CERITA DEWASA ONE NIGHT SERVICE |
Sibuk ngurusin kerjaan yang ruwet, membuat pusing tujuh keliling. Sebenarnya sudah merupakan suatu siklus, kalau akhir tahun, buat daftar prospek tahun depan alias rencana pendapatan dan pengeluaran, laporan realisasi prospek dan acara tutup buku. Sementara kerjaan di awal tahun adalah cek fisik antara stok barang di gudang dengan yang di akunting, siap-siap pajak di bulan Maret. Pertengahan tahun rapat umum pemegang saham. Itu yang rutin, belum yang darurat. Masih ditambah ngurusin Liputan dan iseng- iseng buat web site (aku baru tahu repotnya membuat website ditambah mengedit cerita plus ngejawab email dari penggemar, gimana dengan Mas Wiro yah?). Yah, namanya juga manusia. Kadang ada sehat kadang ada saat sakit. Karena kesibukanku, kurang tidur, nggak pernah olah raga, makan nggak teratur, kencing sering ditahan karena lagi tanggung (kamar mandinya jauh), ditambah buang air besar yang nggak jelas jadwalnya, akhirnya tumbang juga. Aku coba doping dengan multi vitamin dan beristirahat. Tetap saja nggak ada perubahan. Istirahat di rumah mana bisa total. Kadang ada telepon atau ada acara televisi bagus nonton, macem-macem deh. Aku kontrol lagi dan dokter memvonisku untuk segera rawat inap dan istirahat total alias bed rest. Karena penyakit hepatitis, dia melarangku pulang, memintaku langsung masuk kamar. Aku telpon orang rumah untuk membawakan keperluanku – hanya alat kecil inilah penghubungku ke dunia luar. Paling nggak enak dengan bed rest – nggak bisa ngapa- ngapain, makan, minum, pipis, ee dan lain sebagainya di tempat tidur. Perusahaanku menggunakan jasa asuransi, sehingga dengan jasa tersebut aku masuk sebuah rumah sakit di daerah Kuningan, Rasuna Said. Sesuai dengan preminya aku masuk ruangan perawatan yang berisi tiga tempat tidur, dan di pojoknya terdapat kamar mandi. Setelah menandatangani beberapa surat rawat inap dan lain-lain, aku masuk ke kamar perawatan yang bersisi dua tempat tidur. Kemudian aku baru tahu bahwa tempat tidur dekat kamar mandi sedang diletakkan di luar karena pasiennya habis meninggal tadi pagi. Wah, tambah serem aja. Belum ada pasien yang menginap di kamar tersebut, jadi aku sendirian. Serem bener di kamar rumah sakit. Sendirian lagi, nggak ada teman, habis ada yang meninggal lagi. Aku pilih tempat tidur di tengah, karena di sebelah kanan dekat jendela. Nah, di luar jendela itu ada papan reklame dengan menggunakan lampu yang cukup terang, takut malamnya menyilaukan aku walaupun ada tirainya, sementara yang kiri dekat dengan kamar kecil, takut bau. Nggak lama datang dua orang perawat dengan membawa botol infus dan peralatan lainnya. Pertama dia memasang gelang plastik, yang bertuliskan namaku. Kemudian mengukur suhu di ketiakku. Tidak berapa lama bersiap menusuk pergelangan tanganku untuk memasang infus. Enak juga ternyata ikut asuransi, nggak usah repot mikir beli obat. “Pak, pasang infus yah,” Katanga. “Suster, aku takut lho sama jarum!” kataku manja seperti anak kecil. “Ya, rileks aja pak, nggak sakit koq!” kata yang satunya. Ditekan pergelangan tangan kiriku dengan kuat dan dipukul dengan jari untuk mencari pembuluh darah yang akan ditusuk. Begitu mendapatkan, ces, aduh