CERPEN: ARSHAN / YUDHA
CERPEN: ARSHAN / YUDHA
CERITA SEX GAY,,,,,
I
“Kita putus aja ya?”
Rizky melongo mendengar omongan Arshan barusan.
“Apa, Yang?”
“Putus.”
“Ih, becandaannya jelek banget sih…?” Rizky menatap Arshan sambil tersenyum.
“Gue serius. Setelah gue pikir-pikir, kita nggak cocok. Gue nggak punya rasa sama elu.”
“Yang… Ini bulan apa ya?”
“Juni. 1 Juni.”
“Kirain April. Emangnya kalo 1 Juni orang merayakan apa ya?”
“Nggak tahu,” jawab Arshan dingin.
Rizky mengerutkan keningnya. Terkejut dengan perubahan sikap pacarnya yang beda banget malam ini.
“Gue serius. Gue nggak punya rasa sama elu! Gue mo kita putus saat ini juga dan elu boleh pulang sekarang!”
Rizky melongo.
Tanpa menunggu tanggapan Rizky, Arshan langsung membuka pintu kost-nya lebar-lebar dan berdiri di pinggir pintu.
“Yang, kamu… Ini nggak lucu, lho…” ucap Rizky terbata-bata sambil berdiri menghampiri Arshan.
“Siapa bilang ini lucu? Nggak lucu sama sekali.”
“Kamu serius?” kali ini Rizky benar-benar merasakan sikap lain yang ditampilkan Arshan di depannya.
“Ya. Kita putus dan elu silahkan cari orang lain malam ini juga kalo elu mau.”
“Tapi kenapa?!”
“Kenapa? Gue udah bilang gue nggak cinta sama elu.”
“Bullshit! Gampang banget kamu bilang gitu? Kamu nggak cinta sama aku? Terus selama ini apa?”
“Udah, pulang aja!”
“Kamu ada apa sih? Cerita sama aku! Kamu udah punya cowok lain ya???”
“Udah, silahkan pulang!”
“Shan, ini sama sekali nggak lucu. Oke, aku pulang. Besok silahkan jelasin semuanya ke aku…” Rizky melangkah keluar.
“Selamat malam. I lov—” ucapan Rizky terputus dengan debaman pintu dari dalam.
II
Cukup panjang perjuangan Arshan untuk menaklukkan Rizky hingga jatuh ke pelukannya sejak enam bulan yang lalu.
Rizky adalah cowok straight yang selama ini terkenal sebagai casanova. Kerjaannya gonta-ganti cewek. Entah mengapa begitu mudahnya gadis-gadis cantik jatuh ke dalam pelukannya. Seperti halnya memilih baju, semudah itu pula ia memilih perempuan mana yang ia inginkan dengan mengandalkan pesona fisik dan kekayaan orang tuanya.
Dengan track record-nya itu nyatanya bukan halangan bagi seorang Arshan untuk menyalip puluhan wanita cantik sehingga bisa mencapai tahta di kerajaan hati sang pangeran. Sama seperti Rizky, Arshan juga memiliki pesona yang luar biasa. Kelebihannya di sikap ramah dan senyum manisnya. Ia tak segan-segan mengumbar senyum manis ke setiap orang yang bertemu dengannya. Hanya saja ia sedikit berbeda dengan Rizky dalam petualangan asmara. Jika Rizky begitu pandai memanfaatkan kelebihannya dalam mereguk manisnya cinta, tapi tidak halnya dengan Arshan. Cowok ini lebih kalem dalam urusan asmara, jika tidak ingin dikatakan memiliki nol pengalaman dalam dunia percintaan. Ia tak pernah menjalin satu hubungan sejak kelas dua SMA, tepatnya setelah sebuah peristiwa menyayat hatinya.
Sejak saat itu ia memutuskan untuk tidak larut dalam dunia asmara, sampai kepuasan batinnya tercapai…
Namun sejak bertemu Rizky, keinginannya untuk menjalin hubungan sangat menggebu. Sampai-sampai Ardan, sohibnya keheranan.
Saat itu Arshan tengah menghabiskan akhir pekan di kota kediaman sahabat dekatnya semasa SMA itu. Satu-satunya teman yang ia punya sesaat menginjakkan kaki di kota itu setelah terpaksa pindah sekolah ke luar kota akibat dipermalukan oleh cowok brengsek ke seisi sekolah.
Selama satu tahun ia di sana. Kota penuh kenangan manis dan menjadi saksi bisu atas perubahan dirinya.
“Udah puluhan cowok yang elu temui, bahkan beberapa dari mereka lebih cakep dari Rizky, tapi elu melempem aja. Tapi kenapa kok sama si Rizky elu ngebet banget sih?” tanya Ardan penasaran.
“Doi beda mamen…”
“Beda apanya? Kenti-nya lebih gede atau gimana?”
“Njrit.”
Ardan ngakak.
“Gue suka sama dia, karena sifat casanova-nya dia. Gue terpanggil buat menaklukkan hatinya…”
“Oh, jadi elu merasa tertantang gitu? Bukan karena beneran suka?”
“Suka juga. Karena tertantang akhirnya tertarik gitu…”
“Tapi doi-kan straight, Bro.”
“Nah, itu dia! Satu poin lagi yang bikin gue makin blingsatan sama tuh orang. Karena dia straight!”
“Huuhhh, aneh gue. Kenapa sih para gay itu sangat tertarik sama kaum straight? Seakan-akan benar-benar santapan lezat deh. Udah lah, jangan ngambil lahan para cewek… Yang cakep tapi belok kan banyak…”
“Bodoh! Gue sukanya sama dia. Gimana dong? Elu tahu sendirikan, dari dulu gue nggak tertarik sama yang namanya pacaran? Dan sekarang rasa itu muncul karena Rizky, jadi gue harus mengoptimalkannya, hehehe…”
“Dasar! Tapi ini kabar baik ya? Setelah elu menutup hati sejak kejadian yang elu bilang waktu itu…”
“Udah lah, nggak usah diungkit lagi…”
“Hehehe, iya…iya…”
III
Dua tahun ke belakang saat Arshan berkenalan dengan Rizky.
Rizky mengumpat kesal saat melihat ban belakang motornya kempes. Kerjaan siapa sih ini? Gerutunya kesal. Ia melirik jam di tangan. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam lewat.
Ah, pasti bengkel ataupun tampal ban sudah pada tutup. Beginilah malangnya tinggal di kota kecil berhawa dingin seperti ini. Di atas angka tujuh malam aktivitas kota delapan puluh persen sudah mati.
Terpaksa dorong deh… Desis Rizky dengan nada berat.
Baru kira-kira due meteran ia berjalan dalam keremangan malam sambil menggiring motornya, tiba-tiba ada sebuah motor yang membunyikan klakson dan berhenti tepat di sampingnya.
“Kenapa motornya?” sapa sang pengendara sambil membuka kaca helm-nya. Seorang pria sebaya dirinya nampak ramah bertanya padanya.
“Ini, ban motor gue kempes… Nggak tahu kena paku atau apa…” terang Rizky sambil menendang-nedang ban belakang motornya dengan kesal.
“Wah, keknya di sekitar sini tampal ban udah tutup, Bro. Eh, elu mo pulang kemana?”
“Ke Sukowati…”
“Waduh, jauh dong dari sini. Jadi elu rencananya mo giring nih motor sampe rumah gitu?”
“Nggak tahu nih. Mo dititipin kemana coba? Ah, sial banget. Mana di rumah kagak ada orang lagi…”
“Uhmmm, gimana kalo ke rumah gue aja?” tawar si pengendara tiba-tiba.
Rizky mengerutkan kening sambil menatap lawan bicaranya.
