Aku Yang Tersakiti

Kami berangkat ke Maryland, 2
minggu setelah mendapatkan ijin
tinggal. Pastinya karena peran
Kakak iparku, yang menjadi
pegawai konjen di Maryland. Dia
bilang, sudah waktunya karyaku
dilihat orang banyak, go
international katanya.
Aku seorang pelukis, 5 tahun
menghabiskan waktu menjual hasil
lukisanku di galeri-galeri kecil di
Yogyakarta, tempat kelahiranku.
Di situ pula aku bertemu Novi,
seorang gadis manis yang akhirnya
bersedia menjadi istriku.
Seorang model lukisanku pada
awalnya, aku ternyata jatuh cinta
dengan kesederhanaan dan
keluguan Novi. Usia kami berbeda
cukup jauh sebenarnya, aku 26
tahun, dan dia baru beranjak ke
usia 18 tahun. Tapi nyatanya usia
bukan penghalang. Kami menikah
setelah 6 bulan pacaran.
Deshinta Inandita lahir 1 tahun
kemudian di Yogyakarta, anak
perempuan kami. 3 tahun kemudian,
kami berdua berada di pesawat
menuju Amerika, menjemput impian
kami, atau setidaknya impianku.
Sengaja tak kubawa anak
perempuanku. Biarlah dia
menikmati masa kecilnya di
Yogyakarta, bersama kakek dan
neneknya.
****
Perjalanan dari Washingto, DC,
memakan waktu 1 jam, memakai
mobil kakak iparku yang sengaja
dititipkan di sana. Terus terang
kami tidak membawa terlalu
banyak uang. Pun juga kakakku
tidak bisa membantu banyak dalam
soal uang. Alasan itu juga yang
akhirnya membuat kami memilih
daerah Cherry Hill sebagai tempat
tingggal kami.
Cherry Hill adalah sebuah kota
kecil di bagian selatan Baltimore.
Bukan tempat yang tepat apabila
kita akan tinggal di Amerika.
Dengan angka kriminalitas yang
sangat tinggi, bahkan penduduk
Maryland pun enggan tinggal di
sana. Apartemen kami untungnya
cukup nyaman. Seorang teman
kakak ipar yang mencarikannya
untuk kami.
Kakakku sementara akan
membantu aku mencari Galeri-
galeri yang bersedia menjual
lukisanku. Tidak terlalu susah,
karena salah seorang temannya
adalah lulusan MICA yang membuka
galeri kecil di downtown
Baltimore.
Paling tidak kami bisa bernafas
agak lega. Paling tidak dapur kami
bisa mulai mengebul. Sisa tabungan
masih cukup, paling tidak sampai
bulan depan.
****
Apartemen kami ada 8 lantai, dan
kami ada di lantai 4. Tetangga kami
ada 3. Yang pertama, tepatnya
yang pertama menyapa kami,
adalah keluarga Patterson, Sam
dan Kelly. Inilah keluarga kulit
putih yang pertama kali kami
temui. Mereka adalah keluarga
yang hangat, membuat kami
merasa diterima di negeri yang
baru pertama kali kami lihat
seumur hidup kami. Sam yang
berumur 45 tahun adalah buruh
perusahaan tekstil di daerah
Locust Point. Kelly, istrinya,
ternyata masih berumur 36 tahun,
adalah seorang ibu rumah tangga.
Mereka berdua belum punya anak
sampai sekarang, walaupun sudah
berumah tangga selama 12 tahun.
Tetangga kami kedua adalah
Matty Wilkinson, seorang lansia
yang sudah hidup di apartemen itu
bertahun-tahun lamanya.
Suaminya, sudah meninggal, adalah
seorang veteran perang dunia
kedua. Dia sama sekali tidak
menyapa, mungkin juga karena
penyakit Alzheimer yang
dideritanya. Cucunya datang
setiap sore membawakan makanan
untuknya.
Tetangga kami yang ketiga adalah
Tyrone. Kami langsung tidak suka
begitu melihatnya. Kami
menengadah ketika menatap
matanya. Tubuh tinggi besar,
mungkin sekitar 190 cm, hitam,
dengan tato di lengan kiri dan
kanannya. Tatapannya ketika
bertemu dan bersalaman dengan
kami sangat kurang ajar. Dia
menatap kami dari ujung kepala
hingga ujung kaki, dan kemudian
meneruskan tatapannya yang
sangat kurang ajar ke istriku.
