Pijat “Asal” – 1

Pijat “Asal” – 1

Allo para netters.. Kenalkan, nama saya Tomi. Umur 23 tahun. Tinggi 167 cm dan berat 65 kg. Berikut saya punya pengalaman yang terjadi pada tahun 2004 (masih baru) bulan-bulan kemarin dan sebenarnya pengalaman ini justru teringat kembali setelah membaca cerita Mbak Nia, tentang mijit memijit, yang saya baca kemarin.

Saya adalah orang sunda asli dan saat ini masih kuliah di salah satu univ. swasta di kota B. Terus terang, dari diri saya ini saya nggak merasa ada yang istimewa atau ‘lebih’ daripada orang lain sebaya saya. Dengan tinggi yang ‘pas-pasan’, wajah yang ‘pas-pasan’dan duit yang juga ‘pas-pasan’ saya pikir saya bukanlah seorang cowok yang bisa ngebuat cewek merasa ‘love at the 1st sight’.

Tapi dibalik semua hal yang serba ‘pas-pasan’ itu, saya sendiri sering merasa heran karena selama saya mempunyai pacar, mereka adalah cewek yang termasuk ‘incaran’ para cowok yang mengenalnya. Swear!! Makanya kalau saya lagi jalan dengan mereka, saya sendiri kadang-kadang suka rada nggak ‘pede’! Tapi dasar cowok.. Pede aja lagi!! Toh tingkat kecakepan seorang cowok itu diukur melalui secakep apa cewek yang dia dapetin! Hehehe.. Just joke, bro..!!

Saya pernah dinasehatin oleh temen saya bahwa sebenarnya yang bikin para cewek bertekuk lutut terhadap seorang cowok itu adalah karena ‘lobby-lobby’ cowok itu sendiri. And thanks God that i have that bless!!

Singkat cerita, saat itu saya sendiri sudah punya cewek. Tapi memang sudah kodrat cowok, selalu gatel kalau lihat cewek lain yang menurutnya cakep!! Dan itu saya akui sendiri. Tapi terus terang bukan buat selingkuh. Pertama: buat ngetest, masih bisa ngedapetin cewek lagi nggak? Kedua: buat refreshing dan perbandingan dengan cewek kita sekarang dan tentu aja bukan buat manjang!

Karena ada kepentingan yang berkaitan dengan bidang komputer (saya kul di fak. Ekonomi, jadi harap maklum kalau rada-rada gaptek), saya dikenalkan kepada seorang cowok yang gape pegang komputer bernama Herry(samaran) oleh teman saya. Dan karena kepentingan saya tadi, jadilah saya sering main ke rumah si Herry ini, yang tujuannya murni bukan buat yang ‘aneh-aneh’ lho..

Ternyata si Herry ini adalah anak sulung dari 2 bersaudara. Dan adiknya adalah seorang cewek berusia 20 tahun yang.. TOP deh pokoknya! Nah adiknya ini yang akan saya ceritain..

Namanya Noni. Kuliah di jurusan bahasa. Tinggi 166 cm (kira-kira) dan berat proporsional deh (nggak pernah ditimbang sehh..). Toket ukuran 36B dengan kulit putih mulus dan rambut dicat ‘burgundi’sebahu. Kakinya jenjang dan cenderung pendiam. Pokoke.. Selera Gue Banget deh!!

Pertama ngeliat dia, saya masih segan nanya ke abangnya. Apalagi saya sendiri baru kenal! Suatu saat pas saya ke rumahnya, ternyata yang membuka pintu depan adalah Noni sendiri. Karena terkejut, saya sempat terdiam sambil melototin matanya. Mungkin kejadiannya cuman 2 detik, tapi cukup buat ngejelasin betapa tololnya saya waktu itu.

“Mas Tomi ya? Mas Herrynya barusan pergi mendadak jemput cewek-nya. Katanya disuruh tunggu di kamarnya aja, sebentar kok,” kata Noni memutus ketololanku.
“Ooh.. Gitu ya. Eh Mbak adiknya Herry ya? Namanya sapa seh?” kataku cepat untuk menutupi ketololanku tadi.
“Noni!,” serunya pendek sambil mengangkat tangannya untuk menyalamiku.

Dan (masih) seperti orang kikuk, saya langsung menyambut uluran tangannya. Hangat dan lembut terasa di telapak tanganku.