sakitnya. Setelah acara infus, aku ingin sekali istirahat. Mata ini akan terpejam, eh datang lagi dua orang perawat yang berbeda dengan yang tadi. “Maaf pak, skin test,” Katanga. “Buat apaan sih?” tanyaku. “Sebelum bapak diberi antibiotik, dicoba dulu, bapak alergi nggak,” jawabnya. “Suster, aku ini udah sakit. Tambah sakit sus, kalau ditusukin terus,” kataku. “Nggak sakit koq pak. Paling sakit sedikit seperti dicubit,” Katanga. “Ya sudah,” kataku sambil memberikan lengan kananku. Tidak berapa lama dia menyuntikkan obat, tetapi tidak ke dalam daging, hanya berkisar antara kulit dan daging. Aduh mak, sakitnya, minta ampun. “Khan, nggak sakitkan?” katanya menghibur. Nggak lama dia pergi. Baru mau memejamkan mata sudah datang lagi pegawai dari laboratorium, yang ingin mengambil darahku, dan memberikan tempat untuk menampung air seni dan kotoranku. Kapan aku istirahat, kalau pegawai rumah sakit silih berganti menggangu pasiennya. Akhirnya aku istirahat siang. Cukup lama nampaknya, hingga aku terbangun karena ada suara agak berisik. Ternyata ada pasien baru. Tentu saja seorang pria, nggak mungkinkan dicampur. Dia mengambil tempat di sisi jendela. Penyakitnya sama dengan aku, cuma dia agak parah. Sama dengan aku, datang sendirian. Sambil memicingkan mata karena silau, tampan juga tampangnya, seperti seorang presenter sebuah acara kuis di televisi. Dari namanya aku tahu kalau dia orang Manado. Suster yang memasang gelang plastik dan infus, nampaknya lebih pelan dan nggak buru- buru seperti aku. Wah, ternyata susternya melek juga matanya kalau lihat pria ngganteng. Sama halnya dengan diriku, belum sempat dia beristirahat, sudah datang lagi perawat yang lain. Prosedur yang sama denganku dilakukan tetapi dengan cara yang berbeda, agak dilama- lamain dalam melayani. Ternyata, suster suka juga dengan pria tampan. Baru kita berdua akan istirahat, menjelang sore, kira jam 1500, terdengar suara tempat tidur masuk, kemudian dibersihkan dan dipasang bed cover. Dan tak lama datang lagi pasien, pria tentunya. Kali ini bersama dengan istrinya, dan nggak tanggung-tanggung, datang dari daerah Irian Jaya; istrinya tinggal di Jakarta – suami lagi tugas, langsung masuk rumah sakit. Karena sisa tempat tidur ada di dekat kamar mandi, yah itulah pilihannya. Dianya langsung mendapat perlakuan sama dengan pasien lainnya. Penyakitnya belum jelas, aku dengar dari pembicaraan mereka. Repot lho, kalau belum jelas penyakitnya. Bisa-bisa salah obat. bukan sembuh tapi makin parah. Jeleknya lagi setelah parah baru ketahuan penyakitnya – dan ternyata salah diagnosa. Menjelang jam 1600, acara mandi sore. Aku ingin kencing, tetapi aku bel, koq nggak ada perawat yang datang untuk membawakan pisspot. Ah bodo amat, jalan ke situ aja masak nggak kuat sih. Paling cuma lima meter. Aku coba matikan dulu roda pengatur cairan infus, dan aku ambil botolnya. Udah gitu jalan ke kamar mandi sambil bawa botol infus. Pas aku mau masuk ke kamar mandi, terdengar, pembicaraan di luar ruang. “Kita hom pim pa aja, untuk menentukan siapa yang mandiin dia,” kata seorang wanita. “Nggak bisa gitu dong. Curang itu namanya. Kamu khan tadi udah masang infusnya, terus kamu sudah skin test, sekarang