“Hehehe, sorry, kita belum kenalan. Gue Arshan. Elu pasti belum kenal gue, tapi gue kenal elu. Elu Rizky kan?”
Rizky mengangguk. “Kok tahu?” ia keheranan.
“Kita sekampus. Gue sering lihat elu di kantin sama di parkiran. Makanya tadi gue berhenti. Gue ingat sama plat dan warna motor elu…”
“Ooohhh… Pantes, makanya gue heran tadi…”
“Nah, gimana? Kebetulan kost-an gue nggak jauh dari sini. Kalo mau hayo. Tapi kalo nggak mau yo wes…” Arshan tersenyum manis.
“Uhmmm…”
“Tenang aja. Gue anak baik-baik kok. Emang ada tampang maling, penipu atau berandal gitu? Kalo nggak percaya gue bisa kasih lihat nih kartu nama gue…” Arshan menarik dompet dari saku belakang jeansnya.
“Nggak usah,” kata Rizky. “Oke. Thanks banget sama bantuan elu, Bro…”
Arshan tersenyum sambil memasukkan dompetnya lagi.
“Oke, yuk! Cuma tiga meteran lagi kok…”
Jadilah malam itu Rizky menitipkan motornya ke kost-an Arshan. Keesokan harinya, saat ia datang ingin mengambil motornya, ternyata ban motornya sudah ditambal oleh Arshan.
“Wih, elu baek banget, Bray? Thanks banyak ya…”
Arshan ketawa.
“Kalo gitu gue cabut ya? Soalnya tiga puluh menit lagi gue ada kuliah,” pamit Rizky sambil memberikan uang pengganti tambal ban.
“Nggak usah,” tolak Arshan.
“Ayolah. Gue nggak enak ah.”
“Nggak, nggak. Cuma beberapa ribu perak juga…”
“Ya udah, thanks, Bro. Moga kapan-kapan gue bisa balas bantuin elu…”
Arshan tersenyum.
Ternyata setelah beberapa hari, mereka kembali ketemu di parkiran. Rizky yang pertama kali melihat Arshan langsung berseru.
“Hay…!” Arshan tersenyum setelah tahu siapa yang menyerukan namanya.
“Mo pulang?”
“Iya nih…”
“Gue juga. Kalo gitu gimana kalo kita makan siang? Gue traktir…”
“Uhm, bolehlah. Kebetulan gue juga belum lunchy…”
Mereka berduapun keluar area kampus beriringan.
“Mo pesan apa, Mas-mas?” sapa pelayan saat mereka sudah memilih tempat duduk.
“Gue nasi goreng. Pake telor mata sapi setengah mateng. Minumannya Jus Apel,” kata Arshan.
“Eh? Gue juga itu, Mbak,” pesan Rizky.
Sang pelayan mengangguk lalu meninggalkan meja mereka.
“Elu suka makan telur mata sapi juga?” tanya Rizky.
“Yup. Apalagi yang setengah matang…”
“Sama. Gue juga. Dari SMP. Tapi kebanyakan teman-teman gue dulu nggak suka. Anyir kata mereka…”
“Enak kok…”
“Ya, menurut gue enak.”
Arshan tersenyum.
Ternyata itu bukanlah pertemuan mereka yang terakhir. Setelah hari itu, mereka makin sering bertemu dan makan bareng. Mereka jadi teman yang dekat.
Suatu hari Arshan bertandang ke rumah Rizky. Rizky membawa Arshan ke kamarnya. Di sana banyak terdapat poster serta action figure dari superhero Batman.
“Eh, elu suka Batman juga ya?” tanya Arshan.
“Yup. Suka banget.”
“Sama. Gue juga suka banget. Bahkan gue punya binder yang isinya all about batman…” terang Arshan sambil mengeluarkan satu buah binder bercover Batman dan Catwomen dari Batman The Dark Knight Rises.
“Wah, aji gileee…! Elu suka Batman juga, Bro?” seru Rizky antusias sambil membuka lembar demi lembar isi binder Arshan.
“Yup. Bahkan gue selalu beli majalah yang cover-nya batman, yang berhadiah poster batman dan hal-hal yang berhubungan dengan si Mamang Batman lah pokonya…”
Rizky geleng-geleng kepala. Ia senang banget punya teman yang sesama penggemar batman. Jadilah hari itu mereka bercerita banyak semua hal mengenai si manusia kelelawar itu.
Lain hari Rizky datang ke kost-an Arshan lagi. Saat itu Arshan lagi santai di teras kost-annya sambil mendengarkan musik dari mp3.
“Slipknot, Bro?”
“Yup. Before I Forget.”
“Demen metal juga elu?”
“Yup. Gue Maggots.”
“Anjritttt! Gue juga killer maggots! Wah, benar-benar deh…” Rizky geleng-geleng kepala.
“Serius? Elu…?”
“Iya. Gue dari SMA fansnya Slipknot. Lagu favorit gue Deluted.”
“Kalo gue sukanya Vermillion yang jadi—”
“Soundtrack Resident Evil,” potong Rizky.
“Yup.”
Rizky kembali geleng-geleng ketawa. “Gue sama elu begitu banyak kesamaan, Bro. Dari makanan sampai ke musik. Eh, jangan-jangan bintang porno favorit kita sama juga ya? Hahaha…!”
“Gue? Tetap Mario Ozawa!”
Pletak!
Satu jitakan mendarat di kepala Arshan.
“Same again, Njing! Miyabi, yup. Gue demen yang asian, Bro. Dan Miyabi itu cantik banget…”
“Hahaha. Sama lagi? Gila…! Kalo gitu gue ganti jadi Sasha Grey aja deh biar gak samaan lagi.”
“Hahaha…”
“Aneh banget ya, kita, kok bisa samaan gini sih?” gumam Arshan.
Rizky mengangkat bahunya.
IV
Arshan tersenyum sambil membuka-buka kembali album foto semasa SMA. Tak terasa sudah lima tahun berlalu sejak kejadian itu berlalu…
Tepatnya saat itu ia masih duduk di bangku kelas 2 SMA. Termasuk golongan terbawah berdasarkan peringkat fisik maupun otak. Badan kurus, kulit cokelat, rambut model jadul, pake kacamata dan culun. Ironisnya lagi, penampilannya itu diperparah dengan tingkat kecerdasannya yang dibawah rata-rata. Benar-benar nggak ada yang bisa dibanggakan. Satu-satunya kelebihan yang ia miliki hanyalah, perasaan spesial yang sudah sejak SMP ia sadari dan ia simpan rapat-rapat di lubuk hatinya yang terdalam, yakni perasaan berhasrat terhadap laki-laki.
Tak tanggung-tanggung, cowok yang kerap menjadi khayalan serta fantasi seksnya adalah cowok paling tampan di seantero sekolah. Ketua genk populer, jago basket dan keturunan keluarga baik-baik serta kaya di kota ini, yakni Anggo.
Nama Anggolah yang selama ini terus mengisi benaknya. Menemani malam-malamnya dan terus berkhayal kapankah waktunya ia bisa memiliki Anggo, atau paling tidak yang rupanya mendekati sang idaman? Dan semua perasaannya itu kerap ia tuangkan ke dalam lembaran kertas dalam bentuk untaian puisi indah.
Anggo itu meskipun tampan, populer dan kaya, tapi ia tak sombong. Sangat ramah dan mau berteman (minimal menyapa) orang yang berpapasan dengannya, tak terkecuali “sampah sekolah” seperti Arshan. Arshan hapal betul sudah berapa kali ia berpapasan dengan Anggo, dan cowok itu selalu tersenyum. Senyumnya sangat manis! Sampai-sampai Arshan tak kuasa lama-lama memandangi senyum itu.
