Ketika Ibu Ismi Mandi
Ini adalah kisahku yang lain dengan tetanggaku di kampung. Awalnya waktu SMA aku sedang memanjat pohon sawo di belakang rumahku untuk mengambil buahnya. Secara tak sengaja mataku tertuju ke sebuah sumur tetangga yang tinggi dinding penutup kelilingnya hanya sebatas dada orang dewasa. Kulihat seorang wanita sedang membuka baju untuk mandi di sana. Tubuhnya kelihatan putih dan montok. Setelah kuperhatikan dengan cermat ternyata wanita itu adalah Bu Ismi, tetangga selang tiga rumah sebelah barat dari rumahku. Bu Ismi adalah istri muda dari seorang pengusaha angkutan. Ia membuka toko kelontong di rumahnya. Aku mencari posisi yang lebih enak untuk mengintipnya. Kerimbunan daun sawo cukup membantuku agar tidak kelihatan dari arahnya mandi. Sambil mengintip akupun berkhayal bersetubuh dengannya. Dari tempatku mengintip dadanya yang putih dan montok kelihatan jelas sekali. Begitulah kalau aku tidak ada kegiatan di sore hari maka aku akan memanjat pohon sawo di belakang rumah dan menungguBu Ismi mandi. Bu Ismi ini orangnya ramah dan supel (nantinya baru aku tahu kalau dia memang benar-benar supel alias suka peler). Kadang kalau aku duduk-duduk di depan tokonya ia menyapaku duluan. Asalnya sebenarnya dari pelosok, namun tidak kelihatan kampungan. Kukira nama sebenarnya Ismih.
Setelah kawin dengan Pak Yos dipanggil Bu Ismi. Umurnya waktu itu kurang lebih tiga puluh tahun. Badannya sedikit gemuk tapi kulitnya kelihatan kencang. Ia paling sering pakai kain dan kebaya. Kalau sudah pakai kain dan kebaya, pantatnya yang besar kelihatan menantang dan bergoyang-goyang kalau sedang berjalan. Belahan buah dadanya terlihat sangat menggiurkan dan mengundang lirikan mata laki-laki. Sampai ketika aku kuliah dan sedang liburan semester di kampung. Malamnya sekitar jam sembilan malam aku singgah ke toko Bu Ismiuntuk membeli sesuatu. “Eh Mas Tommy. Kapan datangnya dan libur berapa hari? Oleh-olehnya mana?” ia memberondongku dengan sejumlah pertanyaan. Tangannyadiulurkan dan tentu saja kusambut dengan hangat. “Tadi siang, dua minggu, pakaian kotor. Ibu mau?” jawabku taktis dan efisien menjawab semua pertanyaannya. “Ihh.. Masa sih pacarnya kok cuma dibawain pakaian kotor,” katanya menggodaku. Dadaku berdesir. Pacarnya? “Beli apa Mas?” “Enngghh, beli sabun dan shampoo”. “Lho belum mandi toh?” “Sudah, untuk besok pagi”. “Lho baru datang tadi, besok pagi kok sudah mandi basah,” godanya makin berani. “Ya, siapa tahu nanti malam mimpi basah, jadi paginya mandi basah,” kataku. Kepalang basah kubalas godaannya tadi. Pokoknya basah.. Sah.. Sah. Bu Ismi masuk ke dalam tokonya. Pantatnya masih saja kelihatan besar dan padat di balik dasternya. Aku mengikutinya, sambil melihat-lihat barangkali ada barang lain yang tiba-tiba teringat untuk kubeli. “Ini sabun dan ini shampoonya. Eh nanti malam mimpi basah sama saya saja ya!” katanya berbisik sambil tersenyum. Kalau begini caranya nanti malam aku bisa benar-benar mimpi basah. Aku hanya diam saja dan menerima sabun dan shampoo tadi. Ketika memberikan belanjaanku ia seolah-olah memalingkan mukanya ke arah TV dan seperti tanpa sengaja telapak tangannya mengusap lenganku. “Eh maaf Mas. Habisnya acara di TV bikin penasaran saja”. “Berapa Bu semuanya?” tanyaku sambil mengangsurkan selembar uang dua puluh ribuan. “Ah, nggak usah Mas. Lagian uangnya besar begini nggak ada kembaliannya”. Ia menolak uangku. Aku jadi tidak enak. “Ya sudah Bu, saya utang dulu. Besok saja sekalian saya bayar” kataku. “Bayar pakai yang lain saja gimana Mas?” Aku garuk-garuk kepala kebingungan sambil meninggalkan tokonya. Karena masih lelah aku segera tertidur dan bangun agak kesiangan. Adik kecilku berdiri tegak, pertanda metabolisme dan kondisi tubuh masih fit. Setelah menyelesaikan ritual pagi hari, 3M, mandi, modol dan makan, aku berniat untuk jalan-jalan ke tempat Tina teman masa SD-ku (Aku Oase Para Wanita Bersuami 5: Tina). Kali-kali aja aku dapat jatah untuk sekedar kissing, necking dan petting. Tapi tiba-tiba aku ingat dari informasi yang kudapat tadi malam Tina sedang ke luar kota. Akhirnya kuputuskan untuk jalan-jalan ke pasar saja. Sampai