Anusnya Masih Perawan | Sang Pakar

Gila juga. Kami bercumbu di kantor. Liza,
tepatnya Ibu Liza Permatasari (nama samaran), yang oleh kalangan
dekatnya dipanggil sebagai Sari, adalah bossku. Di kantor kecil ini
lelaki cuma aku dan pesuruh. Satpam cukup dari pengelola kompleks ruko.
Lima belas staf lainnya adalah cewek, lajang semua.
Malam telah merambat. Saat ini sudah pukul 20.45. Liza membatalkan kepulangannya.
“Kamu
gila. Udah basah dan nikmat gini masa harus pulang. Belum tuntas nih”,
katanya, ketika aku menggodanya, sambil memainkan clit-nya, dan
berpura-pura mengingatkan bahwa hari sudah malam, kemacetan sudah
berkurang.
Maka kalimat susulan yang terlontar dari mulut
mungilnya adalah permintaan untuk menutup pintu. Artinya, sekalian
mengunci pintu. Para staff sudah pulang. Office boy sudah pulang. Pintu
front office di lantai bawah sudah dikunci. Lampu yang menyala cuma
dikurangi.
Kini kuhampiri Liza (tanpa panggilan “Ibu”, karena
ini acara intim, bukan dinas) yang masih mengangkangkan kedua kakinya
di sofa dekat meja kerjanya. Pakaiannya masih utuh. Blazernya masih
terpakai, tapi seluruh kancing blus sudah terbuka, dan bra pembungkus
bukit kembar 36B sudah tidak menyangga isi, hanya menggantung di atas
bukit. Rok mini sudah tersingkap paling atas, melingkar tergulung di
pinggangnya.
Celana dalam? Oh, segitiga mungil berenda itu
berada di lutut kanan Liza. Liza yang mengangkang, alangkah seksi-nya!
Paha dan perut putih mulus itu melingkungi segitiga lebat keriting,
yang memayungi labia majora dan minora merah basah. Basah karena
lelehan kelenjar bertholin dari vaginanya, dan juga karena cairan
salivaku. Clit-nya yang berdiameter 1 cm dan panjang 3 cm tampak
mengeras. Inilah pesona lajang kesepian, seorang wanita karir berusia
35 tahun.
Mungkin ini peristiwa ke-15 dalam hubungan kami, yakni
percumbuan di kantornya. Aku bisa bisa bilang begitu, karena seminggu
dua kali kami petting, Rabu dan Jumat, dan hal itu sudah berlangsung
hampir 3 bulan, tentu saja tersela oleh kalender palang merah, bukan?
Aku
kembali membungkuk, atau mungkin bersila. Mulutku tanpa permisi
langsung menyergap vagina segar dan clitoris menegang itu. Labianya
kurentangkan dengan jari, lalu lidahku kutembuskan ke liang, bergerak
kanan-kiri-atas-bawah, memutar-mutar.
“Auuwww…”, desah Liza
tertahan. Aku semakin nakal. Satu jariku masuk ke liang, maju-mundur,
berputar-putar. “Kamu gilaa…”, desahnya.
Itu tak cukup. Kini
jempolku ganti masuk liang vaginanya, sementara ujung jempolku melesak
ke lubang duburnya, yang sebelumnya sudah aku olesi dengan cairan
vagina agar sedikit licin. “Gilaa!” teriaknya. Semoga satpam tak
mendengar. Liza segera meraih kepalaku, untuk dia benamkan ke pusat
kewanitaannya. Aku gelagapan, susah bernafas. Tapi dia tak peduli.
Pinggulnya bergerak liar, agar vulva lajangnya bisa mengerjai seluruh
mukaku. Akhirnya aku kehabisan nafas. “Lizaa aahh….”, desahku, sambil
mundur menjauhkan kepala dan mukaku yang basah oleh hajaran vaginanya.