Suatu ketika, tanpa ada hujan apalagi angin, sang pangeran tampan memanggil sang “dork” tanpa sebab. Tentulah hati si Jadul Arshan dag dig tak karuan. Ada apa gerangan?
“Elu Yudha kan?”
“Iya…” balas Arshan setenang mungkin.
Oh, ya, waktu SMA dia dipanggil Yudha, sebab ada dua orang yang bernama Arshan di kelasnya. Jadilah ia dipanggil dengan mana Yudha, dari nama belakangnya “Arshan Yudha”.
“Yud, kata teman-teman elu jago bikin puisi ya? Buatin gue dong…”
“Puisi? Uhm…”
“Mau ya? Buat cewek gue. Dia hari ini ultah, okey?” Anggo memamerkan senyum manisnya.
Arshan mengangguk meskipun hati terluka. Puisi buat ceweknya doi? Akh, yang penting gue berguna buat dia! Dan hey, dia tahu nama gue!!! Jerit Arshan dalam hati kegirangan.
Keesokan harinya, mereka berdua kembali bertemu. Kali ini senyuman yang dilemparkan Anggo ke Arshan tambah manis.
“Pagi, Fren! Thanks ya puisinya kemarin. Cewek gue langsung klepek-klepek…”
“Oh, ya? Baguslah…” Arshan membalas gugup. Dia nyebut gue fren? Wah, level gue udah naik aja nih, desis Arshan senang.
Sejak itu hubungan mereka lumayan dekat. Dalam artian, yang tadinya hanya saling bertukar senyum, sekarang kalo ketemu sudah saling menyapa sambil menyebut nama. “Selamat pagi, Yud!” atau “Ke kantin, Fren?” Dan kenyataan ini membuat Arshan bahagia bukan kepalang. Selangkah demi selangkah mimpinya akan terwujud. Puisi-puisi indah pun semakin mengalir deras mengisi lembar demi lebar buku puisinya.
Saat ada tugas membuat puisi, lagi-lagi Anggo datang padanya. Tapi kali ini ia tidak meminta Arshan membuatkannya, meskipun jika diminta, maka dengan senang hati ia akan membuatkannya. Anggo kali ini hanya meminta Arshan mengoreksi puisi buatannya. Semua terkait pemilihan kata yang harus digunakan. Dan hasilnya, puisi Anggo diapresiasi oleh sang guru dengan diterbitkannya di Mading sekolah.
“Wah, elu emang benar-benar hebat, Yud! Gue harap suatu saat elu bisa jadi penyair besar kayak Taufik Ismail, W.S Rendra atau Sapardi Djoko Damono,” puji Anggo sambil menikmati sajian makanan kegemarannya.
Saat itu mereka tengah makan di sebuah cafe sepulang dari lomba porseni tingkat provinsi. Hanya saja mereka mengikuti lomba yang berbeda. Jika Arshan sudah bisa dipastikan mengkuti lomba cipta puisi, sedangkan Anggo berpartisipasi dalam lomba Futsal. Dan pada pergelaran porseni kali ini Arshan berhasil menyabet juara dua. Sedangkan tim futsal Anggo berhasil menjadi juara pertama.
“Hahaha, Amiiinnn. Doain aja ya…”
“Pasti, Fren. Gue doain…”
Arshan tersenyum. Anggo juga tersenyum. Beberapa saat terjadi kontak mata di antara keduanya. Tapi Arshan buru-buru menurunkan tatapannya. Jantungnya terlanjur berdegup kencang.
Tak terasa, secara perlahan Arshan masuk ke dalam lingkungan pergaulan kalangan “jetset” sejak berteman dengan Anggo. Berada di lingkaran pergaulan siswa-siswi populer, nongkrong bareng mereka, dan bahkan sesekali ia diajak Arshan nginap di rumah cowok itu.
Semakin dekat berteman dengan Anggo, semakin banyak pula ia mengenal segala apapun tentang cowok itu. Dan kesemuanya itu semakin membuat Arshan tergila-gila.
Disuatu malam minggu, Anggo nggak ngapel, soalnya ia lagi berantem sama sang pacar. Jadilah malam itu ia mengajak Arshan keluar. Mereka berdua berkeliling kota berboncengan. Tak bisa diungkapkan dengan kata-kata betapa bahagianya hati Arshan. Bisa malam Mingguan dengan pangeran impian, bukankah itu kesempatan yang langkah bukan??? Dan yang lebih mendebarkan lagi, sebagai bonusnya malam itu Anggo juga bermalam di rumahnya.
Arshan bahagia luar kepalang. Bisa tidur satu ranjang berdua bersama cowok paling cakep, populer dan jago basket di kamar gue yang sempit? Oh, mimpi apa gue semalam, gumam Arshan dalam hati. Jadilah hingga pagi buta, Arshan tak bisa memejamkan mata barang sekejappun. Pikirannya terus tertuju pada makhluk cakep yang tertidur nyenyak di sampingnya. Ia tak ingin melewatkan sedetikpun tanpa menatap wajah cakep nan damai milik Anggo. Ohh, seandainya ini bisa gue nikmati sepanjang hari sepanjang malam… Desis Arshan.
Karena tak bisa tidur, Arshan pun memutuskan mengambil buku puisinya dan mulai merangkai kata untuk sang pujaan hati…
“Yud, elu lagi ngapain? Kok nggak tidur?” tegur Anggo dengan suara berat.
Arshan yang menulis di samping Anggo buru-buru menutup buku puisinya. “Nggak. Gue lagi nulis aja…”
“Nulis puisi ya?” tanya Anggo sambil mengucek-kucek matanya.
“Ya…”
“Itu buku puisi elu?”
“Yup.”
“Ohhh… Kapan-kapan boleh dong gue baca?” tanya Anggo.
“Nggak boleh!” jawab Arshan tegas.
“Kenapa? Pasti keren-keren banget tuh…”
“Ini pribadi.”
“Oohh…” desis Anggo sambil memejamkan matanya kembali.
Arshanpun kembali menggoreskan tinta di lembaran bukunya sampai matanya tak mampu lagi menopang kelopak matanya yang ingin tertutup rapat.
Pagi harinya Arshan mendapati Anggo sudah tak ada lagi di tempatnya. Kata Mamanya si Anggo sudah pulang sekitar setengah jam yang lalu. Arshan pun kembali ke kamar dengan lemas. Entah kenapa ia jadi sangat sedih ditinggal begitu aja oleh Anggo.
Sejak pulang tanpa pamit itu, Arshan tak berkomunikasi sama Anggo baik secara langsung maupun lewat pesan singkat. Bahkan batang hidung Anggo pun tidak kelihatan olehnya baik di koridor, lapangan basket atau di kantin. Arshan pun tidak berusaha mencari tahu. Memang sering itu orang begitu. Mungkin ia lagi sibuk, pikir Arshan.
Hingga akhirnya, beberapa hari kemudian, saat ia berangkat ke sekolah, setibanya di gerbang sekolah, semua murid yang berpapasan dengannya menatapnya dengan aneh. Tidak sedikit yang menatapnya dengan pandangan jijik sambil geleng-geleng kepala. Arshan tak mengerti. Ia tak merasakan ada keanehan pada pakaiannya dan tubuhnya. Tapi mengapa semua orang bersikap aneh padanya?
V
Di suatu sore yang cerah. Arshan dan Rizky duduk di tepi danau yang nampak keemasan ditimpa kilauan mentari yang bersiap kembali ke peraduan.
“Elu udah punya pacar, Ky?” tanya Arshan.
“Udah.”
“Ohhh…”
“Kalo elu?”
“Gue single. Nggak ada keinginan buat pacaran.”
“Kenapa?”
