Cerita Sex Serasa Nafas Berhenti

Habis dari pekerjaan kantor yang sangat melelahkan temanku wanita meminta untuk merefresh pikirannya dengan bersenang senang, nama dari temanku Rere dan Viona dia masih muda seperti aku dan pastinya dia cantik juga, karena dia juga masih muda dan dia mengaku ngaku kalau suka dengan dunia malam, sebab itu dia mau ngajakin diriku untuk pergi ke suatu klub.

Ketika mereka mengajakku untuk tampil demikian, aq hanya tersenyum karena mereka mengatakannya di kantin hingga didengar banyak orang. Tapi sejujurnya aq rada bingung juga untuk memilih pakaian macam apa yang harus kukenakan malam itu.

Setelah menanti jarum jam bergerak dengan sangat lamban, akhirnya waktu yang dinanti-nanti tiba. Viona yang kebetulan adalah bawahanku di kantor, segera menyerbu masuk ke kamar kerjaq dengan tergopoh-gopoh.

“Bu Sari…Jadi nggak nih?” Tanyanya sambil menggerak-gerakkan gagang pintu untuk meyakinkan bahwa sudah terkunci dari dalam.
“Jadi dong, udah siap?” Tanyaq. “Eh, ntar jangan manggil bu ya? Aq jadi kerasa tua.”
“Oh iya, sori mbak Sari.” Jawabnya sambil meletakkan kantong plastik besar di meja kerjaq yang masih penuh kertas-kertas laporan.
“Apa tuh?”
“Pakaian buat nanti.” Jawabnya sambil menuang isi kantongnya ke meja kerjaq yang malang itu.
“Iya, iya…tapi gantinya ntar aja! Kan kita makan malam dulu!” Jawabku sambil memungut sebuah sackdress hitam yang jatuh dari kantongnya.
“Apa nggak jemput Rere dulu, bu…eh, mbak?”
“Iya, tenanglah, gugup amat sih?”

Viona hanya tertawa kecil mendengar komentarku. Ia lalu meminjam telepon dan meninggalkan pesan di rumahnya agar ayahnya tidak menjemputnya di kantor karena ia harus lembur sampai larut malam, dasar anak nakal, pikirku. Lebih nakal lagi ketika ia menyerahkan gagang telepon padaq untuk bicara dengan ibunya dan menerangkan bahwa aq yang akan mengantarnya pulang seusai lembur.

(duh!) Viona menumpang di Katana hijauku. Kami lalu menuju ke ujung timur kota S untuk menjemput Rere, yang bekerja di salah satu cabang bank swasta dengan logo lucu. Agak keberatan juga sebenarnya, karena kedua anak itu minta untuk makan malam di apartemenku yang berada di ujung barat kota, tapi akhirnya aq setuju saja.

Sudah begitu, sesampainya di rumahku, Viona dan Rere tidak membantuku menyiapkan makan malam. Viona mematut-matut dirinya di depan cermin dengan sackdress hitamnya yang ketat, sementara Rere malah dengan giatnya meng-explore rumahku dengan komentar-komentar konyolnya mengenai ruang-ruang yang dicat hitam.

“Enak ya, punya rumah begini.” Komentar Rere sambil melihat keluar jendela, memandangi lampu-lampu di jalan yang tampak kecil dari lantai itu.

“Hm, yah, nggak ada halamannya tapi, dan juga nggak bisa melihara anjing.” Jawabku sambil menata piring di meja makan.

“Mbak, ini bagusnya dikasih sabuk apa enggak ya?” Tanya Viona dari kamar tidurku.

“Nggak usah, tapi tutup aja dengan kemeja tipis, biar ngga terlalu mencolok gitu.” Jawabku karena baju itu kelewat ketat di bagian dadanya.

“Wah, aq nggak bawa tuh.” Jawab Viona. “Kalau pinjam yang kuning ini boleh nggak, Mbak?” Rupanya anak itu sudah mengobrak-abrik lemari pakaianku juga.

“Oh iya, aq juga mau pinjam yang ini ya, Mbak!” Kata Rere juga dari kamar tidurku. “Aq udah lamaaa pengen pakai baju Escada.”

Setelah berbagai keributan dan kekonyolan, akhirnya kami siap juga. Waktu yang tadinya kuperkirakan akan longgar, ternyata tersita cukup banyak hanya untuk mendandani mereka berdua. Harus kuaqi, mereka memang tampak elegan dan menggoda. Tentu saja begitu, karena apa yang mereka pakai hampir semuanya milikku!

