Menikmati Genjotan Wanita Cantik

 

Tante Ningrum berjalan didepan saya. Menaiki tangga hingga lantai dua. Saya cukup puas menikmati irama pinggulnya yang saya kira agak dibuat-buat. Saat menghadap ke arah terang, siluet tubuhnya jelas membayang. Seakan telanjang. Kami masuk ke rumahnya. Tante Ningrum menggeletakkan jemuran di sudut kamarnya

Saya rebahkan diri di sofanya. Hmm, lumayan nyaman. Tante Ningrum belum mempunyai anak. Yang saya tahu, suaminya, Om yang tak saya tahu namanya itu hanya sekali-kali pulang. Dengar-dengar pekerjaanya sebagai pelaut. Haha, pelaut. Di mana mendarat, di situ membuang jangkar. Sinis sekali saya.

“Om belum pulang, Tante?” tanyaku basa-basi sambil menerima teh hangat.

“Belum, nggak tentu pulangnya. Biasanya sih, hari Minggu. Tapi hari Minggu kemarin nggak pulang juga”

“Tante nggak kemana-mana?”

“Mau kemana, paling cuma di rumah saja. Kalau ada Om baru pergi-pergi”

“Eh, kamu nggak ada keperluan lain kan?”

“Nggak, Tante,” jawabku. Mau apa saya di rumah, sendirian, di tengah hujan yang semakin lebat begini.

“Temenin Tante ya. Ngobrol”

Menikmati Genjotan Wanita Cantik – Kami pun terlibat dalam obrolan yang biasa saja. Sekedar ingin tahu kehidupan masing-masing. Dari ucapannya, saya tahu bahwa suaminya yang jarang pulang bernama Om Agus. Yang cukup membuat darah saya berdesir agak cepat adalah daster itu. Seakan saya bisa melihat dua titik di dadanya, yang timbul tenggelam ketika kami bercengkrama. Tangan Tante Ningrum cukup atraktif. Entah sengaja atau tidak sering menyentuh tangan saya, atau mampir di paha saya. Makin lama duduknya pun semakin dekat. Hingga…

“Wisnu, mau nonton film nggak? Tante punya film bagus nih”

Wah untunglah. Rumah saya tidak mempunyai vcd player. Tante Ningrum menyalakan TV lalu memasang film. Dan, astaga ternyata dia benar tidak memakai BH dan celana dalam. Saya bisa melihatnya jelas karena dia cukup lama berdiri menyamping, cahaya TV membuat gaun tidurnya menjadi selaput transparan. Bentuk payudara beserta putingnya beserta rambut di pangkal paha. Saya lebih ternganga lagi karena film itu XXX. Kembali Tante Ningrum duduk di samping saya, malahan lebih dekat lagi. Tangannya mengusap-usap lengan saya dengan lembut.

“Filmnya bagus ya?” Bisiknya pelan.

Menikmati Genjotan Wanita Cantik – Namun terdengar di telinga saya bagaikan rayuan. Saya tak mampu menjawab karena bibir bawah saya menahan ekstasi yang kuat. Entah apa yang harus saya lakukan kini. Mata saya tak lepas dari wanita yang merintih di film itu, yang sudah distel suaranya pelan. Tante Ningrum menggenggam pergelangan tangan saya. Dan, astaga… dibawanya tangan saya ke payudaranya. Didiktenya tangan ini ke daerah yang tak pernah dirasakan sebelumnya. Begitu pula tangan kiri saya. Kini masing-masing telapak tangan itu memegang rata masing-masing pasangannya, payudara. Pandangan saya masih ke arah TV. Saya tak berani menatap wajah Tante Ningrum. Tak pernah saya impikan hal ini terjadi. Sementara di TV desahan si gadis yang menghadapi dua batang penis makin membuat hot suasana.

“Wisnu, hadap sini dong,” ujarnya manja.

Saya hadapkan wajah saya. Saya lihat tatapan pengharapan di sana. Wajah Tante Ningrum cukup cantik, dengan kulit putih dan senyuman manis yang menghiasinya. Saya masih memegang payudara itu, hanya memegang dengan daster yang melapisinya. Ah, tak terasa daster itu. Hanya payudara besar ini fokus pikiran saya. Tangan saya masih canggung, sementara ada sesuatu yang mulai menggeliat di bawah sana.