“Karena belum ada yang sanggup ngebangkitin hasrat gue buat pacaran.”
“Oh ya? Jadi dari dulu elu nggak pacaran?”
“Pernah, dulu. Itupun kalo bisa dikategorikan pacaran…” pandangan Arshan menerawang.
“Emang elu nggak iri sama orang-orang?”
“Nggak tuh…,” jawab Arshan enteng. “Oh, iya, elu kan terkenal sebagai playboy cap kampak nih…”
“Eit, enak aja playboy cap kampak!”
“Terus?”
“Playboy kabel, hahaha…”
“Hahaha. Acara jaman kapan itu ya? Udah lama banget. Oh, iya, tadi gue mo nanya, elu kan terkenal playboy nih. Emang apa sih enaknya jadi playboy?”
“Enak dong. Elu harus jadi playboy dulu baru elu tahu gimana rasanya.”
“Emang apa enaknya nyakitin perasaan orang? Pindah dari satu orang ke orang lain…”
“Hahaha. Sebenarnya gue nggak playboy kok. Cuma hubungan gue aja yang nggak pernah bertahan lama…”
“Kenapa?”
“Nggak tahu. Ada aja masalahnya…”
“Elu sih, terbentur masalah dikit langsung minta break. Harusnya diselesaikan dong…”
“Gue nggak mau pusing-pusing, bro. Lagian cewek di dunia ini banyak. Jadi kenapa mesti repot sih?”
“Kelakuan elu ya… Awas, hati-hati ntar elu kena karma lho!”
“Hahaha, serem amat dah! Lagian gue nggak ngapa-ngapain mereka…”
“Nyakitin hati mereka… Udah berapa banyak hati orang yang elu sakiti?”
“Wah, nggak ngitung sih, hehehe…”
“Entar elu ngerasain sama seperti yang mereka rasain… Baru nyaho elu!”
“Jangan doain yang enggak-enggak doang…”
“Hahaha…! Takut ya elu? Gue cuma ngingetin kok…”
“Huh! Elu sih belum ngalamin aja…”
“Gue sebenarnya pengen sih ngalaminnya… Tapi yaaahh, apa boleh buat…”
“Emang kenapa?”
“Gue mo cerita, asal elu janji nggak bakal ember.”
“Apa?”
“Janji dulu.”
“Suer!” Rizky menangkat jari telunjuk dan tengahnya membentuk tanda victory.
“Gue ini sebenarnya gay.”
“Hah?”
“Yup. Gue gay.”
“Nggak lucu ah!”
“Serius. Gue nggak becanda. Gue cuma mo jujur aja sama elu, ketimbang elu tahu dari orang lain, atau gue tutup-tutupin dari elu. Tujuan gue ngomong ini supaya elu nggak ngerasa gue bohongin elu atau elu salah paham sama gue. Setelah elu tahu keadaan gue, terserah tindakan elu mo kek gimana. Mo tetap temanan ama gue, gue amat sangat senang. Tapi kalo elu mo jauhin gue, gue mo bilang apa? Yang jelas plis, tolong jangan kasih tahu orang lain…”
“Jadi ini seriusan? Elu gay?”
“Ya. Itulah yang membedakan gue sama elu. Selama ini kita selalu sama. Suka makanan yang sama, genre musik yang sama, suka sama superhero yang sama… Tapi ternyata ada perbedaan paling mendasar antara kita…”
Rizky diam beberapa saat.
“Silahkan elu pikirkan. Gue kasih elu waktu buat berfikir. Setelah itu kasih tahu gue apapun keputusan elu. Kalo elu nggak mau ketemu gue, bisa elu PM gue…” kata Arshan sambil bangkit dan melangkah pergi meninggalkan tepi danau.
Sore itu juga, tanpa disangka Rizky datang ke kost-an Arshan. Arshan pun menyambutnya dengan santai ditambah sedikit senyuman manisnya.
“Gue nggak tahu harus ngomong apa. Yang jelas gue shock. Beneran. Kenapa teman gue harus jadi gay…” kata Rizky.
“Hehehe… Nggak usah dipikirin. Gue yang gay santai aja kok…”
“Gue nggak nyangka aja. Gue… Akh! Gue tetap pengen jadi teman elu. Gitu aja, titik!”
Arshan tersenyum lebar. “Thanks, Bro!”
Rizky tak menjawab. Ia malah merengut.
Dua hari setelah itu, Rizky bermalam di kost-an Arshan. Hanya saja kali ini sikapnya sedikit ragu-ragu saat ingin merebahkan badan ke ranjang.
“Santai aja, Bro. Elu nggak usah takut sama gue. Gue nggak bakal macam-macam. Anggap aja elu nggak tahu apa-apa tentang gue,” kata Arshan mencoba mencairkan suasana.
Rizky tersenyum simpul.
“Kalo gue mo macem-macem, udah dari dulu kali,” goda Arshan.
“Coba aja kalo elu berani!”
“Gue nggak berani kok… Hehehe…”
Mereka berduapun berbaring di satu ranjang seperti hari-hari sebelumnya.
“Ngomong-ngomong, kenapa elu tetap mau temanan sama gue, Ky? Apa gue sebegitu penting bagi elu, eh?”
“Gue nggak mau aja kehilangan teman kayak elu. Susah lho cari teman yang sehati. Apalagi yang punya begitu banyak kesamaan kayak kita…”
“Yup. Kesamaan kita itu 99% persen. Satu persen bedanya cuma di gue gay, elu homo. Eh? Ups, salah. Maksud gue, gue gay, elu belok. Eh, salah lagi! Hahahaha…!”
“Anjrit elu! Enak aja!!!”
“Hahaha. Kidding, Bro…!”
“Udah. Tidur yuk ah!” pungkas Rizky.
Sejak Rizky tahu orientasi seksual Arshan, ternyata jalinan pertemanan mereka semakin erat. Arshan pun merasa selangkah lebih maju sekarang untuk menaklukkan sahabatnya itu. Sebab kini ia tak perlu menutupi apapun lagi dari Rizky dan ia juga tak segan-segan lagi memberikan perhatian lebih untuk sahabatnya itu. Tentu saja dengan cara yang sangat halus sehingga Rizky tak menyadarinya.
Trik yang dilakukan Arshan sangat mudah. Setelah ia masuk ke kehidupan cowok itu, mereka berdua menjadi sahabat dan perlahan-lahan Arshan mulai bertindak menjadi pembimbing Rizky dalam segala hal. Ia selalu ada di sisi Rizky dalam kondisi apapun. Ia hadir ketika tawa dan perasaan gembira hadir, dan datang paling awal ketika perasaan muram dan sedih menghampiri.
Saat cowok itu kehilangan sang Ayah yang sangat dicintainya, Arshan datang dan menghibur Rizky. Ia memegang tangan sahabatnya itu erat sambil mantap berkata, “Gue sahabat elu. Gue bakalan selalu ada buat elu, yang bakalan pegang tangan elu saat elu jatuh. Gue akan selalu ada buat elu. Elu adalah sahabat terbaik dan sejati gue. Kita berdua pasti bisa melewati kondisi sesulit apapun sama-sama…!”
Rizky mengangguk dan berterima kasih ke Arshan. Ia merasa Arshan benar-benar teman yang baik, yang mengerti kondisinya. Hubungan persahabatn mereka pun semakin erat. Arshan bisa membuktikan kalau ia adalah teman yang bisa diandalkan. Rizky pun sudah tak ragu-ragu lagi sama Arshan. Tak ada rasa canggung apalagi takut di dalam dirinya berteman dengan Arshan, meskipun temannya itu penyuka sesama. Bahkan sekarang ini, mereka berdua sering sekali nonton blue film bareng. Tentu saja Arshan mengikuti selera Rizky. Kesemua film yang mereka tonton bergenre straight. Arshan dengan pandainya kasih alasan ke Rizky kenapa ia mau diajak nonton BF straight, supaya jiwa ‘normalnya’ kembali muncul. Dan Rizky pun menyambut baik.