Aq mengenakan jins stretch Armani hitam, kaos ketat hitam tanpa lengan, dibalut kemeja Kenzo kuning yang kancingnya terbuka semua dan ujung bawahnya kuikat. Rere mengenakan celana ketat Escada biru muda yang agak kekecilan (karena bukan miliknya!), dan kemeja Versace ketat kembang-kembang biru tua. filmbokepjepang.net

Sementara Viona tetap memakai sackdress mini hitam ketat yang sedari tadi disiapkannya dari rumah, namun melapisinya dengan kemeja D&G putih transparan yang diambilnya dari wardrobeku.
Akhirnya, pada jam sembilan malam, Katana hijau berhenti di depan pintu utama hotel S, yang menempel pada plaza T3, salah satu plaza besar di kota S ini.

Dalam hotel S itu terdapat sebuah Niteclub, namanya B. Niteclub biasa sih, tapi pihak manajemennya memberi positioning “Fun Pub” pada tempat itu. Setelah menyerahkan mobil pada valet, kami mulai berjalan melewati lobi hotel itu untuk menuju ke Niteclub B.

Puluhan pasang mata pria segera tertuju pada kami bertiga, well…dapat dimaklumi, karena Viona yang jangkung dan mantan atlet itu tampak begitu anggun dan elegan tanpa kehilangan kesan seksi, sementara Rere yang langsing dan agak pendek tampak begitu sensual dengan tampangnya yang tirus dan dingin. Sementara aq sendiri? Well, hak sepatu setinggi 17 senti membuat tubuhku yang 176 ini tampak seperti kereta api yang diberdirikan.

Dekorasi dalam niteclub itu dibuat bernuansa gaya afrika, lengkap dengan pohon-pohonan dan monyet-monyetan. Kami bertiga duduk di sekitar bar yang terdapat di tengah ruangan. Aq duduk di tengah, Viona dan Rere di samping kiri-kananku.

Bartender menyapaq dengan ramah, karena aq pernah mengunjungi tempat itu beberapa kali. Untuk mencegah resiko yang tidak-tidak, aq meminta Rere dan Viona untuk tidak memesan minuman yang aneh-aneh, sementara aq sendiri tetap setia dengan trademark-ku, aqua tidak dingin.

“Dah, have fun, sana!” Kataq pada dua temanku di sela bisingnya musik dari sebuah band asal Filipina.

“Mm…gimana mau having fun, tempatnya brisik gini.” Teriak Rere di depan telingaq.

Selagi aq omong-omong dengan Rere, seorang pria bule duduk di stool di samping Viona dan menyapanya ramah.
“Ren, lihat tuh, si Viona dapat gebetan!” Teriakku di kuping Rere.
“Ih, kok bule?” Teriak Rere di kupingku dengan nada bertanya.
“Kenapa emang?” Teriakku balik. filmbokepjepang.net
“Bule kan biasanya senang dengan yang item, pendek, dan jelek?” Kata Rere, “Viona kan bukan tipe begitu?” Sambungnya.
“Bule yang ini kayaknya lebih berselera tinggi!” Jawabku sambil membiarkan seorang pria berpakaian casual duduk di samping Rere.

Tidak butuh waktu terlalu lama untuk membuat Rere dan Viona bercakap-cakap akrab dengan kedua ‘teman barunya’. Mereka memang berlatar belakang PR dan CS, sehingga menyenangkan dan mudah diajak bergaul. Si Bule mengajak Viona turun ke lantai dansa dan Viona mengikutinya. Mereka berdua berdansa mengikuti lagu ‘Celebration’ yang dinyanyikan band itu.

Nggak nyangka juga, ternyata Viona yang tadinya terkesan kuper, kini melenggok dengan seksinya di lantai dansa. Bajunya (Eh, bajuku!) dibiarkan terbuka kancing-kancing atasnya, hingga bahu indahnya tersingkap saat ia bergerak. Si bule tampak makin penasaran, aq hanya tertawa geli melihat wajah Viona yang kini perpaduan antara risih, geli, bingung, sekaligus senang.