giliran kita!” kata seorang wanita lainnya. Seterusnya aku nggak dengar, karena air seniku sudah di ujung tanduk. Setelah kembali dari kamar kecil, ternyata mas Manado itu lagi di washlap. Gitu aja rebutan. Tidak lama giliran aku tapi dengan perawat yang lain. Sementara di sebelah kiriku dibersihkan oleh istrinya sendiri. Tidak berapa lama datang petugas laboratorium untuk mengambil semua contoh air seni dan kotoran para pasien. Jam besuk mulai tiba, nah ramai deh. Teman kantor masing-masing pasien berdatangan. Saat mereka pulang, datang lagi para tetangga. Agak malam, datang beberapa kerabat dekat. Jam besuk habis, mulai sepi lagi. Setelah menghabiskan makan malamku, aku tidur. Semua tirai ditutup sehingga menutupi sekeliling tempat tidur pasien. Kurang lebih sama dengan di papitra kelas reguler. Malam Pertama – LANCAR. Hari ke dua, pagi hari jam 0600 sudah mulai sibuk. Pegawai kebersihan membersihkan ruangan dan kamar mandi. Nggak lama pegawai laboratorium datang untuk mengambil darah lagi. Semua pasien dibersihkan alias mandi bagi yang sudah bisa jalan. Semua tirai pembatas antar pasien dibuka, sehingga ruangan terlihat agak luas. Suster menyiapkan semua status para pasien di meja dokter ruangan. Suster yang jaga tadi malam membersihkan diri siap-siap serah terima pekerjaan dengan yang tugas pagi, tetapi sebelum mereka pulang ikut visit-dokter ke ruangan pasien. Makanan pagi datang. Dokterku ternyata sama dengan dokter tetangga pasienku di kiri dan kanan. Orangnya sudah berumur, tetapi kocak. “Bagaimana pak, sehat?” tanya ke si mas Manado. Dia nggak jawab, hanya senyum saja. Aku perhatikan matanya para suster seperti akan keluar aja dari kelopak matanya. Tidak lama dia melihat status dan menerima laporan dari suster jaga malam. “Bagus, kondisi sudah mulai membaik, tetapi masih perlu recovery,” kata dokter. “Kalau kondisi ini terus membaik kita coba lepas infusnya, kalau tidak ada apa, boleh pulang, OK?” tambahnya. Setelah itu berpaling ke arahku, dan “Bagaimana pak, kabarnya?” tanyanya. “Yah begini dok, masih di tempat tidur,” jawabku. “Apa yang dirasakan,” Katanga. Dokter aja nanya, artinya masih pinteran pasiennya dong! “Perut agak gimana gitu dok. Seperti makan kekenyangan, padahal makannya khan bubur. Agak sedikit mual, dan lemah,” kataku. “Baik, kalau gitu. Saya beri obat anti mual dan obat multi vitamin dosis tinggi, biar cepat pulih. Kalau lihat hasil lab pagi ini SGOT dan SGPT-nya mulai ada perubahan membaik,” katanya sambil memberikan perintah ke suster jaga pagi untuk mengganti obat yang aku minum. Dokter memeriksa ke pasien sebelahku. “Bagaimana pak hari ini?” tanya dokter. “Baik dok,” jawabnya. “Apa yang dirasakan?” tanya dokter lagi. “Tidak ada apa-apa dok,” jawabnya. Dokter melihat status, dan “Infusnya boleh dilepas, obat ini dihentikan, ganti dengan yang ini,” memberikan perintah ke suster jaga pagi. Inilah bisnis kesehatan, dengan enaknya mengganti obat, padahal khan beli, sementara ada pasien yang nggak mampu butuh obat. “Pak, kita lihat apakah ada perubahan setelah infus dilepas. Kalau melihat hasil rotgen, laboratorium, dan suhu, tidak ada masalah. Jangan-jangan hanya kangen sama istri,” kata dokter sambil bercanda