Lain waktu, Rizky sakit. Arshan langsung datang menjenguk sahabatnya itu. Padahal saat itu masih di jam perkuliahan.
“Dari mana elu tahu gue sakit, Bro?”
“Nggak penting juga. Si Rasti udah ke sini?” tanya Arshan sambil menempelkan punggung tangan ke kening Rizky.
Rizky geleng kepala. Rasti itu pacar Rizky yang baru.
“Dia tahu elu sakit?”
“Tahu. Pulang kuliah ntar dia ke sini katanya…”
“Ohhh… Elu udah minum obat?”
“Udah semalam.”
“Pagi ini belum ya?”
“Belum.”
“Makan udah belum?”
“Belum juga.”
“Ya udah. Ini gue bawain nasi buat elu,” kata Arshan sambil mengeluarkan kotak nasi dari dalam kantong kresek hitam.
“Nggak usah repot-repot, Bro. Si Rasti ntar bakalan ke sini bawain bekal…”
“Kapan dia ke sini? Ntar siang atau ntar sore? Elu udah keburu lemas, Bro…”
Rizky mangut-mangut.
“Udah, ayo makan. Terus obatnya diminum lagi…” kata Arshan sambil menyodorkan kotak nasi ke hadapan Rizky.
“Elu nggak kuliah?”
“Kesehatan sahabat lebih penting bagi gue. Kuliah cuma kek gitu-gitu aja. Besok gue juga bisa kuliah lagi…” terang Arshan sambil mengupas kulit jeruk.
“Ah, elu itu kok baik banget sih? Elu itu malaikat atau apa…” kata Rizky sambil menyendokkan nasi ke mulut dan tersenyum.
“Ah, masa malaikat jaga malaikat sih?” balas Arshan.
Rizky terkekeh. “Elu bisa aja…”
“Gimana makanannya? Enak nggak?”
“Enak.”
“Itu masakan gue.”
“Seharusnya elu jadi celebrity chef, Shan. Pasti bakalan banyak penggemar…”
“Oh ya? Hahaha…”
“Termasuk gue salah satunya. Bakalan jadi fan paling setia, hihihi…”
Arshan terbahak.
“Ya udah, elu silahkan makan. Habisin tuh makanan. Terus minum obatnya. Ini buahnya dimakan juga,” kata Arshan sambil menunjuk Jeruk dan Apel yang tadi ia bawa.
“Elu mo kemana?”
“Gue mo pergi sebentar.”
“Jangan pergi dong…,” rengek Rizky. “Temenin gue aja di sini…”
Arshan menghela nafas sejenak. “Iya deh.”
Rizky tersenyum lebar.
Jadilah seharian itu mereka menghabiskan waktu berdua. Tidur bersebelahan sambil ngobrol ngalur ngidul sampai Rasti, pacar si Rizky datang, tepat ketika adzan Ashar selesai berkumandang.
Tidak sampai sepuluh menit Rasti di rumah Rizky. Cuma ngasih roti sama susu,menanyakan gimana keadaannya, sudah makan atau belum, sudah minum obat atau belum, terus pulang. Alasannya karena tugas kuliahnya numpuk.
Ajaibnya Rizky iya-iyain aja. Nggak ada wajah kesal sama sekali. Bahkan terus mengumbar senyum manis dan tatapan penuh cinta.
“Kok elu mau sama Rasti?” tanya Arshan.
“Emang kenapa?”
“Cewek yang nggak perhatian kayak gitu, Bro. Beda banget sama mantan-mantan elu sebelumnya. Semuanya care dan cepat tanggap sama elu…”
“Justru karena itulah gue suka sama doi. Dia cuek-cuek gimanaaa gitu. Bikin gue penasaran. Dia itu beda sama mantan-mantan gue yang lain. Kebanyakan dari mereka suka cari muka dan perhatian. Tapi si Rasti enggak. Dia apa adanya…”
“Wah, kayaknya elu cinta beneran nih sama dia?”
“Hahaha. Gue pengen berubah, Bro. Gue nggak mo nyakitin cewek lagi. Sama Rasti gue pengen serius. Dia tipe cewek gue banget. Cantik, cuek dan nggak banyak maunya…”
“Baguslah kalo elu udah dapat si Miss. Right. Moga cinta kalian langgeng, Bro…”
“Amiiinnn….”
VI
Tulang Arshan seperti dilolosi dari persendian saat melihat dua lembar kertas puisinya terpampang di Mading sekolah.
Siapa yang melakukan ini?
Inilah jawaban atas sikap aneh seantero sekolah pagi ini. Semua bersumber dari dua carik kertas itu. Dua buah puisi tentang cinta yang secara terang-terang ia tujukan untuk Anggo di dalamnya. Bahkan ia menuliskan nama cowok itu besar-besar di atas dua puisi itu dengan tinta merah.
Dunia serasa mau kiamat. Pandangan Arshan berubah gelap. Apa yang harus ia perbuat? Otaknya sibuk mencari alasan apa yang masuk akal untuk menyelamatkan dirinya dari rasa malu.
Arshan bertindak cepat. Ia langsung menghadap guru bahasa Indonesia dan menceritakan maksud dari puisi-puisi itu. Ia membuat puisi-puisi itu semata-mata untuk mendukung teenlit yang sedang digarapnya. Sebuah teenlit yang berkisah seputar Upik Abu dan sang pangeran. Dan ia sengaja menjadikan Anggo sebagai sosok sang pangeran, sedangkan ia sendiri memposisikan diri sebagai Upik Abu agar feel ceritanya nanti lebih berasa dan natural.
Masalah itupun beres. Puisi-puisi tersebut dicopot. Arshan pun bisa kembali bernafas lega.
Sehari setelah insiden itu, Anggo datang menemuinya di rumah. Kali ini Arshan bersikap sedikit dingin. Tak perlu ditanya lagi, pastilah si Anggo yang jadi dalang peristiwa penyebaran puisinya itu. Cuma dia kan yang tahu soal buku puisi itu?
“Yud, gue minta maaf banget sama elu. Emang gue yang mencuri dua puisi elu itu. Tapi sumpah, bukan gue yang nyebarin! Gue nggak setega itu sama teman gue,” kata Anggo.
“Terus apa motif elu ngambil puisi gue?”
“Gue suka sama puisi-puisi elu. Kumpulan puisi-puisi elu begitu indah. Jadinya gue ambil dua buah yang paling gue suka. Sengaja gue nggak kasih tahu elu. Takutnya elu marah karena gue udah lancang buka buku pribadi elu…”
“Elu tahu puisi itu gue tulis buat elu. Apa tanggapan elu?”
“Gue… Gue bahagia, Yud! Gue bahagia dan gak bisa ngomong apa-apa. Elu nyiptain begitu banyak puisi buat gue, gue jadi terharu. Tapi sayang itu nggak benar-benar keluar dari lubuk hati elu…”
“Maksudnya?”
“Elu bilang itu cuma bagian dari proyek cerita elu…”
“Iya. Jadi elu nggak usah khawatir sama gue.”
“Justru karena itu gue sedih. Gue pikir semua kata-kata indah itu sungguhan buat gue…” desis Anggo.
Arshan mengerutkan keningnya.
“Masa sih elu nggak ngeh juga? Gue suka sama puisi-puisi yang elu tujukan ke gue. Gue juga suka sama penyairnya…”
Arshan melongo. “Elu… Maksudnya, elu suka sama gue?” tanya Arshan terbata.