di pasar aku berputar-putar di los pakaian. Aku terkejut ketika tiba-tiba pundakku ditepuk dari belakang. “Cari apa Mas Tommy?” Aku menoleh ke belakang dan ternyata Bu Ismi yang ada di belakangku. Ia mengenakan blouse putih tipis dengan celana panjang warna biru. BH-nya yang juga berwarna biru membayang di balik baju tipisnya. “Ibu bikin kaget saja. Tadinya pengen beli tas tapi nggak ada yang cocok. Maksudnya nggak ada yang cocok harganya, kalau modelnya sih banyak yang cocok,” kataku. “Oh gitu. Gimana kalau kita jalan-jalan ke Malioboro atau Shoping Centre kali-kali aja ada yang cocok. Kebetulan aku juga lagi cari kain batik untuk Bapaknya. Ayolah mumpung masih pagi,” katanya sambil menarik tanganku. Aku tak bisa menolaknya. Dua jam kemudian kami tiba di Jalan Malioboro. Kami masuk ke sebuah toko dan melihat-lihat tas pakaian. Harganya memang murah dan modelnya bagus. Cuma aku memang tadinya juga cuma mau lihat-lihat saja, belum mau beli. Ketika masuk ke dalam toko kain, Bu Ismi menggandeng lenganku dengan mesra. Aku jadi agak jengah juga. Akhirnya Bu Ismi membeli dua potong kain batik. Satu untuk suaminya dan satu lagi untukku. Setelah itu kami makan. Selesai makan aku sudah bersiap untuk pulang, tapi Bu Ismi masih saja duduk di kursinya. Ia menatapku sambil tersenyum. “Eh, ngomong-ngomong tadi pagi jadi keramas nih?” ia mulai menggodaku lagi. “Iya,” jawabku singkat. “Kalau.. Mmhh siang-siang gini keramas lagi mau nggak?” tanyanya sambil memegang telapak tanganku. “Kalau tadi malam kamu mimpi basah, sekarang ngerasain yang sebenarnya mau nggak?” sambungnya. Aku hampir terjatuh dari kursiku. Sebenarnya tentu saja inilah yang kuharapkan, tapi untuk membuatnya penasaran aku hanya berdiam saja. “Ayolah!” rayunya. Akhirnya aku berdiri dan berjalan keluar dari restoran. Bu Ismi memegang tanganku dan menarikku berjalan ke arah sebuah becak yang sedang mangkal. “Pasar Kembang, Pak!” katanya pada tukang becak. “Kenapa nggak ke Kaliurang saja,” protesku. “Kejauhan, waktu kita sedikit,” jawabnya pasti. Sampai di depan sebuah hotel yang cukup bagus di dekat pintu belakang Stasiun Tugu ia memberi kode kepada tukang becak untuk menepi. Kami segera masuk ke dalam hotel. Setelah menyelesaikan urusan di resepsionis kami masuk ke dalam kamar. Sebuah kamar yang lumayan bagus dengan sebuah ranjang besar yang empuk. Lantainya dilapis dengan permadani yang agak tebal. Begitu pintu kamar tertutup, Bu Ismi langsung memelukku. Bu Ismi menyapukan bibirnya ke bibirku dengan lembut. Aku belum membalasnya. Ia kemudian mengulangi dan melumat bibirku. Terasa lembut dan nikmat sekali bibirnya. Lama kelamaan ciumanku berubah menjadi lumatan ganas. Lidahnya mendorong lidahku dan menyelusuri langit-langit mulutku. Aku membalasnya, kudorong lidahnya, dia menyedot lidahku. Rupanya Bu Ismi sangat lihai dalam berciuman. Kadang kepalanya dimiringkan sehingga mulut kami bisa saling menyedot. Suara kecipak perpaduan bibir kami mulai terdengar. “Lepas bajunya dulu, To!” ia menyuruhku. Kulepas baju, celana panjang dan sekaligus celana dalamku dalam sekali gerakan. Dadaku yang bidang dan berbulu lebat membuatnya berdecak kagum. Kejantananku langsung mencuat keluar dan perlahan-lahan terancung dalam kondisi lurus, bahkan sedikit mengacung ke atas. Kepala penisku kelihatan kemerahan dan mengkilat karena dari lubangnya sudah mulai keluar cairan bening agak kental dan lengket.Diusapnya lubang kejantananku dengan ibu jarinya dan diratakannya cairan bening yang keluar tadi di atas kepalanya sehingga kini semakin mengkilat. Diusap-usapnya kepala penisku sampai membesar maksimal. Bu Ismi melepaskan pelukannya. Dengan gerakan pelan dan gemulai ia melepas blus, celana panjang dan akhirnya celana dalamnya. Tangannya membuka kancing bra-nya dan sebentar ia sudah dalam keadaan bugil. Tubuhnya yang montok dengan sedikit lemak di bagian perutnya. Gunung kembarnya dengan puncaknya yang kemerahan yang menggantung bebas. Kini kami berdua sama-sama dalam keadaan polostanpa selembar benang pun. Selang beberapa menit kemudian Bu Ismi berkata di telingaku dengan lirih.. “Kita ke ranjang.. Sa.. Yang..”