“Eh, kenalin Mbak, ini Norman.” Kata Rere memperkenalkan teman barunya padaq.
“Norman…”Kata pria berdagu panjang itu memperkenalkan diri, “Rasa-rasanya kok pernah ketemu ya?” Tanyanya lagi.
“Hm…mungkin juga sih.” Jawabku sambil mengingat-ingat, “Kerja di mana Mas Norman?”
“Advertising.” Jawab pria itu sambil berdiri memasang gaya macho di depan aq dan Rere.
“Ooh, mungkin kita emang pernah kenal.” Jawabku lagi sambil menyebutkan beberapa nama di dunia Ad yang pernah kukenal.
Akhirnya pembicaraan kami menjadi akrab, dan Rere jadi agak tersingkir karena ia berasal dari dunia banking, dunia yang berbeda.
“Kalo ngga salah…Sari temannya Ditto kan?” Tanya Norman lagi. “Dulu kalo ngga salah ketemunya kan pas bareng dia?”
“Hm, yah…agak lebih dari sekedar teman!” Jawabku. Sengaja aq berkata begitu agar perhatian Norman kembali difokuskan pada Rere.
“Wah, salam buat Ditto yah!” Kata Norman sambil menghabiskan sisa Coke-nya. “Kalau Rere, kerja dimana?”
Buset, cepat amat perhatiannya beralih hanya gara-gara ia mendengar nama pacarku itu. Akhirnya Rere dan Norman pun turun ke lantai dansa, meninggalkan aq sendirian.

Karena Viona dan Rere tampak asyik masyuk bersama pasangannya masing-masing, aq meninggalkan pub itu untuk sekedar mencari suasana lain.

Aq berjalan ke lobi hotel itu dan duduk di salah satu kursinya, mengamati orang-orang yang baru pulang dari sebuah pesta pernikahan di lantai atas. Mataq melihat-lihat ke arah balkon, dan menjumpai seorang pria melambai-lambaikan tangannya padaq. Karena waktu itu lensa kacamataq sudah waktunya ganti, aq hanya membalas dengan senyum tanpa yakin benar siapa orang itu. Tapi pria itu lalu menuruni anak tangga dan berjalan ke arahku.

Ternyata dia adalah Anto, seorang broker forex yang bekerja di perusahaan investasi valuta asing yang berlokasi di lantai dua hotel itu. Aq mengenalnya cukup baik, karena pacarku Ditto pernah menginvestasikan sejumlah uangnya di tempat itu.

“Apa kabar, mbak?” Katanya sambil menjabat tanganku, “Nggak sama Pak Ditto?”
“Nggak, dia lagi di Jakarta.” Jawabku. “Tambak imut aja Tok?” Sambungku begitu melihat ia tak lebih tinggi dari dadaq karena sepatu hak tinggi yang kukenakan.
“Ah, biar imut yang penting kan kualitasnya!” Jawabnya bercanda sambil menyalakan sebatang Gudang Garam Surya.
Dia lantas menceritakan bahwa ia sudah tidak lagi bekerja di perusahaan forex itu karena terlalu lama tidak mendapatkan klien.
“Karena nggak dapat klien, atau karena nggak dapat jodoh, Tok?” Tanyaq menggoda.
“Dua-duanya sih!” Jawabnya. “Abis susah cari cewe yang bisa mengerti profesi seperti ini, kerja sampai pagi.”
“Yah, kamu sih, masa cewe kamu ajak ngomongin duiiit terus. Mending kalo duit itu duit kamu.”
“Hahaha, iya juga yah. Mungkin aq perlu juga nambah wawasan.”
Seperti diundang, Rere muncul di hadapan kami. Rupanya ia kurang menyukai suasana ramai di pub tadi. Aq memperkenalkannya dengan Anto.
“Tok, Rere ini bankir, kerjaannya sama kayak kamu, ngitungin duit orang.” Kataq pada Anto dengan nada penuh arti.
“Oh ya? di bank mana?” Tanya Anto pada Rere dengan tatapan agak nakal. Mata Rere memang mudah membuat pria menatapnya dengan gaya begitu.

Keduanya segera berbincang-bincang ramai membicarakan masalah mata uang asing, topik yang agak aq hindari karena pacarku pernah kehilangan duit agak banyak dalam bidang itu.

Aq hanya senyam-senyum sambil sesekali bilang “Oh ya?” dan “Luar biasa.” saja di sela pembicaraan seru mereka. Sampai akhirnya si Norman yang tadi ‘kehilangan’ Rere di pub menyusul kami dan mengajakku pindah ke meja lain.

“Sar, temanmu yang satu lagi seru deh.” Kata Norman sambil menawarkan sebatang Dunhill menthol yang aq tolak.

“Oh ya? Ngapain emangnya dia?”

“Band-nya main lagu Crazy, trus dia slow dance sama orang bule, wah, dance-nya rapet banget, bikin yang nonton pada deg-degan.”

“Crazy-nya Julio Iglesias apa Crazy-nya Aerosmith?” Kataq bercanda.

Kami lalu tertawa-tawa dan melanjutkan pembicaraan akrab, karena memang kami pernah ketemu, dan kebetulan mengenal banyak orang yang sama.