Tiba-tiba dia menghentikan saya, dengan cara yang sempurna. Tangannya merengkuh saya dalam pelukan, sementara bibirnya mencium lembut. Payudaranya menghimpit dada saya, membuat dada saya berdetak hingga saya merasa bisa mendengarnya. Ciumannya nikmat, berbeda sekali sekali dengan apa yang ada di TV. Seakan ingin mengaliri dengan hangat jiwanya. Kami berciuman lama sekali, tak terasa tangan saya ikut mendekapnya makin erat. Saya lepaskan dekapan saya untuk mulai mengontrol diri kembali. Berakhirlah sesi ciuman itu.

“Kenapa Wisnu? Kamu marah ya?” tanyanya pelan.

Tapi sialan, suara-suara di TV itu kembali mengacaukan saya. Melumpuhkan saya lagi dalam birahi.

“Maafin Tante ya? Tante…” Wajah itu mengeluarkan prana iba untuk dikasihi.

Dia kembali mencium saya, cukup hangat. Namun tak sehangat tadi saya rasa. Saya pun tak mengharap ciuman kasih sayang, karena dari saya juga tinggal nafsu. Ciuman-ciuman itu pindah ke leher dan telinga. Ah, tak pernah saya bayangkan bahwa daerah ini lebih membuat saya bergidik. Saya pun menirunya. Kami saling menciumi leher, bahkan Tante Ningrum sempat mencium keras.

“Aduh, Tante…”

Dia lalu tersenyum dan berdiri. Perlahan dia melepas daster itu, mulai dari tangannya. Satu demi satu tangan daster itu terlepas. Daster melorot, tertahan sebentar di bulatan payudaranya yang besar. Dia menarik ke bawah lagi daster itu. Terlihat payudara, tanpa BH. Putih, bulat, besar, dengan puting susu berwarna merah muda. Mulut saya menganga kagum seakan ingin memakannya. Saya menelan ludah.

Diturunkannya lagi. Saya menikmati satu persatu sajian pemandangan itu. Perutnya putih dengan pinggang yang ramping. Pusarnya menjadi penghias di sana. Daster itu tertahan di pinggangnya. Oh, pantatnya menahan. Saya semakin berdebar, ingin mempercepat proses itu, saya ingin segera melihat kemaluannya. Diturunkan lagi, dan ah… vagina itu muncul juga. Dihiasi rambut berbentuk segitiga yang tak begitu lebat. Bibir vaginanya merah segar, sedikit basah. Untuk pertama kalinya saya melihat wanita bugil. Dengan senyumnya, bangga membuat saya terkagum-kagum.

“Sekarang, kamu juga buka ya?” perintahnya manja.

Saya membuka tshirt saya. Tante Ningrum membuka celana saya, Lepas jins saya, tapi Tante Ningrum tak segera membukanya. Dia jongkok lalu menjilati penis saya dari luar celana dalam. Tampak noda basah sperma yang makin ditambah oleh air ludah. Penis itu makin membesar dalam celana dalam, rasanya tak enak kerena tertahan. Segera saya buka dan… hup keluarlah batang kemaluan diikuti dua bolanya. Tante Ningrum mengecupnya, si penis tampak membesar. Semakin tegaknya penis diikuti dengan jilatan-jilatan lidah. Uhh, enak sekali.

Kini gantian tangannya yang bekerja. Pertama dirabanya semua bagian penis, lalu mulai mengocoknya. Setelah kira-kira telah utuh bentuknya, tegak dan besar, dimasukkannya ke dalam mulut. Tante Ningrum memandang ke atas, wajahnya berseri-seri.

“Terus Tante…”

Lidah Tante Ningrum menjilat-jilat, kadang menggelitik penis saya. Lalu mulai memaju mundurkan mulutnya, seakan sebuah vagina menyetubuhi penis. Ini hebat sekali. Sekitar 15 menit permainan itu berlangsung, hingga…

“Tante, saya mau ke-luar…” kata saya terengah-engah.

