Berdamai Dengan Luka

Dimas bangkit dan melepaskan cengkramannya dari rambut Santo. Sumpah serapah keluar dari mulutnya. Anjing! Bangsat! Berulang-ulang ia teriakan kepada laki-laki seumurannya yang tergolek tak berdaya di pinggir jalan. Laki-laki itu penuh luka lebam di sekujur tubuhnya. Dia benar-benar melampiaskan semua amarahnya.

Vina yang ada di dalam mobil hanya bisa panik. Ia khawatir melihat Santo tak bergerak sama sekali. Pakaian Santo yang kotor semakin membuat dia tak ubahnya seperti sampah jalanan. Sebelum meninggalkan Santo yang tak sadarkan diri, Dimas sempat menendang tubuh itu hingga akhirnya masuk ke dalam selokan kecil.

“Dimas sudah Dimas. Nanti dia mati,” teriak Vina histeris.
“Biar sekalian dia mati. Memang dia inginnya mati,” Dimas benar-benar tak bisa memendam amarahnya.
“Sudah kita pergi, nanti ada orang lihat,” ujar Vina mengajak Dimas segera meninggalkan taman yang sepi itu. Dimas segera membawa mobilnya ke luar dari pinggiran Jakarta. Ia menuju tengah kota. Hatinya galau sekali.

“Dia gak mati kan?” Vina khawatir kalau akan menambah masalah jika Santo benar-benar tewas. Dimas menghajarnya tanpa ampun.
“Nggak mati. Dia pingsan. Tapi dia pantas mati,” ujar Dimas ketus.
“Bukan begitu, nanti malah jadi masalah buat kita,” Vina mengingatkan.
“Tidak, dia tidak mati. Orang yang menemukan dia paling mengira kalau dia orang gila, atau orang mabuk over dosis. Jelas-jelas dia seperti lagi mabuk kan?” Dimas menguatkan pendapatnya.

Malam semakin larut. Dimas bergegas mencari tempat lain untuk menenangkan diri. Hari ini benar-benar hari yang buruk sepanjang hidupnya.

“Aku gak mau sendirian malam ini Dim. Tapi jangan pulang ke apartemenmu, kita cari hotel saja,” ujar Vina yang masih belum bisa menenangkan hatinya.
“Baik sayang. Kita cari hotel.”
“Iya, terserah.”

Benar-benar malam jahanam, kutuk Dimas. Hampir saja ia membunuh orang. Akal sehatnya seakan tidak bekerja kalau mengingat kejadian tadi. Ia akui kalau dia ingin sekali membunuh Santo. Ia ingin membunuh Santo sejak mengetahui dialah laki-laki yang sudah menghancurkan Vina, kekasihnya yang akan dinikahinya bulan depan.

Santo adalah teman SMA-nya. Dia satu angkatan dengannya. Sejak dulu, Dimas tidak akrab dengan Santo. Santo termasuk siswa kaya, dan punya geng eksklusif di sekolah. Sedangkan Dimas, hanyalah anak seperti pada umumnya.
Hanya saja, roda nasib berputar. Santo terlena dengan kekayaan orangtuanya. photomemek.com Ia lupa menyiapkan masa depan, dan terjebak menjadi pemakai. Dimas, malah bangkit. Ia berhasil kuliah di PTN dan kini sudah memiliki pekerjaan tetap dengan gaji yang lumayan.

Sejak dulu ia sudah menaruh hati kepada Vina, adik kelas dua tahun di bawahnya. Hanya saja Dimas minder berhadapan dengan Santo. Santo dan gengnya terkenal sebagai cowok-cowok popular di sekolah. Kekayaan orangtua mereka membuat cewek-cewek saling berebut.

Vina bukanlah termasuk dalam daftar cewek-cewek itu. Ia malah didekati Santo. Saat itu sebenarnya Vina tidak menaruh hati pada Santo. Ia bersedia pacaran karena dorongan dari teman-temannya. Vina hanya berpikir, mungkin inilah kesempatannya. Ia tak pernah pacaran sejak SMP, dan kini ada cowok terkenal di sekolah yang mengejar dirinya. Tapi ternyata itu adalah awal dari tabir kelam dalam hidupnya.

Dimas masih ingat suatu hari saat sedang istirahat sekolah ia mendengar perbincangan geng Santo. Ia geram ketika tahu bahwa Vina hanya menjadi taruhan mereka saja. Santo bahkan terbahak-bahak saat menerima salam kemenangan dari kawan-kawannya. Saat itu Dimas hanya bisa memendam marahnya.

Tiba-tiba Vina menangis keras. Dimas pun melambatkan laju kendaraannya. “Kamu kenapa sayang?” Dimas coba mengajak Vina untuk berbagi.
“Gak apa sayang. Aku cuma ingat masa lalu,” ujar Vina.
“Iya sayang. Sabar ya. Itu masa lalu. Kita punya masa depan kok,” ujar Dimas menenangkan. Padahal hatinya sendiri perlu ditenangkan juga.

Vina teringat sore kelam dalam hidupnya sepuluh tahun lalu. Kisah itu sebenarnya sudah ia ceritakan kepada Dimas beberapa kali, tetapi tetap saja beban itu tak pernah hilang. Traumanya sulit disembuhkan.