dan meninggalkan ruang untuk menuju ke ruangan lainnya. Kegiatan tak jauh beda dengan kemarin. Perbedaan hanya, pasien sebelah kiriku, mandi sorenya di kamar mandi dan istrinya tidak pulang. Malampun tiba. Setelah lampu dan televisi dimatikan serta tirai ditutup oleh suster. Kita semua mulai tidur. Istri bapak di sebelahku tadinya tidur sambil duduk di kursi dan badannya disandarkan telungkup di tempat tidur. Karena suaminya kasihan lihat istrinya tidur seperti itu akhirnya dia tidur bareng satu tempat tidur. Tumben malam ini aku sulit tidur. Maklum nggak biasa tidur siang. Tadi siang aku tidur cukup lama, jadi kelebihan tidur. Akibatnya malam sulit tidur – selagi sehat aku hanya tidur empat sampai lima jam, karena aku punya hobi tidur menjelang pagi. Pasien sebelah kananku mendengkur. Si mas Manado ternyata cakep-cakep ngorok toh. Terdengar sayup-sayup suara yang nggak asing olehku dari sebelah kiri. Di dalam ruang kamar yang redup dan penyejuk ruang yang cukup dingin, menunjang untuk melakukan hajat mereka, Apalagi telah berpisah cukup lama. Perbuatan mereka cukup sempurna, hampir tidak mengeluarkan rintihan, tetapi deru nafasnya yang nggak bisa diatur di tengah malam yang sepi, di rumah sakit lagi. Beruntung tempat tidur yang digunakan cukup baik sehingga tidak mengeluarkan bunyi. Seandainya aku mau iseng, bisa aja aku tarik rem roda tempat tidur itu sehingga akan ada guncangan sesuai dengan goyangan mereka. Malam ke dua – Pasien sebelah kiri GILA. *** Pagi harinya, kegiatan rutin seperti biasa. Istri pasien sebeleh pulang sebelum fajar. Suster yang membersihkan sprei bapak sebelah kiri bingung, masalahnya ada noda yang nggak umum untuk di rumah sakit. Setelah si bapak keluar dari kamar mandi (weleh weleh habis keramas dia), ditanya sama suster, “Pak ini noda apaan, nih?” tanya suster. “Oh maaf suster, saya mimpi basah. Maklum udah lama nggak campur, terus bertemu istri, jadi ngimpinya ngaco,” jawabnya polos. Udah tua juga suka bohong nih si bapak. Susternya geleng-geleng sambil memasukkan ke dalam plastik dan mengganti dengan yang baru. Setelah visit dokter, infusku dilepas. Mas Manado juga dilepas, tetapi jangan turun dari tempat tidur kecuali untuk aktifitas ke kamar mandi. Kegiatan yang membosankanpun berjalan, hingga sorepun tiba. Bener bener menghitung hari aja di sini kegiatannya. Aku lihat si Manado setelah mandi, tidak menggunakan pakaian pasien (asli lho, seperti narapidana aja, pakai seragam dan dipeneng) dan menggunakan parfum, nggak lama dia “Mas, di samping itu kalau nggak salah ada diskotik namanya Dxxxxxx?” tanyanya. “Iya,” jawabku. “Tolong, kalau ditanya suster bilang aku ke bawah sebentar,” Katanga. “he eh,” jawabku. langsung dia ngeloyor pergi. Dasar gila jojing. Istri bapak sebelah sudah datang, tampak ceria sekali. Tadi siang aku sempat bicara dengan bapak di sebalah kiriku. Ternyata dia telah jauh dari istri sekitar dua bulan. Oh pantes didukung situasi dan kondisi seperti itu aku maklum aja. Sesuai dugaanku malam ini, si bapak melangsungkan lagi buang hajatnya. Lebih seru lagi nampaknya, istigosah ke dua (ISTrI GOyang Suami basAH), soalnya si ibu sampai mengeluarkan sedikit desah, bahkan lupa sama tumitnya yang