“Jangan
panggil aku Liza. Saat ini aku bukan bossmu. Panggil aku Sari saja”,
desisnya. Muka, leher, dan dadanya mulai berkilat oleh peluh. Ternyata
AC tak mampu membendung keringat si lajang yang sedang direbus oleh
birahi. Aku sendiri merasa gerah. Lalu aku raih remote control AC di
meja, aku turunin suhunya. Sari terpejam-pejam, terengah-engah. Tidak
seperti biasanya, kali ini dia belum orgasme oleh oral dan jariku.
Selama ini kami bercumbu tanpa penetrasi penis. Setelah dia klimaks,
biasanya giliranku untuk menguras muatanku, dengan mengocok sendiri,
yang kemudian aku tumpahkan ke lembaran tissu yang aku ambil dari meja
Sari.
“Terserah kamu, pokoknya aku mau puas total”, desah Sari,
masih dengan mengangkang di sofa. Aku berdiri di depannya. Dengan
terburu kulepas bajuku. Dasi sudah sejak tadi tercampakan ke karpet.
Lalu kulepas pantalonku. Dengan kilat celana dalamku pun lepas. Tapi
ah…, masih ada yang mengganjal. Maka sepatu pantofelku itu seperti
aku tendangkan, tergeletak ke bawah mejanya. Kaos kakiku pun dengan
segera terlepas, dan tercampak entah ke mana. Kini aku bugil di depanya
dengan penis teracung ke atas. Liza melihat penisku terus. Selama ini
dia hanya memandang. Belum pernah memegang. Maka ketika aku mengocok
penisku pada setiap akhir percumbuan dia seperti menikmati pria
telanjang dari jarak dekat.
Sebuah pemandangan yang kontras. Aku
sudah bugil, dia masih tergolek mengangkang di sofa dengan pakaian yang
lengkap, meski acak-acakan. Aku semakin mendekatinya. Dia terbelalak,
ketika sadar penisku sudah sekian cm dari mukanya. Sudah kepalang
tanggung. Birahiku sudah mendidih. Sekian lama hanya menahan diri.
Lantas kusorongkan penisku ke wajahnya, mengenai pipi. Lalu kena
hidungnya, matanya, keningnya, lalu bibirnya yang kini terkatup rapat.
“Sari, gantian dong”, bisikku meminta.
Dia buka sedikit
mulutnya. Ujung penisku melesak masuk sekitar dua cm. Terasa mulut yang
hangat. Ketika mulut ternganga sedikit, penisku kudorongkan. “Blep!”
masuklah separuh penis ke mulut si cantik langsing yang mirip artis Yenny Farida
di masa mudanya itu. Dengan cepat dia menyesuaikan diri agar tak
tersedak. Lantas naluri kewanitaannya pun bekerja. Dia menjilati
penisku. Mulanya dengan posisi menyamping, penisku terpalang horizontal
di mulutnya, seperti sate yang akan disantap. Kemudian posisi menjulur,
‘senjata terkokang’ itu dijilat dan dihisap seperti es lolly. Oh nikmat
dan bahagianya.
Ternyata sambil melakukan jilatan di vaginanya,
tangan kiri Sari mengusap-usap vaginanya sendiri. Ketika dia berhenti
sejenak dalam meng-oral, jemari kiri yang mengkilat oleh cairan vagina
itu dia hisap dan jilat. putri77.com Begitu berulangkali. Akhirnya aku tidak tahan.
Kalau menuruti nafsu, keinginku sih biar muncrat dan tumpah sekalian
seluruh maniku ke mulut dan wajahnya. Akan tetapi dia kan belum puas.
Kasihan.
Maka kucabut penisku dari genggaman tangan serta
hisapan dan jilatan mulutnya. Tapi ah…, dua atau tiga tetes maniku
telanjur keluar, langsung menetes di lidahnya. Dengan sigap dia tarik
lidah itu, dan tampaknya dia mencicipi rasa benda yang baru dikenal
dalam hidupnya, cairan sperma. Untunglah aku bisa menahan diri. Kucekik
penisku dengan jempol dan telunjukku, agar mani tak membanjir,
sekaligus agar batangku tetap ereksi.