Nice to meet yall, katanya
sambil menyalami kami berdua. Dia
memastikan bahwa tangannya
menggenggam Istriku lebih lama.
Istriku cepat-cepat menarik
tangannya. javcici.com
Ketika akhirnya kami selesai
bersalaman dengan tetangga-
tetangga dan masuk ke
apartemen kami, satu-satunya
komentar istriku adalah :
Laki-laki itu menakutkan, mas.
****
Ah, istriku istriku .
Apa yang bisa kuceritakan
tentang istriku selain
kesempurnaannya? Rambutnya
yang panjang, matanya yang
berbinar-binar, bibirnya yang
sensual dan kelihatan selalu basah,
tidak terlalu tebal tapi juga tidak
tipis, lehernya yang jenjang. Istriku
tidak terlalu tinggi, tetapi
lehernya yang jenjang itu membuat
dia terlihat tinggi. Tidak bosan aku
memandangnya, apalagi
menciumnya. Ya, menciumnya.
Dengan penuh nafsu. Aku ingat
malam pertama kami di Yogya.
menit-menit pertama aku habiskan
dengan menciumi seluruh wajah
Novi. Begitu sempurna dan begitu
mulus.
Mulus. kata itu memang tepat
untuk mendeskripsikan kulit Novi.
Begitu mulus tanpa cela, dan putih.
Kombinasi yang mematikan (atau
menafsukan?). Alasan itu juga
yang membuat aku dulu memilih dia
menjadi model lukisanku. Dengan
alasan itulah aku lebih sering
meminta dia memakai kemben
ketika menjadi model, alasanku sih
biar njawani, padahal aku cuman
ingin melihat bahunya yang putih
mulus sempurna itu, dan mungkin
sedikit belahan dadanya.
Dadanya. Oh, betapa susah
menggambarkannya dalam kata,
sesusah melukiskannya dalam
kanvas. Dadanya tidak hanya
sekedar tonjolan daging sangat
besar dengan puting warna merah
jambu di atasnya, tetapi sebuah
kesempurnaan bentuk yang
dibentuk dengan sangat hati-hati
sekali oleh yang Maha Kuasa.
Dengan bentuk tubuh yang kecil,
Novi mempunyai dada besar yang
sempurna. Apapun baju yang
dipakai olehnya, sepertinya tidak
kuasa untuk menyembunyikan
karunia Tuhan yang begitu besar
itu. Dan dada itu begitu kenyal.
Aku begitu bangga ketika berhasil
menikahinya, dan menjadi satu-
satunya pemilik keindahan itu. Dan
keindahan serta volumenya
semakin bertambah ketika anak
kami lahir.
Adalah hal yang wajar ketika
setiap laki-laki yang memandang
istriku pasti terpana. itu juga
sepertinya yang terjadi pada
tetangga kami yang baru.
****
Aku mulai bekerja sebagai pemain
keyboard di sebuah pub kecil
bernama Gus, kira-kira 6 blok dari
apartemen kami di waktu malam.
Siangnya aku bekerja di sebuah
minimarket di Potee Street.
Penghasilan dari jualan lukisan
ternyata tidak seperti yang kami
harapkan. Itupun sudah dengan
kerja keras, karena lukisanku ada
beberapa yang aku jual ke
Washington D.C, setiap minggu, 1
jam perjalanan yang sangat
melelahkan dengan bus antarkota.
Itu juga yang membuat aku
sekarang sering pulang malam.
Istriku tidak bekerja, hanya di
apartemen saja. Aku tidak
mengijinkan. Aku takut terjadi
sesuatu kepadanya. Siapa yang
tidak khawatir? Lingkungan yang
buas dengan sosok wanita Asia
yang sempurna adalah kombinasi
yang mematikan. Toh dia juga
punya tetangga ibu rumah tangga
yang bisa diajak ngobrol kapan
saja. Sally Patterson.
Ada sedikit yang perlu
kuceritakan mengenai Sally.