. Aku langsung menyergapnya dan mengulum bibirnya, dan dia membalasnya dengan sangat liar, kemudian aku merasa penisku semakin tegak dan terasa lebih keras dari biasanya. Aku berbaring di ranjang dan Bu Ismi merangkak di atasku. Dadanya disodorkan ke mulutkudan dengan rakus kusedot dan kujilati buah dadanya. Tangan dan mulutnya menarik-narik bulu dadaku dengan lembut. Sekali waktu dia menarik dengan keras. Aku terpekik.. “Ouuw.. Sakit Bu..”. “Aku gemas melihat dadamu”. Dia terus memintaku meremas-remas payudaranya dan menghisap putingnya secara bergantian. Lalu dia mulai menjilati tubuhku dari mulai leher perlahan-lahan turun kebawah dan berhenti disekitar paha. Dia juga menjilati biji zakarku. “Agh.. Ugh.. Ouhh.. Enak Bu.. Ugh..!!” desahku. Bu Ismi menggigit pahaku di bagian dalam dekat pangkal paha seolah-olah mengingatkan ini bukanlah sekedar mimpi basah tetapi kenyataan yang benar-benar sedang terjadi. Bu Ismi terus melanjutkan aksinya, kini dia jongkok di atas pahaku. Tangannya meremas kejantananku dan menggoyangkannya sebentar. Digesekkannya kepala kejantananku pada bibir vaginanya, kemudian ia menurunkan pantatnya. Kepalaku sudah tertelan dalam vaginanya. Terasa vaginanya berair. Dengan pelan pantatnya bergerak turun sambil memutar-mutar. Kejantananku terasa ngilu dibuatnya. “Ibu masukin ya. Ayo To..!! Angkat ke atas..,.. Tunggu sebentar!” ia memberi komando. Diganjalnya pantatku dengan bantal, kuangkat pantatku sedikit untuk memudahkannya mengganjal pantatku dan kemudian pantatnya semakin turun. Dan dengan perlahan penisku masuk ke dalam sebuah lorong hangat. Aku merasakan penisku dihimpit oleh benda hangat, basah dan berdenyut, sebuah sensasi kenikmatan yang sangat luar biasa. “Agh.. Auw.. Ooh.. Nikmat sekali, To!!” rintihnya terbata bata. Kugerakkan pinggulku memutar berlawanan arah dengan gerakan pingulnya. Dibenamkam penisku dalam dalam sampai terasa tidak bisa masuk lebih dalam lagi, dan Bu Ismi menjerit. Tangannya memainkan putingku dan sesekali menjilat dan mengisapnya. Aku menggigit bibir menahan rangsangan. Dia terus menggoyangkan pinggulnya dengan teratur dan makin lama makin cepat. “Ouchh.. Agh.. Ugh.. Oo.. Yes..!!” desisnya terdengar berulang-ulang. Aku mempercepat gerakanku mengimbanginya dan makin cepat lagi sampai akhirnya.. “Bu.. Aku.. Mau keluar nih.. Ouw..!!” Memang kurasakan jepitan vaginanya semakin keras dan kuat sampai sampai penisku terasa ngilu, Bu Ismi terus mempercepat gerakannya dan aku mulai merasakan sesuatu akan terjadi pada tubuhku.. “Aku.. Bu.. Aku,” aku memberontak. “Ouhh To.. Aku juga..”. Kami tahu kalau sebentar lagi akan mencapai puncak. Beberapa detik kemudian cairan kental menyemprot beberapa kali keluar dari kemaluanku. Bu Ismi pun menekankan pantat sekerasnya ke arahku sehingga tulang pubisnya menekan biji penisku sampai sakit. Kurasakan semprotannya sangat kuat dan banyak sampai sebagian keluar dari vaginanya.
Setelah membersihkan diri, kami saling berpelukan dan aku masih menikmati sisa sisa kenikmatan tadi dalam keadaan telanjang bulat, hanya ditutup dengan selimut. Napasku mulai normal dan keringatku sudah mengering. Kepala Bu Ismi masih berada di dadaku, matanya masih terpejam. Aku merenung sejenak, membayangkan apa yang baru saja terjadi. Kupeluk dia dan kucium belakang telinganya dengan lembut. Ia menggerinjal. Kuremas dadanya dengan lembut. “Sudahlah To, aku mau istirahat dulu sebentar. Kecuali kalau kau..” Tanpa menunggu lagi segera kulumat bibir indahnya. “Hmm.. Kudaku rupanya mengajak berpacu lagi..”. Kami berciuman lagi, semakin lama kembali semakin liar seiring dengan nafsu kami yang mulai bangkit lagi. Tanpa terasa selimut yang tadinya menutup tubuh kami sudah tersingkap jatuh ke lantai dan tubuh kami berdua kembali tidak tertutup apa-apa lagi. Bibir kami saling berpagut, hangat. Kulumat bibir Bu Ismi itu dengan penuh nafsu. Sekali-sekali kugigit bibirnya dan kumainkan lidahku di atas langit-langit mulutnya. Nafsu sudah menguasai kami berdua. Kami semakin tenggelam dalam birahi. Kini leher jenjang Bu Ismi menjadi sasaran berikutnya. Kuciumi dan kujilati sepuasnya. Hampir saja kugigit lehernya itu, kalau tidak diingatkan oleh Bu Ismi. “Jangan To.. Nanti kelihatan orang”, bisiknya. Kupandangi tubuh indah itu sesaat. Lidahku tahu-tahu sudah memainkan puting payudara yang berwarna coklat muda dan keras itu. Pelan-pelan kaki kanannya ku angkat dan kuletakkan di atas perutku. Dalam posisi telentang berdampingan jari kiriku memainkan bulu-bulu halus di sekitar vaginanya, kemudian merambat menggesek-gesek lipatan pahanya. Pinggangnya terangkat dan bergerak-gerak tidak beraturan. Kudengar Bu Ismi melenguh-lenguh tanda terangsang. “Ahh.. Ouuhgh.. Sedaap.. Sshh.. Nikkmaatt.. Terusskan..”