A Little Surprise at The Highschool Reunion
Hai,
KRRRRR….KRRRR….KRRRR……Getaran ponsel ini terasa membuatku geli, apa lagi aku selalu meletakkannya di pangkuan pada saat mengemudi seperti ini. Dengan penuh kerepotan akhirnya aku berhasil memasang earpiece dari peralatan handsfree ini tanpa harus mengurangi kecepatan Katana hijauku. (Mengherankan, bukankah mereka merancang ‘handsfree’ untuk mengurangi kerepotan, tapi kenapa kabelnya selalu kelewat panjang hingga malah bikin repot?)
“Halo!” Sapaku dengan nada datar karena aku tidak sempat melihat caller id pada display.
“Sari?” Tanya suara seorang pria di ujung sana.
“Yup! Saya sendiri.” Jawabku sambil melenggokkan setir menghindari sebuah truk sampah yang kelewat pelan.
“Masih inget aku nggak?” Tanya suara itu lagi.
“Hm…siapa ya?”
“Bret!” Jawabnya singkat.
“Hm…bret…bret…siapa sih?”
“Walah, masa lupa sih? Kamu dulu suka nyontek ke aku pas sumatif bahasa Inggris!”
“Aaayayayaaa! Bret! Iya, iya aku inget!” Jawabku antusias ketika aku mengingatnya, “Tumben nelpon! Apa kabar?”
“Baik! Kamu sendiri gimana?”
(Percakapan selanjutnya nggak saya tuliskan, karena hanya berkisar pada percakapan dua orang teman SMA yang sudah hampir 10 tahun tidak ketemu).
Nama Bret itu sebenarnya bukan nama asli pria itu. Itu adalah panggilannya semasa SMA dulu karena celana abu-abunya pernah robek terkait paku di tembok pinggir kelas dan mengeluarkan suara “bretttt!”. Dia salah seorang teman dekatku di SMA, kami menjadi begitu dekat karena saling membutuhkan dalam ulangan atau ujian. (Bagi yang pernah SMA, tentu mengerti maksud ‘saling membutuhkan’ itu! Nggak usah sok pinter!)
Ia memberikan informasi padaku tentang reuni SMA kami dulu, yang rencananya akan digelar besar-besaran dan melibatkan 50 angkatan, sejak lulusan tahun 1950 sampai 2000. Beberapa hari kemudian, mantan-mantan teman SMA ku juga lantas menginformasikan hal yang sama, begitu juga di beberapa website, maklum, SMA tempatku bersekolah dulu termasuk salah satu SMA negeri yang disukai di kota S sini ini. Meski awalnya aku kurang tertarik untuk hadir, setelah beberapa teman mendesak akhirnya aku ingin hadir juga. Lumayanlah untuk ketemu teman-teman lama, pikirku. Dan tentunya aku juga punya tujuan sampingan, yaitu mendapatkan petualangan baru! hehehe. Tapi pertanyaannya adalah dengan siapa aku akan kesana? Tentu tidak mudah untuk mencari gerombolan teman-teman lama di tengah lautan orang dari 50 angkatan, pikirku. Kalau dulu waktu SMA sih… dengan reputasi seperti aku, tentu banyak lebah-lebah yang mencoba hinggap untuk menawarkan jemputan, tapi sekarang? setelah hampir 10 tahun, apakah lebah-lebah itu juga masih belum menemukan ‘bunga terakhir’-nya?
Namun ternyata keadaan tidak seperti yang kubayangkan. Mungkin ini yang dalam psikologi disebut sebagai ‘pemanggilan kembali memori lama yang dipicu oleh kondisi lingkungan yang serupa dengan kondisi masa lalu’. Beberapa teman SMA pria yang kebetulan masih single (atau mengaku masih single) menawarkan untuk menjemputku. Untuk menghindari konflik dengan ibu-ibu rumah tangga, maka aku terpaksa mencari data yang benar tentang para calon penjemputku itu lewat teman-teman tempat kerja mereka sampai akhirnya aku memutuskan untuk berangkat bersama si Bret yang pertama kali menelponku tentang acara reuni ini.