“Nggak sepi ditinggal Ditto ke Jakarta?” Tanyanya di tengah pembicaraan.
“Iya nih, sepi.” Jawabku sambil menyandarkan punggung di sofa, “Kenapa? Mau nemenin?”
“Wah, kan nggak enak sama Ditto.” Jawabnya, “Bisa-bisa aq disembelihnya.”
“Hihihihi…berarti, kalau faktor Ditto kita singkirkan, kamu oke-oke aja ya, Man?”
“Ya tergantung kamunya.” Jawab Norman santai, tapi matanya memberi isyarat lain.

Tidak perlu kuceritakan apa yang kami obrolkan sesudah itu, tapi lima menit kemudian aq berbisik pada Rere yang masih asyik ngomongin duit dengan Anto.

“Ren, aq tinggal dulu sebentar, nanti aq balik lagi.”
“Mau kemana, Mbak?” Tanya Rere.
“Ke atas sebentar, nanti balik lagi kok. Kamu sama Viona tunggu aja, ok?” Jawabku.

Karena masih sedang berdiskusi seru dengan Anto, Rere mengangguk saja. Aq dan Norman segera melangkah cepat keluar dari lobby dan menuju ke gedung apartemen yang terletak bersebelahan dengan hotel itu. Norman mendapat fasilitas untuk menginap di situ selama semalam karena mengerjakan Ad untuk apartemen itu.

Setelah menebar senyum manis pada satpam dan resepsionis, dan setelah menyusuri koridor yang agak panjang, kami tiba di unit kamar yang ditempati Norman. Unit apartemen itu tidak besar, namun mewah. Lebih mewah dari apartemen yang kutinggali di ujung barat kota.

“Wah, untung juga kamu dapat voucher nginep disini.” Kataq sambil mengamati perabotan luks di ruang tamu unit itu.
“Aq lebih untung lagi karena kamu ada disini.” Jawabnya. “Dan si Ditto lagi di Jakarta!” Sambungnya bercanda.
“Untuk sementara, nama itu tidak perlu diingat-ingat dulu.” Jawabku sambil melepas ikatan di ujung bawah kemeja Kenzo kuningku.
Aq dan Norman berdiri bertatapan dengan jarak dua meter, aq melepaskan kemejaq dan membiarkannya jatuh ke lantai, sementara Norman melepaskan kaosnya dengan gerakan yang cepat dan tegas, lalu melemparkannya ke samping.

“Copot sepatumu dong, aq risih harus melihat ke atas.” Katanya sambil tetap memasang muka serius.
Aq segera melepaskan kakiku dari sepatu, dan menendangnya ke samping. Tanpa sepatu, aq lebih pendek sedikit dari pria itu.
“Kenapa dada kamu itu?” Tanyaq menunjuk dada Norman yang ditumbuhi sebentuk daging tebal melintang, membuatnya berkesan tegap kalau memakai kaos ketat.
“Bekas jahitan operasi.” Jawabnya singkat. “Kamu jijik?”
“Oh, nggak. Sama sekali enggak.” Jawabku sambil juga memasang wajah serius dan tetap menatap matanya dalam.
“Kamu udah lihat dadaq kan? Sekarang gantian dong.” Katanya sambil tetap memasang wajah serius dan melangkah mendekat.
Dengan gerakan yang cepat tanpa dibuat-buat agar seksi, aq menarik kaos tanpa lenganku ke atas dan melemparkannya agak jauh, menyisakan sebuah bra sport putih.

Aq menghentikan gerakanku, membiarkan tatapan Norman menelusuri kulit tubuhku senti demi senti. Ia memiringkan kepalanya dan mengangkat alis kirinya.

“Aq masih belum bisa melihatnya.” Katanya lagi.
Aq menyunggingkan sedikit senyum dingin dan melepas kaitan di depan bra sportku, dan dengan indahnya menggerakkan bahu agar bra itu melorot dan jatuh ke bawah kakiku.

Kini mata Norman tampak lapar, mengamati kedua bukit payudaraq yang tidak besar, namun kencang dan padat. Warnanya putih bersih, agak lebih putih dari bagian lain di tubuhku, dan di puncaknya dihiasi lingkaran cokelat muda dengan putik-putik mungil merah jambu yang waktu itu masih agak datar.

Norman lalu melepaskan kaitan sabuk Harley Davidsonnya, dan dengan gerakan yang amat cepat juga ia menanggalkan semua yang tersisa di tubuhnya. Hingga kini nampak di depanku tubuh atletis yang meski agak sangkuk namun cukup berotot. Halus, hampir tanpa bulu, kecuali di bawah perutnya, ada sedikit bulu di situ, tidak terlalu lebat, dan di tengahnya tampak kejantanannya yang rupanya telah siap sejak tadi. Mengacung ke depan, agak miring ke kanan.