Vina masih ingat suatu hari sepulang sekolah, ia diajak Santo mampir ke rumahnya. Santo yang membawa mobil kebanggaannya berjanji akan mengantarkannya pulang setelah dari rumahnya. Vina tak punya pikiran apa-apa. Ia hanya senang diajak main ke rumah pacarnya.
Tetapi saat sampai di sana, Santo sudah menyiapkan rencana lain. Setelah meminum minuman yang diberikan Santo, Vina merasa pusing dan badannya lemas. Entah obat apa yang diberikan Santo ke dalam air sirup itu. Namun dengan mudahnya, Santo membopong Vina dari ruang tamu ke kamar tidurnya di lantai dua.

Vina sebenarnya masih bisa menyadari keadaan dirinya, tapi ia sangat lemas dan tak mampu mengeluarkan kata-kata.

Vina masih ingat dengan jelas, ketika Santo mempreteli kancing seragam sekolahnya. Ia juga masih ingat dengan bau nafas Santo saat melumat bibirnya. Vina mulai menyadari apa yang akan akan dilakukan Santo ketika branya dilepas paksa.

Di dalam hati ia berteriak. Ia marah ketika Santo meremas payudaranya, dan kemudian menjilatinya. Ia tak rela dengan perlakuan Santo. Vina ingin teriak. Ia ingin menampar muka Santo, ia ingin menendang, tapi badannya sangat lemas.

Dalam ingatan Vina, Santo ibarat binatang yang sedang kelaparan menemukan makanan, rakus sekali. Ia muak melihat laki-laki itu menjilati payudaranya dan perutnya. Tapi Vina tak bisa berbuat apa-apa.

Di dalam hatinya Vina menangis. Ia berteriak marah. Ia meminta tolong kepada ayahnya, kepada ibunya. Ia pun berdoa kepada Tuhan, agar Santo tidak meneruskan kebiadabannya.

Vina terus berdoa ketika Santo melepaskan rok abu-abunya. Di dalam hati, Vina menjerit histeris. Hanya tinggal celana dalamnya saja yang ia kenakan. Sungguh, bukan ini yang ia bayangkan ketika memutuskan untuk berpacaran dengan Santo.

Ia menjerit kepada Tuhan agar Santo segera dihukum dan tidak melanjutkan niatnya. Tapi ternyata doa dan jeritan Vina tidak terjawab. Santo benar-benar melucuti celana dalam kremnya. Vina semakin histeris. Ia tak mampu melihat apa lagi yang akan dilakukan Santo berikutnya. Matanya terpejam.

Di dalam hati, ia hanya bisa mengutuk. Mengutuk Santo atas kebiadabannya. Mengutuk teman-temannya yang menyuruhnya berpacaran dengan Santo. Mengutuk orang yang ada di rumah itu karena tidak datang ke kamar Santo untuk menghentikan peristiwa itu. Bahkan ia mengutuk Tuhan yang tidak memberikan pertolongannya di saat ia sangat membutuhkan.

Dunianya terasa sepi. Sangat sepi. Semuanya seperti tak punya rasa. Bahkan Vina tak merasakan perih di vaginanya ketika Santo memasukkan penisnya. Kesakitannya ada di hatinya, menghujam ke relung paling dasar. Kesakitannya ia pendam sendiri. Ia tahu bahwa sebenarnya ia tidak bisa menanggung kesakitan itu sendirian, tapi tidak ada siapapun, tak ada apapun, yang bisa menyelamatkan dia saat itu. Tak ada pertolongan dari mereka yang katanya sangat mencintai dirinya, yang menyayangi dirinya. Vina sendirian ketika setan bernama Santo membawanya ke jurang paling dalam di hidupnya. Ia ingin mati saja saat itu.

Tapi doa untuk mati pun tidak dikabulkan. Ia masih hidup. Ia masih bisa melihat Santo yang telanjang di atas tubuhnya. Ia masih bisa melihat bagaimana wajah binatang itu terengah-engah menjilati payudaranya.

Bahkan ia masih bisa mendengar ucapan Santo, “Kamu jangan nangis sayang. Aku cinta kamu.”
Vina hanya bisa mengutuk ketakberdayannya. Ia mengutuk semuanya, termasuk dirinya. Ia sudah tak peduli lagi, meski Santo terengah-engah mengacungkan penis di atas perutnya dan memuncratkan cairan.

Pikiran Vina kosong. Dunianya menjadi gelap. Hitam pekat. Tak ada pemandangan indah seperti saat dia tamasya ke Bali dulu. Tak ada pelangi yang mewarnai sore setelah hujan. Tak ada panggilan sayang dari orangtuanya. Tak ada tawa seperti saat ia bermain ayunan waktu kecil dulu. Sunyi.

Bahkan saat Santo memakaikan pakaiannya kembali, dia hanya diam saja. “Celana dalammu buat aku ya, kenang-kenangan,” sekilas Vina mendengar ucapan itu. Tapi ia tak bereaksi apa-apa.