Singkat kata, malam ini aku sudah duduk manis di lobby apartemenku, menanti jemputan si Bret. (Sekedar info, aku pindah rumah dari apartemen P ke apartemen M, tempat yang dekat dengan salah satu gerai Mc Donald’s di kota S). Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya si Bret itu muncul juga diantar oleh sepasang satpam. Mungkin karena tongkrongannya tidak banyak berubah sejak SMA, masih bertampang agak kriminil, maka kepala satpam memutuskan agar dia diantar dua orang untuk masuk ke lobi apartemen.
“Hey! Kamu tambah keren deh!” Sapaku dengan basa-basi setengah flirt.
Bret diam saja. Ia malah berkacak pinggang dan mengamatiku dari ujung kaki ke ujung rambut, tapi tidak berhenti sebentar di daerah paha dan dada seperti lazimnya pria hidung belang yang menatapku.
“Hmmm…kamu banyak berubah ya, Sar?” Gumamnya.
“Oh? Masa? Kamu juga kok. Kamu lebih pinter milih baju sekarang!” Godaku lagi.
“Ya, ya, ya…kamu juga sudah mulai belajar kalau baju dengan garis horisontal akan mengurangi kesan kerempeng!” Balasnya.
Kami lalu tertawa-tawa dan masih melanjutkan saling ejek sampai kami masuk ke mobilnya. Malam itu aku memang mengenakan pakaian setengah casual. Sebuah kamisol garis-garis hitam putih yang dilapisi blazer hitam dan celana favoritku, Armani ketat warna hitam. Sementara Bret tampil dengan kemeja hitam yang merk-nya tidak jelas dan celana yang warnanya sulit dibedakan apakah biru atau abu-abu. Si Bret ini sebenarnya lumayan good-looking dengan tampangnya yang campuran Ambon-Manado, tapi rambutnya yang dipotong model Ivan Drago itu memang membuat wajah kerennya terlihat agak jahat dan pantas dicurigai sebagai pembuat onar, didukung dengan posturnya yang tinggi tegap namun agak sangkuk.
Akhirnya kami tiba di tempat reuni itu dilaksanakan, yaitu di gedung SMA kami dulu, di kompleks SMA negeri favorit di perempatan yang cukup beken di kota S. Suasana di luar gedung sudah penuh dengan manusia dari berbagai usia dan berbagai dandanan, yang menunjukkan dari generasi tahun berapa mereka dilahirkan. Teman-teman seangkatanku cukup banyak juga yang hadir. Rata-rata dari mereka sekarang bekerja atau punya usaha sendiri, dengan posisi ekonomi yang mulai mapan meski belum sukses-sukses amat. photomemek.com Beberapa temanku dari klub Jangkung (klub basket) juga hadir di situ. Rata-rata dari mereka masih single karena sulit menemukan pria segenerasi yang lebih tinggi. (Yah, anggap saja alasannya begitu!) Beberapa teman malah datang bersama dengan mantan pacarnya waktu SMA dulu, bukan dengan suami atau istrinya yang sekarang. Cukup lucu, meski menyerempet resiko cukup tinggi yang nanti akan kuceritakan lebih detail.
Acara dimulai, kami masuk ke tengah lapangan luas yang dikelilingi gedung sekolah. Gedung sekolah sudah banyak berubah, dibangun di sana-sini, maklumlah banyak anak pejabat yang bersekolah disini sejak dulu. Bahkan beberapa pejabat, seperti mantan wapres juga alumni di sini dulunya. Ada juga beberapa artis terkenal yang rupanya alumni sekolah ini.
Konyolnya, secara tidak sengaja aku sering bertemu pandang dengan banyak pria yang pernah mengisi malam-malam seru dalam petualanganku. Umumnya mereka tidak menyapa dengan kata-kata, hanya menyunggingkan senyum yang lebih mirip seringai dingin, mungkin mereka teringat kembali akan adegan-adengan yang pernah mereka lakukan bersamaku. Gila, rupanya mereka juga banyak yang sekolah disini dulunya. Banyak juga rekan bisnis dari perusahaanku yang hadir sebagai alumni angkatan yang berbeda, golongan yang ini umumnya menyapaku dengan, “Selamat malam Bu Sari, rupanya alumni juga toh!” Tapi lantas berubah jadi ledekan karena melihat name-tag angkatan yang kukenakan menunjukkan tahun yang jauh lebih muda dari mereka. Kalau sudah begitu umumnya mereka bilang, “Walah! Ternyata Bu Sari ini masih kecil toh!” Gitu.