“Kamu sudah lihat semuanya kan? Sekarang giliranku.” Katanya lagi, sambil tetap menatap tajam, tapi kali ini bukan ke mataq, melainkan ke arah dadaq.

Segera aq melepaskan kancing-kancing baja di Armani ketatku, dan dengan gerakan yang lumayan cepat, kini Armani hitam itu teronggok di bawah kakiku, terikut pula celana dalam St. Michael putih bersama Armani itu.

Norman kini dengan bebasnya dapat mengamati segalanya. Kedua tungkai yang ramping dan jenjang, rambut-rambut halus yang tumbuh di situ, juga rambut-rambut agak lebat di selangkanganku. Perutku yang datar dan dadaq juga tak luput dari pandangannya yang kini agak jalang.

“Lucky Ditto.” Gumamnya.
“Never, never, ever mention the name again.” Jawabku dingin. “Or you might lost what you’ll get tonite!”
“Sorry.” Jawabnya singkat. Lalu badan kami saling bertabrakan dan ciuman pun menghambur dari mulutnya ke mulutku.

Bibir dan lidahnya tercabut dari mulutku dan langsung menelusuri rahang dan leherku dengan cepat, sementara tangannya dengan liar meremas-remas pinggang, pinggul, dan pantatku. Tanganku juga tak kalah agresif, memijat dan meremas setiap gumpalan otot di lengan dan dadanya. Sebenarnya sejak pertama melihatnya dulu, aq sudah menginginkannya untuk masuk dalam buku harianku, dan kini keinginan itu segera menjadi kenyataan.

Ia mendorongku hingga tersandar di kaca jendela ruang apartemen itu, rasa dingin begitu menyengat punggungku, namun tidak begitu lama karena ciumannya segera mendarat di bahu dan dadaq. Kedua tangannya meremas-remas pinggangku, dan tanganku meraba-raba punggungnya.
Mmmm….kehangatan pria memang mampu membuatku melupakan segalanya, kesibukan kantor, waktu, bahkan logika. Kedua telapak tangannya yang berotot tiba di pangkal payudaraq, meremas dan mengusap-usap. Kepalanya berhenti sejenak, matanya mengamati kedua payudaraq yang berada dalam remasan-remasannya. Aq menatapnya dengan tak sabar, namun ia tetap saja memainkan pangkal payudaraq dengan kedua tangannya sambil matanya menatap kedua putingku yang makin terasa butuh sentuhan ini.

Aq menarik lehernya keras-keras ke dadaq. Ia segera membuka mulut dan membiarkan puting susu kiriku masuk ke dalamnya. Ughhhhh….inilah perlaqan pria yang paling membuatku tak tahan. Ia menghisap-hisap puting kiriku itu, lidahnya berkali-kali mengusap dan mengait-ngaitnya.

Mataq menyipit dan bahuku terangkat kegelian, sementara nafasku terasa tersengal setiap kali putingku terlumat oleh lidah dan bibirnya. Aq tersandar tanpa banyak berkutik di kaca jendela itu, tak peduli apakah orang di luar gedung bisa melihat kami dengan teropong atau tidak. Lalu ia berpindah ke puting kananku, menangkapnya dengan bibir, menjilat dan memijatinya dengan lidah, dan digigit-gigit kecil dengan giginya.

Uhhh….aq menggelinjang dan mendesah-desah keenakan, sementara kedua tangannya kini memeluk erat pinggangku. Dengan mata agak menyempit sayu karena birahi, aq melihatnya melepaskan bibirnya dari putingku.

Puting susu itu tampak telah mengacung tinggi dan berwarna kemerahan, basah oleh lidah dan mulutnya. Tana kuduga, ia bukannya membiarkanku menarik nafas panjang, tapi justru menggerakkan lidahnya dengan cepat naik turun menyapu-nyapu puting kananku.

Ahhhkkkkkk….Aduhhhhh….mmmmmhhh….Rintihan dan desahan mengalir tak keruan dari mulutku ketika dua puting susuku mendapat sapuan-sapuan cepat itu. Seluruh otot-otot tubuhku terasa melemah dan kakiku gemetar. Butir-butir keringat mulai muncul di dahiku yang kini berkerut karena kedua alisnya bertemu di tengah menahan rasa geli birahi.

Belum lagi aq mampu menyeseuaikan diri dengan rangsangan yang begitu besar itu, tangan Norman tiba-tiba mendarat di selangkanganku, mencengkeramnya, dan membiarkan jemarinya berputar-putar menggesek klitorisku. AAAGGGHHHH…Aq menjerit keras, tak tahan dengan kejutan itu.