. Kakinya kuturunkan dan dengan penuh nafsu serangan kuteruskan. Lidahku sudah berada di lipatan pahanya, menggantikan jariku tadi. Kudekatkan hidungku ke sela pahanya. Sekilas tercium bau segar yang khas. Akhirnya kuserang bibir vaginanya yang sudah mulai basah. Kujilat-jilat sambil sesekali menjepit bagian dalam bibir vaginanya itu dengan kedua bibirku. Dengan sentuhan ringan tanganku sesekali memainkan daging kecil sebesar biji kacang tanah. Rupanya seranganku membuahkan hasil. Bu Ismi bergetar keras dan mulai meracau. “Hmm.. Sshh.. Ngghh.. Akhh. Aku juga mau To, berputar.. Berputar”. Tangannya kemudian memegang kepalaku, meraih pinggang dan menangkap kakiku dan memutarnya ke arah mukanya. Kuikuti saja kemauannya. Kami berbaring berlawanan arah. Aku tengkurap diatas tubuhnya. Selangkanganku berada di atas mulutnya dan sebaliknya sambil kamiterus melakukan stimulasi di sekitar paha. Ia langsung melahap penisku sampai habis. Diisap-isap, dikocok-kocok dan dijilati sampai puas. Gantian aku yang menggelinjang hebat. “Mmhh.. Srup.. Srup..”. Penisku dihisap-hisap dan dijilati sampai badanku merinding semua. Ia memberi isyarat agar berubah posisi. Kami berguling ke samping dan kini masih tetap dalam posisi kepalaku pada selangkangannya dan sebaliknya, aku sekarang yang berada di bawah. Rupanya dengan posisi demikian ia lebih mudah menikmati penisku. Akupun demikian, lebih leluasa untuk menjelajahi selangkangannya. Kami saling merintih dan melenguh memberikan respon terhadap rangsangan yang diterima. Bu Ismi menggelinjang penuh kenikmatanketika kujilat dan kugigit klitorisnya. Tetapi sebaliknya Bu Ismipun semakin gencar menyerang penisku dengan tak kalah hebatnya. Kami tetap dalam posisi ini sampai beberapa menit. Tiba-tiba ia menghentikan serangannya dan duduk di tepi ranjang. Ditariknya tanganku. Kupeluk dari samping dan kemudian ditariknya badanku sehingga kami jatuh ke karpet di lantai dekat ranjangku. Dipeluknya tubuhku dengan eratnya dan dengan gencar menciumiku, sampai aku kesulitan mengambil napas. Suara dari ciuman mulut kami semakin keras. Sejenak kemudian ia menghentikan gerakannya. Aku mencoba bangkit dan berusaha mengangkatnya kembali ke ranjang. Tapi dia menggigit daun telingaku dan berkata lirih.. “Jangan To.. Tidak usah. Kita coba variasi lain.. Di bawah.. Di karpet saja”. Aku tidak jadi mengangkatnya dan kembali kurebahkan di atas karpet yang lembut dan empuk. Kutindih tubuhnya dan ia mengangkangkan kedua kakinya lebar-lebar. Kucoba untuk menerobos lubang guanya, meleset, kucoba lagi dan meleset. Kepala penisku sudah masuk dan menyentuh bibir vaginanya. Bu Ismi merintih rintih minta agar aku segera memasukkan penisku. “Masukkan.. To.. Masukin sekarang!”. Rupanya dia tidak sabar lagi. Ia segera menggenggam batang penisku dan mengarahkan ke vaginanya yang merekah. Begitu seluruh kepala penisku yang besar sudah menerobos masuk ke bibir vaginanya, ia tersentak dan menekan pantatku dengan kedua tangannya. “Dorong To.. Tommy dorong kuat-kuat,” desahnya. Kudorong pantatku dengan kuat sampai semua batang penisku amblas di dalam liang guanya. Ia berteriak agak kuat, kututup dengan tanganku. Ia menggoyangkan kepalanya ke kanan ke kiri dan melakukan gerakan-gerakan tak beraturan. “Naikkan sedikit lebih ke atas dan turunkan lagi,” desisnya. Kuangkat pantatku sedikit naik dan tangannya kemudian memegang pinggangku untuk membantuku melakukan gerakan memompa. Gesekan kulit penisku dengan dinding vaginanya membuat aku mendesis nikmat. Kucium dadanya dan kugigit