Acara demi acara berlangsung di panggung tanpa banyak diperhatikan penonton karena mereka lebih sibuk bernostalgia dengan gerombolan seangkatannya. Begitu pula rekan-rekan seangkatanku. Kami juga saling bersalaman sambil menjerit “Aaaaaaa! Kamu kok tambah gendut.” atau tambah kurus, atau tambah jelek, atau yang lain-lain, yang kemudian disusul dengan “Eh, denger-denger si anu udah cerai dengan si anu.” Atau “Kamu denger nggak kalau si anu sekarang jadi anu di perusahaan anu”, atau bahkan “Si anu masuk bui, lho!” Sampai yang paling seram, “Tahu nggak, si anu bunuh diri!”
Beberapa pria dari klub basket yang dulu pernah…engg…’menjadi sparing partnerku dalam latihan berpetualang semasa SMA’ kini mengitariku sambil berbasa basi. Tidak ada dari mereka yang berani membicarakan tentang apa yang pernah kami lakukan di aula kosong, di ruang ganti, atau di sudut kelas kosong 10 tahun silam. Bukan apa-apa, mungkin karena mereka merasa nggak enak dengan teman-teman pria yang lain yang rupanya juga pernah mengalami hal yang sama. Agak risih juga kalau sudah dalam posisi ini. Untuk menghindari suasana rikuh, aku memutuskan mengikuti ajakan Bret untuk bernostalgia memasuki ruangan kelas tempat kami dulu belajar bersama di kelas satu.
“Kamu inget apa yang pernah terjadi di kelas itu dulu?” Tanyanya ketika kami berjalan di koridor menuju kelas tersebut.
“Yang mana tepatnya?” Tanyaku berusaha diplomatis.
“Itu, yang pernah dilakukan sama si anu dan si anu.” Jawabnya sambil tetap melangkahkan kaki.
“Hm…yah…inget sih…apa itu bukan cuman gosip?” Jawabku, lagi-lagi berusaha diplomatis.
“Hihihi.” Bret tertawa kecil, “Yang aku ingat sih…cuman gosip tentang kamu waktu itu!”
Setibanya kami di pintu kelas yang legendaris (menurutku) itu, kami agak kaget karena mendapati pintunya seperempat terbuka. Aku menghentikan langkah dan memasang telunjuk di bibir, memberi isyarat Bret untuk tidak bersuara. Meski sebenarnya itu tidak berguna, karena suara hingar bingar band di lapangan tetap saja kencang. filmbokepjepang.com Aku ingat benar situasi seperti ini pernah terjadi 11 tahun yang lalu. Waktu itu sore hari, sehabis olah raga, aku dan beberapa teman wanita memergoki sepasang teman kami sedang bermain cinta secara terburu-buru di sudut kelas “Kenapa Sar?” Bisik Bret.
Aku hanya menunjuk-nunjuk lubang angin yang cukup besar di atas pintu, memberi isyarat untuk mengintip dari situ.
“Ah, ngapain pakai ngintip, kalau pengen lihat ya buka aja pintunya.” Bisik Bret lagi. “Emangnya ada apa?”
“Kamu ingat si Bibir dan si Evil?” Bisikku pada Bret.
Ia menganggukkan kepala sambil memasang pandangan girang. Si Bibir adalah teman pria yang dijuluki begitu karena kebetulan bibirnya agak oversized, dan si Evil adalah teman wanita yang dulu dianggap paling manis di kelas, namun lidahnya agak tajam, hingga dijuluki begitu. Mereka itulah yang pernah kepergok bermain cinta di kelas pada saat ruangan kosong ketika anak-anak lain sedang berganti pakaian atau minum sehabis olah raga.