Kesanku pertamakali ketika
bertemu dengannya adalah
gambaran seorang wanita
amerika berambut pirang yang
sering muncul di majalah-majalah
porno Amerika. Aku bukannya
penggila pornografi atau apapun
sejenisnya, tapi stigma itu tetap
melekat di diri Sally. Rambut
pirang, tubuh berisi khas bule,
mungkin bisa dikatakan sangat
seksi, dada besar (pastilah,
karena dia bule). Dia seorang
yang sangat hangat, terus
terang, dan sering sekali
mengobrol bersama kami,
terutama dengan istriku, karena
mereka sama-sama ibu rumah
tangga.
Suaminya sendiri jauh dari
gambaran seorang lelaki bule
yang tegap, perkasa dan layak
mendapatkan wanita seseksi Sally.
Lagipula juga dia jarang sekali
mengobrol, kemungkinan karena
dia sering sekali menginap di
pabrik. Sally jarang sekali
membicarakan suaminya. Kami juga
tidak terlalu ingin tahu.
****
Hari itu ulangtahun perkawinan
kami yang keempat, 4 bulan
setelah kami mendiami apartemen
sempit ini, 4 hari setelah aku
mendapatkan cek sebesar $200
dari galeri kecil di utara
Washington D.C. Benar-benar
berkesan.
Aku bergegas pulang dari Pub,
dengan membawa kado dan
karangan bunga mawar merah.
Aku segera membayangkan malam
indah yang penuh dengan nafsu,
yang kira-kira sebentar lagi aku
dapatkan. Hal itu terbayang
sepanjang hari aku bekerja. Ketika
aku makan siang, aku
menyempatkan untuk berjalan-
jalan sepanjang Potee Street
untuk mencari hadiah untuk
istriku. Tiba-tiba aku terpaku
pada sebuah toko pakaian. Itu
bukan toko pakaian biasa. Itu toko
pakaian dalam khusus wanita. Ya,
sebuah toko lingerie.
Sesuatu menggerakkan aku untuk
masuk ke dalam sana. Sesuatu
gambaran mengenai istriku,
dengan tubuhnya yang putih mulus
sempurna, mengenakan pakaian
dalam yang seksi. Aku memutuskan
untuk membelinya.
Kedatanganku di rumah segera
disambut oleh Novi yang telah
menyiapkan makan malam yang
romantis dengan lilin-lilin yang
menyala di seluruh ruangan. Dia
tampak cantik sekali malam ini.
Kami makan berdua, sambil
mengenang saat -saat kami di
Yogya, pacaran, berjalan-jalan di
pantai Wediombo, melukis
Dia menyerahkan sebuah
bungkusan kado.
Buka dong mas, kata dia
tersenyum manis. Oh, istriku yang
kucinta.
Ah, sebuah syal. Istriku memang
pengertian.
Untukku, mana?
Aku menyerahkan bungkusan
menarik itu kepadanya.
yang, dipake malam ini ya yang,
kataku berharap. Dia tersenyum.
Isinya baju ya?
Lihat aja deh
Dia bergegas masuk kamar. Tiba-
tiba dia menjerit. Aku sangat
terkejut dan segera berlari masuk
kamar. dia menangis sambil
melempar lingerie pemberianku.
Mas kok tega sih? itu pakaian
pelacur mas, aku ga akan bisa
memakainya , katanya lemah
sambil menangis sesenggukan.
Aku tertegun. Aku melakukan
kesalahan fatal. Mataku menatap
lingerie di lantai itu.
Pokoknya aku ga mau pakaian
aneh-aneh kaya gitu mas.
Menjijikkan ! Mas lihat apa sih
sampai beli baju kaya gitu?
Katanya marah.
Aku cuman pengen liat kamu
pakai baju itu yang, cuman buat
aku
Aku ga mau, jijik !
ya udah
Ah. malam bencana. Aku
mengambilnya dan menyimpannya di
lemari. Novi menyaksikannya dari
jauh. Malam ini tampaknya aku
harus tidur sendiri.
****
Sally dan Novi tampaknya menjadi
sahabat karib. Mereka sering
sekali mengobrol. Sally juga sering
menemani Novi mencuci di ruang
cucian di bawah apartemen kami.
Maklum, ruang cucian itu luas, dan
sepi, terutama di hari-hari kerja.
orang-orang hanya mencuci di
hari sabtu atau minggu.
Yang aku perhatikan adalah, sejak
berteman dengan Sally, tampaknya
Novi semakin terbuka mengenai
seks.
