Wirdan dan Tamara

Namaku Wirdan, seorang ekskutif muda berumur 35 tahun mempunyai perusahaan dibidang produksi alat keamanan di Singapura. Aku adalah orang Indonesia asli, namun aku sudah 4 tahun tinggal Singapura untuk mengembangkan bisnisku. Sekarang lebih mudah, dengan aku mendaftar melamar menjadi Permanent Resident, membuatku lebih tenang dengan mengembangkan bisnisku. Masa depanku tergantung pada bisnis ini, termasuk Cindy istriku. Perempuan yang aku nikahi 2 tahun silam. Kala itu, aku hanya pekerja kontrak dan Cindy adalah pacarku. Setelah menikah aku yang baru 1 tahun 4 bulan bekerja, berani meminjam uang perusahaan untuk membuat perusahaan kecil yang akan menjadi anak perusahaan.

Mimpi itulah yang membuatku berani mengambil langkah berani. Aku pindah dari perusahaan di Indonesia ke Singapore dengan dukungan Iwan. “Aku yakin bro, kamu bisa mengembangkan bisnis yang kamu impikan. Tetapi kenapa ke Singapore?” tanyanya padaku. “Untuk urusan uang sih cukup bagus, kita bisa ngatur keuangan dan lainnya. Makanya jika ada kesulitan, jika ada peluang aku akan bantu.” ucapku pada Iwan seorang temanku, yang dahulu adalah teman bersama dan kini aku dengar dia dipecat. Maka aku suruh anak buahku menyelidiki kenapa ia dipecat, rupanya karena perusahaan tidak sanggup membayar gajinya.

Maka sebagai peluang menyelamatkan dirinya, termasuk janji. Aku menyetorkan namanya saat bosku memberikan peluang mengembangkan perusahaan. Aku menyatakan bahwa dia memiliki pengalaman dalam bidang distribusi dan dan peningkatan kualitas barang, sembari aku memberikan artikel sewaktu perusaahan dahulu berjaya. Ia menyetujuinya. “Tamara, kamu masukin ke Jadwalku untuk telepon Bapak Iwan nanti malamnya.” perintahku pada Tamara, Mahasiswi Indonesia yang kuliah disini. Setahun lalu, ia pergi ke sini untuk meminta waktu bekerja selama 6 bulan, maka aku berikan pengalaman biang marketing. Karena pekerjaan bagus, dan sekertaris mengundurkan diri aku mengangkatnya. Lalu, aku menawarkan kenaikan kontrak penuh, ia menerimanya.

“Iya pak, tapi dia orang Indonesia lho pak. Takutnya kita mesti urus visanya, atau bagimana kontrak bermasalah.” ujar Tamara. “Gak papa, aku udah tau dia. Selama ini dia udah aku cari tahu dari Hendra yang aku tugaskan 2 minggu lalu untuk cari tahu. Dia lagi ada masalah sejak dipecat makanya akum au rekrut dia karena gak perlu bayar ganti rugi ke perusahaan lama.” ujarku pada Tamara. Tamara mengangguk setuju, perempuan itu adalah orang yang bisa memahami cara pikirku bekerja, bahkan ia tahu kesenangan ku membaca majalah 12 jenis untuk menambah wawasanku.

Malam itu, “Hei Iwan, apa kabar kamu?” ujarku ditelepon. “Oh baik, Wirdan bagimana kabarmu dan keluarga di Singapore dan bisnismu?” ujarnya diseberang suara, menanggapi sapaanku. “Baik semuanya baik, sebetulnya ada sebuah masalah sih. Aku pikir kamu akan bisa membantuku.” ujarku berbicara mulai serius, “Masalah apa Wirdan, ngomonglah biar aku bisa kasih solusi.” Ujarnya. “Aku butuh pemimpin produksi atau lebih tepat manager yang bisa urusin masalah itu. Ini mirip dengan perusahaanmu dahulu posisinya, bedanya kamu bisa lakukan idealisme kamu untuk perusaahaan asal sesuai aturan. Jadi intinya, aku butuh kamu.” ujarku dengan cukup percaya diri. “Sebetulnya aku pengen banget kerja, tetapi aku ada masalah keluarga. Mungkin aku kasih jawaban 7 hari lagi gimana?” ujarnya. “Tapi malamnya, soalnya aku lowong malam Iwan, biar santai juga ngomongnya.” ujarku, perasaanku mengatakan Iwan akan menyetujuinya.

Aku sendiri bingung kenapa Iwan menolak memutuskan secepatnya, biasa ia orang yang bisa memutuskan secara cepat. Aku pulang ke Appartement, Cindy sudah menungguku. “Ting-tong.” Demikian bel pintu flat kami berbunyi. Pintu terbuka, “Hai mas, gimana pekerjaanmu. Baik-baik saja?” tanya dengan tenang.

