Antara Pekanbaru – Jakarta – 1

Antara Pekanbaru – Jakarta – 1

Hujan turun demikian derasnya, Jakarta kembali kebanjiran akibatnya macet dimana mana.

Jam baru menunjukkan pukul 15 lewat 20 menit, antrian di depan pintu toll Rawamangun sudah hampir mencapai lampu merah Hutan kayu. Tidak ada lagi yang dapat aku lakukan untuk keluar dari lingkaran kemacetan ini, karena posisi mobilku sudah ditengah, kiri kanan.. Kena, begitu juga depan dan belakang.

Persis diantrian sebelah kiri kulihat seorang gadis dengan rambut dikepang 2 memandangi kemacetan dengan senyum dikulum. Mungkin bagi dia tidak ada yang perlu dipermasalahkan, tinggal duduk enak dikursi bus yang empuk sambil menikmati musik dan menonton tayangan video. Lain halnya dengan aku yang harus terus menerus menginjak kopleng dan rem serta stress takut bersenggolan dengan kendaraan lain, betul betul capek lahir bathin.

Jakarta-Pekanbaru PP, demikian yang tertulis dikaca depan bus tersebut. Ini adalah salah satu bus terbaik yang masih setia melayani trayeknya walaupun terus menerus digempur dengan tarif super murah oleh perusahaan penerbangan.

Dengan sedikit mengangkat kepala aku dapat melihat keseluruhan dari bus tersebut, warnanya kombinasi kuning, hijau dan dipermanis dengan garis garis warna ungu dibahagian belakangnya.

Isinya hanya 6 orang, berarti 3 awak bus plus 3 penumpangnya. Sungguh saat ini adalah masa masa sulit buat pengusaha bus jarak jauh, apalagi dengan trayek dari Jakarta ke kota kota di pulau Sumatera. Harga tiket pesawat adakalanya lebih rendah dari pada harga karcis bus executive. Tidak cukup dengan derita itu saja, jalan jalan disepanjang lintas Sumatra kondisinya betul betul menggenaskan. Kita tidak bisa lagi memilih” Jalan mana yang akan ditempuh, tetapi mesti memilih lobang mana yang akan dimasuki” yang tersisa bukan lagi jalan tetapi lobang yang sambung menyambung dengan panjang ribuan kilometer.

Sorry nglantur..!, bus dan gadis tersebut tiba tiba mengusik kenangan lamaku dengan seorang gadis dari Pekanbaru. Apalagi dari station FM yang kustel sebagai penghilang jemu, berkumandang lagu lama” When a man love a woman” oleh Michael Bolton. Lengkaplah sudah pemicu layar kenangan tersebut, semua tiba tiba tergambar dengan jelas di depan mata.

Kejadiannya terjadi beberapa tahun yang lalu, waktu itu musim kemarau sedang berada dipuncaknya. Disepanjang pulau Kalimantan dan pulau Sumatera terjadi kebakaran hutan yang maha hebat. Asap menyelimuti hampir sepertiga dari wilayah Indonesia malah sampai menyeberangi selat Melaka, dengan menutup rata Singapura serta membuat hilangnya cahaya matahari di beberapa negara bahagian di Malaysia.

Pelabuhan udara Sultan Syarief Kasim, Pekanbaru sudah 1 mingu ditutup karena jarak pandang yang hanya beberapa meter saja. Jangankan buat pilot pesawat yang butuh jarak pandang yang jauh, para pengemudi kendaraan bermotorpun sudah sangat kesulitan untuk melaju dengan aman di jalan raya.

Aku baru saja menyelesaikan tugas di salah satu perusahaan minyak di Duri dan harus segera kembali ke Jakarta, tidak ada kamus menunggu dalam pelaksaan tugas dari kantorku. Apa boleh buat aku mesti kembali dengan menumpang bus antar Kota dan antar Propinsi. Aku sudah membayangkan ketidaknyamanan yang akan dialami selama lebih kurang 36 jam diatas bus dengan menelusuri jalan lintas sumatera sepanjang 1350 km dan melintasi 4 propinsi di lintas tengah.

Tetapi rupanya bayangan tidaklah selalu sejalan dengan kenyataan. Jam 2 siang aku tiba di loket sebuah perusahaan bus jarak jauh yang direkomendasikan oleh salah seorang teman sebagai salah satu perusahaan bus yang memiliki armada dan pelayanan terbaik di Indonesia.

