Awal Cerita

Halo Salam Kenal. perkenankan aku berbagi cerita. Dulu aku pernah tulis cerita di sini, tetapi tidak selesai karena sedang sibuk pindahan rumah. Sekarang aku tertarik untuk menulis cerita di sini kembali. Semoga menarik.
Begitu bahagia perasaan keluargaku ketika aku diterima sebagai pegawai negeri sipil di sebuah Museum di Jakarta, termasuk suami dan anakku yang masih berusia 4 tahun. Ibu di kampung pun kegirangan mendengar berita dariku. Pada akhirnya ia tidak akan mendengar lagi cerita derita anak perempuannya kekurangan di tanah Priangan. Perkenalkan, Namaku Maya. Usia 33 tahun. Aku mulanya adalah seorang staf marketing di sebuah hotel bintang 4 di kota Bandung. Sebelumnya aku bekerja di bidang yang sama di tanah kelahiranku, Yogyakarta.

Selama tinggal di Bandung, aku bersama suami, Mas Pras atau bernama lengkap Prasetyo (40 tahun), berjibaku menghidupi rumah tangga kami, termasuk anak kami, yang lahir di Bandung. Bermodal ijazah SMK, suamiku bekerja di sebuah bengkel milik salah satu kerabat. Alhasil, penghasilan kami jauh berbeda. Namun, sebagai istri yang telah memenuhi janji pernikahan. Aku terima suamiku apa adanya terlepas dari kekurangan yang ada.

Hanya saja dalam bahtera rumah tangga kami, ada momen ketidakbahagiaan yang pernah aku rasakan. Ya, bicara soal materi atau uang. Ketika kelahiran anak kami, kami memiliki kekurangan uang untuk menghidupi keluarga kecil ini. Aku berharap kepada suamiku untuk membuat sebuah gebrakan saat itu, namun yang terjadi ia seperti pasrah kepada nasib. Hasilnya aku yang melakukan gebrakan dengan meminjam uang kepada ibuku yang hidup lumayan cukup dari membuka warung sembako di kampung.

Jadi, dengan diterimanya aku sebagai aparat sipil negara atau PNS di Jakarta ini, begitu besar harapan keluargaku terangkat. Kesulitan hidup mulai bisa dikurangi. Namun, tetap kami menemui masalah baru. Suamiku enggan ikut karena ia merasa tak akan bisa bersaing di ibukota dengan modal ijazah SMK dan usia sudah kepala 4 dengan modal pengalaman kerja di bengkel. Ia tak punya asa. Pada akhirnya ia bersama putra kami memutuskan pulang ke kampung halaman.

Dengan berat hati tentunya dan kesepakatan bersama, aku siap tidak siap harus menjalani hubungan jarak jauh dengan keluarga. Besar harapan di kemudian hari, kami bisa tinggal bersama, baik aku yang mengajukan mutasi ke daerah asal atau suami dan anakku tinggal bersamaku di rumah kontrakkan atau rumah kos. Tak disangka-sangka hubungan jarak jauh ini menemukan masalah-masalah baru dalam kehidupan kami sebagai keluarga.

Aku kesepian…
Kesepian sebagai istri…

Tekanan Batin

Tinggal sendirian di rumah kos selama 2 tahun terakhir bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Apalagi rumah kosnya sepi, sebagai seorang perempuan tentunya merasa takut. Apalagi aku hidup seorang diri di Jakarta tanpa punya keluarga. Selama 2 tahun ini juga, aku berusaha membujuk suami agar mau menemaniku di sini, selalu tidak berhasil. Ia betah di kampung menjaga anak kami dengan status bapak rumah tangga.

Aku terima keadaannya, tetapi aku tidak terima dengan sikapnya yang seakan tidak peka dengan keadaanku sebagai seorang istri yang bekerja mencari nafkah di tanah ibukota yang keras. Ia jarang bertanya mengenai kabarku, menghubungiku, membalas chatku, atau sebagai yang pertama menghubungi. Pastinya selalu aku yang pertama. Aku kesal dan benci dengan sikapku yang seperti itu. Dia tidak tahu betapa stresnya diriku dilanda kesepian selama ini. Ya aku butuh dorongan semangat dan perhatian dari orang yang disayang. Namun, pada akhirnya selalu aku yang menghubunginya, selalu aku yang mengambil cuti untuk pulang kampung.

Mas Pras tidak tahu berapa biaya yang sudah aku keluarkan semenjak ia tidak bekerja lagi. Setidaknya, aku berharap ia masih punya kepekaan terhadap diriku.

Di kamar kos, jika sedang dilanda rindu dan butuh perhatian, aku menyibukkan diri. Dengan pekerjaan kantor, membereskan kamar kos, atau menonton film. Atau bahkan juga aku memutuskan pergi seorang diri ke Mall, bioskop, stadion olahraga, dsb. Begitulah aku melupakan dan menghilangkan rasa stres dalam diri ini.

“Mba, jalan yuk, mau gak?”

Di samping itu, ada salah satu rekan kerja seruanganku bernama Ilham (30 tahun). Ia sudah kuanggap dekat seperti adik kandungku sendiri. Dia yang kadang menemaniku untuk pergi berjalan-jalan atau memberi dukungan motivasi terkait kendala kehidupan yang aku alami. Ilham juga membantuku membujuk suami agar mau menemaniku tinggal di rumah kos bersama putra kami juga. Namun, kembali tetap mental juga.

“Pahit-pahit cerai deh, Mba”, begitu katanya ketika aku bersama dia di sebuah warung makan membahas suamiku.

“Amit-amit ham, jangan sampai”

“Sudah pasrah gue, lagian gue yakin siapa yang gak mau sama lo mba kalau jadi janda”
“Pasti banyak yang mau, udah PNS, postur masih oke aduhai bahenolnya”

“Ah kamu itu melulu dibahas pangkalnya”

“Lah emang bener kan!”

“Kalau kamu sendiri mau?”

“Kalau gue dah nikah! Sadar woi!” gertak Ilham.

“Heheheheh”

Ilham ada benarnya. Jarak kantorku dengan rumah kos begitu dekat. Aku tempuh dengan berjalan kaki. Beberapa kusadari mata laki-laki melirik ke postur badanku yang menurut salah satu dari mereka menyahut “montok bener”. Semenjak mengalami hal tersebut, aku terbiasa memakai jaket untuk menutup bentuk tubuh yang menurut ilham bahenol. Apalagi ukuran payudaraku tergolong cukup besar, yakni 34d. Pasti semakin liar imajinasi mereka.

Namun aku tidak bisa membenarkan perkataan Ilham untuk menikah lagi, karena pernikahan adalah sesuatu yang sakral dan banyak hal yang telah dikorbankan.

Disambung nanti yaa…

Related posts