Saat tubuhnya sudah bisa digerakkan, semua terasa terlambat. Kenapa baru sekarang ia punya kekuatan, setelah semuanya terjadi. Vina hanya bisa duduk tertunduk di atas kasur. Ia ingin menangis sekeras-kerasnya, tapi terasa percuma.

Ia mengutuk kelahirannya ke dunia ini. Semua cerita bahagia saat kecil, kasih sayang kedua orang tuanya, persahabatan dengan rekan-rekannya, tiba-tiba hilang. Santo menghancurkan semua kenangan itu. Santo memberikan mimpi paling buruk dari dasar neraka.

Saat merasa tubuhnya sudah kuat, ia pun melarikan diri. Ia ingin pergi dari rumah neraka itu secepatnya. Ia pulang naik taksi.

“Bajingan itu memang pantes dibunuh,” tiba-tiba Vina memecah kesunyian di dalam mobil Dimas.
“Iya sayang. Tapi mungkin dia belum mati karena masih harus menanggung rasa bersalahnya sepanjang hidupnya. Biar saja dia mati dengan sendirinya, dengan kesakitannya,” ujar Dimas.
“Iya. Kamu sayang aku kan? Kamu cinta aku kan? Aku tidak sendirian kan?” ujar Vina sambil terisak.

Dimas hanya diam saja. Ia paham kalau kekasihnya mengalami guncangan yang hebat. Kehadiran Santo sore ini membangkitkan trauma lamanya. Padahal sejak beberapa tahun terakhir Dimas berusaha menyembuhkan trauma itu.

Ia masih ingat ketika Vina akhirnya membuka diri atas peristiwa itu. Dimas akhirnya menemukan rantai yang hilang dari pribadi Vina. Saat itu ia berjanji tidak akan melepaskan Vina lagi, ia akan membuat Vina memiliki cinta, membuat Vina bisa tersenyum lagi. Ia akan berusaha sekuat mungkin.

Vina kemudian mengenalkan Dimas dengan dokter Tania. Dokter itulah dewi penolong Vina.
Vina berkenalan dengan dokter Tania satu bulan setelah kejadian itu. artikelbokep.com Saat itu ia merasa putus asa dan ketakutan jika hamil. Ia pergi ke dokter itu sendirian dan menceritakan semua hal yang menimpa dirinya. Lambat laun, mereka jadi akrab.

Tania senang ketika bertemu Dimas. Ia tak lagi bekerja sendirian. Ia punya rekan kerja untuk menolong kondisi psikologis Vina, selain kedua orangtuanya.

Dokter Tania menjadi simpul penghubung dari orangtua Vina, Vina, dan Dimas. Ia memerankan fungsinya dengan baik. Ia ingin membangkitkan semangat hidup Vina tanpa terkesan dipaksakan. Perlahan namun pasti ia menemukan cara-cara terbaik untuk menolong Vina. Lewat Dimas, Tania yakin bahwa Vina masih bisa ditolong.

“Dimas, kamu benar-benar cinta dengan Vina?” Tanya dokter Tania suatu kali saat mereka sengaja bertemu tanpa sepengatahuan Vina di ruang kerja Tania.
“Iya dok, kenapa?”
“Kamu sudah tahu trauma yang dihadapi Vina?”
“Sudah dok.”
“Lalu apa rencanamu?”
“Yang saya tahu, saat ini saya punya cinta yang dalam untuk dia. Saya tidak akan mengulangi kesalahan saya dulu, melepaskan Vina kepada bajingan itu. Sekarang saya akan berjuang sekuat tenaga untuk dia. Setelah lulus nanti, saya harus mampu mendapatkan pekerjaan yang baik. Saya harus mampu menghidupi dia. Saya ingin membahagiakan dia,” ujar Dimas yang saat itu baru menyelesaikan skripsinya.

“Bagus. Kamu sudah pernah bertemu orangtua Vina?”
“Beberapa kali, kalau mengantarkan dia pulang, dok.”
“Pernah bercerita niatmu ke mereka?”
“Belum dok. Saya belum berani menjanjikan apa-apa. Saya hanya punya niat saja sekarang ini. Belum saatnya untuk mengatakan hal itu. Saya yakin, niat saya ini pun perlu diuji, jadi lebih baik saya memantapkan diri saya lebih dulu dan fokus menjalaninya,” jelas Dimas.
“Bagus. Kalau kamu tidak fokus, nanti saya bantu mengingatkan,” canda Tania.
“He he he, makasih dok.”

Seusai pertemuan itu, Dimas kembali ke kampus, menjemput Vina untuk mengantarkan pulang dengan motor bebeknya. Namun yang Dimas ketahui kemudian ternyata di ruang kerja Tania yang disekat itu ada kedua orangtua Vina. Mereka mendengar semua obrolan itu.