Begitu memasuki loket aku mulai ragu” masih ada tempat nggak” aku bergumam dalam hati, soalnya penumpang sudah begitu ramainya, maklum disamping karena bandara ditutup, hari itu juga bertepatan dengan hari pertama libur sekolah secara nasional.. Semua bangku diruang tunggu penuh terisi. Disetiap sudut terlihat koper dan kardus yang berisikan barang bawaan calon penumpang semrawut, bergeletakan dan membuat kaki sulit dilangkahkan.

“Abang mau kemana bang,” suara lembut petugas loket menyambut kedatanganku. Dia duduk dibelakang meja panjang yang berbentuk siku siku, sehingga sekaligus menjadi pemisah antara petugas dengan para penumpang.
“Ke Jakarta dik, masih ada tempat nggak,” aku menjawab sambil melirik belahan bajunnya yang sedikit terbuka. Persis di payudara kirinya tertulis namanya ‘Sulistyowati’. Dik Sulis ini berwajah asli solo dengan kulit kuning langsat dan sangat serasi dengan seragam yang dia pakai yaitu kombinasi hijau, kuning dan ungu.
“Wah.. Abang sungguh beruntung”
“Maksudnya..”
“Tuh.. Ibu itu baru saja membatalkan keberangkatannya, kalau tidak, Abang kena menunggu tiga hari untuk dapat tiket,” dia berkata sambil menujuk pada seorang Ibu yang baru saja lewat disampingku.
“Oh.. Terimakasih Dik Sulis,” aku berkata sambil lebih mebungkukkan badan untuk dapat lebih jelas melihat belahan bajunya. Wouw dia punya payudara cukup subur, mungkin 36B kali.
“Nih tiketnya bang,” dia menyerahkan tiket sambil menyebutkan ongkos yang mesti kubayar.

Cukup mahal memang, tetapi dibandingkan dengan tarif pesawat harganya tidaklah sampai tiga puluh persennya. Aku segera membayar harga tiket dan berlalu untuk mecari tempat duduk. Kulepaskan pandangan kesekeliling ruangan, tetapi semua bangku penuh, dan orang orang yang berdiri justru lebih banyak dari yang kebagian tempat duduk. Dalam hati aku berkata,

“Aduh.. Ini baru jam setengah tiga sedangkan jadwal busku jam empat, berdiri 1 jam setengah lumayan juga”

Aku mengoyang goyangkan kaki sambil mengamati tiketku. Rupanya bus yang akan kutumpangi betul betul bus yang istimewa. Mereka menamakannya bus” Super Executive”. Sebuah sebutan yang pantas menurutku. Di jajaran sebelah kiri hanya ada satu tempat duduk berjejer kebelakang sedangkan disebelah kanan terdiri dari dua buah tempat duduk.

Bangku bangkunya dilengkapi dengan foot leg dan berbusa empuk persis seperti kursi executive class di pesawat. Di antara sisi tempat duduk dan kaca jendela dijepitkan beberapa bantal kecil berwarna biru muda. Disandaran kepala terdapat selimut hangat dengan warna mirip bendera Italy, merah, putih dan hijau. Persis diatas kepala terdapat dua buah ventilasi ac yang dapat dirubah baik volume maupun arah semprotannya.

Melengkapi itu semua adalah sebuah TV 17 inchi tergantung diplatfon disebelah kiri pengemudi, sehingga memungkinkan semua penumpang melihatnya dengan jelas. Audionya keluaran salah satu pabrik di Jerman, suaranya jernih dan lembut karena dilengkapi dengan subwoover.

Dibelakang tersedia sebuah toilet yang dilengkapi dengan tissue, air, gayung dan sebuah cermin kecil didindingnya, tetapi ini ‘Hanya Untuk Buang Air Kecil’ demikian sederet tulisan di depan pintu masuk. Tak lupa mereka juga memanjakan para perokok dengan menyediakan ruang khusus untuk merokok atau smoking area.

“Para penumpang jurusan Jakarta, Bogor, Bandung dan Surabaya dipersilahkan menaiki kendaraan, karena bus anda akan segera diberangkatkan”

Lamunanku terputus dikejutkan oleh suara halus dari pengeras suara dan aku bergegas meninggalkan foto besar yang memamerkan interior bus yang tergantung didinding. Tiba tiba semua penumpang berdiri serentak dan suara suara yang keluar dari mulut mereka sungguh beraneka ragam.

