Akhir sebuah keputusan

CERITA SEX GAY,,,,,
“Kemanakah kau akan membawaku Salim..? Berapa lama lagi aku harus mengikutimu Salim..?” kataku.
Lalu aku duduk di samping Salim, sedang Salim hanya diam sambil tangannya erat menggenggam tanganku.
Salim lalu berujar, “Langit telah menentukan dalam keheningan yang tidak lazim, bahwa aku harus menjalani hari-hariku kini dengan laki-laki yang bukan untuknya aku diciptakan, dan akan kujalani waktu-waktu ini sesuai dengan kehendak langit, nanti ketika pintu keabadian telah terbuka dan aku akan bersama kembali dengan belahan jiwaku,”
Salim memandangku, dan aku pun membalas pandangan Salim dengan sejuta makna yang kuharap Salim dapat menterjemahkannya dalam bahasa asmaranya.

Tiba-tiba aku merasakan satu sentuhan lembut bagai ujung jemari angin sepoi basa yang melintas di pucuk bunga mawar, yang mengandung desahan keriangan dan manisnya erangan. Sentuhan bibir Salim bagai kembang pertama yang membasuh bibirku, dan ketika tangan Salim mulai meloloskan pakaianku, hanya pasrah yang kudapatkan dalam rasa jiwaku. Salim dengan leluasa mengekspresikan hasratnya, Salim bagaikan kuda jantan yang mampu membawaku bersama birahinya mengarungi karunia surgawi lewat rasa kenikmatan yang teramat sangat nikmat.

Fajar musim panas telah mengenakan pakaian yang disembunyikan oleh musim hujan, aku memasuki kamar tempat tinggalku, dan kulihat Jafar memandang dan memperhatikan langkahku. Pada saat aku berada di hadapannya, Jafar berucap dengan perasaan yang dilimpahkan dengan air matanya.
“Hatiku telah jemu, dan hatiku memintaku untuk mengucapkan selamat tinggal pada keegoisanku,” katanya.
Di antara kami berdua, aku tidak melihat kekuasaan jiwa ataupun kewibawaan.
“Jafar, aku tau apa yang kau ucapkan, dan aku tau maksud dari kata-katamu,” kubalas ucapan Jafar.
Namun Jafar berkata lagi, “Dimanakah Salim..? Kudengar kau berada dalam pelukan Salim pada saat aku dalam kesendirian.”

“Salim sedang menyusun kata-kata bijak untuk dapat menarik perasaanku, dan akan ia khotbahkan padaku bila matahari sudah pulang keperaduannya.” kataku padanya.
“Nanti malam..?” Jafar bertanya lagi.
“Ya, nanti malam,” aku pun menjawab singkat namun tegas.
Jafar lalu berdiri dari duduknya, dan menghampiriku sambil menyeka air matanya.

Dia berkata, “Berilah aku kesempatan dan kearifanmu, agar aku bisa membawamu kembali kehadapan jiwa yang suci dan bukan berasal dari jiwa yang hampa.”
Aku pun menjawab, “Itulah percintaan masa lampau, amati dengan baik, kesucian kata-kata melayang-layang di sekitar jiwa yang menjerit dalam keputusasaan, dan berdendang dengan harapan agar aku bisa meraih keikhlasan hatimu. Masih ingatkah kau Jafar, waktu kau memelukkan lenganmu ke leherku dan menatap mataku? Masih ingatkah waktu kau ucapkan kau mencintaiku? Masih ingatkah segala janji yang aku ucapkan pada saat kita berpelukkan di bawah sinar bulan sabit dua tahun lalu?”

Kupandangi lekat-lekat, Jafar yang masih terdiam dengan segala bayang-bayang kehampaan masa lalu waktu ia mengucap janji kepadaku, yang kini dalam hitungan detik dapat meruntuhkan keagungan cinta yang termegah dua tahun lalu.
“Mengapa kau diam Jafar..? Mengapa engkau tak melihatku Jafar..? Mengapa engkau tidak menciumku Jafar..? Apakah kau tidak mendengarkan tangisan hatiku dan jeritan kalbuku atas segala perlakuanmu padaku selama ini..? Apakah kau masih tidak percaya bahwa aku telah meninggalkan Ayahku, Ibuku dan datang padamu dengan segenap jiwa dan kehidupanku untuk lari bersamamu..?Bicaralah Jafar..! Kenapa kau menangis..? Kau laki-laki Jafar..? Dulu hatimu berkuasa karena kehidupan mewahmu, dulu sentuhanmu laksana selimut hangatku, kini sentuhanmu menjadi penyiksaku, telah kau ingkari diriku, kasihanilah jiwaku Jafar, bebaskanlah diriku dari penjara hakikatmu Jafar.”