“Baik. Cuma kita butuh karyawan baru untuk posisi penting. Maka akum au rekomendasikan Iwan teman kerja ku dahulu.” kataku dengan santai, “Lho kok dia, kamu kan bisa pilih aku. Aku bosan disini cuma auditor independen pajak aja.” kata Cindy sengit, ia berubah marah. Aku terkejut; namun tidak apa aku mencoba menjelaskan. “Cindy, kamu tahu kan. Perusahaan kita baru mau maju, kita harus buang kaya kemudahaan buat keluarga kita. Makanya aku gak masukin tagihan kita ke kantor. Kecuali mereka pake kerjanya Shift maka aku nambah tujangannya.” ujarku namun Cindy masih ketus saja, padahal jika diacari kerja aku yakin banyak perusahaan mau memperkerjakannya.

Aku melangkah ke kamar, berniat mandi. Aku mandi, aku masih memikirkan perkataan istriku itu. Mungkin saja dia kangen, hampir dua minggu kami tidak bersetubuh. “Oh, bagimana aku mengajak dia bersetubuh. Mungkin dengan begitu dia akan bersikap lebih lembek.”demikian pikirku. Aku keluar dan bersalin pakaian, kemudian makan. Setelah makan. Aku memeluknya dari belakang. “Cin, ayo kita bercinta. Udah lama kita gak melakukannya, aku udah kangen.” ujarku sambil memeluknya dan mencium lehernya dari belakang. “Ah…mas…okay…bol…bole…h..deh.” ucap Cindy sedikit merancau. Aku mendorongnya kekasur dan membalik tubuhnya. Aku membuka pakaian yang memakai kaus dengan celana tiga perempat. “Oh…mas…mmmph…oh….terusin…” ujarnya saat aku memainkan kedua payudara dengan kedua tanganku sebelum membuka kaos yang digunakannya. Muka Cindy mulai memerah dan nafasnya kian mendesah. Aku membangunkannya, dan membuka kaos dan membuangnya sembarangan.

Kedua payudara yang putih dengan putting berwarna pink muda terlihat kurang jelas karena Bra yang digunakannya menutup. Aku menciumnya, sambil tangan kiriku menyilang menyentuh bahu kanannya. Sedangkan tangan kananku membuka kaitan branya, tidak butuh waktu lama aku membukanya. Aku melepaskan ciuman, dan membantunya membuka bra yang digunakannya. “Ih..mas…mulai…nakal..ya…”ucapnya dengan wajah memerah. Aku menidurkannya, aku melepaskan celana yang digunakannya serta celana dalamnya. Kurang dari 20 menit, aku berhasil menelanjangi istriku. “Sekarang, kamu terlihat cantik, walaupun tidak ada satu benangpun tutupi tubuhmu.” ujarku. Aku turun dari kasur, lalu mendekati lubang memeknya. Aku memasukan jari telunjuk dan jari tengah tangan kananku. Aku memainkan memeknya, ia mulai merancu dan kebelingsatan. “ah..mas…oh…mmm…ph…ah…ah…ah..ah…oh’ ujarnya makin merancau, ia menutup wajahnya dan mencakar kasur. Aku makin menjelajahi memeknya, dengan memasukan jari lebih kedalam. Kau mencari biji klitorisnya, tidak lama aku menemukanya. Sudah 20 menit aku mememainkan biji klitorisnya.

“Hh…ma…s…oh…te…ru…s..oh..ah…ah…ah..” ujarnya mengelijang kenikmatan ketika biji klitoris aku mainkan. “oh…oh…ma…s….ah…aahh..” ujarnya ketika aku mempercepat permainannya.“Mas,…aku….oh…oh…mas…ah…ah..aku…mau….ah…sam…sampe.”ucapnya merancau, aku mengeluarkan kedua jariku. Baru sesaat jari keluar, cairan kewanitaan Cindy keluar. Aku menempelkan kepalaku didepan memeknya, lalu menjilatinya. “Oh…mas….oh…ja…ngan…” ujarnya sambil mendesah, entah apa maksudnya. “slurp..slurp..slurp…” aku menjilatnya, setelah cairan itu habis. Aku mendekati wajahnya. “Mas..oh…aku.***k suka kamu jilat kaya gitu. Kaya gak ada cara lain. Aku ini istrimu, jika kamu minta oral aku mau tapi kalo kamu jilat kaya gitu aku gak setuju.” ungkapnya, aku terkejut aku bingung aku tidak ragu melakukannya kenapa ia marah padaku.