“Iya. Gue suka sama elu, Yud! Akh, malu gue!”
Arshan speechless. Untuk sekian detik ia bingung mo ngapain. Ini sebuah kabar gembira yang begitu mendadak. Ini bagaikan hujan yang mengguyur bumi setelah kemarau selama ribuan tahun.
“Elu suka sama gue nggak?” tanya Anggo.
“Gue, tentu! Suka, dari dulu… Gue juga cinta…” Arshan ngomong belepotan saking senang dan gugupnya.
“Serius?” wajah Anggo berubah sumringah.
Arshan tersenyum. “Siapa sih yang nggak suka sama elu, Nggo? Elu itu cakepnya kebangetan, populer, jago basket lagi…”
Anggo tersenyum. “Jadi kita…”
“Pacaran,” sambung Arshan.
Mereka berdua tersenyum.
Arshan menatap cakrawala yang nampak cerah sore ini. Akh, benar-benar sore yang penuh suka cita!
Namun seperti semua orang bilang, tak ada kebahagiaan yang abadi. Seperti halnya waktu yang terus bergulir, cerita kehidupan pun terus berganti. Begitu juga kisah cinta si Dork dan Mr. Perfect.
Hanya dua minggu untuk Arshan mengecap kebersamaan bersama Anggo. Setelah itu kejadian buruk kembali terjadi. Bahkan lebih mengerikan! Sampai-sampai ia ingin ditelan bumi saat itu juga.
Bagaimana tidak, pacar yang sangat dicintai dan dibangga-banggakannya itu, ternyata dengan entengnya mempermalukan dirinya. Anggo menyebarkan rekaman percakapan yang terjadi di antara mereka sewaktu jadian ke para murid. Rekaman itu dengan cepat menyebar.
Dan ternyata saat Arshan meminta penjelasan ke Anggo, dengan santainya cowok itu memaki dirinya.
“Eh, Homo! Jangan ngimpi elu ya! Elu kira gue beneran suka sama elu?! Sarap kali elu! Gue ini cowok normal, Man! Gue nggak suka kontol kayak elu! Gue sengaja mancing-mancing elu waktu itu dan ngerekam semua percakapan kita untuk ngebuktiin kalo elu emang beneran homo! Hahaha… Najis banget sih elu? Pake kasih alasan mo bikin cerita segala! Dasar Sinting! Mati aja Homo-homo jelek kayak elu!”
Arshan terluka. Hatinya hancur tak terbentuk lagi. Tak ada alibi yang bisa ia berikan lagi. Ia juga tak sanggup jika harus bertahan selama 1 tahun lagi di sekolah ini. Ia tak ingin jadi bulan-bulanan seantero sekolah. Akhirnya ia memilih pindah sekolah ke luar kota dengan membawa segala kepahitan dan rasa malu yang ada.
“Seharusnya homo jelek kayak gue, emang nggak boleh berkhayal terlalu tinggi ingin mendapatkan cowok paling ganteng dan populer di sekolah…” desis Arshan sambil menatap wajahnya di cermin. Air matanya menganak sungai membasahi pipinya yang sembab.
VII
Kali ini Rizky kena batunya. Rasti, cewek cantik yang baru dipacarinya beberapa minggu ini ternyata playgirl. Ada cowok lain yang ia pacari secara bersamaan saat menjalin hubungan dengan Rizky. Dan parahnya lagi, selama ini ia hanya dijadikan selingkuhan saja.
Kedok si Rasti kebuka saat malam Minggu iseng-iseng Rizky mengajak Arshan berkunjung ke rumah pacarnya itu, meskipun ia tahu tadi siang Rasti mengiriminya kabar kalau malam harinya ia akan nginap di rumah temannya untuk mengerjakan tugas kuliah.
Ternyata semua alasan itu bohong. Ia sengaja menyuruh Rizky absen mengapeli-nya malan ini, sebab malam itu merupakan giliran pacarnya yang lain. Kontan Rizky marah luar biasa. Amarahnya memuncak dan meminta putus saat itu juga.
Arshan berusaha menenangkan Rizky.
“Udahlah, Bro. Santai aja. Cewek kek dia nggak usah dipikirin! Cari aja cewek yang lain. Elu kan jago menaklukkan hati para cewek, iya nggak? Si Rasti mah nggak ada apa-apanya lah!”
“Gue ngerasa sakit hati aja dikhianati kek gini, Bro. Masa gue cuma jadi ban serep sih? Padahal elu tahu sendirikan gimana cintanya gue sama dia? Gue pengen berubah karena dia???”
“Mungkin elu emang nggak berbakat jadi cowok setia, Bro? Hehehe…”
“Haha. Apaan sih elu. Masa gue nggak boleh jadi cowok baik-baik…”
“Hihihi. Lagian gue udah pernah bilang kan ama elu, jangan suka mainin cewek, Bro! Entar elu kena karma! Nah… Sekarang terbuktikaaann…”
“Anjrit! Semua gara-gara elu sih ngedoain gue yang nggak-nggak…”
“Kenapa gue??? Apa yang elu tabur itu yang bakal elu tuai kali…”
“Huuhffff…” Rizky meremas rambutnya gemas.
“Udah, udah. Nggak usah sedih, Bro. Masa Playboy nomer wahid nangis gegara dimainin cewek? Bukan playboy namanya! Lagian masih banyak Rasti-Rasti lain di luaran sana…” hibur Arshan.
Rizky cuma mangut-mangut.
“Gue pulang dulu ya? Elu jangan sedih lagi, apalagi sampai nenggak racun! Itu pantangan banget buat kaum playboy!”
“Hahaha… Gila elu ah! Nggak segitunya juga kali…”
“Siapa tahu aja elu jadi depresi. Sekalinya pengen berubah malah dikhianati, hihihi. Okelah, gue pulang ya?”
“Jangan, Bro. Gimana sih elu? Teman lagi sedih malah ditinggalin…” gerutu Rizky.
“Kirain elu butuh waktu untuk sendiri. Siapa tahu pengen merenung…” Arshan kembali duduk di tempat semula.
“Bodoh amat dah! Gue nggak mau sedih-sedih! Bukan style gue banget sedih karena cewek, iya nggak? Mendingan kita senang-senang aja.” Rizky menghempaskan tubuhnya ke kasur.
“Naaah, gitu dong! Mendingan happy-happy! Kita nonton aja yuk? Elu ada BF baru gak?”
“Ah, elu. Udah sering banget nonton film porno, tapi ada perubahannya kagak sih?” ledek Rizky.
“Perubahannya so pasti ada dong. Hahaha…” timpal Arshan.
“Masa sih?”
“Iya dong. Kalo nggak, ngapain gue maksain diri buat nonton film begituan sementara yang genre gue banyak di internet…”
Rizky mengangguk-anggukan kepala.
Jadilah malam itu mereka kembali nonton bareng lewat laptop. Duduk bersisian seperti biasa dan menghadap ke layar monitor.
Saat film sudah berjalan beberapa menit, Arshan nampak sangat fokus. Namun setelah itu, ia mulai menolehkan kepala ke Rizky. Ia menatap rahang, bentuk wajah, mata, bibir dan hidung Rizky dengan perasaan mendalam.
Setelah sekian lama, Rizky baru tersadar dengan apa yang dilakukan Arshan. Ia menangkap wajah sendu penuh cinta dari sahabatnya itu.
“Eh, ngapain elu ngeliatin gue? Filmnya di sono noh…” tegur Rizky.