sudah mendorong tirai hingga menonjol ke arah tempat tidurku. Sepertinya si ibu di bawah dan kakinya dibuka lebar ke atas. Aku tertidur sambil mendengarkan desahannya. Aku nggak tahu si Manado gila jojing itu pulang jam berapa. Bodo amat. Malam ke tiga – Pasien sebelah kiri dan kanan sama GILA-nya. *** Pagi hari aku bangun cukup pagi, karena desakan air seni yang akan keluar, buru-buru aku ke kamar mandi. Saat aku mengeluarkan kemaluanku, koq pada lengket. Sambil kencing aku perhatikan celana dalamku. Ya amplop, aku mimpi basah. Aduh, pengaruh si bapak sebelah nih. Segera aku mandi dan istirahat lagi. Rutinitas kehidupan rumah sakit berjalan sepeti biasanya. Menjelang sore hari, aku pikir tetangga pasien pada edan, kalau nggak ikut edan bisa nggak kebagian, nih. Aku iseng telepon papitra yang sudah lama aku nggak kunjungi. Tempatnya nggak begitu bagus, tapi suasananya lumayan, dan nggak bisa macam-macam di situ, karena managernya selalu mondar- mandir memeriksa ruang, sambil memperhatikan kaki Wpnya. Kalau mau macam-macam bisa pesan setelah kerja dan bisa dibawa ke motel terdekat. Biasanya ke Pondok Wisata. Lokasi Papitra di belakang polres Jakarta, lurus dari Kejaksaan Agung, dan nanti pasti belok kiri. Nah sekitar situlah tempatnya. Semua WP- nya menggunakan jarik dengan wiron (kain kebaya dengan ujung kain dilipat, dan lipatannya di letakkan tepat jatuh di bawah pusernya hingga jempol kaki). Aku buka phone-book, nomor yang aku simpan untuk papitra. Aku acak menggunakan rot1, kalau teks pakai rot13. Setelah menuliskan di secarik kertas, semua angka aku tambahkan satu, nah keluarlah nomor teleponnya. 02172xxxxx (ada di websiteku atau yellowpages – tapi cari sendiri yah). “Sari Perempuan, selamat sore,” jawab di seberang telepon. “Sore mbak, bisa bicara dengan mbak Dewi?” kataku. “Sebentar saya carikan dahulu,” jawabnya. Tidak berapa lama, “Halo, siapa ini?” jawabnya. “Budi, mbak,” kataku. “Budi yang mana? Banyak nama Budi soalnya!” tanyanya lagi. “Itu yang SETIA, SElingkuh TIada Akhir,” jawabku. “Oh, Eh, Mas Budi apa kabar, udah lama nggak ke sini,” katanya mulai nyambung. “Iya nih. Aku bisa minta tolong?” tanyaku. “Tolong apaan?” tanyanya. “Masih bisa ONS?” tanyaku lagi. “Apaan sih ONS?” tanyanya. “One Night Service,” kataku. “Oke deh. Di mana dan kapan?” nanyanya nafsu bener. “Aku ada di rumah sakit xxx kamar 302, datangnya kalau kamu selesai tugas aja,” kataku. Setelah bercerita sedikit mengenai kondisiku, aku tutup pembicaraan di telepon. Seperti biasa, mas Manado udah pergi jojing dan bapak sebelah juga sudah kelonan. Jam 2200, mbak Dewi datang dengan menggunakan pakaian tugasnya. Gila bener nih sih mbak, masak besuk sudah malam pakai kebaya lagi. “Nggak kesulitan ke sininya?” tanyaku. “Ke rumah sakitnya sih nggak masalah, tapi masuk ke ruangannya yang sulit. Aku bilang sama suster kalau aku saudara dari kampung, besok segera kembali. Akhirnya dia memaklumi, oleh sebab itu aku nggak ganti pakaian selain berhemat waktu juga sebagai alasan,” jelasnya. Pinter juga nih si mbak cari alasan. Harusnya jadi lawyer aja. “Bawa perlengkapan?” tanyaku. Maksudku kondom, lotion, dan lain-lainnya. “Iya dong,” jawabnya. “Pakai cd, nggak?” kataku