Aku mendorongnya kembali dengan pelan, dan menciumnya. Aku membuka kaosku dan bertelanjang dada. Cindy bangkit dan mendorongku, dan membuatku terjatuh dikasur. Ia membuka celanaku dan celana dalam yang aku pakai. Kontolku masih belum berukuran maksimal, ia memegangnya dengan tangan kanan lalu menjilatnya dengan lidahnya. “oh…Cin…oh…ter…terus….” ucapku kepadanya. Aku merancau, dia memainkan kemaluanku dengan memasukan kemaluanku kemulutnya dan tangan kanan memainkan bagian kontolku yang tersisa. “ohh…teru..terusin…oh..nikmatnya.”ujarku, dan kontolku berreaksi. Permainannya membuat kontolku berejakulasi dan naik.

20 menit kemudian, kontolku pada ukuran maksimal. “MMM…PHH..” ucap Cindy dengan terkejut mengetahui kontol sudah berkembang demikian. Ia mengeluarkannya, dan turun kebawah dan menjilatinya. “mmph…oh….ohhh……cindy…saya…sanyang..” ucapku merancau dengan pelan. 3 menit lamanya, kemudian kembali melakukan oral. “oh…Cindy…oh….oh…” ucapku mengetahui ia mulai kembali memainkan kontolku. Akhirnya aku klimaks dan mengucapkan,” Cindy..aku..oh…aoh….oh..aku..sampai.” ucapku sambil tangan ku bergerak memegang bagian kepala belakang dan menekannya. “Oh…oh…oh…” ucapku. Sementara kontol ku berasksi. “crot..crot…crot.” demikian sperma ku keluar masuk kemulutnya. Sedikit masuk mulutnya yang kecil. Sisanya aku basahi ke tubuhnya baik payudara, wajah dan perutnya.

Cindy cukup puas, sedangkan birahiku masih dikepalaku. Aku tarik tubuh Cindy membelakangiku. “Cindy sayang, kamu bisa merangkak.” ucapku memerintah, Cindy menganggukan kepalanya. Ia merangkak, sementara tangan dan lututnya menjadi tumpuan. “Oh..mas…sebentar..aja..ya, aku lagi males ngentot.” ucapnya, aku menunda. Ia suka sekali menolak persetubuhan tengah permainan kami. Padahal aku mencoba mengikuti permintaannya, aku memakai kondom dan seks jika disetujui kedua belah pihak. Aku juga menganggap persetubuhan adalah kepuasan bersama.

“Lho kok, kamu nolak lagi. Sekarang masalahnya apa?” ujarku menahan birahiku. Aku mencoba berpikir rasional. “Aku lagi subur mas, aku gak mau hamil.”ujarnya, Aku menyiritkan dahi.”Kenapa kamu berpikiran gitu.” Ucapku, “Ya aku gak pengen dulu. Aku mau bebas 4 tahun atau berapalah.” ucapnya. “Udahlah, aku mau bersetubuh. Aku pake kondom dulu.” ucapku sambil bangun ke lemari. Aku bingung, dan menuju laciku dan mengambil kondom dan memakainya. Aku kembali keranjang, “Jbless.” Buru-buru aku memasukan kontolku kedalam memeknya. “Auchhh…mas..oh..oh…oh.” ucapnya merancau, aku mememompa kemaluan istriku sambil mengejamkan mata, melupakan kekesalanku tadi. “ah…oh…mas…teru…terus..terus…” ucapnya sambil ikut mengejamkan matanya. Kenikmatan, memenuhi kepalaku. Aku makin bersemangat untuk melakukanya, aku menambah kecepatan. “oh..mas….oh…ter…ter..us…” ucapnya ikut merancau. Dua jam persetubuhan berlangsung dan aku mengabiskan dua bungkus kondom. “AHHH…AHAHAHHAHA.” teriak menembakkan spermaku kedalam kondom.

Aku bangkit dan mengeluarkan kontolku dan kondom terpasang. Aku membuang ketempat sampah dan mandi. Setelah itu, giliran istriku mandi setelah merapihkan kasur. “Cindy, bisakah kita seks biasa aja. Aku membuang spermamu kedalam rahimmu. Udah dua tahun kaya gini.” ujarku memohon. “Tidak mas, aku gak mau hamil dahulu.” ucapnya membuang muka dan tidur. Aku medekati tubuhnya, ternyata dia sedang sms seseorang. “Kamu sms siapa?” tanyaku. “Ibuku, mas.” ucapnya, aku curiga, dan pura-pura tidur. “Kok, dia sms ibunya gak ada tulisan mama. Tapi nomor gak disimpan.”pikirku, tetapi aku tidak mau kebingungan melanda, aku mencoba tidur sebisaku.