“Ya sudah kalau gitu langsung aja ke kamar si Mas, pintunya mau aku kunci neh soalnya nggak ada sapa-sapa!”

Sebagai seorang ‘gentleman’, langsung aku tutup dan kunci pintunya dari dalam. Setelah itu saya menunggu sampai Noni melangkah duluan. Saat itu Noni mengenakan rok pendek dan kaos rumah yang tipis dan tampak belel. Mungkin karena itulah saya bisa ngeliat kakinya yang jenjang dan putih. But ups! Waktu ia berjalan di depanku, keliatan kalau langkahnya nggak normal. Kaki kanannya seperti kesakitan waktu dilangkahkan.

“Non, kakinya kenapa? Keseleo ya?” tanyaku iseng sambil mengikutinya.
“Iya neh.. Kemaren keseleo waktu bowling..,” jawabnya sambil melirik ke arahku dengan wajah kesakitan yang diusahakan tersenyum.
“Sudah diurut belom?” tanyaku lagi cari kesempatan.
“Nggak usahlah. Bentar juga baikan. Sudah dibalsemin kok!” katanya sambil memegang pegangan tangga ke atas (kamar Herry dan Noni bersebelahan di lantai 2).
“Eh jangan diremehin lho! Kalau nggak disembuhin cepet-cepet, bisa-bisa cacat permanen lho!” seruku cepat.
“Iya gitu? Nggak mungkin banget gitu luooh!” katanya dengan bibir yang dibuat manyun sambil tangannya membuka ‘handle’ pintu kamarnya.
“Hehehe.. Ntar kalau kakinya Nggak normal lagi baru tahu rasa lu! Ya sudah, kalau gitu saya tunggu disini aja ya!” lalu saya masuk ke kamar Herry.

Selintas Noni keliatan berpikir sebelum masuk ke kamarnya dan menutup pintu.

Satu jam sudah saya menunggu. Herry masih belom dateng juga. Sambil terus memperhatikan adegan dalam film ‘The Incredible Hulk’ (yang sebenanya sudah pernah saya tonton), jariku kembali menekan tombol ‘redial’ di hpku. Namun tetap saja saya terhubung pada mailbox (padahal maunya terhubung pada Herry. Hehehehe). Tiba-tiba terdengar ketukan pelan di pintu kamar. Saya segera bangkit sambil mengecilkan volume speaker dan membuka pintu.

“Non, whats up? Kirain si Herry!” kataku begitu tahu kalau yang datang Noni.
“Lagi ngapain? Ngeganggu Nggak?” tanyanya.
“Nggak ngapa-ngapain kok. Kenapa memang?”

Dia terdiam sejenak, lalu..

“Mm.. Omongan Mas masih kepikiran neh..”
“Omongan apaan?”
“Yang cacat permanen itu lho.. Keseleo tea!” katanya dengan logat sunda.
“Ooh itu. Iya gitu, Non.. Mendingan di urut aja deh!”
“Sakit Nggak?”
“Yah paling dikit lah. memang belum pernah diurut?”
“Belum neh. kalau diurut dimana yah?” katanya sambil duduk di tepi meja komputer di hadapanku. Buset, nih cewek baru kenal tapi luwes aja seh!!

“Ya diurutnya di kaki lah!! Masa di idung seh!!” seruku pura-pura bego.
“Iya tahu itu mah!” katanya sambil memukul ringan tanganku, “Maksudnya, ama sapa dan dimana gituuh!”
“Ada seh, di daerah atas. Bapa-bapa gitulah. Tapi biasanya kudu antri dulu. Mau?”
“Yaah.. Kan Noni kudu nungguin rumah. Yang deketan nggak ada yah?”
“Ada seh.. Tapi kudu dirayu-rayu dulu gitulah..!” kataku sambil mengerling penuh arti. Ting ting..!
“Ih apaan coba! Dasar ganjen! Jd cowok tuh Nggak boleh ganjen tahu Nggak!” serunya sambil mencubit pahaku keras.
“Aw! Jadi Nggak mau ngerayu neh?! Ya sudah,” jawabku sambil berlaga tiduran nerusin nonton film.
“Yee.. Emangnya bisa ngurut gituh? Jangan-jangan malah tambah parah lagi! Kan repot!”

Pada dasarnya saya memang Nggak bisa ngurut. Cuman iseng doang. Paling banter kalau gagal kan bisa dibawa ke dukun santet.. Eh.. Dukun urut!

