aku menuju kamar. Saat menyimpan sepatu di samping kamar,
aku mendengar suara perempuan mengerang, mendesah-desah, yang keluar
dari dalam kamarku. Aku mengintip dari kaca nako.
Ya ampun! Yang
kulihat di sana sungguh luar biasa, dan tak akan pernah kulupakan. Di
atas tempat tidur, Kak Tina sedang mengenakan baju kaos warna jingga.
Hanya itu saja. Tanpa apa-apa. Baju kaos itupun tersingkap bagian
atasnya, menampakkan dadanya yang kemarin malam aku sentuh. Langsung
saja kemaluanku membesar, meradang di balik celana seragamku. Aku
melihat Kak Tina memegang novel dengan tangan kanannya, sedang tangan
kirinya menggosok-gosok bagian rahasia tubuhnya. Dapat kulihat
bulu-bulu yang tumbuh lebat di sana. Mata Kak Tina mendelik-delik,
nafasnya terengah-engah. Aku melihat judul novel yang dibacanya. Sampai
saat ini masih kuingat. Judulnya Marisa, pengarangnya Freddy S.
Kak
Tina masih terus menggosok kemaluannya. Saat tangannya beralih meremas
payudaranya, terbukalah kewanitaannya. Saat itulah aku pertama kali
melihat vagina wanita dewasa. Seeerrr, kejantananku sakit sekali
rasanya. Reflek kuelus sendiri kemaluanku. Rasanya nikmat, nikmat
sekali. Suatu rasa yang tak pernah aku rasakan sebelumnya.
Aku
masih terus mengintip, sampai akhirnya Kak Tina tampak terlonjak-lonjak
dari tempat tidur. Erangannya berubah menjadi jerit tertahan. Aku
semakin takjub. Saat gerakan liarnya selesai, aku merasakan sesuatu
keluar dari kemaluanku. oooh, cairan berwarna putih kental keluar dari
kepala kejantananku. Banyak sekali, mengotori celanaku. Aku
menyumpah-nyumpah. Saat itu sikuku menyenggol rak sepatu. Sepatu-sepatu
terjatuh menimbulkan suara berisik. Tempat tidurku terdengar berderak.
Kak Tina pasti sedang merapikan dirinya. Aku terdiam terpaku.
“Siapa itu?”, Tak lama kemudian terdengar suaranya.
“Aku, Kak.., Aku”, Jawabku.
“Kau sudah pulang, Sapto?”.
“Ya, Kak…, Guru-guru rapat”
Kak Tina keluar dari kamar. Telah memakai kain sarung. Aku menutup bagian depan celanaku yang basah dengan tas sekolahku.
“Barusan ya?”.
“Iya Kak”.
Tampak raut wajah Kak Tina berubah. Kelihatannya dia lega aku tak memergokinya.
“Ya sudah, ganti pakaian dan makan…, Aku siapkan dulu”
Aku
masuk kamar, lalu mengambil celanaku. Sedang Kak Tina ke dapur. Kulihat
novel itu ada di atas meja. Kak Tina lupa menyembunyikannya. Setelah
aku mengganti celana, aku meraih novel itu. Membolak-baliknya. Saat
kudengar langkah Kak Tina, segera kuletakkan di tempatnya. Celana
seragamku aku rendam di kamar mandi.
Aku menuju dapur, lalu
makan bersama Kak Tina. Setelah makan, seperti biasa aku dan Kak Tina
menuju kamar kami. Kak Tina mengambil novelnya, hendak menyimpannya di
dalam lemari.
“Kak, Saya bisa pinjam nggak?”.
“Ini? Ini bacaan orang besar”.
“Tapi kan saya ingin tahu. Kelihatannya bagus. Saya belum pernah Kak Tina ijinkan membacanya”.
Kak Tina menatapku. Lalu berkata, “Baiklah. Kita baca sama-sama”.
Aku
nyaris tak percaya. Kamipun duduk di pinggir tempat tidur. Mulai
membaca.Ceritanya mengenai seorang wanita bernama Marisa, yang liar dan
haus seks. Ceritanya benar-benar vulgar. Kak Tina nafasnya tak teratur
saat membaca bagian yang menceritakan permainan cinta Marisa dengan
beberapa laki-laki. Aku memandangnya. Mukanya yang sedikit hitam
bertambah gelap. Nafsunya kurasa.
“Sapto. Sulit ya membacanya?”
Memang kami duduk berdampingan, dengan buku dipegang Kak Tina.
“Ya”
“Kalau begitu, duduklah di pangkuanku”
Aku
kaget, tapi tanpa berkomentar aku lalu duduk di atas pahanya. Badanku
belumlah terlalu besar. Beratkupun saat itu belum sampai 40 kilo. Walau
sedikit kesulitan, Kak Tina terus membaca. Aku? Otakku sudah tak mampu
lagi membaca. Pikiranku mendadak kosong, ketika punggungku menyentuh
dadanya. Dapat kurasakan kehangatan yang dihantarkannya.
Kak
Tinapun kurasakan menggosokkan tubuhnya ke tubuhku, saat halamannya
sudah sampai ke bagian seru. Aku menikmati saja. Kejantananku meronta
di balik celanaku, yang saat itu belum terbiasa memakai underwear.