“Saya yakin sekarang, kalau kali ini Vina tidak bertemu dengan laki-laki yang salah. Mungkin ini memang sudah jalannya. Anak itu, anak baik. Mungkin lebih baik kalau kita restui saja mereka Mah, kita nikahkan saja secepatnya,” ujar Papanya Vina saat itu.
“Iya Pah, tapi sepertinya Dimas merasa belum siap. Kita harus hati-hati Pah,” balas Mamanya.
“Iya, kalau cuma masalah materi, pekerjaan yang layak. Saya bisa bantu. Saya bisa beri dia pekerjaan yang bagus. Tapi ini juga berhubungan dengan kedewasaan dia,” balas Papanya Vina.
“Iya Pak,” Tania menyela. “Saya setuju dengan pendapat itu. Saat ini mungkin kita hanya bisa memantau dan mengarahkan kemana hubungan Dimas dan Vina. Saya yakin, waktunya tidak akan lama lagi.”
“Betul dok. Saya akan bantu anak itu untuk masa depannya. Saya sangat berterima kasih sama dokter, selama ini sudah membantu kami,” ujar Papanya Vina.

Semua berjalan seperti alamiah saja. Padahal di balik itu, ada skenario yang berjalan. Lulus dari kuliah, Dimas mendapatkan pekerjaan yang layak. Ayah Vina membantunya secara terang-terangan tanpa membuat Dimas tersinggung.

Dua tahun kemudian, Vina lulus kuliah. Karier Dimas pun naik. Ia sudah menjadi manajer di sebuah perusahaan multinasional. Dimas memantapkan hatinya untuk melamar Vina.

“Kamu siap dengan segala resikonya?” Tanya ayahnya Vina, beberapa hari sebelum acara lamaran.
“Siap om.”
“Siap dengan segala hal, termasuk beban batin yang ada di anak saya?”
“Iya om, siap.”
“Kamu tidak akan menyia-nyiakan dia?”
“Tidak om.”
“Bagus. Kebahagiaan itu persoalaan rasa Nak. Jadi kalau kamu ingin membahagiakan dia, menangkanlah perasaannya.”
“Iya om..”

Bagi Tania, proses yang terjadi berjalan sesuai harapannya. Kini, menurutnya, tinggal satu masalah lagi yang harus diselesaikan. Masalah utama yang menjadi akar trauma Vina, seks.

Tania tahu, Vina sebenarnya adalah perempuan normal. Ia membenci seks karena mengalami trauma itu. Tapi di balik itu, ia seperti perempuan kebanyakan. Tania masih ingat, suatu sore tiba-tiba Vina datang ke tempat kerjanya dengan wajah berseri-seri.

Vina cerita kalau hari itu dia sedang senang karena bertemu dengan Dimas di kampusnya. Mereka sempat makan siang bersama.
“Namanya Dimas dok. Dia itu dulu kakak kelasku di SMA Tunas Bangsa. Dulu aku naksir dia loh dok. Eh gak tahunya sekarang malah satu kampus. Dia di fakultas ekonomi,” ujar Vina yang saat itu baru menjadi mahasiswi semester 1 psikologi.
“Minggu lalu kita ketemu gak sengaja di tempat fotokopi. Terus tukeran no telp. Nah tadi aku makan siang bareng dia. Dia tambah ganteng loh dok.”

Tania awalnya khawatir dengan perkembangan itu. Namun lama kelamaan, berdasarkan cerita Vina, Tania bisa menyimpulkan kalau Dimas adalah anak yang baik. Maka sesaat setelah mereka memutuskan untuk pacaran, Tania meminta Vina untuk memperkenalkan Dimas kepada dirinya. Saat itu, Tania hanya ingin memastikan bahwa kerja kerasnya kepada Vina tidak akan gagal total. Bahkan kalau perlu ia bisa memaksimalkan Dimas untuk memulihkan Vina. Dan hal itulah yang dilakukan Tania untuk jurus pamungkasnya, memulihkan trauma Vina soal seks. Tapi ia tahu, persoalan ini butuh kehati-hatian dan kejelian.

“Eh, kalian kan dah pacaran. Sudah pernah ciuman belum?” Ujar Tania suatu kali saat mereka makan bersama sebelum jadwal prakteknya.
“Iiiih dokter, tanyanya soal gituan. Gak perlu dijawab Dimas,” ujar Vina yang malu-malu. Sedangkan Dimas hanya tertunduk malu.
“Gak apa-apa kali. Zaman sekarang kan ciuman hal yang biasa kalau pacaran. Memangnya kamu gak mau dicium Dimas? Katanya kamu jatuh cinta sama dia?” Tania ceplas-ceplos coba mengurai kompleksitas trauma Vina.
“Iiiih dokter ngomongnya apaan sih, aku malu tahu.”
“Ha ha ha, biarin aja. Dimas juga malu tuh. Diem aja dari tadi. Eh Dimas, kamu mau cium Vina gak?”
“Eeeee… “
“Kok eeee? Mau gak?” Sergah Tania.
“Mau sih dok. Tapi takut,” jawab Dimas.
“Takut apa?”
“Takut Vinanya marah. Lebih baik saya diam saja,” ujar Dimas.
“Ooo begitu. Tapi saya yakin, Vina tidak akan marah kalau kamu menciumnya dengan perasaanmu. Dia gak marah kalau kamu betul-betul cinta sama dia. Kamu cinta kan sama Vina?” Tania terus berusaha membuka keruwetan beban perasaan Vina lewat Dimas.
“Ya cinta dok.”
“Sayang sama dia?”
“Sayang dok.”
“Ya sudah cium dia.”
“Masa di sini dok, malu ah,” tiba-tiba Vina menyergap pembicaraan antara Tania dan Dimas.
“Ha ha ha ha,” Tania terbahak-bahak. “Tuh Dimas. Vina mau dicium kamu, tapi bukan di sini. Ya sudah nanti pulang, kamu cari tempat yang sepi buat cium Vina ya. Awas loh kalau nggak, besok Dokter gak mau trakir lagi,” canda Tania.