Kami sama-sama mengambil
nafas. Lantas kuhampiri Sari, kupeluk, kugendong, lalu kurebahkan di
meja kerjanya yang luas. Dengan lembut dan pelan kuciumi lehernya,
sementara tanganku melepas blazer, blus, dan branya. Payudara putih
bersih nan kenyal, dengan puting kemerahan yang mengeras, alangkah
indahnya. Kucium dan jilati kedua bukit itu berikut puncaknya.
Kunikmati aroma khas yang memancar dari lipatan bawah payudaranya agak
kecut tapi merangsang.
Bossku itu seolah tak merasakan kerasnya
meja kerjanya yang berkaca. Dia terus merem-melek, meleguh, terengah,
mendesis. Apalagi ketika aku menciumi dan menjilati ketiaknya yang
licin bersih. Ketiak wangi yang mulai bercampur keringat. Oh..,
indahnya. Oh…, merangsangnya. Sementara itu tangan kananku merenggut
rok mini itu, sehingga dia kini telanjang bulat, sedikit kedinginan
oleh semburan hawa AC. Kuraba vulva itu. Bulu kemaluan yang lebat,
rimbun, dan hangat itu rupanya telah sedikit mengering oleh hembusan
AC. Begitupun bibir vaginanya. Namun clitorisnya masih mengeras. Ketika
kupijat lembut clitorisnya, Sari melenguh, “Aouhh…”
Kini
mulutku menjelajahi pusar dan perutnya. Sari mengaduh-aduh. Tanganku
mengambil buku telepon, kuganjalkan ke pantatnya. Dengan lidah terjulur
kudekatkan mulutku ke vaginanya, tanpa menempel, lalu berhenti. Aku
diam saja. Sari tak sabar. “Terlalu! Kamu terlalu. Ayoh aku udah
kebelet nih”, dia seperti berteriak. Kedua tangannya merenggangkan
vulva selebar-lebarnya, sementara kakinya mengangkang lurus menyamping
seperti gadis plastik sirkus.
Aku melihat sebuah demonstrasi
otot vagina yang dahsyat! Tangan Sari sudah tidak menjereng vaginanya.
Tapi kakinya masih kangkang lurus menyamping. Astaga! Vagina itu
bergerak-gerak, kembang kempis, menggembung mengerut. Dinding vagina
nan merah seolah mau melotot keluar, untuk kemudian mengerut sehingga
dinding merah mengkilat itu tersembunyi sebagian.
Sedangkan
clitorisnya tetap mengeras seperti teracung, menagih jilatan. Aku jadi
semakin gila. Kusosor vagina itu. Kumainkan mulut dan lidahku,
menggarap bibir vagina dan clitoris. Kujejalkan lidahku ke liang hangat
saat membuka diri. Wuhh…, banjir cairan vagina menyembur, aku jilati
liang vaginanya yang merupakan sumber dari cairan itu. Rasanya asin.
Aku ingin menguras cairan lajang yang 7 tahun lebih tua dariku itu.
Kedua tanganku merentangkan kakinya, lalu aku meng-oral vaginanya
habis-habisan. Akhirnya Sari berteriak tertahan, “Aku sampe puncak!”.
Dia menjambak rambutku, membenamkan wajahku ke vaginanya, sehingga aku
gelagapan dan hampir tersedak oleh banjirnya cairan vaginanya.
Aku
pun kian bernafsu. Kugendong Sari, kupindahkan ke selembar karpet
tambahan yang menyerupai bulu kambing, di atas karpet dasar, di pinggir
sofa.
“Ibu Liz, Liza, Sari…, aku nggak tahan. Kalo aku memperkosa
kamu gimana?”, tanyaku, menahan nafsu sambil berposisi seperti
menindih, tapi tubuhku tak menempel di tubuhnya karena tanganku masih
menyangga badanku.
“Nggak usah memperkosa segala. Malam ini kita bisa bersetubuh, sayang”, katanya sambil meraih bahuku.