perlahan. “Mana sempat. Keburu telat,” katanya sambil mencubit hidungku, dan minta ijin untuk membersihkan badan di kamar mandi. Setelah selesai membersihkan badannya, “Mau diapain?” tanyanya, sedikit berbisik di telingaku. “Dipijat dulu deh mbak,” kataku sambil telungkup tanpa selembar benangpun. Nggak lama dia memijatku. Asyik juga lho pijat di rumah sakit. Habis kamarnya juga nggak beda jauh, ada tirainya, luasnya kamarnya mungkin nggak beda jauh. Lagi asik mijat, tiba-tiba terdengar suara erangan dari sebelah. Kulihat wajah mbak Dewi geleng-geleng, sambil meletakkan telunjuk secara horisontal di keningnya. Dia nanya setengah berbisik kearah telingaku, “Pakai krem nggak?” “Nggak ah, nggak pakai aja udah enak!” kataku. Kemudian aku disuruh berbalik atau terlentang dengan posisi kemaluan sangat tegang. Saat mijat dengan posisi telungkup dia sudah mencoba membuatku “keras” dengan meraba-raba bijiku. Setelah terlentang dia memijat sekitar mata kaki menuju ke atas, betis, paha, dan pangkal paha biji kemaluanku tersengol, sementara kemaluanku sudah keras banget. Dia tak sedikitpun berusaha memegangnya. Cukup lama dia memijat kakiku, kemudian pindah dengan kaki yang satunya, dengan cara yang sama pula dia melakukannya. “Perutnya nggak bisa mas kalau nggak pakai krem,” katanya tanpa berbisik, soalnya di sebelah sudah agak keras lenguhannya. Mereka pikir kita berdua sudah tidur. “Kalau gitu di massage aja deh adikku,” kataku. Kemudian dengan diraba bulu di bagian bijiku tanpa menyentuh daging, uh uh, tambah keras deh batangku. Kepalanya mbak Dewi didekatkan ke kemaluanku, di jilatinya bijiku, mhp. Terus lidahnya berjalan di sepanjang batang kemaluanku hingga mencapai kepala kemaluanku. Dijilati ujung kemaluanku. Aduh makin mules aja perutku seperti mau ke belakang. Tidak berapa lama dia memasukkan bagian kepala kemaluan saja ke dalam mulutnya dan memberikan ludah cukup banyak, sehingga terasa lembut banget. Diputar mulutnya seperti menghisap permen kojek (inget nggak sama si Teli savalas; aku nggak tahu ejaan; yang jelas bintang film jamannya aku masih muda – duhh yang pernah muda), aku cengkram bed cover (sengaja dari tadi aku tidak menyentuhnya; bukan karena dia memakai kebaya; biar dia lebih intens merangsangku, harapan dia kalau aku sudah bener-bener konak pasti akan memegangnya). Akhirnya hanya sekitar tiga menit muncrat di dalam mulutnya dan mantul di langit- langit mulutnya dan jatuh ke kemaluanku. Uh sedap. “Kentel banget sih mas?” Katanga. Aku lihat, iya sih, seperti lem putih; maklum udah lama nggak dikeluarin atau karena mutivitamin dosis tinggi yang aku minum. Khan yang kemarin ngimpi keluar sendiri – kalau keluar sendiri artinya sudah penuh, nah kalau dikeluarin artinya dikosongin, tapi segera diisi oleh tubuh kita. Setelah selesai ejakulasi, dijilati kepala kemaluanku. “Udah mbak, ngilu,” kataku. Diambilnya tisu untuk membersihkan sperma yang tercecer di sekitar kemaluanku. Aku benar-benar lemas, namanya juga pasien. “Aku ke kamar mandi dulu yah?” Katanga. Kujawab dengan mengangguk. Tidak berapa lama dia masuk ke kamar ku. “Sekarang apa lagi?” Katanga. Aku lihat jam sudah jam 1200. “Istirahat aja deh, aku capek,” jawabku. “Terus