Ya, seks. Kehidupan seks kami bisa
dibilang datar-datar saja,
monoton, dan mungkin
membosankan bagi sebagian besar
orang. Pernah suatu kali Novi
bercerita kepadaku bahwa Sally
bercerita kepadanya mengenai
pengalaman seksnya yang luar
biasa, dengan seorang pria. Ya,
seorang pria lain yang bukan
suaminya. Dan kata Novi, cara Sally
menceritakannya benar-benar
blak-blakan. Prasangkaku
terhadap Sally ternyata benar.
Sally bukan teman yang baik buat
Novi.
Tapi ketika mendengar Novi
bercerita tentang Sally seperti
aku, aku tiba-tiba terangsang.
Semakin terangsang ketika Novi
menceritakan kembali dengan
detail, ketika Sally menggoda
lelaki itu di sebuah supermarket,
dan bagaimana mereka akhirnya
bercinta di parkir belakang
supermarket, siang hari bolong,
dan bagaimana lelaki itu menembus
Sally dengan penis yang, kata Sally,
berukuran monster. Aku tanpa
sadar mulai mengelus paha Novi.
Kepalaku turun, berhadapan
dengan dadanya yang indah, dan
kemudian mengecupnya dengan
rakus dari luar dasternya. Novi
berhenti bercerita dan mengelus
lembut rambutku.
Aku pelahan melepas dasternya
dan mengungkap keindahan di
baliknya. Novipun melepas celana
kolorku perlahan. Sampai sekarang
aku terangsang berat apabila
melihat dada Novi. Payudaranya
yang indah seakan begitu bangga
membukit indah dari dadanya.
Putingnya yang terangsang
mengerucut indah, berwarna
merah mudah. Dan puting itu
begitu mancung. Mulutku kembali
menyusuri keindahan itu, kali ini
tanpa halangan kain daster.
Tangan kananku meremas bukit
indah itu sementar mulutku
menyusu bukit sebelahnya.
Sebentar kemudian Novi melenguh.
Dia paling suka diciumi dadanya.
Tangannya kemudian beralih ke
penisku yang sudah tegang
luarbiasa sedari tadi.
Kalo punya mas, berapa sih
panjangnya? tanya dia manja.
Kenapa tanya?
Ga, cuman penasaran aja.
boleh cek, tapi dikasih bonus cium
ya
Eh, ternyata dia serius. Turun dari
ranjang, Novi kemudian mencari
penggaris, dan bergegas
mengukur penis yang menjulang.
6 inch. Panjang juga ya,
katanya sambil mengelus penisku.
Aku tersenyum bangga. 1 inch itu
2,5 centi.
kalo panjang, dicium dong
Dia kaget dengan komentarku.
Matanya memandangku lama. Aduh,
aku salah ngomong.
Mas njijiki
Tapi kemudian mulutnya mencoba
mencium kepala penisku.
engga ah, mas, ga mau .
ya udah gapapa sayang.
AKu kemudian meraih tubuhnya
yang telanjang, dan kami kembali
berciuman. Kali ini aku ingin
menciumi seluruh tubuhnya, dari
ujung kepala sampai ujung kaki.
Ketika ciumanku tiba di vaginanya
yang telah basah, tangannya
menahan kepalaku.
Ga mau ah, mas, jijik,
Tapi aku mau
Ga mau
Ya sudah, lanjutkan saja dengan
penetrasi. Seperti biasa, aku
keluar duluan. Novi selalu
menggantung. Tapi sepertinya dia
cukup puas. Sepertinya .
****
Suatu hari aku pulang lebih cepat.
Jam 8 malam. Gus tutup lebih cepat
karena anaknya kecelakaan. Aku
telepon rumah dulu, memastikan
istriku ada ketika aku pulang dan
sudah menyiapkan segalanya.
Apartemen kosong ketika aku
masuk.
Nov, Nov, kamu lagi ngapain?
emmass, ke kamar dong ..
Eit, kok menggoda gitu kayanya.
Aku bergegas masuk kamar. Novi
berbaring di ranjang. Tertutup
rapat selimut.
kenapa yang?Sakit ya?
ga, kok, cumannnn .
cuman apa?
ehm, horny terus dari tadi,
katanya sambil membuka selimut.
Gila, dia telanjang bulat. Jadi
ngajak nih? Ada angin apa nih
sampai segitu hornynya? Nganeh-
nganehi.
langsung saja kuterkam dia. Eh,
kali ini dia orgasme lebih cepat.