Arshan tersenyum kecil ke Rizky, lalu mengalihkan pandangan ke laptop lagi. Mereka kembali larut dalam adegan panas yang tersaji. Rizky menahan nafas. Arshan menoleh sejenak dan mengesekkan badannya sedikit ke badan Rizky dan mengalirkan rasa hangat yang ada di badannya ke badan cowok itu. Setelah itu langsung pasang muka serius ke layar laptop.
Rizky langsung menoleh dan balik memperhatikan wajah Arshan. Entah kenapa tiba-tiba sekelabat pikiran aneh merasuki otaknya, lalu meresap sampai ke hati. Ia merasakan ada perasaan yang beda di hatinya tentang Arshan saat ini.
“Kenapa, Bro?” tegur Arshan.
Mereka berdua beradu pandang.
“Ada yang aneh sama gue?” tanya Arshan.
Rizky buru-buru geleng kepala dan kembali fokus ke film.
Arshan tersenyum. Tanpa sungkan ia merebahkan kepalanya ke pundak Rizky. “Gue ngantuk. Tidur yuk?” ajaknya sambil menghembuskan nafas tepat ke arah daun telinga Rizky.
Rizky langsung bergidik geli. Ia kembali menoleh ke Arshan. Lagi-lagi mereka berpandangan. Lama. Sangat serius dan saling mengunci pandangan.
Pelan tapi pasti Rizky mendekatkan bibirnya dan memagut Arshan. Hanya sebentar, sebelum Arshan melerainya dan mendorong tubuh Rizky menjauh.
Rizky terkejut dan gelagapan.
“Gue pulang,” pamit Arshan dingin.
“Shan…”
Arshan menatap Rizky lekat.
“Maafin gue, Shan. Seharusnya gue nggak mengikuti—”
“Nggak apa-apa kok. Justru yang minta maaf. Gue ngerasa udah mempengaruhi elu. Seharusnya kejadian ini nggak boleh terjadi,” potong Arshan sambil berdiri.
“Elu nggak salah. Elu nggak membawa sesuatu yang buruk buat gue. Kita cuma terbawa suasana. Elu jangan pulang ya? Gue butuh elu di sini…”
Arshan duduk lagi. “Matiin aja filmnya. Gegara itu film sialan itu keknya,” kata Arshan.
Rizky langsung menghentikan filmnya. Mereka berdua duduk saling membelakangi dalam diam. Rizky duduk bersandar di dinding sambil memegang keningnya.
“Kenapa elu tiba-tiba nyium gue?” tanya Arshan memesah kebisuan.
VIII
Kota baru. Suasana baru. Arshan mencoba membuka lembaran baru. Kembali mengembalikan rasa percaya dirinya. Untung keluarganya selalu menyemangati dan mendukung dirinya. Arshan pun punya alasan untuk segera bangkit.
Beruntung ia punya Ardan, teman baru yang ia dapat dari FB, gay juga, yang dengan senang hati membantunya. Kebetulan jarak rumah mereka berdekatan. Arshan pun kerap mencurahkan isi hatinya dan berbagi pengalaman pahit yang baru dialami kepada Ardan.
“Gue pengen berubah, Dan…” kata Arshan.
“Apanya yang ingin elu ubah?”
“Semuanya.”
“Elu mo berubah jadi normal?”
“Jika itu bisa. Tapi rasanya nggak sulitkan? Maksud gue, gue pengen tampil keren kayak elu…” terang Arshan sambil meneliti penampilan dan perawakan Ardan yang menarik.
Ardan tertawa.
“Kenapa? Gue emang jelek parah ya?”
“Bukan. Nggak ada orang jelek di dunia ini. Elu manis kok. Cuma manisnya elu itu ketutup sama tampilan elu yang nggak mendukung…”
“Jadi gimana menurut elu? Apa tampang gue ini bisa dipermak?”
“Kita coba okey? Hehehe. Tapi kayaknya banyak yang harus elu ubah deh. Menurut gue, elu harus pensiunin kaca mata elu, gaya rambut elu juga mesti diubah, penampilan elu so pasti. Kemeja yang elu pakai sangat kedodoran di tubuh elu yang ceking. Oh, ya, satu lagi, elu harus naikin berat badan elu. Elu kurus amat, Bro!” komentar Ardan.
“Apapun bakal gue lakukan, asalkan penampilan gue bisa menarik!”
“Ya udah. Mulai sekarang elu pelan-pelan ubah style elu, okey? Besok pagi kita potong rambut elu model baru. Terus ganti kaca mata elu sama soflens aja. Kita beli perawatan muka sama kulit dan hari minggu kita ngegym okey?”
Arshan mengangguk.
Singkat kata, dibawah arahan dan bimbingan Ardan, Arshan pun mulai sedikit demi sedikit memperbaiki penampilannya. Sudah memang. Ia tak terbiasa dengan segala tetek bengek perawatan tubuh. Ia juga jarang olahtubuh, kecuali saat jam olahraga saja di sekolah. Itu pun hanya seminggu sekali dan seringkali tak optimal. Namun segala perkataan Ardan itu, tak ada satupun yang Arshan bantah. Ia mempercayakan semuanya ke Ardan.
Gue capek jadi orang jelek. Karena gue jelek makanya Anggo seenak jidatnya menghina gue. Gue harus bertransformasi jadi kupu-kupu jantan yang menawan, tekad Arshan dalam hati.
Tidak mudah memang. Setidaknya butuh satu tahun bagi Arshan agar bisa bermetaformosa menjadi seekor kupu-kupu. Kesulitan terbesar adalah membentuk badan yang ideal. Tapi untungnya semua usahanya tak sia-sia. Lulus SMA ia sudah masuk daftar cowok manis paling digilai di sekolah.
Tamat SMA, Arshan kembali ke kota asalnya. Ia berencana kuliah di sana, meskipun orangtuanya menginginkannya tetap melanjutkan study di tempatnya sekarang. Tapi Arshan bersikukuh ingin pulang. Sehingga orangtuanya tak bisa menolak. Tapi alih-alih menempati kamar yang sudah setahun ia tinggalkan, Arshan lebih memilih untuk hidup sendiri. Sudah terbiasa mandiri di kota orang, membuat ia tak nyaman hidup dilayani orang tua. Ia pun tinggal di kost-an yang dekat dengan usaha supermarket yang dikelola oleh ayahnya.
Sesampai di kota kelahirannya itu, Arshan langsung mendaftarkan diri ke salah satu universitas paling bergensi di kotanya. Setelah itu jalan-jalan mengelilingi kota, mengingat semua kenangan lama baik suka maupun duka. Ia tak menyesali sama sekali apa yang telah terjadi. Baginya itu hanya satu memori yang tak akan pernah ia lupakan. Tidak hanya bernostalgia, Arshan juga kembali mencari kontak teman-temannya semasa SMA satu persatu. Ia mencari akun mereka di jejaring sosial. Ada beberapa yang ia temui, termasuk Anggo. Entah kenapa, meskipun ia sudah memaafkan perbuatan cowok itu, rasa sakit yang tersimpan masih ada.
IX
Rizky terdiam mendapatkan pertanyaan semacam itu dari Arshan.
Ya, kenapa ia tiba-tiba mencium temannya itu? Kenapa dengan gue? Sudah gilakah gue? Rentetan pertanyaan bertubi-tubi menyerang hati Rizky.
“Gue takut kehadiran gue di hidup elu memberikan pengaruh buruk buat elu. Gue nggak mau elu jadi kayak gue,” terang Arshan.
Rizky bergeming.
Arshan menoleh ke Rizky. Ia menatap cowok itu lekat. Ia lantas beringsut mendekati Rizky. Ia meraih tangan Rizky dan menggenggamnya, lalu ia merebahkan kepalanya di pundak Rizky beberapa detik dan mengusapkan keningnya di sana.