Ternyata hal itu membekas buat Dimas dan Vina. Ketika motor mereka melintasi jalanan yang gelap, Vina meminta Dimas berhenti. Dimas sempat bingung. “Di sini aja Dim. Sepi,” ujar Vina.
“Di sini apa?”
“Katanya kamu mau cium aku,” ujar Vina malu-malu.
“Di sini, yakin kamu?”
“Iya.”

Dimas pun memberanikan diri untuk meraih tubuh Vina saat mereka sudah turun dari jok motor. Tangan Dimas bergetar saat meraih bahu Vina. Ia kemudian mendekatkan wajahnya ke wajah Vina. Ia ingin segera menyosor bibir Vina yang merekah. Tapi kata hatinya menyuruh bertindak hal lain.

Ia membelokkan bibirnya ke ubun-ubun Vina. Ia mengecup pelan ubun-ubun itu, sambil mengusap rambut Vina yang hitam. “Mudah-mudahan kamu tahu kalau aku benar-benar sayang kamu,” ujar Dimas setelah mengecup ubun-ubun Vina.

Vina memeluk Dimas. Sebenarnya saat itu, ia hanya ingin menguji Dimas, dan menguji dirinya sendiri. Vina terharu dengan momen itu. Sepanjang perjalanan pulang, Vina memeluk Dimas lebih erat dari biasanya.

Tania yang mengetahui cerita itu sangat bersyukur. Dimas ternyata laki-laki yang tak hanya cerdas, tapi tajam batinnya. Perlahan namun pasti, Tania menggiring pasangan itu untuk mengurai benang-benang tekanan batin yang ada. Tania menduga, mungkin Dimaslah jodoh yang disediakan Tuhan untuk Vina.

Maka ketika Dimas benar-benar melamar Vina, Tania pun lebih berani menyarankan terapi yang lebih fokus. Ia menyarankan Dimas untuk mengajak Vina bermesraan di kamar. Dimas diminta untuk menceritakan semua yang terjadi sebagai bahan evaluasi Tania.

“Aku kasihan sama dia, tapi kalau ingat masa lalu, aku ingin bunuh dia,” Vina masih sesungukan dalam perjalanan menuju hotel.
“Kenapa juga dia datang. Sejak dulu aku sudah berusaha melupakan dia,” tambah Vina.

Sore itu memberikan kejutan kepada Dimas dan Vina. Saat mereka mengecek gedung resepsi pernikahan, ternyata di sana bertemu dengan Santo. Santo sebenarnya sudah meneror Vina dan Dimas beberapa bulan belakangan ini. Ia mengaku mencintai Vina, dan ingin bertanggung jawab. Bahkan setelah undangan tersebar, Santo semakin membabi buta. Berbagai upaya dilakukannya. Santo pernah mendatangi rumah orangtua Vina, sampai papanya Vina menghajar Santo bersama satpam rumahnya. Puncaknya adalah hari ini.

Santo sengaja mencegat Vina dan Dimas di lokasi itu. Ia memaksa Vina untuk ikut bersama dirinya. Santo mengaku kalau dia tak bisa hidup tanpa Vina. Tentu saja, itu hanya akal-akalan saja. Tapi kalaupun itu benar, setelah semua perlakuannya, Vina tak pernah mau bertemu dengan Santo.

Di gedung itu, Dimas berkelahi dengan Santo hingga dilerai oleh petugas keamanan. Santo sempat diusir. Namun saat Dimas dan Vina masuk ke dalam mobil, Santo menerobos masuk dan ikut ke dalam mobil. Vina panik hingga Dimas berkelahi lagi.

Setelah keluar dari lokasi gedung, ternyata Santo tetap mengikuti mereka. Ia menyewa tukang ojek untuk membuntuti Santo. Di sebuah lokasi yang sepi, Dimas menghentikan mobilnya. Ia menyambangi Santo dan kembali berkelahi. Tukang ojek yang tidak tahu apa-apa kemudian meninggalkan mereka. Dimas kembali naik pitam. Santo yang sedang mabuk dihajar habis-habisan oleh Dimas. Dimas benar-benar meluapkan kemarahannya.

“Iya sayang. Kita harus sabar. Mudah-mudahan ini terakhir kali kita bertemu dia,” Dimas coba menenangkan.

Dimas memacu mobilnya menuju hotel yang dia tahu. Tidak sampai setengah jam mereka akhirnya sampai di sebuah hotel bintang tiga. Dimas langsung memesan satu kamar, dan mereka pun bergegas masuk ke dalam.

Di dalam kamar, Vina meluapkan emosinya. Ia menangis sekeras-kerasnya. Semua kejadian yang menimpanya dulu seperti diputar kembali. Kekuatan hatinya goyah, ia limbung mendapati masa lalunya terus terungkit kembali. Setan itu masih hidup.