sampai merah. Ia sudah tidak pedulilagi dengan aksiku, hanya aku saja yang menjaga agar cupangku tidak sampai pada bagian tubuh di luar baju, kelihatan orang nantinya. Kini aku sudah bisa menikmati dan melakukan gerakan memompa dengan terkendali. Payudaranya kukulum sampai setengahnya dan putingnya kugigit kecil. Kepalanya tersentak menengadah sehingga lehernya yang jenjang terlihat semakin menggairahkan. Kalau mulutku di payudaranya, maka tanganku mengusap pipi dan lehernya, jika mulutku ada di lehernya maka tanganku meremas payudaranya. Ia mengimbangi dengan menggerakkan pinggulnya memutar sehingga penisku terasa seperti tersedot suatu pusaran arus yang kuat. Kutambah kecepatan permainanku karena akupun merasa sudah mendekati saat-saat terakhir menggapai puncak. Kurasakan darah mengalir deras ke penisku. Kugoyang, kugenjot dan kugoyang terus. Putaran pinggulnya juga dipercepat. Tubuh kami saling merapat. Akhirnya kusemburkan spermaku ke dalam vagina Bu Ismi dengan menekan pantatku kuat-kuat sampai menyentuh dinding rahimnya. “Ouhh Bu Ismi.. Oouhh!!” “To.. Tommy.. Tahan sebentar..” Kurasakan dinding rahimnya berdenyut-denyut. “Sekarang To.. Sekarang ayo tusukkhh!!” Aku mencapai puncak kenikmatan terlebih dulu dan dalam hitungan sepersekian detik Bu Ismipun kemudian mendapatkan orgasmenya. Kulihat ia akan berteriak dan kusumbat dengan mulutku karena akupun rasanya juga akan berteriak sambil memperketat pelukanku. Penisku terus berdenyut-denyut dan kurasakan dinding vaginanyapun juga berdenyut. Kedua kakinya terangkat ke atas dan bergerak-gerakseperti mengayuh sepeda. Semenit berikutnya kami berpagut mesra. Hingga akhirnya ia mendorong tubuhku ke samping. “Kamu pintar sekali,” katanya sambil mencubit lenganku. Akhirnya menjelang sore kami check out dan pulang, sampai di rumah kurang lebih jam lima sore. Kami berjanji tiga hari kemudian untuk berkencan lagi di Kaliurang. Tiga hari seperti yang dijanjikan pagi-pagi kami sudah ada dalam sebuah kamar di Kaliurang. Kupeluk Bu Ismi dari belakang dan kuusap pinggangnya. Kurapatkan tubuhku ke tubuhnya sehingga kejantananku menekan belahan pantatnya. Ia mengenakan baju model kebaya warna hijau dengan kancing di depan dada sampai perut. Celana panjangnya berwarna hitam. Sambil kupeluk kubawa ia ke jendela sambil melihat puncak Gunung Merapi dan Gunung Merbabu di kejauhan. Kucium tengkuknya dan iamenarik napas panjang.. “Hhmmh.. Tommy”. Ia membalikkan badannya. Mukanya sedikit mendongak, bibirnya yang merah merekah setengah terbuka dan semakin mendekat ke bibirku. Kami berciuman dengan lembut namun penuh gairah. Ia merogoh kantung celananya dan mengambil sebutir pil, dan menyuruhku untuk meminumnya. “To ini diminum dulu agar kita bisa bermain sampai sore”. Kuambil pil itu dan segera kutelan. Aku sebenarnya tidak terlalu percaya dengan khasiat obat kuat. Kupikir staIsmiku masih mampuuntuk mencapai tiga atau empat puncak, bahkan sampai esok pagi rasanya masih mampu. Namun untuk menyenangkannya dan kupikir tidak ada salahnya untuk mencoba khasiat obat ini. Kubuka kancing baju model kebayanya di depan dadanya dengan gigiku dan kemudian tanganku melanjutkan untuk membukanya. Dadanya yang terbuka berwarna putih mulus terlihat kontras dengan bra berwarna merah yang masih menutup payudaranya. Kucium bahunya, kumainkan tali bra-nya. Ia memelukku dan mengusapkan pipinya di kepalaku. Mulutnya menjilati lubang telingaku dan membisikkan kata-kata penuh gairah.. “Ouhh Tommy.. Hari ini akan menjadi hari panjang yang melelahkan. Kita akan menikmatinya sepenuhnya.. Ouhh!” Kucium dan kugigit bagian dada di antara dua gundukan daging payudaranya. Kulitnya memerah karena bekas gigitanku tadi. Ia tidakmencegahku untuk mencupangnya, bahkan ia memintaku untuk melakukannya lagi. “Tommy.. Berikan lagi gigitanmu. Cupang aku.. Aoouhh!” Kubuka bajunya kemudian bajuku sendiri dengan posisi tetap berciuman dan berpelukan. Kudorong tubuhnya ke ranjang dan kutindih tubuhnya. Bibirku menyusuri bahunya melepas tali bra-nya lewat tangannya bergantian kanan kiri, kubiarkan bra-nya masih menutup dadanya karena pengait dipunggungnya belum