Tangan Kak Tina yang kanan mencengkeram pahaku. Terkadang mengelusnya,
terkadang mengusap sampai ke pangkal pahaku. Aku membiarkan saja.
Kurasakan detakan jantung Kak Tina kencang, seirama dengan detak
jantungku.
“Berdiri sebentar, Sapto”. Aku pun berdiri. Kak Tina membuka lebar pahanya.
“Capek, Kamu makin lama tambah berat. Duduk di sini saja”. Dia menunjuk tepi tempat tidur, di antara pahanya yang terkangkang.
Kami
terus membaca. Kali ini sensasi yang kurasakan tidak hanya dada Kak
Tina yang menekan punggungku, juga sebentuk gundukan hangat di pangkal
pahanya menyentuh pantatku. Otakku terbakar! Tangan Kak Tinapun tetap
meraba pahaku. Dengan ragu-ragu, kuletakkan pula kedua tanganku di
pahanya. Dia tidak melarang. Aku coba mengusapnya, seiring dengan
usapannya di pahaku. Dia tidak melarang. Naluriku menyuruhku untuk
menekan punggungku ke dadanya. Dia tak melarang. Malah tangannya mulai
menyentuh kejantananku, memegang batangnya. Aku menahan nafas.
Tangan
kak Tina tetap mengelus dan meremas kejantananku dari balik celana.
Tanganku pun bereaksi lebih berani, meremas pahanya yang kiri dan
kanan. Tekanan dada Kak Tina, beradu dengan tekanan punggungku. Saat
ini aku merasakan puber yang sebenarnya.Saat tangan Kak Tina mencoba
meraih ritsluiting celanaku, terdengar suara motor bebek memasuki
halaman rumah. Bu Rochim pulang.
Serentak kami berdiri. Berpandangan. Aku salah tingkah. Kak Tina merapikan bajunya.
“Sana, Urus sapi”, Usirnya kepadaku.
Aku
pun menurut. Waktu mengambil rumput sapi aku memikirkan semua yang
terjadi, segalanya begitu fantastis. Pengalaman yang tak pernah kudapat
sebelumnya. Aku mengharapkan segalanya akan terulang kembali. Tapi Kak
Tina tak pernah mengajakku membaca bersama lagi. Aku tak berani
bertanya kepadanya. Malu.
Namun pengalamanku hari itu dengan Kak
Tina membuat aku tambah penasaran mengenai seks. Aku ketagihan.
Malam-malam, kalau Kak Tina tidur, aku menjelajahi tubuhnya. Dan
untungnya, Kak Tina itu kalau tidur seperti orang pingsan. Sulit
sadarnya. Jadi aku bisa bebas menyentuh dada dan kewanitaannya.
Walaupun masih terhalang oleh pakaiannya. Tapi aku cukup puas.
Sekali
waktu, dengan berpura mengigau, aku merangkak di atas tubuhnya.
Hati-hati sekali aku tiarap di atasnya. Mukaku tepat di antara bukit
kembarnya, sedang kejantananku tepat di kewanitaannya. Aku menikmati
saat itu. Sensasi yang kurasakan bertambah dengan rasa takut ketahuan.
Kejantananku menekan kemaluannya, tergadang kugosok-gosokkan. Kak Tina
tetap tak sadar. Setelah belasan menit melakukan itu, kejantananku
menyemburkan spermaku. Membasahi celanaku, juga sedikit membekas di
daster Kak Tina.
Paginya aku takut-takut, kalau Kak Tina tahu
ada sisa sperma di dasternya. Untung sisanya telah mengering. Sejak
malam itu, setiap malam aku melakukan hal itu. Terkadang kupikir Kak
Tina tahu, tapi dia membiarkan saja. Masalahnya aku pernah merasa
bagian bawah tubuhnya berdenyut-denyut saat kutimpa, dan tangannya
merangkulku, dan detak jantungnya keras dan cepat. Karena dia tidak
pernah menyinggung hal itu, aku biarkan saja.
Sampai satu hari
kudapati Kak Tina muntah-muntah di kamar mandi. Bu Rochim mencemaskan
keadaannya. Dengan segera Bu Rochim membawanya ke dokter. Kabar yang
dibawanya dari dokter membuat seisi rumah tersentak. Kak Tina hamil dua
bulan. Bukan, bukan aku yang melakukannya. Mana bisa. Kami tak pernah
bersetubuh. Lalu siapa? Pak Rochim? Bukan, beliau orang baik (sampai
sekarang aku selalu mengingatnya, ayah angkatku itu). Jadi siapa?
Ternyata
yang melakukannya pacar Kak Tina, seorang tukang becak yang sering
mengantarnya kalau pergi pasar. Rupanya, kalau Pak Rochim bekerja dan
Bu Rochim ada acara Dharma Wanita, si Otong itu selalu datang.
Dan
akhirnya Kak Tina pun menikah, lalu berhenti kerja. Tinggallah aku
sendiri. Pak Rochim tak pernah mengambil pembantu lagi. Tiada lagi
teman tidurku. Hanya aku dapat warisan dari Kak Tina. Apalagi kalau
novel-novel erotiknya.,,,,,,,,,,,,,,,,,,,

TAMAT

Related posts