Gigiku terkatup rapat bergemeretak, sementara bibirku sedikit terbuka, meringis menahan rasa birahi yang begitu melemaskan dan membakar. Uhhh…Jari itu…jari itu begitu lincah bergerak di atas klitorisku, mengirim rasa nikmat yang luar biasa ke dalam simpul-simpul syarafku, membuatku kian merasa lemas dan tak mampu berdiri tegak.

Tubuhku dilemparkannya ke atas ranjang, telentang dan tak berkutik. Ia mengangkangkan kedua kakiku lebar-lebar, dan mendaratkan jilatan-jilatan mautnya ke kewanitaanku. Lidahnya bergerak cepat di atas klitoris, kadang-kadang menyerbu masuk ke dalam liangnya, membuatku menggeliat-geliat dan memilin-milin puting susuku sendiri untuk mengimbangi perasaan nikmat dan gelinya. Terasa desiran cairan yang mengalir keluar dari kewanitaanku, cukup deras. Norman segera membimbing kejantanannya ke arah kewanitaanku, menempelkannya disitu, dan menekannya ke dalam.

OHHHHHH….Aq merintih sejadi-jadinya karena ternyata ia mengenakan sesuatu di batang kejantanannya, sesuatu yang kasar, bertekstur tajam-tajam yang belakangan kuketahui adalah sejenis kondom yang dilingkari cincin karet berduri-duri.

Alat itu menggesek-gesek bagian dalam kewanitaanku, memberiku rasa yang tak pernah kualami sebelumnya, membuat tubuhku bergeliatan menggelepar-gelepar tak tentu arahnya. Aq merasa seperti kehilangan seluruh kekuatanku, namun gesekan-gesekan itu begitu membuatku kegelian yang luar biasa hingga aq tak mampu mengontrol gerakan tubuhku. Aq pun memekik-mekik keras, tak peduli didengar orang atau tidak.

Ahhhh…..Ahhhhhgggg…..Aduhhhhh….Mataq kupejamkan rapat-rapat, dan kedua tanganku meremas dan mencengkeram bantal kuat-kuat. Sementara Norman dengan liar menggerak-gerakkan kejantanannya di dalam kewanitaanku, mulutnya pun dengan raqs mencium dan menjilati puting-puting susuku yang kini juga berada dalam remasannya.

Mudah baginya untuk menyetubuhiku dengan buas sekaligus melumat-lumat puting susuku karena tinggi badan kami tak terpaut terlalu jauh, hal itu kian membuatku lupa daratan, dan ikut menggerakkan pinggulku naik turun, mengencangkan otot-otot kewanitaanku, memburu puncak kenikmatan.

“Ohhhhhhhhhhhhhhhhh……” Aq merintih panjang ketika orgasme menyambar, membuat tubuhku mengejang kaq.

Namun Norman tak mempedulikan kondisiku, ia malah mengangkat dan membalikkan tubuhku hingga kini aq menungging di atas ranjang. Meski kakiku gemetar dan tak mampu menahan tubuhku, ia menyodokkan lagi kejantanannya yang dilingkari cincin karet berduri itu.

Kedua telapak tangannya menempel pada payudaraq, menahan tubuhku agar tidak rebah ke ranjang, sekaligus meremas-remas dengan kencang dan kuat, jilatannya pun segera menyerbu tengkuk dan telingaq. Saat itu aq merasa seperti akan jatuh pingsan.

Perlahan-lahan, birahi mulai bangkit kembali dalam tubuhku, meninggalkan sisa-sisa orgasme pertamaq. Gerakan-gerakan Norman kian cepat dan intens, tubuhku tersedak-sedak ke depan ketika panggulnya menabrak-nabrak pantatku.

Ohhh….rasanya semakin menjadi-jadi….Mataq setengah terpejam, menyaksikan ruangan seolah bergerak nik turun dengan cepat, kewanitaanku terasa seperti diparut dari dalam dengan cepat dan bertubi-tubi, kedua payudaraq seperti dialiri listrik kenikmatan yang begitu melemaskan, sementara jilatan-jilatan liarnya membuat tengkukku terasa merinding.

Uhh…sungguh kombinasi yang hanya mampu dilaqkan para petualang berpengalaman. Rintihanku kian terdengar lantang dan memelas seperti memohonnya untuk berhenti ‘menyiksa’-ku. Dilepaskannya payudaraq, dibiarkannya tubuhku lunglai rebah tertelungkup di ranjang. Dipegangnya pergelangan kakiku dan direntangkannya ke samping tubuhnya, lalu ia kembali menyodok-nyodok. Ia juga menarik-narik kakiku agar tubuhku bergera!

k maju mundur sesuai keinginannya. Ohhhh….Aq mencengkeram sprei kuat-kuat, aq hanya mampu memejamkan mata, dan memekik keras-keras, mengharapkan semuanya segera tuntas. Berkali-kali otot kewanitaanku mengejang, namun saat itu juga gesekan duri-duri karet itu membatalkannya, hingga akhirnya aq merasa benar-benar kelelahan dihujani kenikmatan yang keterlaluan.