“Gue sayang banget sama elu, Ky. Gue nggak mau elu berubah jadi kayak gue, sungguh. Kalo kedekatan kita bikin elu jadi gini, mendingan kita nggak usah terlalu akrab…”
Arshan mengangkat kepalanya dari pundak Rizky setelah mengucapkan kata-kata barusan. Ia menatap mata cowok itu dan tersenyum sendu. Setelah itu ia melepaskan genggaman tangannya.
Rizky mengangkat wajahnya. Ia merasa kehilangan kehangatan dari genggaman tangan Arshan barusan.
“Gue sayang sama elu melebihi dari apa yang elu pikirkan,” ucap Arshan sambil tersenyum dan bersiap-siap hendak pergi. Rizky diam saja melihat Arshan melangkah pergi. Arshan tersenyum dan terus berjalan keluar ruangan.
Sejak kejadian itu, Arshan tak pernah menemui Rizky lagi. Ia juga tak pernah berniat mencoba menelepon cowok itu. Ia hanya mempercayai kata hatinya saja, jika Rizky membutuhkannya, maka cowok itulah yang nanti akan menemui atau menghubunginya duluan.
Benar saja. Setelah satu minggu berlalu, ada satu misscall dari Rizky. Saat itu Arshan tengah mandi. Ia tersenyum girang. Akhirnya Rizky kembali mencoba menghubunginya. Tapi Rizky menahan perasaannya. Ia mengacuhkan saja misscall itu.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali ada orang yang mengetuk pintu kost-annya. Arshan dengan malas turun dari tempat tidur dan melihat siapa yang datang dari tirai jendela. Ternyata tang bertamu adalah Rizky.
“Ky… Elu?”
“Elu jahat banget sih? Kenapa semua panggilan gue nggak elu angkat? Elu marah sama gue?!” cecar Rizky.
Arshan mengerutkan keningnya. Ia buru-buru ke kamar dan memeriksa hape-nya. Benar saja ada 12 panggilan tak terjawab sejak semalam.
“Sorry, Ky. Gue nggak tahu. Pas elu telepon gue, gue udah tidur…”
“Elu tega banget sama gue, eh? Elu nggak pernah nemuin gue! Elu juga gak ngasih kabar ke gue!”
“Lho, bukannya sama ya? Elu juga gitu…” balas Arshan santai sambil meneguk segelas air putih.
“Gue kangen banget sama elu, Shan! Sumpah, kangen banget!”
“Oh ya?”
“Gue nggak mau kehilangan elu. Gue juga sayang banget sama elu. Kehilangan elu seminggu ini bikin hati gue makin terombang-ambing. Gue nggak mau kita renggang kayak gini. Gue pengen terus dekat sama elu…”
“Uhmm…” balas Arshan sambil mulai push up di samping tempat tidur.
“Gue suka sama elu, Shan…” ucap Rizky sambil jongkok di samping Arshan.
“Hah?” komentar Arshan tanpa menghentikan gerakan push up-nya.
“Gue serius!” ucap Rizky sungguh-sungguh.
Arshan diam sejenak lalu tersenyum. Ia lantas balik badan dan terlentang di samping Rizky.
“Gue nggak main-main.”
“Becanda elu ah!” kata Arshan sambil (kali ini) melakukan gerakan sit up.
“Sumpah, Shan! Gue seriuusss…” Rizky menghentikan gerakan Arshan dengan cara menduduki perut cowok itu.
Mereka berdua berpandangan.
“Elu serius?”
Rizky mengangguk. Ia bahkan membungkuk dan mengecup bibir Arshan. “Gue jatuh cinta sama elu.”
“Kenapa elu bisa bilang jatuh cinta sama gue?”
“Karena elu ngasih apa yang gue butuh. Elu yang paling ngertiin gue. Gue nyaman sama elu. Kita punya banyak kesamaan dan gue rasa itu pertanda kalau kita memang ditakdirkan buat bersama kan?”
Arshan terkekeh.
X
1 Juni.
Genap enam bulan setelah mereka jadian. Melewati masa pacaran yang penuh bunga. Tak pernah ada pertengkaran menghiasi hubungan mereka. Selalu bertabur kasih sayang dan kemesraan. Selalu akur dan senantiasa menjadi pasangan yang serasi. Saling menguatkan dan saling membimbing. Rizky benar-benar merasakan cinta yang sesungguhnya bersama Arshan. Ia meninggalkan jauh-jauh atribut ke-playboy-annya dan berkomiten hanya untuk satu hati, yakni Arshan. Ia mencinta Arshan dan tak akan meninggalkan pacarnya itu, kecuali jika Arshan sendiri yang meminta.
1 Juni.
Dan kini Arshan meminta mengakhiri kisah asmara mereka tanpa sebab. Saat ia tengah menikmati masa manisnya pacaran. Saat ia mulai mengakui bahwa cinta itu universal. Cinta itu tak memandang jenis kelamin.
Tapi apa alasannya?
Rizky tak mengerti. Apa yang telah mngubah hati Arshan sehingga bisa meminta mengakhiri hubungan mereka dan mengusirnya malam ini.
Tiba-tiba hape-nya berbunyi. Satu buah pesan WhatsApp masuk dari Arshan.
Myboo :image
Myboo : elu ingat sm foto ini?
Rizky : itu foto2 teman sma aku. Emang knp?
Myboo : bkn tanpa alasan gue send foto itu ke elu. Siapa cwo yg wajahnya dilingkari garis merah? Elu msh ingat? Bkn suatu kebetulan kalo gue suka makanan, musik, superhero dan ngerti banget sm kepribadian elu. Gue emang sdh tahu dari dulu semua ttg elu. Gue orang dari masa lalu yang mungkin nggak sudi elu simpan dlm ingatan elu. Tp gue ttp selalu ingat sm elu. Seperti yg gue pernah bilang, KARMA pasti berlaku. Tuhan bekerja dalam cara yang nggak kita bayangin sama sekali. Apa yang gue lakukan ke elu saat ini, belum sebanding dari rasa sakit dan malu yang gue terima waktu itu. Gue bisa nyebarin foto-foto mesra kita kalo gue mau, tapi gue nggak mau ngebongkar aib orang lain, karena gue msh punya hati nurani. SEKALI LAGI, KENALIN GUE ARSHAN. NAMA LENGKAP GUE ARSHAN YUDHA. ELU RIZKY ANGGO SAPUTRO KAN???!!!
Myboo : image
Rizky menelan ludah. Ia membuka foto yang tadi dikirim Arshan. Ia meng-zoom foto semasa SMA yang dikirim Arshan. Nampak garis merah membingkai wajah cowok culun, berambut jadul dan berkaca mata dalam foto usang itu. Cowok itu Yudha. Cowok gay yang pernah bermimpi jadi pacarnya dan ia bongkar aib-nya ke seantero sekolah sampai-sampai cowok itu harus kabur keluar kota.
Apa mungkin Si Dork dalam foto ini adalah Si Rupawan yang selama ini menjadi kekasihnya?
Rizky membuka kiriman foto yang kedua. Sebuah foto yang menunjukkan kemesraan mereka. Saat ia mencium bibir Arshan yang sekarang sudah disamarkan wajahnya.
Bagaimana mungkin mereka adalah orang yang sama?
Rizky tersenyum kecut. Sebentar saja air matanya bergulir jatuh. Memori semasa SMA dan kisah bahagia yang ia lalui beberapa bulan belakangan ini bersama Arshan berputar di benaknya silih berganti.
Rizky mengusap air matanya. [i]Apa yang elu tabur, itulah yang akan elu tuai…[/i] ucapan Arshan tersebut kembali melintas di pikirannya. Dan kalimat itu sudah membuktikan semuanya…,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,