Oh
pucuk di cinta, vagina mendamba, clitoris menagih. Kucium keningnya,
matanya, hidungnya. Tapi pantatku masih seperti mengambang di atas
tubuhnya, sehingga penisku pun menggantung menganggur, belum menyentuh
kewanitaannya. Akhirnya aku pun capai. Pantatku turun. Sari langsung
mengangkang. Tapi ah, tidak, tidak. Aku mau main-main dulu. Ini kan
persetubuhan pertama kami. Maka penisku kini cuma kugesek-gesekan ke
bulu kemaluan, clitoris, dan vaginanya. Dia terpejam nikmat. “Gilaa,
aku sukaa”, bisiknya. Lama-kelamaan kurasakan gesekan penisku seperti
mengenai bidang licin. Rupanya cairan vaginanya belum habis, terus
membanjir. Hilang sudah rasa permukaan bibir vagina yang merangsang
penisku. Sementara gesekan bulu kemaluan pun semakin licin karena bulu
superlebat yang membentuk segitiga, menyerupai celana dalam, itupun
sudah basah.
Aku beringsut. Kuambil blus silk Sari. Kuusapkan ke
vaginanya untuk mengeringkan cairan. Dia sendiri pun tak peduli blus
bagus itu buat mengepel vagina. Kini vagina itu mengering. Aku
menindihnya tapi masih bertumpu pada tangan kananku. Sementara tangan
kiriku memegang penis, untuk dimainkan di vaginanya. Dia melenguh
nikmat. Tapi lama-lama aku capai juga. Oh Sari yang cantik. Dia
akhirnya punya inisiatif. Dibiarkannya aku menindihnya, tapi kini
giliran tangannya yang memegang penisku.
“Pakai buat masturbasi Liza Sari sayang”, bisikku.
Wow!
Nikmatnya penis dipegang jemari lentik dan dipakai untuk onani vagina.
Aku merasa terbang menumpang concorde. Hampir tak ingat apa-apa, ketika
tiba-tiba kurasakan “Blessszzhh…” Penisku sudahg masuk. Lancar
sekali, meski dalam jepitan, karena vaginanya memang licin.
“Kamu
pikir aku tahan? Nggak. Aku udah birahi banget. Lima tahun nggak
bersetubuh setelah putus pacaran. Tiga bulan cuma petting. Sekarang
kepalang basah. Kita bersetubuh saja”, bisiknya.
Kubenamkan penisku
dalam vagina yang menjepit itu. Aku diam saja. Pinggul Sari di bawah
berputar-putar, naik turun, maju mundur, geser kanan-kiri. Aku merasa
termanjakan. Sampai akhirnya kurasakan maniku mulai mendidih, seperti
ruap soda dalam botol yang dikocok. Aku beringas. Kupompa vaginanya
dengan penisku. Kutekan selangkangannya dengan bagian bawah tubuhku.
Kuputar pinggulku.
“Sari, kita hitung yuk. Kita hitung sampe 10 lalu puncak bareng ya?”, bisikku.
“Sepuluh, seratus, seribu, sama saja. Aku sudah memasuki pintu klimaks…”
“Satu, dua, tigaa…”, aku menghitung.
“Empaattt, Limaa burung, enam spermaa….”, lanjutnya dengan terengah.
“Tujuh itil, delapan jembut….”, aku menimpali.
“Sembilann…
Auwwwwww! Aku climaks! Gila! Mana manimu! Ayo dong cepetan! Udah lima
tahun vaginaku nganggur nggak ngerasain sosokan burung dan semprotan
mani!”.
Inilah keajaiban. Tiba-tiba maniku seperti tertahan,
tapi penisku kian mengeras, sampai kulit penis ini agak perih, mungkin
lecet sedikit. Kupompa vagina Sari dalam orgasmenya. Kurasakan
vaginanya menyempit sementara cairan hangat kurasakan menyembur dari
celah liang yang terjejali oleh penis. Terdengar suara “prepettt…”
Aku tidak tahu, cairan ini dari vagina atau dari lubang kencingnya.