aku tidur di mana?” tanyanya. “Di sini di sampingku!” kataku. “Muat apa?” jawabnya. “Dimuat-muatin!” kataku. “Aku ganti pakaian dulu yah?” tanyanya. “Jangan, udah gitu aja,” kataku. “Susah naiknya,” katanga. “Pantatnya dulu dong yang dinaikkin, sedikit loncat, baru kakinya diangkat,” kataku sambil membantu mengangkatnya. Akhirnya kita tidur bersama-sama. Aku masih telanjang di bawah selimut. Dia juga ikut masuk ke dalam selimut, tapi masih pakai kebaya. “Manja banget sih spt anak kecil, tidur sendiri koq nggak berani,” katanya, sambil mengangkat kepalanya dan ditahan oleh tangan kanannya menghadap arahku, sementara tangan kirinya mengusap dadaku. Aku hanya tersenyum. Dia mengecup keningku, turun ke arah telingaku. Daun telingaku dijilati, uh uh, meregang lagi pembuluh darah di sekujur tubuhku. Turun ke leher, emh, geli-geli enak, lidahnya berjalan maju mundur ke arah putingku. Kasihan juga aku melihatnya. Dia khan juga punya emosi dan nafsu. Masih seperti yang dulu, di balik lipatan kainnya (wiron) ada reustleting. Aku tarik ke bawah hingga lutut. Dengan menarik kakinya ke atas maka lepaslah kainnya. Dia membantu melepas kebaya hijaunya dan melepas bra hitamnya. Kucium payudaranya. Terasa semburan hawa panas dari lubang hidungnya. Setelah dapat melepaskan diri dari kain kebaya, dia merubah posisi ke atas badanku. Kemaluanku belum begitu keras, pasti belum bisa dimasukkan. Dia hanya mem”parkir”nya di sekitar labia minornya. Selanjutnya dia menjilati putingku kembali dan naik ke atas, kebalikan dari rute yang tadi. Saat di telingaku, terdengar hembusan nafasnya, menambah sensasiku. Kemaluanku mulai mengeras, tetapi belum keras sekali, tetapi cukup untuk melakukan penetrasi. Dia menggoyang naik turun, mengusahakan agar kemaluanku masuk ke vaginanya. Kepalanya berada di sebelah kepalaku, karena dia sedang menjilati leherku bagian belakang, dari balik pundaknya aku melihat pinggulnya yang lebar sedang menggoyang. Ehm bulat bener, oups masuklah kemaluanku. Ya ampun basah banget. “Mbak kamu terangsang banget yah?” kataku. “He em,” jawabnya sambil terus menjilati leherku dan kadang mengencup tanpa suara. Terus terang aku belum begitu konak, tapi dia melakukan gerakan naik turunnya sambil dicengkram dengan vaginanya. Gerakan pantatnya yang naik turun (tepatnya berputar berlawanan arah jarum jam kalau dilihat dari samping; saat klitorisnya menyentuh bulu kemaluan, pantatnya agak ke atas, kemudian dengan gerakan menjepit di vaginanya klitorisnya ditarik ke atas sehingga pantatnya agak ke bawah). Gerakan tadi bukan lagi sekedar naik turun searah jarum jam, tapi ada gerakan menyamping, sehingga pantatnya yang naik turun satu persatu. Makin lama semakin enak dan vaginanya semakin longgar serta lendir yang dihasilkan goyangannya sudah cukup banyak; ini berarti tinggal beberapa saat lagi dia akan orgasme. Aku diam saja, tetapi gerakannya semakin cepat, cepat, dan cepat kemudian diam tanpa gerakan. Kakinya menjepit kakiku, tangannya telah pindah ke belakang kepalaku melalu ketiakku, dan dengan jepitannya sangat kuat dan tidak ada deru nafasnya dalam beberapa detik dibarengi dengan kejutan vaginanya. “Huh.” Semburan udara yang sempat parkir beberapa