Tante Ningrum malah mempercepat kocokan mulutnya. Saya ikut memegang kepalanya. Dan keluarlah ia. Saya merasa ada 5 semprotan kencang. Tante Ningrum tidak melepasnya, ia menelannya. Bahkan terus mengocok hingga habis spermanya. Lega rasanya tapi lemas badan saya. Tante Ningrum berdiri, kemudian kami berciuman lagi.

“Sekarang gantian ya…”

Kini saya menghadapi payudara siap saji. Pertama saya raba-raba dengan kedua tangan saya. Remasan itu saya buat berirama. Lalu saya mulai berkonsentrasi pada puting susu. Saya tarik-tarik hingga payudaranya terbawa dan saya lepaskan. Hmm, bagaimana rasanya ya? Saya mulai menjilatinya. Enak… Jilatan saya pada satu payudara sementara tangan yang lain meremas satunya. Ketika saya hisap-hisap putingnya, terasa makin mancung, mengeras, dan tebal puting itu. Saya lakukan pula pada payudara satunya. Oh, ternyata jika wanita terangsang, yang ereksi adalah puting susunya. Kira-kira 5 menit saya melakukannya dengan nikmat.

Kemudian jilatan saya turun, hingga vaginanya. Saya coba dengan jilatan-jilatan. Saya sibakkan lagi rambut kemaluannya agar jilatan lebih sempurna. Ada seperti daging kecil yang menyembul. Yang saya tahu, itu adalah klitoris. Saya hisap seperti menghisap puting susu, eh Tante Ningrum merintih.

“Hmm, Wisnu, jangan dihisap. Geli. Tante nggak kuat”

Dan Tente Ningrum benar-benar lunglai. Tubuhnya rebah ke sofa. Dia terlentang dengan paha mengangkang memperlihatkan vagina terbuka dan payudara yang berputing tegak. Saya lanjutkan lagi kegiatan ini. Makin lama kemaluannya makin basah. Jilatan dan hisapan saya makin bersemangat, sementara disana Tante meremas-remas payudaranya sendiri menahan geli.

Tiba-tiba pahanya mendekap kepala saya dan, serr… seperti ada aliran lendir dari vaginanya. Otot liang itu berkontraksi. Inikah orgasme? Hebat sekali, dan saya melihatnya dari dekat. Tak saya sia-siakan lendir yang mengalir, saya hisap dan saya telan. Rasanya lebih enak dari sperma. Tubuh Tante Ningrum yang bergoyang-goyang akhirnya tenang kembali. Jepitan pahanya mulai melemah namun penis saya mulai ereksi lagi. Saya cium mesra vaginanya seperti saya mencium bibirnya. Tante Ningrum tersenyum. Bibirnya berkata “Terima kasih” namun tak mengeluarkan suara.

Gambar di film itu merangsang kami. Wanita berpayudara besar terlentang diatas meja kantor. Diatasnya laki-laki dengan penis panjang dan besar menyetubuhi payudaranya. Tangan si wanita menekan payudaranya sendiri agar merapat, dan penis itu melewati celahnya. Saya pikir pasti asyik sekali. Saya menjilati dulu payudara Tante Ningrum, agar basah dan lengket. Tak lupa dengan hisapan-hisapan di putingnya. Setelah merasa cukup, saya duduk di muka payudara itu. Tante Ningrum merapatkan celah payudaranya. Dia tersenyum senang.

Saya mulai dengan pelan memasuki celah payudara, seakan itu adalah liang vagina. Uff, sensasinya luar biasa. Saya mulai memaju mundurkan penis dengan irama. Ujung penis saya terlihat saat saya maju. Kalau klimaks, pasti spermanya sampai ke wajah Tante. Tangan saya ikut memegang payudara untuk menguatkan hujaman penis. Kadang saya menarik-narik puting susu. Saya mencium bibirnya, mengangkat paha di lehernya, kemudian menyerahkan lagi penis saya. Dihisap dan jilat lagi, seperti tak puas saja. Posisi saya duduk tak enak. Saya tak bisa duduk karena akan menekan lehernya, tangan sayapun tak bisa memaju mundurkan kepalanya. Oh, ada sandaran tangan. Empuk lagi. Apalagi kalau bukan payudara. Sambil saya meremas-remasnya, penis seperti diremas-remas juga.