kubuka. Kembali bahunya yang sudah terbuka kucium dan kugigit sampai memerah. Aku bergerak memutar sehingga berada di belakangnya. Kulepas pengait bra-nya, dan kutarik dengan gigitanku. Kini dadanya terbukapolos. Dari belakangnya, tanganku meremas pantatnya dan menciumi punggungnya yang putih. Tanganku meremas buah dadanya yang kencang. Kuciumi leher dan belakang telinganya, kemudian kugesekkan pipi kananku ke pipi kirinya. Sambil kucium punggungnya kini tanganku melepas celananya dan celana dalamnya sekaligus. Tak lama celana dan celana dalamkupun sudah melayang. Aku tetap menciuminya sambil berbaring miring di belakangnya. Kugigit punggungnya dan terus menyusuri sekujur punggungnya ke bawah. Tanganku mengusap pantatnya dan buah pantatnya kugigit pelan. Bu Ismi menggelinjang. Ia berbalik dengan posisi dadanya di depan mukaku. Putingnya yang berwarna coklat kemerahan digesekkannya di ujung hidungku dan segera kutangkap dengan bibirku. Mulutku bergerak ke bawah perutnya, ia membuka pahanya agar memudahkan aksiku. Aku hanya menggesekkan hidungku ke bibir vaginanya. Aku tidak ingin merangsangnya dengan mulutku. Kepalaku bergerak ke atas dan menciumi ketiaknya yang terbuka, karena tangannya berada di atas kepala sambil meremas bantal.
Kami berguling sedikit dan sebentar kemudian ia sudah berada di atasku. Bibirnya lincah menyusuri wajah, bibir dan leherku. Bu Ismi mendorong lidahnya jauh ke dalam mulutku, kemudian menggelitik dan memilin lidahku. Kubiarkan Bu Ismi yang mengambil inisiatif menyerang. Sesekali lidahku yang membalas mendorong lidahnya. Tanganku meremas-remas payudaranya. “Auhh, Ayolah Tommy.. Terus,” ia merintih pelan. Kemaluanku mulai menegang dan mengeras. Kukulum payudaranya semuanya masuk ke dalam mulutku, kuhisap dengan kuat, putingnya kumainkan dengan lidahku. Napasnya memburu dengan cepat. Detak jantung kami semakin cepat meningkat. “Ayo puaskan aku sampai saat-saat terakhir sayang.. Ahh.. Auuh!” Bu Ismi mendesis ketika ciumanku berpindah turun ke leher dan daun telinganya. Tangan kiriku mulai menjalar di pangkal pahanya, kumasukkan jari tengahku ke belahan di tengah selangkangannya dan kugesek-gesekkan ke dinding depan vaginanya. “Ah sayang. Kamu liar dan nakal”. Sementara itu tangan kananku meremas halus buah dadanya. Tangannya tak mau kalah memegang, meremas dan mnegocok kejantananku. Dengan ganas aku menciumi seluruh bagian tubuh yang dapat kujangkau. Beberapa saat kemudian ereksiku sudah mendekati maksimal. Kepalanya berdenyut menantang lawan di depannya. Jari tengah kiriku kugerakkan lebih cepat dan tubuhnya kemudian meliuk-liuk menahan kenikmatan. Pinggulnya naik dan berputar-putar. Tangan kananku memelintir puting payudara kirinya dan dan mulutku kini menggigit puting kanannya. Sementara jari kiriku tetap mengocok lubang vaginanya. Semakin cepat kocokanku, semakin cepat pula gerakan pantat dan pinggulnya. Permainan tangan kiriku kuhentikan dan kuarahkan kejantananku untuk memasuki liang vaginanya. Sebentar kemudian dengan mudah akusudah menembus guanya yang panas. Pinggulku kugerakkan naik turun dan ia mengimbangi dengan memutar pinggulnya dan menaik turunkan pantatnya. Harumnya parfum yang dipakainya sangat membantuku untuk rileks namun juga sangat menimbulkan gairah. Kakinya menjepit pahaku dan kadang dikangkangkan lebar-lebar. Kuciumi leher dan dadanya. Beberapa kali kugigit sampai meninggalkan bekas kemerahan. Kucabut penisku dan kubalikkan tubuhnya, ia mengerti maksudku. Ia mengambil posisi nungging dan menaikkan pantatnya yang memang masih kencang. Kuposisikan diriku di belakang pantatnya. Diraihnya penisku dan segera diarahkan untuk menerjang guanya kembali. Kuterjang vaginanya dengan kocokan lembut. Tanganku memegang pantatnya dan membantu menggerakkan pantatnya maju mundur. Ia mulai menggelinjang dan mengejang lembut, kedua tangannya mencengkeram dan meremas sprei. “Ouhh.. Sudah To.. Kita..” ia merintih ketika pantatku kugerakkan ke belakang sampai penisku hampir terlepas dan kumajukan dengan cepat. Kuulangi beberapa kali lagi dan iapun menekankan kepalanya miring di atas bed. “To.. Kita kembali posisi.. Kita.. Aku..” ia