Aq sudah benar-benar hampir tak sadarkan diri ketika akhirnya ia menghentikan gerakannya dan menggeram keras, membiarkan karet pelindung yang dikenakannya tiba-tiba terasa panas di dalam kewanitaanku. Ia menumpahkan semuanya ke dalam pengaman itu, kehangatan yang tiba-tiba itu memicu klimaks keduaq, yang rasanya seperti menghantam tubuhku agak keras.

Aq mendesah panjang….untuk sesaat aq berjuang keras agar kenikmatan yang luar biasa hebat itu tidak merenggut kesadaranku…rasanya sulit dan berat… seperti tak mampu…kewanitaanku terasa begitu menggelegak, aq harus menahannya….tubuhku terasa begitu lemas teraliri listrik, aq harus menahannya….kesadaranku seperti nyaris terenggut keluar, aq harus menahannya….nafasku terasa terhenti, aq harus menahannya…terus…terus….dan terus…sampai gelombang kenikmatan tak lagi datang menerpa tubuhku yang nyaris tak berdaya.

“Mmmm….” Gumamku sambil berusaha untuk duduk. Aq sengaja bersikap seperti tubuhku tidak terpengaruh oleh hantaman-hantaman gelombang kenikmatan itu.

“Hebat juga kamu, Sar…” Gumam Norman yang kini telentang penuh keringat di ranjang. “Cewek lain sudah memohon-mohon minta berhenti.”

Dengan agak gontai akhirnya aq berhasil berdiri pada kedua kakiku dengan tegak. Aq sengaja membelakangi Norman karena tak ingin ia melihat ekspresiku yang sayu keenakan.

“Kamu juga…well…lumayan kok.” Jawabku dengan nada se-cool mungkin, setelah mampu menguasai ekspresi, aq membalikkan badan menatap matanya.

Ia menatap mataq dengan pandangan lemah bercampur heran, mungkin ia teringat akan wanita-wanita lain yang ditaklukannya dengan keahlian dan kondom berdurinya itu.

“Udah ah, aq harus nganter pulang teman-temanku tadi.” Jawabku sambil memunguti pakaianku dari lantai, sebenarnya agak susah juga karena kedua kakiku masih agak gemetar, namun entah kenapa, aq ingin terkesan kuat di hadapan si (sok) macho ini.

“Eits, Sar…tunggu sebentar.” Kata Norman seraya bangkit berdiri dengan lamban karena kehabisan energi.

Ternyata ia ingin menggunting beberapa helai rambut kewanitaanku. Rupanya ia mengoleksi rambut-rambut kewanitaan dari banyak wanita, untuk kemudian diisolasinya pada sebuah buku notes kecil, di bawah kumpulan rambut yang diisolasi itu, tertera tulisan nama, tanggal, dan tempat ia berkencan. Dasar petualang, pikirku.

“Akhirnya….” Desahnya setelah menghela nafas panjang.
“Apanya yang akhirnya?” Tanyaq sambil mengenakan kembali celana Armaniku.
“Sari telah berhasil aq kencani!” Cerocosnya dengan girang. Ia lalu menyebutkan beberapa nama wanita petualang di kota S yang semuanya cukup beken di kalangan para petualang.
“Si T, si R, si K, si M, si D…semua udah pernah…masa kamu belum!” Tambahnya lagi.
“Hihihi…kamu aneh-aneh aja, Man.” Jawabku. Padahal sebenarnya Norman termasuk salah satu yang kuincar sejak dulu, hanya saja belum ada waktu yang pas untuk itu.
Akhirnya aq meninggalkan kamar apartemen itu, meninggalkan Norman di dalam untuk istirahat karena kecapekan (Biasalah, pria!) Aq kembali menuju lobby hotel tempat aq meninggalkan Rere bersama Anto selama kurang lebih satu jam setengah. Di sepanjang koridor, aq menelpon pacarku (Waktu itu sebenarnya belum terlalu resmi jadi pacar, sih) menceritakan apa yang baru saja terjadi.