“Mereka punya cara sendiri untuk reuni!” Bisik Bret sambil menahan tawa gelinya.,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
KRRRRR….KRRRR….KRRRR……Getaran ponsel ini terasa membuatku geli, apa lagi aku selalu meletakkannya di pangkuan pada saat mengemudi seperti ini. Dengan penuh kerepotan akhirnya aku berhasil memasang earpiece dari peralatan handsfree ini tanpa harus mengurangi kecepatan Katana hijauku. (Mengherankan, bukankah mereka merancang ‘handsfree’ untuk mengurangi kerepotan, tapi kenapa kabelnya selalu kelewat panjang hingga malah bikin repot?)
“Halo!” Sapaku dengan nada datar karena aku tidak sempat melihat caller id pada display.
“Sari?” Tanya suara seorang pria di ujung sana.
“Yup! Saya sendiri.” Jawabku sambil melenggokkan setir menghindari sebuah truk sampah yang kelewat pelan.
“Masih inget aku nggak?” Tanya suara itu lagi.
“Hm…siapa ya?”
“Bret!” Jawabnya singkat.
“Hm…bret…bret…siapa sih?”
“Walah, masa lupa sih? Kamu dulu suka nyontek ke aku pas sumatif bahasa Inggris!”
“Aaayayayaaa! Bret! Iya, iya aku inget!” Jawabku antusias ketika aku mengingatnya, “Tumben nelpon! Apa kabar?”
“Baik! Kamu sendiri gimana?”
(Percakapan selanjutnya nggak saya tuliskan, karena hanya berkisar pada percakapan dua orang teman SMA yang sudah hampir 10 tahun tidak ketemu).
Nama Bret itu sebenarnya bukan nama asli pria itu. Itu adalah panggilannya semasa SMA dulu karena celana abu-abunya pernah robek terkait paku di tembok pinggir kelas dan mengeluarkan suara “bretttt!”. Dia salah seorang teman dekatku di SMA, kami menjadi begitu dekat karena saling membutuhkan dalam ulangan atau ujian. (Bagi yang pernah SMA, tentu mengerti maksud ‘saling membutuhkan’ itu! Nggak usah sok pinter!)
Ia memberikan informasi padaku tentang reuni SMA kami dulu, yang rencananya akan digelar besar-besaran dan melibatkan 50 angkatan, sejak lulusan tahun 1950 sampai 2000. Beberapa hari kemudian, mantan-mantan teman SMA ku juga lantas menginformasikan hal yang sama, begitu juga di beberapa website, maklum, SMA tempatku bersekolah dulu termasuk salah satu SMA negeri yang disukai di kota S sini ini. Meski awalnya aku kurang tertarik untuk hadir, setelah beberapa teman mendesak akhirnya aku ingin hadir juga. Lumayanlah untuk ketemu teman-teman lama, pikirku. Dan tentunya aku juga punya tujuan sampingan, yaitu mendapatkan petualangan baru! hehehe. Tapi pertanyaannya adalah dengan siapa aku akan kesana? Tentu tidak mudah untuk mencari gerombolan teman-teman lama di tengah lautan orang dari 50 angkatan, pikirku. Kalau dulu waktu SMA sih… dengan reputasi seperti aku, tentu banyak lebah-lebah yang mencoba hinggap untuk menawarkan jemputan, tapi sekarang? setelah hampir 10 tahun, apakah lebah-lebah itu juga masih belum menemukan ‘bunga terakhir’-nya?
Namun ternyata keadaan tidak seperti yang kubayangkan. Mungkin ini yang dalam psikologi disebut sebagai ‘pemanggilan kembali memori lama yang dipicu oleh kondisi lingkungan yang serupa dengan kondisi masa lalu’. Beberapa teman SMA pria yang kebetulan masih single (atau mengaku masih single) menawarkan untuk menjemputku. Untuk menghindari konflik dengan ibu-ibu rumah tangga, maka aku terpaksa mencari data yang benar tentang para calon penjemputku itu lewat teman-teman tempat kerja mereka sampai akhirnya aku memutuskan untuk berangkat bersama si Bret yang pertama kali menelponku tentang acara reuni ini.