menjerit dengan kata-kata yang tidak jelas. Ia memintaku untuk kembali dalam posisi semula. Kembali kucabut penisku dan segera kurebahkan kembali dalam posisi konvensional.Aku tahu ia, dan aku juga, hampir mengakhiri babak pertama ini. Kami bergerak berputar-putar. Setiap kutatap mukanya yang mengairahkan, maka akupun terpacu untuk membagi kenikmatan yang lebih kepadanya. Bunyi desah napas dan erangan kami semakin sering dan kuat, memenuhi seluruh sudut kamar. Vaginanya kugenjot semakin cepat dan kuangkat kaki kirinya dan kulipat sehingga lututnya menempel di perutnya. Dengan satu kaki terangkat dan satu lagi dikangkangkannya lebar-lebar ia semakin meracau.. “Ouahh.. Uuhh!”. Dinding vaginanya mulai berdenyut dan akupun sudah mencapai sebuah titik dimana aku tidak bisa kembali lagi dan harus kuraih puncak itu. Kakinya yang tadi kulipat kukembalikan lagi dan segera kedua pahanya menjepit pinggangku. “Sekarang Bu Min.. Naahh.. Aku mau kell.. Lluu.. Arr.. Ghh,” aku menggeram keras. Pinggulnya naik menjemput kejantananku. Kutekankan kejantananku dalam-dalam di vaginanya. “Ouhh Tommy.. Aku juga samm.. Paaiihh!” ia pun memekik kecil. Giginya dibenamkan di bahuku sampai membekas. Jepitan kakinya semakin ketat dan denyutan di vaginanya terasa meremas penisku. Ditekan-tekannya pantatku ke bawah dengan betisnya. Setelah beberapa saat kami sama-sama terkulai lemas Udara sejuk Kaliurang yang bertiup dari luar kamar sangat membantuku untuk mengembalikan tenaga. Bu Ismi masih mengusap dan mempermainkan bulu dadaku. Ia berbaring miring di sebelahku dengan kaki kananya membelit kakiku. Kupeluk bahunya dan kuusap-usap dengan lembut. “Aku tidak ingin hari ini berlalu dengan cepat. Aku masih ingin bersamamu berbagi kenikmatan,” katanya sambil mengecup lenganku. Setelah beberapa saat kemudian, maka napas dan detak jantung kami pun kembali normal. Setelah mengobrol dan bercanda, sejam kemudian Bu Ismi sudah merengek minta untuk masuk babak berikutnya. Aku masih menatap dan menikmati pemandangan tubuh aduhai yang sedang dalam keadaan telanjang telentang di sampingku. Ia naik ke atas tubuhku dan mencium bibir, leher dan telingaku. Mulutku menghisap kedua payudaranya, kugigit putingnya bergantian. Ia hanya melenguh dan gairah kami berdua pun mulai timbul. Tangannya menyusup di sela pahaku, kemudian mengelus, meremas dan mengocok penisku. Pantatku sesekali kunaikkan dan menahan napas. Bibirnya mengarah ke leherku, mengecup, menjilatinya. Napasnya dihembuskan dengan kuat ke dalam lubang telingaku. Kini dia mulai menjilati putingku dan tangannya mengusap bulu dadaku kemudian menjalar sampai ke pinggangku. Aku semakin terbuai kenikmatan. Kupeluk dan kuusap pungungnya dengan kuat. Tangan kiriku dibawanya ke celah antara dua pahanya. Jari tengahku masuk, mengusap dan menekan bagian depan dinding vaginanya dan bersama ibu jari menjepit dan memilin sebuah tonjolan daging sebesar kacang. Setiapkali aku mengusap dan memilinnya Bu Ismi mendesis keras.. “Sshh.. Ouhh.. Sshhss” Ia melepaskan tanganku dari selangkangannya. Mulutnya bergerak ke bawah, menjilati perutku. Tangannya masih mempermainkan penisku, bibirnya terus menyusuri perut dan pinggangku, semakin ke bawah dan kemudian mengecup kepala penisku. Lidahnya membelah masukke lubang kencingku. Aku merasa seperti disengat ribuan lebah dan secara refleks mengencangkan ototku. Dua buah telur yang menggantung di bawahnya kemudian diisapnya. Aku hanya menahan napasku setiap ia mengisap telurku. Bu Ismi kembali bergerak ke atas, tangannya masih memegang dan mengusap kejantananku yang telah berdiri tegak. Kembali kami berciuman. Buah dadanya kuremas dan putingnya kupilin dengan jariku sehingga dia mendesis perlahan dengan suara merintih.. “Sshh hhiihh.. Sshh.. Ngghh..” Perlahan-lahan diturunkankan pantatnya sambil memutar-mutarkannya. Kepala penisku dipegang dengan jemarinya, kemudian digesek-gesekkan di mulut vaginanya. Terasa sudah mulai lembab karena cairan dinding vaginanya. Dia mengarahkan kejantananku untuk masuk ke dalam vaginanya. Ketika sudah menyentuh bibir guanya, maka ditekannya pantatnya perlahan. Akupun menaikkan