Seperti biasa, ia tidak marah, ia mengucapkan terimakasih karena tetap menganggapnya yang terbaik dan tetap mencintainya. Ia juga menitipkan salam pada Norman yang ternyata teman baiknya di masa lalu. Di sela pembicaraan kami, terdengar suara wanita. Ah, ternyata si petualang yang satu itu juga sedang mengisi sisa ‘waktu bebas’-nya dengan petualangan bersama wanita lain. Cemburu? Hm…ada sedikit rasa seperti itu, tapi tidak terlalu dominan. Aq malah minta maaf karena telah mengganggu kencannya.

(Tentu saja kejadian seperti itu tidak lagi terjadi sesudah ia balik lagi ke kota S awal April lalu!)
Tiba di lobby hotel, aq mendapati Rere dan Viona duduk di sofa dengan penampilan kuyu dan agak berantakan.

“Halo….lama ya nunggunya?” Tanyaq dengan wajah merasa bersalah.
“Mmmm….Nggak kok Mbak.” Jawab Viona dengan suara lemah agak mendesah sambil menggelosoh ke bahu Rere, ia lalu memejamkan mata sambil menggumam.
“Lho? Abis ngapain dia, Ren?” Tanyaq pada Rere.
“Abis melaqkan hal yang sama dengan Mbak!” Jawab Rere dingin sambil berdiri, membuat kepala Viona hampir jatuh ke kursi.
“Oh?” Jawabku singkat. “Kamu sendiri gimana?” Tanyaq pada Rere lagi.
“Ah, si Anto itu nggak terlalu berkualitas.” Jawab Rere dengan nada sok berpengalaman. Tapi rambur Rere terlihat agak berantakan meski poninya sudah dibereskan hingga rapi.
“Lantas?” Tanyaq pada Rere sambil mengerling curiga.
“Ya…Aq mutusin untuk nemenin Mbak Viona.” Jawabnya lagi, kali ini sambil menepuk bahu Viona yang juga berdiri.
“Si bule yang malang.” Kataq sambil tertawa.

Kami lalu tertawa-tawa dan meminta valet mengambilkan mobil.

Sepanjang jalan pulang, Rere dan Viona menceritakan apa yang mereka laqkan pada si bule yang mereka temui di pub tadi. Si bule rupanya mengajak Viona ke kamarnya di hotel itu, namun Viona mengajak Rere untuk ikut serta. Si bule sempat melaqkan foreplay yang lumayan jauh pada mereka berdua, namun dia tak tahan dan mengeluarkan semua isinya sebelum permainan utama dimulai, bahkan sebelum pakaian-pakaian dibuka. Akhirnya Viona dan Rere terpaksa menuntaskan diri masing-masing dulu di kamar itu sebelum akhirnya meninggalkan bule itu tanpa pamit, ah, dasar bule bodoh, pikirku.

“Kenapa kok kalian nggak…memintanya untuk mengakhiri sampai tuntas?” Tanyaq sambil melihat ke kaca spion, mengamati wajah Viona yang cantik namun kin kuyu.

“Yah…kita kan pemula, Mbak.” Seloroh Rere, “Itu tadi aja udah cukup kok buat senang-senang.”
“Iya.” Sambung Viona. “Tadi aq udah kuatir-tir-tir-tir, tapi untung Rere mau bantuin.” filmbokepjepang.net
Aq tidak menanyakan detailnya, dan mereka juga tidak menceritakannya padaq, yang penting malam ini kami semua mendapatkan tujuan masing-masing, bersenang-senang sejenak melupakan kesibukan rutin. Yah, dengan cara masing-masing tentunya.

Setelah mereka turun di rumah masing-masing. Aq memacu Katana hijauku melalui jalan protokol yang lengang dengan kecepatan 120 km/jam. Saat itu aq berpikir, wel…..sebenarnya aq telah belajar satu hal dari Viona dan Rere. Mereka tidak terlarut dalam situasi, dan masih dapat menguasai diri dalam saat-saat kritis seperti itu.

Belakangan kuketahui bahwa virginitas mereka tetap terjaga baik meski mereka menjalani kehidupan malam yang relatif bebas. Luar biasa. Viona kini telah menikah dan hidup berbahagia dengan suami dan satu orang putera yang lucu dan ganteng, sementara Rere masih belum mendapatkan pasangan sejati, namun tetap dapat mempertahankan virginity-nya.

Dalam hati, aq mengacungkan jempol untuk kedua anak itu. Bukannya aq menyesal telah menjadi petualang, tapi aq hanya mengagumi ‘faith’ mereka. Untuk menjaga apa yang mereka ingin jaga, untuk mempersembahkan apa yang terbaik pada orang yang mereka cintai. Tapi aq juga tetap memberikan yang terbaik pada yang kucinta!

Related posts