Dimas hanya bisa diam. Dia membiarkan Vina meluapkan kegetirannya. Di dalam hatinya, Dimas tergores. Ia tak sampai hati melihat kekasihnya menanggung kesedihannya sendiri. Tapi tak ada yang bisa dilakukannya. Ia hanya berharap terapi dan cintanya selama ini bisa membantu Vina menguatkan diri.

Vina masih menangis di atas kasur, sedangkan Dimas hanya bisa menyaksikan dari tempat duduk di sebelahnya. Hingga akhirnya Vina memanggil Dimas mendekat.

“Aku minta maaf sama kamu. Karena kamu ikut menanggung kesakitanku. Masih ada waktu, kalau kamu tidak mau menikahiku,” ujar Vina pada titik asa terakhirnya.

“Vin, lihat aku. Sejak aku bertemu kamu lagi, saat makan siang di kampus dulu. Aku berjanji pada diriku untuk tidak melepaskan kamu lagi. Aku berjanji akan menjadi laki-laki yang pantas untuk kamu. Ketika aku tahu kamu punya beban yang sangat berat, aku berharap kamu bisa membagi beban itu bersamaku. Kamu tidak sendirian. Perjalanan hidup tak pernah bisa diterka. Lihat perjalanan kita, lihat perjalanan aku, lihat perjalanan dokter Tania. Apakah semua itu hanya kebetulan saja? Kita cuma makhluk yang menjalani garis yang sudah ditentukan Yang Di Atas. Tuhan punya caranya menyatukan orang-orang yang dikasihiNya,” Dimas berusaha membuka hati Vina.

“Tapi aku tidak dikasihi Tuhan. Tuhan benci aku. Aku nista!!”

“Tuhan tidak benci kamu. Kamu punya orangtua yang menyayangimu. Kamu dipertemukan dengan Dokter Tania. Siapa yang sangka kalau Dokter Tania punya masalah yang sama seperti kamu. Sedangkan aku, aku dipertemukan lagi kepada kamu. Aku belajar arti sebuah perjuangan. Kita tidak boleh menyerah, meski kita merasa sendirian dan tak berdaya. Kita tak boleh menyerah, meski Tuhan seakan-akan meninggalkan kita. Kita hanya tidak tahu bagaimana tangan Tuhan bekerja.”

“Kamu tidak nista. Kamu adalah perempuan agung. Kamu tahu apa artinya perjuangan. Kamu tahu apa artinya mempertahankan kehidupan. Bukankah itu yang paling dibutuhkan?”

“Vina, aku sangat mencintai kamu. Tak akan kulepaskan kamu lagi, selamanya,” Dimas mengutarakan perasaannya. Ia pun terharu dengan kata-katanya sendiri.

Vina yang terlentang di atas kasur kemudian bangkit memeluk Dimas sambil duduk. Vina menangis dipelukan Dimas. “Aku sayang kamu Dimas. Jangan sakiti aku,” Vina terbata-bata berharap.
“Aku juga sayang kamu. Kamu adalah hidupku, tidak akan aku menghancurkan hidupku,” balas Dimas. Ia mengecup ubun-ubun Vina dengan lembut. Menyalurkan rasa sayangnya yang paling dalam. Mereka berpelukan hingga Vina mereda tangisnya.

Setelah guncangan emosi Vina mereda. Dimas membuatkan minuman hangat untuk kekasihnya. Teh hangat mungkin membantu Vina meredakan ketegangan batinnya. Namun saat itu, ternyata Vina melepas semua pakaiannya. Vina tiba-tiba telanjang bulat.

Dimas kaget. Selama ini mereka memang sudah sering telanjang bersama. Tapi itu selalu diawali dengan candaan-candaan vulgar sebagai terapi Vina. Kali ini adalah guncangan batin yang membawa mereka ke kamar hotel.

Dimas menaruh teh hangat di meja samping tempat tidur. Ia pun menghampiri Vina, melihat wajahnya yang sendu. “Dim, masih ada satu trauma yang ingin aku selesaikan. Aku mau kamu yang membantu aku. Aku sudah siap,” ujar Vina sayu.

Dimas menatap mata Vina. Tak ada kata-kata yang terucap, matanya menyorotkan kasih sayang kepada calon isterinya itu. Betapa, ia sangat membutuhkan Vina, betapa ia siap menerima kesakitan apa saja untuk dia. Dimas kemudian mengecup lembut bibir Vina. Ia membelai sayang rambut Vina.

Vina yang terpejam saat menerima kecupan Dimas merasakan kehangatan yang luar biasa. Ia bisa merasakan ketentraman di dalam hatinya. Ia merasa yakin, hanya kepada laki-laki ini ia mempercayakan hidupnya.

“Sayang, lihat mata aku terus ya,” ujar Dimas ketika ia melepaskan kecupannya. Dimas ingat pesan Dokter Tania. Jika sudah tiba waktunya, jangan biarkan Vina terbawa angan-angannya. Saat dia mendapatkan trauma dulu, itu adalah realita, sehingga dia juga harus mengetahui kamu adalah realita. Kamu harus bisa mengganti realita menyakitkan itu dengan realita yang kamu berikan. Kamu harus bisa membimbing dia. Hati-hati, karena hanya dia yang tahu di mana kesakitan hatinya.