Tante Ningrum mengeluarkan kemaluan saya sebentar, mengajak posisi 69. Hm, saya pikir boleh juga. Maka saya berganti posisi lagi. Tubuh saya menghadap Tante Ningrum, tapi saling berlawanan. Penis saya di mulutnya, vaginanya di mulut saya. Sampai beberapa saat kami melakukan itu. Saya tak tahu apakah Tante mendapat orgasme lagi, tapi dia sempat diam mengulum penis saya, pahanya menekan rapat kepala saya, tapi tak ada cairan yang keluar.

“Wisnu, berhenti dulu deh” serunya.

Padahal saya sedang asyik dengan posisi ini. Tante Ningrum berdiri menuju ke dapur. Rupanya dia minum air dingin. Tante Ningrum datang membawa dua gelas air es dan menyodorkan dua tablet yang saya duga obat kuat. Kami meminumnya satu-satu. Tante memperhatikan saya lalu melihat film itu.

“Kita bercumbu beneran, yuk,” ajaknya.

“Di bathtub yuk.”

Dia memegang kemaluan saya seperti memegang tangan saya, untuk mengajak dengan menggandeng penis itu. Kami ke kamar mandinya. Bathtub-nya cukup besar, Kami mulai lagi. Di bawah shower itu berpelukan sambil meraba dan menyabuni. Nikmat sekali menyabuni payudaranya, senikmat disabuni penis saya. Tak ada yang terlewatkan, termasuk vagina dan anus. Ketika air mulai penuh, kami berendam. Airnya tak diberi busa. Nyaman sekali. Lalu kami mulai saling merangsang, meninggikan tensi kembali. Tante Ningrum mengocok penis saya dalam air, sementara saya meraba-raba vaginanya.

Tak berapa lama dia duduk di pinggiran bathtub. Kelihatannya dia ingin vaginanya dijilat. Saya merangkak menjilatinya. Cairannya mulai keluar lagi.

“Pakai tangan juga dong,” pintanya lanjut.

Saya menuruti saja. Saya kocok dengan telunjuk kanan saya. Saya coba telunjuk dan jari tengah, semakin asyik. Tangan kiri saya mengusap klitorisnya. Tante memejamkan matanya menahan nikmat. Sebelum berlanjut lebih jauh, Tante menghentikan. Dia membalik badannya menjadi menungging dan membuka pantatnya. Ternyata dari tadi saya belum mengeksplorasi daerah anus. Saya pun mencobanya. Saya jilat anusnya, reaksi Tante mendukung. Saya jilat-jilat lagi, dari anus hingga vagina. Lalu saya coba masukkan dua jari saya lagi ke vaginanya dan mengocoknya. Lidah saya menjilat-jilat lagi. Daerah pantat yang menggembung berdaging kenyal seperti payudara. Saya pun suka. Tante Ningrum menunjukkan reaksi seperti akan orgasme lagi. Desahannya mulai keras.

“Wisnu, Tante mau keluar lagi nih. Cepat! Pakai kontolmu. Ayo masukin kontolmu. Cumbu Tante, Wisnu” jeritnya tertahan putus-putus.

Astaga, dirty talk sekali. Membuat saya makin terangsang. Saya siapkan penis saya, walau agak bingung karena tak ada pengalaman. Tante Ningrum mengocok vaginanya sendiri sambil menunggu saya memasukkan penis. Penis sudah saya arahkan ke vagina.

“Tante, nggak bisa masuk nih” tanya saya bingung.

“Tekan saja yang kuat. Tapi pelan-pelan”

Saya ikuti sarannya, tetap saja susah. Dasar pemula. Jadinya penis saya hanya merangsang mulut vagina saja, mengggosok klitoris, tapi itu malah membuat Tante makin terangsang.

“Ayo masukkan, Tante sudah hampir keluar”

Dengan tenaga penuh saya coba lagi. Dan, berhasil. Kepala penis saya bisa masuk walau sempit sekali. Tante Ningrum bergoyang untuk merasakan gesekan karena klimaksnya semakin dekat. Ketika saya coba masukkan lebih dalam lanjut pantat Tante bergoyang hebat. Otot vaginanya seperti meremas-remas. Penis saya yang walau baru kepalanya saja menikmati remasan vagina ini. Dan Tantevpun orgasme. Setelah itu dia jatuh dan berbaring dalam bathtub. Saya sudah melepaskan penis saya.