Begitu banyak cerita masa lalu yang kutarik kembali ke hadapan Jafar, agar ia dapat melihat perubahan jiwaku akan kecintaanku padanya, air mata telah membasuh pandangan mata hatiku akan kesucian cinta yang telah teringkari oleh kemewahan. Aku melangkah menghampiri Jafar yang tegak berdiri namun membisu karena tersumbat oleh segala ucapanku. Kuusap air mata Jafar dengan jariku dan Jafar memandang tajam ke arahku, dan kubuatkan ia seulas senyuman manisku, lalu kupeluk erat-erat tubuh kekar Jafar, dan kucium lembut bibir Jafar yang kering karena luapan emosiku.

“Jafar inilah saat terindah, masih ingat waktu pertama kita bertemu, kau kecup lembut bibirku, tapi kini kecupanku ini sebagai tanda ciuman penghabisan cinta kita.”
Kupandangi Jafar yang hancur oleh keputusanku, dan aku pun berkata lagi, “Terimakasih Jafar, atas segala kemurahan hatimu selama ini, dan ampuni aku bila harus mengambil keputusan ini.”
Aku pun lalu beranjak meninggalkan ruangan itu, dan meninggalkan Jafar dalam reruntuhan cinta yang termusnahkan oleh rasa egois manusia.
“Selamat tinggal kekasihku.. Jafar.”
Setelah kuucapkan kata itu, aku pun keluar dan menutup pintu kamar yang telah menjadi saksi hubungan kasihku dengan Jafar selama dua tahun.

Matahari melipat ke atas pakaian kebun hijau itu, dan rembulan bangkit dari balik cakrawala menumpahkan sinar lembutnya di atas bentangan kebun itu. Kulihat Salim duduk, dan pandangannya diarahkan ke arah bintang gemintang, hingga Salim tidak mengetahui kehadiranku. Kusentuh lembut pundak Salim, dan Salim pun menolehkan wajahnya ke arahku sambil tersenyum kepadaku. Dan kami pun duduk berdua dihadapan malam yang indah yang bermahkotakan bulan purnama awal bulan Oktober tahun ini.

Salim memandangku dan berkata, “Dengarlah baik-baik perkataanku ini, kekasihku, tersenyumlah karena senyumanmu isyarat bagi yang ada di depan kita, bergembiralah kekasihku, sebab jiwaku mengatakan padaku bahwa hatimu dipenuhi kebimbangan, padahal kebimbangan dalam urusan cinta dan dosa.”
Aku pun tersekat merasakan makna kata-kata Salim, dan aku pun berkata lirih, “Salim, aku tidak akan menukar derai tawaku dengan keberuntunganku akan cintamu, sementara Jafar menderita karenanya, dan tidak pula aku akan puas dengan cintamu yang merubah air mataku, sementara Jafar perih merasakan luka jiwa.”

Tutur kataku membuat Salim tercengang heran, Salim pun berkata, “Telah kulihat dirimu, wahai kekasih, kenapa engkau menolak cintaku, padahal kau mencintaiku.”
Aku pun secara refleks mencium dan melumat bibir Salim yang masih bicara, hingga membuat Salim terhenti dari bicaranya.
“Maafkan aku Salim, aku tidak bisa menerima cinta kasihmu, meskipun aku hancur lantak oleh perasaan cinta dan kasihku untuk kamu, karena itu lebih baik, daripada aku berbahagia di atas kehancuran Jafar. Salim, sekarang tiba waktunya kau menemukan pasangan jiwamu, tapi bukan jiwaku, melainkan perasaan kamu sendiri, ampuni aku Salim, aku harus pergi meninggalkanmu juga meninggalkan Jafar.”

“Kemanakah kau akan pergi kekasihku..?” Salim bertanya.
“Ke suatu tempat Salim, dimana kau dan Jafar tidak akan bisa melihat kehidupan cintaku, melainkan hanya mendengar saja.”
Salim lalu berdiri dan berkata lantang di hadapanku laksana kesatria perang mengkomando pasukannya untuk menyerbu perasaan hampa jiwaku.
“Aku tak akan berhenti berusaha sampai aku berhasil merebut hatimu, cintamu bakal menerima air mata keluhan ini sebagai persembahan, dan kita akan diganjar oleh perasaan kita masing-masing, jagalah dirimu baik-baik kekasihku.”

Lalu aku mendengar suara Salim yang di dalamnya mengalir kehangatan cinta dan kegetiran perpisahan serta manisnya kesabaran.
Sambil berucap, “Selamat jalan.. kasihku.” kupeluk tubuh jantan Salim, dan kukecup bibir Salim.
“Aku pergi.. Salim.. kekasihku,” ucapan terakhirku untuk Salim yang tertuang lewat air mataku, dan Salim hanya memandangku dengan perasaan yang aku sendiri tidak tahu kesakitan rasa itu.

Kuayunkan kakiku meninggalkan Salim dengan segala beban pikiran hampanya yang tersebabkan oleh keputusanku, sementara malam semakin pekat, menyelimuti perasaan Jafar, perasaan Salim, dan juga perasaanku, dan kepekatannya hanya menyisakan sebentuk doa di dalam hati kami masing-masing, semoga cahaya cakrawala timur esok pagi menjadi awal kebahagian hati dan kedamaian jiwa Jafar, Salim dan aku.,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,

Tamat

Related posts