Di dalam hati, Dimas berharap semua instingnya bekerja dengan baik. Nalurinya bisa membaca bahasa batin calon isterinya. Ia tidak mau perlakuannya malah akan menjadi bumerang untuk masa depan mereka.

Selama ini, jika mereka bermesraan di apartemen atau di kamar hotel, mereka tidak pernah sampai benar-benar bersetubuh. Dimas hanya ingin membiasakan Vina dengan hal-hal yang berkaitan dengan seks. Dari mulai ciuman, peting, hingga perlahan-lahan melepas baju bersama. Terakhir, Vina mulai berani melihat penis laki-laki.

Semua itu merupakan arahan Dokter Tania. Tania percaya bahwa seks yang sehat, yang dilandasi rasa cinta akan memberikan kebahagiaan. Namun ia tetap memberi pertimbangan bahwa hal itu tetap sebuah dosa dari sisi agama selama belum dikuatkan dalam ikatan pernikahan. Tania menyarankan Dimas untuk mematangkan diri dan segera menikahi Vina.

“Kenapa sayang?” Tanya Vina sendu.
“Aku ingin kamu bisa melihat aku yang benar-benar cinta sama kamu. Apa yang kita lakukan ini adalah untuk kita,” ujar Dimas.
“Iya sayang. Aku percaya sama kamu. Hanya kamu yang boleh memiliki aku, dan kamu tidak boleh menyakitiku.”
“Aku janji sayang. Bantu aku, agar tidak menyakitimu.”
“Akan aku jaga kamu supaya tidak menjadi bajingan. Laki-laki lain boleh jadi bajingan, tapi kamu tidak,” ujar Vina yang kali ini menampakkan senyum kecilnya.
“He he he. Aku sayang kamu,” balas Dimas.

Tentu saja Dimas sangat senang dengan hal itu. Perlahan-lahan Vina bisa merasakan cinta darinya. Dimas yang awalnya tegang pun bisa mengendurkan perasaannya. Kekhawatirannya pun mulai mereda. Ia ingin merilekskan Vina dengan cumbuan-cumbuannya.

Seperti yang pernah mereka lakukan, Dimas coba merangsang Vina. Ia mencumbu wajah Vina dengan lidahnya. Ia juga mencumbu payudara Vina dengan lembut. Semua ia lakukan perlahan. Dimas ingin Vina merasakan kenikmatan dari perlakuannya. Hingga kemudian Vina mulai mengerang.

“Kamu gak apa-apa sayang?” Dimas ingin memastikan.
“Gak apa-apa sayang, terusin aja. Eh kamu gak buka baju. Sini aku bukain dulu,” Vina kemudian membantu Dimas membuka baju.

Sebagai sepasang manusia normal, baik Vina dan Dimas sebenarnya sudah sama-sama tertarik satu sama lain secara seksual. Vina mengagumi tubuh Dimas yang atletis dengan otot-otot yang kekar. Sedangkan Dimas mengagumi Vina yang memiliki bentuk indah. Kulitnya putih, payudaranya kencang, serta rambut kemaluannya yang tertata rapi. Saat pertama kali melihat tubuh telanjang Vina, hampir saja Dimas lupa daratan. Untungnya ia bisa segera mengendalikan diri. Ia harus mengakui tubuh Vina menebar aura seks yang kuat. Bahkan mungkin itu pula yang mendorong Santo memperkosa Vina dulu.

Setelah pakaiannya terlepas semua, Dimas kembali melanjutkan aksinya. Dimas tahu kalau Vina sangat suka jika payudaranya dijilat. Apalagi kalau putingnya dihisap-hisap, maka dia melakukan itu. Vina mulai mengerang lebih hebat. “Sayang, terus sayang… Cuma kamu yang boleh ambil punyaku sayang,” Vina meracau.

Dimas pun meneruskan jilatannya ke bagian lain. Ia merangkak ke bawah, ke bagian vital Vina. “Kamu mau apa sayang?” Vina ragu-ragu dengan aksi Dimas. Karena selama ini hanya tangan Dimas yang biasanya menyentuh vaginanya.
“Aku mau ke punyamu, boleh gak?”
“Tapi kan itu jorok, jijik.”
“Aku gak jijik. Kamu percaya sama aku?”
“Iya aku percaya.”
“Kamu rileks aja. Kalau kamu kesakitan bilang ya.”

Dimas pun melanjutkan jilatannya. Perlahan ia mencumbu vagina Vina. Lidah Dimas menyapu pinggir vagina Vina. Ludahnya membasahi rambut-rambut halus di sekitar vagina Vina. Ia pun merekahkan belahan vagina Vina.

Jika biasanya tangannya yang menyentuh klitoris Vina, kali ini Dimas menyentuhkan lidahnya ditonjolan kecil itu. Vina kegelian keenakan. “Aaaahhhh….sayang….”

Dimas terus melakukannya. Jilatan itu diselingi dengan gigitan-gigitan kecil. Vina benar-benar menikmati. Tubuhnya meliuk-liuk menerima ransangan itu. Tangannya membenamkan kepala Dimas ke selangkangannya. Vina ingin agar Dimas benar-benar melakukan pekerjaannya dengan baik.