detik di paru-parunya terdorong keluar menerpa daun telingaku, hampir mirip suaranya Lara Croft saat keluar dari menyelam di Tomb Rider Chronicle. “Sampe?” tanyaku. “Bukan nyampe lagi,” katanya dengan nafas ngos-ngosan. Kepalanya masih di atas pundakku. “Belum keluar yah?” tanyanya. “Udah tahu nanya!” kataku. Kemudian dengan badan tidak bergerak hanya ada gerakan nafas yang cukup cepat saja, dia menggerakkan rongga vaginanya, tekan, lepas, tekan, lepas, dan seterusnya. Kemudian diikuti dengan gerakan pantatnya secara perlahan. Siapa yang tahan dielus-elus dengan rongga vagina yang cukup licin. Karena gerakan dia hanya perlahan, akunya yang nggak tahan terpaksa aku menggerakkan pantatku naik turun. Pinter banget dia memancingku agar aku bergerak. Uh sedap, kalau lagi olahraga disuruh begini pasti capek mungkin hanya dapet beberapa kali, tetapi kalau lagi hubungan sex begini capeknya nggak terasa, ibarat pepatah mengatakan sekali dayung dua pulau terlampui, capeknya nggak hilang berhari-hari. Dia bangun dari tidur sehingga posisinya berubah dengan menduduki kemaluanku. Dia tidak bergerak naik turun melainkan seperti orang naik kuda, maju mundur tetapi pelan, hanya di dalam vaginanya yang bekerja seperti meremas-remas kemaluanku, sementara tangannya memutar putingku. Jebol juga tanggul pertahananku. Uh lega rasanya. Sudah selesai ejakulasi, masih aja dipijat dengan rongga vaginanya sambil keluar masuk, layaknya memeras kemaluanku guna mengeluarkan semua spermaku yang masih tersisa di batang kemaluanku. Aku biarkan saja, walau terasa agak geli-geli gimana gitu. Terasa spermaku mengalir melalui celah-celah antara dinding vagina dan kemaluanku, jatuh di biji kemaluanku, dan diikuti dengan keluarnya kemaluanku yang telah mengecil. Buru-buru aku tarik kain kebayanya agar spermaku tidak jatuh ke sprei rumah sakit. Dia bangun dan ke kamar mandi. Setelah bersih dia berganti pakaian dan membersihkan diriku, memasukan perlengkapannya ke dalam tasnya, dan akhirnya aku dikeloni sampai pagi. Saat dokter datang, dia lihat statusku. Suhu 36.8 derajat celcius, tekanan darah 110/70, SGPT dan SGOT dalam batas yang wajar walau ada ditepi, dan aku nggak punya keluhan, akhirnya aku disuruh pulang. Bapak yang dari Irian Jaya juga nggak jelas penyakitnya, yang jelas dia tidak mengalami keluhan (hanya kalau malam suka melenguh), jadi diperbolehkan pulang. Sementara mas Manado, SGOT dan SGPT, masih terlalu tinggi, bahkan tadi pagi sempat jatuh. Dia belum diperbolehkan pulang. Makanya kalau dibilang bed rest sama dokter harus nurut, buktinya aku sama bapak sebelah bed rest walaupun melakukan bed action, jadi biar cepat sembuh. Saat akan pamitan sama suster sambil mengucapkan terima kasih, juga sama kepala ruangan, aku bilang, “Bu, pasien yang itu diiket aja, biar total bed rest,” kataku. Bapak dari Irja mengangguk. Bukannya apa-apa, demi nyawanya dia sendiri, jojing melulu nggak lihat modal kesehatannya. Kepala Ruangannya hanya tersenyum, pasti nggak tahu yang kita (aku dan si Bapak) maksud. Kesehatan bukan segalanya, tapi tanpa kesehatan uang, harta, bahkan wanita tiada artinya.
Terimakasih Telah Membaca Cerita Seks, Dengan Judul One Night Service,,,,,,,,,,,,,,,,,,