“Tante, maafin saya ya” kata saya agak menyesal.

Saya belum memasukkan seluruh penis saya dalam vaginanya saat dia orgasme.

“Nggak apa-apa. Kepala kontolnya sudah nikmat, kok. Ayo kita coba lagi. Sekarang kontol kamu mau dikulum nggak?” Tak usah bertanya. Ganti saya yang duduk di tepi bathtub.

Tante merangkak dan mengulum penis saya. Ah, pose seperti ini membuat saya nyaman, seakan saya yang punya kuasa. Di ujung tubuh yang merangkak itu ada pantat. Wah, empuknya seperti payudara. Sayapun menjamah dan meremas-remasnya. Kadang saya membandingkan dengan satu tangan tetap meremas pantat, tangan yang lain meremas payudara. Kenikmatan ganda. Kelihatannya Tante juga menikmati sekali.

Ombak berdebur kecil di bathtub itu. Saya rasakan penis saya mulai megeluarkan tanda akan klimaks. Tumben cukup lama sekali saya bertahan. Mungkin karena obat yang diberikan Tante. Saya hentikan gerakan Tante, saya turunkan kepala saya ke wajahnya yang masih mengulum penis saya. Tante berdiri, saya mengikutinya. Tante membuka vaginanya, saya mengarahkan penis saya. Saya gosok-gosokkan ke vaginanya. Saya temukan klitosinya. Seperti puting susu, saya masukkan klitoris itu ke dalam lubang penis saya. Rangsangannya kuat, sampai-sampai Tante mau jatuh lagi seperti ketika klitorisnya saya hisap kuat-kuat. Ok, sekarang saya mulai memasukkan penis saya. Tante Ningrum menggenggam penis saya, mengarahkan agar bisa masuk. Saya seperti orang bodoh yang harus diajari untuk melakukan gerakan yang saya pikir semua laki-laki juga bisa. Ternyata tidak mudah. Dengan susah payah akhirnya kepala penis saya masuk.

Seperti tadi, saya coba goyang maju mundur untuk membuatnya siap melanjutkan misinya. Suasana begitu sepi, mungkin sudah malam. Tapi hujan masih menetes satu-satu. Sunyi. Saat itu, tiba-tiba ada ketukan di pintu rumah. Tok…tok…tok… Dan kami diam seperti hendak dipotret saja.

“Ningrum… Ningrum, ini aku. Bukain pintu dong…” teriak seorang laki-laki.

Kami bagai tersambar geledek, mematung dalam badai. Hujan tadi berlanjut menjadi badai akibat suara itu.

“Mas Agus…” bisik Tante Ningrum pelan. Penis saya langsung lemas, keluar begitu saja dari vagina yang telah susah payah berusaha dijebolnya.

“Apa yang harus kita lakukan?”

“Aku akan berpura-pura…”

“Kalau saya?”

“Sembunyi saja.”

“Dimana?” Kata-kata kami meluncur cepat nyaris tak bersuara. Kami berusaha berfikir. Agak sulit, karena sedari tadi hanya menggunakan nafsu.

“Ningrum, kamu tidur ya? Bukain dong,” suara Om Agus seakan detik-detik bom waktu yang siap meledak. Wajah Tante Ningrum sedikit cerah.

“Aku ada akal…”

“Gimana?” tanya saya tak sabar.

“Kamu di sini saja dulu. Jangan keluar sebelum kupanggil.”

Tante Ningrum merendam lagi dirinya dalam bathtub, kemudian keluar. Saya menutup pintu kamar mandi, tidak terlalu rapat agar bisa melihat keadaan. Saya lihat Tante Ningrum membawa pakaian saya dan menengelamkannya dalam tumpukan jemurannya. Mengelap lagi sofa dengan dasternya, melemparkan daster itu ke tumpukan jemuran. Kemudian membuka pintu. Apa yang dilakukannya? Dia sudah gila? Saya bisa mati jika suaminya tahu kami telah berbuat. Belum sih, tapi hampir menyetubuhi istrinya. Lalu? Adakah mantra untuk menghilang? Saya takut menghadapi kenyataan, saat ini, di tempat ini, dalam keadaan ini, dengan apa yang telah saya lakukan.

Related posts