Akhirnya,
tubuhnya mengejang. Matanya terbelalak, lalu terpejam, dan dia pun
memelukku erat. Kudengar isak tertahan. “Aku nikmat. Aku lega. Aku
bahagia”, bisiknya. Air mata membasahi kelopaknya. Kucabut penisku.
Masih tegang. Aku juga ingin orgasme. Tapi aku kasihan kalau harus
menyetubuhi dia terus. Pasti vaginanya capai. Atau malah lecet. Karena
barusan tadi kurasakan bulu kemaluan ikut masuk ke liangnya, bersama
penisku. Mungkin bulu kemaluannya. Karena setiap kali kami bercumbu,
bulu kemaluannya banyak yang rontok.
Aku berdiri di sampingnya.
Kukocok penisku. Pelan, pelan, lalu cepat, cepat, cepat, akhirnya
ah…, tak tahan. Aku pejamkan mataku, sambil mengocok penis. “Blap!”
kurasakan penisku masuk lubang, yang ada giginya. Ya! Kubuka mataku.
Penisku masuk ke mulutnya. Kulepaskan genggamanku. Dia sudah bersimpuh
di depanku, mengulum penis, tangannya mulai mengocok penisku, terkadang
lidahnya menjilati.
“Awas Sari, nanti muncrat ke mulut lho!”, aku memperingatkan.
“Biarin. Ini untuk pertama kalinya aku minum isi burung”, katanya menantang.
“Oh ya?”, tanyaku.
“Iya. Ayo, kuras manimu, pejantanku!”, ajaknya.
Kini
aku kocok sendiri penisku. Ketika titik didih sudah mendekat,
genggamanku aku lepas. Tangan Sari segera menyambar. Dengan lima
kocokan maniku pun muncrat. Crat! Crat! Crat! Craatt! Mulutnya telat
mengantisipasi, mungkin karena belum pengalaman. Dalam sepersekian
detik maniku menyembur pipinya, hidungnya, keningnya, lehernya, lalu,
“Slep!”, penisku masuk ke mulutnya dengan mani terus membanjir. Dalam
kulumannya penisku terus dia kocok. Lama-lama aku gemetar dalam lautan
nikmat. Aku terduduk. Penisku tercabut dari mulutnya. Kulihat si cantik
ini mukanya berlepotan cairan putih kental. Bibirnya berleleran sperma.
Dia belum terampil menelan semua sperma, sehingga ada sisa yang tumpah
keluar. Yang pasti dia tampak semakin cantik. Mungkin aku pun jadi
mencintainya.
“Terima kasih bossku sayang. Ini bukan yang terakhir kan?”, tanyaku sambil mengusap rambutnya.
“Tentu…, Kamu mau sama aku meski aku lebih tua?”, jawabnya dengan mesra.
“Iya. Aku menyayangimu. Aku pingin mengeksplorasi semua pesona kewanitaanmu”, kataku.
“Masih banyak waktu. Lain kali kamu ke studio apartemenku. Apa yang akan kamu lakukan kepadaku Sabtu malam besok?”.
“Aku ingin mencoba anusmu, bossku sayang…”
Aduh! Diam mencubit lenganku, lalu pahaku, lalu penisku.
“Sakittttt boss!” kataku.
Dia
tak mempedulikan. Setelah cubitannya lepas, dia pun bangkit, lalu
membungkuk dengan menghadapkan pantat ke wajahku, yang masih terduduk
di karpet dengan kaki terjulur, sambil kedua tanganku menyangga
tubuhku. Jemarinya merentang anus yang merah dan dikitari bulu halus
lurus yang panjang.
“Anusku masih perawan. Boleh juga sih kita coba Sabtu besok”, katanya.
Tiba-tiba
pemandangan gelap. Kurasakan bau aneh, khas, tapi sedap. Astaga! Anus
yang terentang jari itu sudah menempel ke hidungku. Awas, anus itu
nanti menerima pembalasanku, dengan elusan penis dan tetesan maniku,
sementara jariku bermain di clitoris dan vulvanya. Tunggu saatnya tiba,
boss cantikku!,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,

Related posts