“Ih Nggak tahu aja ya! kalau soal urut mengurut mah gampang atuh.. Mau Nggak? Keburu Mas Herry pulang.. kalau keburu pulang, saya Nggak mau diganggu, banyak kerjaan seh!” kataku setengah memaksa padahal deg-degan juga tuh. Saya sendiri heran, kok saya selancar ini ngadepin cewek cakep. Biasanya Nggak mungkin seperti ini. Pasti ngap-ngapan!

“Ya sudah kalau gitu. Tapi di kamar Noni aja yah. Supaya bisa sambil nonton infoteinment!” katanya sambil melangkah menuju kamarnya. Kamar Herry memang tidak dilengkapi dengan TV.

Tanpa buang waktu lagi sayapun segera menyusul ke kamar Noni(sampai lupa matiin komputer). Setelah menutup pintu, sejenak saya memandang berkeliling untuk beradaptasi. Warna dindingnya dominan hijau muda dengan sprei yang terlipat rapi di atas kasurnya. Rak buku tersusun rapi di samping meja riasnya. Lemari pakaiannya adalah benda yang paling besar dikamarnya dan dilengkapi dengan cermin yang besar pula. Disalah satu bagian dinding kamarnya, terdapat poto-poto Noni dan ada pula potonya bersama seorang cowok (Pacarnya kali).

“Ngeliatin apaan seh? Katanya disuruh cepetan..,” sungutnya.
“Ok. Ya sudah. Noni tengkurap diatas ranjang aja deh. Eh ada minyak telon Nggak?”

Noni segera mengambil minyak telon dari meja riasnya dan memberikannya kepadaku. Lalu ia segera menaiki ranjangnya dan tengkurap. Sayapun segera menaiki ranjang tersebut dan duduk disebelahnya. Sambil membasahi tanganku dengan minyak telon, saya pandangi tubuh Noni dari ujung kaki sampai ke ujung rambutnya. Badannya terlihat padat dan terawat.

Apalagi pantatnya yang bulat (bener-bener bulet, bro..!) dengan garis CD yang tercetak jelas di balik roknya. BH hitamnya tampak menerawang dibalik kaos tipisnya. Sementara itu tengkuknya yang tak tertutup oleh rambutnya tampak sangat putih dihiasi rambut-rambut halus. Noni sendiri tak sadar kalau tubuhnya sedang kuperhatikan karena lagi asik nonton infoteinment.

Segera kutuangkan sedikit minyak telon ke atas betis kanannya sambil mulai kuusap halus. Lama-lama makin keras dan tampak Noni mengejang menahan urutan tanganku. Kadang-kadang ia menengok ke belakang dengan dahi yang mengkerut sambil menggigit bibir menahan nyeri. Dan ekspresi itu cukup membuatku ‘up’. Dengan berlagak sebagai seorang yang mengetahui teknik pijat dan urut, saya terus mengurut kakinya. What tahune hekk! Toh Noni sendiri belum pernah diurut berarti dia juga Nggak tahu mana urut yang benar dan mana urut yang ‘benar'(benar-benar asal maksudnya)!

Karena terus ‘meronta-ronta’, tanpa sadar rok di pahanya makin tersingkap. Paha mulusnya yang tadinya sekedar mengintip, kini mulai berani ‘menampakkan dirinya’. Juga kaos bagian bawahnya yang makin lama makin menyingkap memperlihatkan pinggulnya yang putih. Tentu saja saya selalu pengen meminta lebih (sebagai cowok normal).

“Non, kayanya otot-otot di kaki kamu masih pada tegang. Saya urut semua ya?” tanyaku lirih.

Noni tidak meng-iya-kan. Hanya gumamannya menandakan ia setuju. Nampaknya ia masih asik memperhatikan TV. Dengan perlahan tanganku menjelajah ke paha belakangnya. Mengurut perlahan lalu turun lagi. Begitulah berkali-kali sampai tampak jalur-jalur merah disitu. Kadang-kadang jariku menyentuh CD nya yang berbatasan dengan pantatnya lalu cepat kutarik lagi. Salah-salah bisa kena gampar!

“Mas, pinggang ama punggung Noni pegel-pegel neh, kayanya mau mens. Pijitin juga dong. Enak seh…” katanya tiba-tiba dengan tidak mengubah posisi tengkurapnya.

Bersambung . . . .

,,,,,,,,,,,,,,,,,,

 

Related posts