Singkat kata, malam ini aku sudah duduk manis di lobby apartemenku, menanti jemputan si Bret. (Sekedar info, aku pindah rumah dari apartemen P ke apartemen M, tempat yang dekat dengan salah satu gerai Mc Donald’s di kota S). Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya si Bret itu muncul juga diantar oleh sepasang satpam. Mungkin karena tongkrongannya tidak banyak berubah sejak SMA, masih bertampang agak kriminil, maka kepala satpam memutuskan agar dia diantar dua orang untuk masuk ke lobi apartemen.
“Hey! Kamu tambah keren deh!” Sapaku dengan basa-basi setengah flirt.
Bret diam saja. Ia malah berkacak pinggang dan mengamatiku dari ujung kaki ke ujung rambut, tapi tidak berhenti sebentar di daerah paha dan dada seperti lazimnya pria hidung belang yang menatapku.
“Hmmm…kamu banyak berubah ya, Sar?” Gumamnya.
“Oh? Masa? Kamu juga kok. Kamu lebih pinter milih baju sekarang!” Godaku lagi.
“Ya, ya, ya…kamu juga sudah mulai belajar kalau baju dengan garis horisontal akan mengurangi kesan kerempeng!” Balasnya.
Kami lalu tertawa-tawa dan masih melanjutkan saling ejek sampai kami masuk ke mobilnya. Malam itu aku memang mengenakan pakaian setengah casual. Sebuah kamisol garis-garis hitam putih yang dilapisi blazer hitam dan celana favoritku, Armani ketat warna hitam. Sementara Bret tampil dengan kemeja hitam yang merk-nya tidak jelas dan celana yang warnanya sulit dibedakan apakah biru atau abu-abu. Si Bret ini sebenarnya lumayan good-looking dengan tampangnya yang campuran Ambon-Manado, tapi rambutnya yang dipotong model Ivan Drago itu memang membuat wajah kerennya terlihat agak jahat dan pantas dicurigai sebagai pembuat onar, didukung dengan posturnya yang tinggi tegap namun agak sangkuk.
Akhirnya kami tiba di tempat reuni itu dilaksanakan, yaitu di gedung SMA kami dulu, di kompleks SMA negeri favorit di perempatan yang cukup beken di kota S. Suasana di luar gedung sudah penuh dengan manusia dari berbagai usia dan berbagai dandanan, yang menunjukkan dari generasi tahun berapa mereka dilahirkan. Teman-teman seangkatanku cukup banyak juga yang hadir. Rata-rata dari mereka sekarang bekerja atau punya usaha sendiri, dengan posisi ekonomi yang mulai mapan meski belum sukses-sukses amat. photomemek.com Beberapa temanku dari klub Jangkung (klub basket) juga hadir di situ. Rata-rata dari mereka masih single karena sulit menemukan pria segenerasi yang lebih tinggi. (Yah, anggap saja alasannya begitu!) Beberapa teman malah datang bersama dengan mantan pacarnya waktu SMA dulu, bukan dengan suami atau istrinya yang sekarang. Cukup lucu, meski menyerempet resiko cukup tinggi yang nanti akan kuceritakan lebih detail.
Acara dimulai, kami masuk ke tengah lapangan luas yang dikelilingi gedung sekolah. Gedung sekolah sudah banyak berubah, dibangun di sana-sini, maklumlah banyak anak pejabat yang bersekolah disini sejak dulu. Bahkan beberapa pejabat, seperti mantan wapres juga alumni di sini dulunya. Ada juga beberapa artis terkenal yang rupanya alumni sekolah ini.
Konyolnya, secara tidak sengaja aku sering bertemu pandang dengan banyak pria yang pernah mengisi malam-malam seru dalam petualanganku. Umumnya mereka tidak menyapa dengan kata-kata, hanya menyunggingkan senyum yang lebih mirip seringai dingin, mungkin mereka teringat kembali akan adegan-adengan yang pernah mereka lakukan bersamaku. Gila, rupanya mereka juga banyak yang sekolah disini dulunya. Banyak juga rekan bisnis dari perusahaanku yang hadir sebagai alumni angkatan yang berbeda, golongan yang ini umumnya menyapaku dengan, “Selamat malam Bu Sari, rupanya alumni juga toh!” Tapi lantas berubah jadi ledekan karena melihat name-tag angkatan yang kukenakan menunjukkan tahun yang jauh lebih muda dari mereka. Kalau sudah begitu umumnya mereka bilang, “Walah! Ternyata Bu Sari ini masih kecil toh!” Gitu.