pantatku menyambutnya. Bu Ismi merenggangkan kedua pahanya dan segera kepala penisku sudah mulai menyusup di bibir vaginanya. “Ayolah Bu Ismi.. Dorong.. Akan kusambut dari bawah..!!” Bu Ismi semakin menekan pantatnya dan peniskupun semakin dalam masuk ke lorong nikmatnya. “Ouhh.. Bu Ismi,” desahku setengah berteriak. Bu Ismi bergerak naik turun dan memutar. Perlahan-lahan kugerakkan pinggulku. Karena gerakan memutar dari pinggulnya maka penisku seperti tersedot sebuah tabung vakum. Bu Ismi mulai mempercepat gerakannya, namun kupegang dan kutahan pantatnya, kemudian akuyang mengatur kecepatan gerakan pantatku dari bawah dengan perlahan. Bu Ismi membuat denyutan-denyutan di dalam lubang vaginanya. “Bu Ismi.. Pelan saja. Kita nikmati saat-saat ini” desisku sambil mencium dadanya. Aku ingin mengiringinya berlayar mengarungi samudra percintaan. Kami saling menjepit sebelah kaki dengan dua kaki kami. Kaki kirinya kujepit dengan kakiku dan demikian juga kaki kiriku dijepit dengan dua kakinya. Dalam posisi ini ditambah dengan denyutan pada kemaluan kami masing-masing terasa nikmat sekali. Kepalanya direbahkan di dadaku dan mengecup putingku. Tanganku menarik rambutnya ke belakang sampai kepalanya terangkat. Kucium dan kuremas buah dadanya yang menggantung. Setelah kujilat dan kukecup lehernya kulepaskan tarikan pada rambutnya dan kepalanya turun kembali kemudian bibirnya mencari-cari bibirku. Kusambut mulutnya dengan satu ciuman yang dalam dan lama. Bu Ismi kemudian mengatur gerakannya dengan irama lamban namun disertai dengan denyutan pada dinding vaginanya. Pantatnya diturunkan sampai menekan pahaku sehingga penisku terbenam dalam-dalam menyentuh dinding rahimnya. Ia menegakkan tubuhnya sehingga ia dalam posisi duduk setengah jongkok di atas selangkanganku. Ia kemudian menggerakkan pantatnya maju mundur sambil menekan ke bawah sehingga penisku tertelan dan bergerak ke arah perutku. Rasanya seperti diurut dan dijepitsebuah benda yang kuat namun lunak. Semakin lama-semakin cepat ia mengerakkan pantatnya, namun tidak ada kasar atau menghentak-hentak. Aliran darah yang mengalir ke penisku kurasakan semakin cepat dan mulai ada aliran yang merambat di sekujur tubuhku. “Ouhh.. Sshh.. Akhh!” Desisnya pun semakin sering. Aku tahu sekarang bahwa ia pun akan segera mengakhiri pertarungan ini dan menggapai puncak kenikmatan. Aku menggeserkan tubuhku ke atas sehingga kepalaku menggantung di bibir ranjang. Ia segera mengecup dan menciumi leherku. “Tommy.. Sebentar lagi kita akan sampaiihh.. Ouhh!” Desiran dan aliran di saluran kencingku makin kencang. Aku bangkit dan duduk memangku Bu Ismi. Penisku kukeraskan dengan menahannapas dan mengencangkan otot antara buah zakar dan anusku. Ia semakin cepat menggerakkan pantatnya maju mundur sementara bibirnya ganas melumat bibirku dan tangannya memeluk leherku. Tanganku memeluk pinggangnya dan membantu mempercepat gerkan maju mundurnya. Ia sedikit mengangkat lututnya dan berteriak keras. “Tommyo oohh.. Ayo.. Berikan aku..” “Bu Ismi.. Sekarang.. Kuberi..!” Kutarik tubuhnya dan kembali kurebahkan tubuhnya ke atas tubuhku, matanya melotot dan bola matanya memutih. Giginya menggigit bahuku dan mendesah.. “Tommy.. Sekarang sayangku.. Sekarang.. Hhuuaahh!” Ia kini memekik kecil. Pantatnya menekan kuat ke bawah. Dinding vaginanya berdenyut kuat menghisap penisku. Aku menahan tekanan pantatnya dengan menaikkan pinggulku. Bibirnya menciumiku dengan ciuman ganas dan sebuah gigitan pada bahuku. Satu aliran yang sangat kuat membersit lewat lubang meriamku. Kupeluk tubuhnya erat-erat dan kutekankan kepalanya di dadaku. Napas yang putus-putus terdengar dan setelah sebuah tarikan napas panjang ia terkulai lemas di atas tubuhku. Keadaan menjadi sunyi. ***** Hari itu masih kami isi dengan dua kali percumbuan yang panjang. Percumbuan terakhir berlangsung dengan foreplay yang lama dan sejam kemudian kami mengejang dan mengerang bersama. Kami berendam air panas di bath tub dengan berpelukan dan saling meremas jari. Bu Ismi memintaku untuk pulang esok pagi, namun kutolak dengan alasan besok pagi ada urusan ke kecamatan. Hmmhh, Bu Ismi yang supel!!