“Oi capeklah baok barang tu.. A” Itu pasti orang Minang, yang populasinya didaerah Riau cukup besar.
“Wes sampeyan naek dulu..” Ini kayaknya dari Surabaya, orangnya kalem berjaket kulit warna hitam, sedangkan temannya memakai kaos warna hijau Persebaya dengan dua gigi emas yang sangat menonjol.
“Tos.. Teteh naik di payun atuh,” nggak salah lagi urang Sunda, mungkin mau ke Bandung.

Aku yang tadinya mau buru buru naik ke atas bus jadi terkesima melihat kesibukan mereka. Ada yang bersalaman, berangkulan dan ada yang saling menggeserkan pipi mereka, bersalaman gaya Arab..

“Silahkan Bang” Si Sulis tersenyum sambil merentangkan tangannya..

Aku melangkah naik ke atas bus dengan menginjak keranjang plastik tempat teh botol sebagai alat bantu untuk mencapai tangga utama yang cukup tinggi. Dalam hati aku bertanya,”Tempat dudukku nomor berapa ya” memang dari tadi aku tidak sempat mencek hal itu. Rupanya aku harus duduk di kursi no. 4C, berarti deretan ke empat dari depan berada disisi sebelah kanan atau bangku dua dua dan persis dipinggir jendela. Wah kebetulan ini adalah tempat duduk favouritku kalau naik bus, karena dengan duduk disamping jendela aku bisa melepaskan pandangan kesegala arah sehingga perjalanan tidak terlalu membosankan.

Aku meletakkan tas ku dirak tepat diatas kepala dan memasukkan beberapa koran serta majalah ke dalam kantong pada bagian belakang, bangku depan.

“Bapak bapak dan Ibu ibu selamat datang di atas bus super executive kami, dan semoga perjalanan anda selamat sampai ditujuan”. Sulis si cewek bertetek besar memberikan kata sambutan persis kayak pramugari dipesawat.
“Bus ini dilengkapi dengan AC, karena itu kami minta anda yang merokok untuk hanya menikmati rokoknya di smoking area yang telah kami sediakan.”

Wah.. Si Sulis kembali melanjutkan kata pengantarnya sambil berjalan pelan ke arah tempat dudukku.

“Dibelakang juga tersedia toilet tetapi hanya dipergunakan untuk buang air kecil saja, kecuali jika anda semua sepakat untuk bersama sama menikmati bau e e..” Sulis tidak melanjutkan kalimatnya karena hampir semua penumpang tertawa terbahak bahak.
“A.. Indak do, indak talok dek awak manahan baun nyo do”

Ibu ibu dibelakangku memberikan komentarnya dalam bahasa Minang.

“Baiklah para penumpang sekalian, terimakasih atas pilihan anda terhadap armada kami dan selamat jalan”

Sulis segera meminta tanda tangan pengemudi sebagai pengesahan surat jalan dan meberikan beberapa copynya kepada kondektur untuk disimpan, kemudian dia menghadiahkan sejumput senyum manis ke arahku sambil melambaikan tangannya.

“Oh.. Sulis, seandainya aku punya sedikit waktu untuk bisa menginap di Pekanbaru, maka aku yakin kesuburan gunung payudaramu akan dapat kudaki, tetapi.. Yah.. Pekerjaan tidak mengenal waktu untuk menunggu”

Setelah kondektur bus selesai membagikan snack, kendaraan mulai bergerak menuju Jakarta dan kulihat jam tanganku persis menunjukkan pukul 4 sore. Wah.. Aku salut atas cara kerja yang profesional dari segenap crew dan pengurus bus, yang dapat mengalahkan perusahaan penerbangan dalam soal tepat waktu keberangkatan.

Lho ada yang aneh kok bangku disebelahku no. 4B masih kosong!!

“Bang ini bangku kosong ya” aku bertanya ke kondektur bus yang berseragam ungu kombinasi hijau.

“Tidaklah bang, mana ada tempat kosong sekarang ini, kayaknya penumpang pesawat tumplek semua kesini, apalagi kan libur sekolah!” dia berkata sambil membetulkan letak barang barang bawaan penumpang agar tidak terjatuh selama dalam perjalanan.
“Tapi.. Ini kosong kok” aku penasaran sambil menepuk nepuk bangku tersebut dengan tangan kiriku.
“Penumpangnya naik di Teratak Buluh” (nama sebuah kampung diluar kota Pekanbaru)
“Oh..” Aku terdiam sambil mengamati deretan toko toko yang berlalu satu persatu seiring dengan kecepatan bus yang makin meningkat.

Bersambung . . . .

,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,

Related posts