Tak tahu kenapa.
****
Minggu- minggu berikutnya, tak
tahu kenapa, gairah istriku
semakin meningkat. Akunya yang
kewalahan. Sungguh. Lagipula aku
tak pernah bisa memuaskannya.
Sering sekali aku mengeluh capek
atau pusing supaya aku terhindar
dari kewajiban memuaskan
nafsunya.
Suatu hari ku pulang, pas sekali
berbarengan dengan istriku. Jam
sembilan malam.
Dari mana kamu, yang?
Biasa, mas, nyuci di bawah
Ga sama Sally?
Eeem, dia, dia, lagi sakit
Aku memandang wajahnya. Ada
noda putih di samping bibirnya.
Seperti Lem. Banyak. Sampai ke
dagunya.
Itu kena apa bibirnya?
Apa sih ..
Dia sadar, trus segera mengelap
noda putih itu. Dia tampak gugup.
Kena sabun kayanya
Sabun cuci kok sampe lengket
gitu , kataku santai. Aku
bergerak mencium bibirnya.
Segera tangannya menahan
dadaku.
jangan, belepotan.
****
Perasaanku sungguh tak enak pagi
itu. Minimarket juga sepi, tidak
seperti biasanya. Rasanya ada
yang salah hari itu. Kepalaku
serasa berdenyut-denyut. Ketika
makan siang, aku mencoba
menelepon apartemen. Aku
khawatir terjadi apa-apa di
apartemen. Hanya perasaanku
saja. Tidak ada yang mengangkat.
Aku coba sekali lagi. Tidak ada
juga yang mengangkat. Aku
menenangkan hatiku. Mungkin
istriku lagi ke ruang cuci.
Ah, apa iya? dua hari yang lalu kan
baru saja nyuci. Apa dia ke
tetangga ya? Iya kali, ketempat
Sally. mereka kan sama-sama ibu
rumah tangga. Aduh, kenapa sih
jadi resah begini? biasanya
santai
Aku akhirnya memutuskan pulang.
hari itu pukul 2 siang. Sesampai di
rumah, segera kuketok pintu
apartemen. Tidak ada yang
membuka. Kemana Novi ya?
Aku mengetok pintu apartemen
Sally. Sally membuka pintu. Memakai
baju senam yang seksi, keliatan
sekali dia baru saja olahraga.
Peluh menetes di keningnya.
Whats up Ira?. Namaku Irawan.
susah sekali orang amerika
menyebut nama itu. Akhirnya aku
mereka panggil Ira, tulisannya
Aira.
seen my wife?
Nope.
Felling well arent you? tanyaku.
what do you mean?
I thought youre sick. Novi told
me.
What? Im very well, thank you.
You see that Ive been working
out, dont you?
Thanks alot , Sally.
Jadi Istriku bohong ketika dia
bilang Sally sakit. Untuk apa?
AKu bingung. Kemana Novi pergi?
Aku akhirnya turun ke bawah, ke
ruang cucian. Mungkin Novi ada di
sana seperti biasa. Baru pertama
kali aku turun ke basement ini.
Laundromat atau ruang cucian
ada di ujung basement ini.
Basement ini adalah ruang parkir
bawah tanah. Cukup menakutkan
ternyata. Pantas saja istriku
selalu minta ditemani Sally.
Lampunya remang-remang.
Terdapat sinar sedikit saja di
ruang cucian.
Aku berjalan perlahan. Sepi sekali.
Dan lebih sepi lagi karena aku
memakai sepatu karet
kesukaanku. Sepatu itu samasekali
tanpa suara. Aku masuk ke Ruang
cucian. Pintu gesernya berderit.
Aku mendengar suara-suara.
Ruang cucian terdiri atas dua
ruangan. Ruangan pertama adalah
semacam ruang tunggu dengan
kursi berjajar. Tidak luas. Ruang
kedua adalah ruang cuci itu
sendiri, dengan mesin cuci yang
berjajar. Aku menajamkan
pendengaranku. Sepertinya suara
laki-laki. Sepertinya suara itu
sedang memerintah. Aku tidak
tahan untuk tidak mengintip.
Oh rupanya Tyrone. Dengan pasti
aku mengenali dia, meskipun aku
melihatnya hanya dari belakang.
Dia berdiri di samping mesin cuci.