Paginya, istriku mengatakan akan menemui calon kosumennya yang kesulitan mengisih pajak. Aku menghubungkan kejadian semalam sebagai penyebabnya. “Oh kalo kaya gitu, mungkin dia gak mau aku tahu dia ada klien. Makanya dia bohong ke aku.” pikirku sambil memakan roti bakar dan meminum kopi lalu berangkat ke kantor. Sesampainya di Kantor dan masuk lift, “Selamat pagi pak, ini rencana kerja bapak. Sambil memberikan laporan kerja,” ujar tamara. “Terima kasih Tamara, kamu membantu.” ucapku. “Pak, punya saudara namanya Hendra?” tanyanya tiba-tiba. “Gak, kenapa?” kataku sambil menatapnya. “Gak papa, Cuma…oh dasi bapak kendor. “ ucapnya merapihkan. Ia tidak membawa apa-apa. map yang dibawa aku pengang. Ia setinggi bahuku dengan sepaku hak tinggi, maklum saja tinggi 185 cm,sedangkan 177 cm.

Ia merapihkan dasiku, “Maaf pak jika berkenan.” Seraya mengangkat tanganya, aku menghadapnya untuk membetulkan dasi. Pintu Lift terbuka, karyawan melihat kami. “Sorry, She help me tidy my tie.” Seraya menatap mereka, syukurlah mereka memahami dan melihat dengan pemikiran saya karena melihat aku memengang map. Kami keluar bersama, “Kamu masuk ke ruangannya, biar langsung tanda tangan.” Saat aku berjalan memasuki ruangan. “Tidak pa, aku malu.” ujarnya, “Kenapa malu, kamu cuma betulin dasi. Ini Singapore bukan Indonesia yang bisa gosip pekara ruangan sempit benerin dasi kaya sinetron.” tegasku kepadanya.

Singkat cerita kami melakukan kerja kami masing-masing, pada makan siang. “Tamara, kita makan yuk? Sekali-kali kita coba ramen.” ucapku mengajak. “Iya pak, terima kasih. Tapi saya mau pulang dulu. Saya ada janji ketemu dosen buat skripsi saya, jam 3 sore.” ujarnya. “Okay, gak papa. Aku akan antar kamu ke kampus, itu kewajiban saya. Karena kamu kerja fulltime dan saya suka pengawai yang mau tangungg jawab kaya kamu sama pilihannya.” Ujarku. Sebetulnya dia sempat meminta saran untuk cuti kuliah, tetapi aku tidak mengizinkannya. Aku bahkan memberikan cuti khusus untuknya kuliah asal dia tetap kerja diperusahaanku.

Siang itu kami makan bersama, aku sengaja mentraktir dia sembari mengantarkan perempuan yang seksi ini kuliah. “Tamara, kamu tadi sebut nama Hendra. Emang kamu kenal dimana?” tanya aku. Dia menghentikan makannya, “Maaf pak lancang, dan benar-benar tidak sopan. Kemarin minggu saya pergi keperluan. Saya melihat istri bapak nonton bersama teman prianya, maka saya sapa. Namanya pak Hendra.” ujarnya menjelaskan. Aku terkejut, tetapi pura-pura sewajarnya dalam bersikap. “oh,gitu ya.” ujarku sebetulnya aku kesal mendapat laporan ini, ingin memeriksanya. Tetapi semua didepan Tamara aku pura-pura menutupinya, setelah makan aku mengantarnya ke kampus. Aku terus memikirkannya, “apa aku coba mengeceknya sekali-kali.” pikirku, semua ku pendam sampai berberapa hari. Setelah seminggu, aku mencoba menelepon Iwan, belum sempat menekan. Iwan menghubungiku.

Halo Wirdan, ini aku Iwan. Apa kabar kamu?” ujar Iwan diseberang telepon. “Oh ini kamu Iwan, barusan aku mau menelepon kamu. Baik,” ucapku. “ Untung banget kamu nelepon. Ini tentang kerjaan kamu bersedia jadi manager produksi? kamu punya pengalaman sekarang juga masih gak kerjaan. Kalau bersedia, kamu bisa ke sini bulan depan, tapi kerjaan mulai lusa sekertaris kamu udah kita siapin buat kirim laporan. Bagimana buat gaji nanti cukup sih buat dua istri hehehe.” jelasku Menambahkan, Iwan diam saja diseberang telepon. Terdengar suara lain, tiba-tiba menjawab, “Oh, iya. Aku bersedia, aku lagi butuh kerjaan nih. Aku juga ada masalah, tapi aku ceritain pas udah disana.” Ujarnya, aku senang. “Oh, iya. Aku bersedia, aku lagi butuh kerjaan nih. Aku juga ada masalah, tapi aku ceritain pas udah disana.”ujarku sambil menutup telepon. “Kenapa pak?” tanya Tamara, yang hari itu sedang lembur mengurusi laporan bulanan untuk induk perusahaan. “Oh, Pak Iwan deal, kamu minta Abdul siapkan kontrak kerja sama dan laporannya.” Ujarku.

bersambung

Related posts