“Aaaaaahhhhh…. Sayang….. Iya di situ….” Vina meminta Dimas terus menjilat klitorisnya.
Dimas senang sekali, karena usahanya berhasil. Ia ingin calon isterinya mendapatkan kenikmatan dari seks. Satu tahap ia lewati, ia berhasil membuktikan kalau seks tidak selamanya menyakitkan.

Berulang-ulang Dimas menjilat klitoris Vina. Tangannya pun ia maksimalkan dengan meraba payudara Vina. Sampai akhirnya, Vina seperti tak bisa menahan kenikmatannya. Tubuhnya melengkung, pahanya menjepit kepala Dimas, dan tangannya membenamkan kepala Dimas lebih dalam.

“Aaaaaaaaaaaahhhhhhhhh…………saaaaayyyaaaaannnggggg….” Vina kelojotan. Nafasnya terengah-engah. Matanya mendelik ke atas. Dimas tahu kalau Vina orgasme. Itulah orgasme pertama kali dalam hidupnya. Dimas senang sekali, ia tersenyum puas. Ia benar-benar membuktikan kepada Vina kalau seks adalah sesuatu yang menyenangkan.

Ia kemudian mengecup bibir Vina yang yang masih membuka. Baru kemudian mengecup ubun-ubunnya. Ia menyalurkan rasa sayang lewat kecupannya. Vina menitikkan air mata. Ia bahagia.

“Aku benar-benar sayang kamu. Kamu janji tidak menyakiti aku kan?” Vina tersedu-sedu.
Dimas hanya diam, tapi kemudian memeluk Vina sambil mengecup keningnya. Ia tak perlu mengatakan apa-apa, tapi di dalam hatinya, ia berjanji segenap jiwa raganya akan dipersembahkan untuk calon isterinya itu. Mereka berpelukan cukup lama. Dimas tahu di relung hati Vina masih berkecamuk perasaan-perasaan sakitnya. Ia hanya bisa memeluk sambil memberikan kehangatan dan ketentraman hati.

“Eh tadi kamu bikin teh hangat. Aku mau dong,” tiba-tiba Vina berujar manja.
Dimas kemudian mengambilkan teh hangat untuk perempuan yang dikasihinya. Vina tersenyum ketika Dimas beranjak dari tempat tidur tanpa penutup apapun. Dimas sempat bertanya makna senyuman itu sambil memberikan teh hangat.

“He he he, penismu gondal-gandul. Kayanya tadi tegang deh,” jawab Vina setelah menyeruput teh hangatnya.
“Ha ha ha, kamu ngeliat aja. Kalau tidak bekerja ya dia tidak tegang, istirahat,” balas Dimas.
“Sini gantian, aku kerjain,” balas Vina.
“Sudah gak usah, aku bisa sendiri.”
“Gak, gak boleh. Mulai sekarang kamu gak boleh onani lagi. Sekarang sudah ada aku. Aku ingin ada buat kamu,” balas Vina.

Vina kemudian meraih penis Dimas. Ia menggenggamnya. Perlahan penis Dimas menegang. Dimas senang dengan perlakukan Vina. Bukan hanya karena Vina memberikan rangsangan, tapi Vina mulai berdamai dengan penis laki-laki. Vina bisa menerima bahwa penis hanyalah bagian tubuh dari laki-laki sebagai alat seksual. Bukan penis yang membuatnya sakit, tapi pemiliknya.

“Sakit gak sayang?” Tanya Vina.
“Enggak. Itu malah enak.”
“Kalau dibeginikan pasti lebih enak,” canda Vina sambil mengocok penis Dimas.
“Iya, he he he..”Dimas dengan bergaya meminta terus.
“Oooo dasar laki-laki,” Vina kini benar-benar bisa melepaskan perasaannya.
“Eh aku mau ngemut punya kamu. Boleh gak?” Tiba-tiba Vina punya ide.
“Ha? Yakin kamu? Aku sih gak apa-apa.”
“Kamu aja tadi jilatin punya aku, sekarang gantian ya. Aku cuma pengen tahu rasanya,” Vina kini memelas.
“Ha ha ha, ya sudah tapi jangan lama-lama ya.”

Vina dengan semangat mengubah posisinya. Kini wajahnya menuju penis Dimas dan mulai memasukkan penis calon suaminya ke dalam mulutnya. Tentu saja Dimas sangat takjub. Selama ini, ia tak berani meminta apa-apa dari Vina. Dengan trauma yang dimilikinya, Dimas sangat hati-hati memperlakukan Vina.

Ketika ia melihat kepala Vina turun naik di selangkangannya ia seperti sedang bermimpi. Untuk membuktikan bahwa ia tidak bermimpi, ia pun bangkit dari rebahnya dan menggapai payudara Vina yang bergelantungan. Ia meraba payudara Vina, ia menemukan putingnya. Ternyata benar ia tidak bermimpi.

Sejenak saja Vina melakukan oral itu. Ia kini berpindah ke sebelah Dimas dan rebahan. Ia memberi isyarat kepada Dimas untuk memeluknya.,,,,,,,,

Related posts