Dari sini aku hanya bisa bisa
melihat bokongnya yang hitam,
dengan otot-otot yang menonjol
sempurna. Mana teman bicaranya?
OOOOh, shit, thats good baby.
Suck it goood
Ada suara menghisap .
yes, baby, suck that big black
cock
Ada suara mendengung.
Oh god, this is great . Lick it
Aku tidak jelas melihat, tapi aku
yakin ada kepala seorang wanita,
tepat di depan penis Tyrone. Oh,
pastinya sedang terjadi oral sex
di sini. Aku beranjak pergi dari
situ, tapi rasa penasaran yang
amat sangat menahanku.
Get up baby I want to see your
delicious body
Sosok wanita itu berdiri. Aku masih
belum jelas melihat wajahnya, tapi
jelas, tinggi tubuhnya tidak
sebanding dengan sosok Tyrone
yang tinggi besar.
God, youre beatiful, hot as
hell, kata Tyrone sambil mencium
wanita itu.
Sialll. Kepalaku serasa pusing tidak
terhingga. Hatiku hancur. Tubuhku
lemah. Kakiku serasa tidak kuat
menopang tubuhku. Aku jatuh
terduduk.
Itu istriku. Itu istriku yang baru
saja mencium Tyrone, dengan
senang hati mengulum penisnya.
Penis yang bukan punya suaminya !
Aku tidak punya daya. Mataku
terus mengintip aksi mereka. Saat
itu Novi memakai rok terusan yang
berkancing di depan. Tyrone mulai
membuka kancing bajunya satu
persatu, sambil tetap menciumi
bibir istriku.
Tidaaak ! Tidak mungkin. Novi
memakai lingerie yang aku pakai.
Dan ooh, lingerie itu benar-
benar sempurna menempel di
tubuhnya.
Lingerie warna hitam itu melekat
pas di tubuhnya, dengan cup BH
yang kecil, cuman seperempat,
membuat payudara Novi serasa
tumpah, tergencet oleh kecilnya
cup itu. Rendanya benar-benar
membuat terangsang siapa saja
yang memandangnya. Payudara itu
rasanya ingin meloncat keluar,
bahkan tali BHnya yang sangat
kecil itu tak kuasa menahan
volumnya. dan ya Tuhan, putihnya
.
Lingerie itu melingkari tubuh Novi
dengan renda-renda yang
transparan. Tyrone bergerak
melepas bajunya sampai terus
kebawah, sambil terus menciumi
payudara yang tersembul itu.
Celana-dalamnya yang dibuat
terpisah dari lingerinya, sungguh
sangat merangsang. Potongan
pingggangnya tinggi, renda-renda
di tepinya, dan depannya
transparan, membuatku sekilas
melihat bulu-bulu rapi vaginanya.
Lingerie itu punya semacam kaitan
yang berhenti di bagian paha
untuk menahan stocking. Orang
bule menyebutnya Garter. dan
Garter itu, oooh, sungguh
indahnya melingkar di paha Novi,
dengan rendanya.
Kali ini baju Novi telah lepas
semuanya, memperlihatkan
kesempurnaan tubuh Novi dibalut
lingerie yang menawan.
Tyrone berhenti sebentar.
God, youre the most beautiful
bitches Ive ever seen, katanya
sambil mengelus dada Novi.
Really?
God yes, Katanya sambil
langsung merobek lingerie itu
menjadi dia, menarik talinya
sehingga payudara Novi seakan
meloncat keluar.
you like what you see, Ty honey?
DIa memanggilnya honey?
You bet bitch !
Dengan rakusnya Tyrone segera
meremas dan mengulum dada
sempurna itu. Novi mulai merintih
sambil membelai kepalanya. Ya
Tuhan, payudara sempurna yang
seharusnya hanya menjadi milikku,
sekarang diremas dan diciumi oleh
orang lain.
Ty, we cant do it here. Can we
go to your apartement?
No we cant. My nephews there.
Shit, can we do it here?
We cant honey. Somebody will
see us. Mulut Tyrone masih ada di
dada Novi.
what about your fishin husband?
Naw, hes still in store. Believe me.
Cmon
Mereka bergegas memakai
pakaiannya kembali.
Aku langsung cari tempat
sembunyi. Oh Tuhan, kenapa aku
jadi seperti orang tolol begini?
–,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,

Related posts