Acara demi acara berlangsung di panggung tanpa banyak diperhatikan penonton karena mereka lebih sibuk bernostalgia dengan gerombolan seangkatannya. Begitu pula rekan-rekan seangkatanku. Kami juga saling bersalaman sambil menjerit “Aaaaaaa! Kamu kok tambah gendut.” atau tambah kurus, atau tambah jelek, atau yang lain-lain, yang kemudian disusul dengan “Eh, denger-denger si anu udah cerai dengan si anu.” Atau “Kamu denger nggak kalau si anu sekarang jadi anu di perusahaan anu”, atau bahkan “Si anu masuk bui, lho!” Sampai yang paling seram, “Tahu nggak, si anu bunuh diri!”
Beberapa pria dari klub basket yang dulu pernah…engg…’menjadi sparing partnerku dalam latihan berpetualang semasa SMA’ kini mengitariku sambil berbasa basi. Tidak ada dari mereka yang berani membicarakan tentang apa yang pernah kami lakukan di aula kosong, di ruang ganti, atau di sudut kelas kosong 10 tahun silam. Bukan apa-apa, mungkin karena mereka merasa nggak enak dengan teman-teman pria yang lain yang rupanya juga pernah mengalami hal yang sama. Agak risih juga kalau sudah dalam posisi ini. Untuk menghindari suasana rikuh, aku memutuskan mengikuti ajakan Bret untuk bernostalgia memasuki ruangan kelas tempat kami dulu belajar bersama di kelas satu.
“Kamu inget apa yang pernah terjadi di kelas itu dulu?” Tanyanya ketika kami berjalan di koridor menuju kelas tersebut.
“Yang mana tepatnya?” Tanyaku berusaha diplomatis.
“Itu, yang pernah dilakukan sama si anu dan si anu.” Jawabnya sambil tetap melangkahkan kaki.
“Hm…yah…inget sih…apa itu bukan cuman gosip?” Jawabku, lagi-lagi berusaha diplomatis.
“Hihihi.” Bret tertawa kecil, “Yang aku ingat sih…cuman gosip tentang kamu waktu itu!”
Setibanya kami di pintu kelas yang legendaris (menurutku) itu, kami agak kaget karena mendapati pintunya seperempat terbuka. Aku menghentikan langkah dan memasang telunjuk di bibir, memberi isyarat Bret untuk tidak bersuara. Meski sebenarnya itu tidak berguna, karena suara hingar bingar band di lapangan tetap saja kencang. filmbokepjepang.com Aku ingat benar situasi seperti ini pernah terjadi 11 tahun yang lalu. Waktu itu sore hari, sehabis olah raga, aku dan beberapa teman wanita memergoki sepasang teman kami sedang bermain cinta secara terburu-buru di sudut kelas “Kenapa Sar?” Bisik Bret.
Aku hanya menunjuk-nunjuk lubang angin yang cukup besar di atas pintu, memberi isyarat untuk mengintip dari situ.
“Ah, ngapain pakai ngintip, kalau pengen lihat ya buka aja pintunya.” Bisik Bret lagi. “Emangnya ada apa?”
“Kamu ingat si Bibir dan si Evil?” Bisikku pada Bret.
Ia menganggukkan kepala sambil memasang pandangan girang. Si Bibir adalah teman pria yang dijuluki begitu karena kebetulan bibirnya agak oversized, dan si Evil adalah teman wanita yang dulu dianggap paling manis di kelas, namun lidahnya agak tajam, hingga dijuluki begitu. Mereka itulah yang pernah kepergok bermain cinta di kelas pada saat ruangan kosong ketika anak-anak lain sedang berganti pakaian atau minum sehabis olah raga.
“Mereka punya cara sendiri untuk reuni!” Bisik Bret sambil menahan tawa gelinya.,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,