Ketagihan Batang Gede
Ketagihan Batang Gede
“Argh…!”
“Say, mana kontolnya…!”
Siang itu seperti biasa aku dilanda horny yang menyiksa, dan seperti biasa juga aku menggoda suamiku walaupun aku tau pasti dia sedang bekerja.
Entah kenapa akhir-akhir ini libidoku meluap-luap tak terkendali, hingga hampir tiap hari aku masturbasi hanya untuk mencari kepuasan sendiri.
Sebelum cerita berlanjut, aku ingin sedikit memperkenalkan tentang diriku.
Namaku Neneng usia baru genap dua puluh empat tahun, sudah menikah dan dikaruniai seorang anak laki-laki yang berumur tujuh tahun. Kata orang sih aku cantik, malah banyak yang bilang wajahku mirip Nikita Willy tapi body Nikita Mirzani. Hehehe.
Suamiku bernama Bayu, umurnya enam tahun lebih tua dariku. Dia seorang laki-laki tampan, penuh tanggung jawab dan sangat sayang padaku. Hanya saja karena pekerjaannya kami selalu terpisah jarak, dan hanya seminggu sekali saja bertemu.
Aku tinggal di sebuah Desa tempat kelahiranku. Desa yang masih asri, sejuk dengan pemandangan alam yang indah. Namun Desaku berada ditempat yang lumayan terpencil, hingga tak terjangkau oleh transportasi umum. Maka tukang ojek jadi andalanku jika ingin pergi ke pasar atau sekedar ke jalan raya yang sudah terjangkau transportasi umum.
Mungkin segitu saja ya perkenalan tentang diriku, karena nanti kalian akan lebih tau dengan sendirinya.
“Wakilin dulu say…”
Ku terima balasan singkat dari suamiku, mungkin dia sedang sibuk karena biasanya dia bisa menemaniku chat sex jika tidak sedang sibuk.
“Bosen say pake jari mulu…”
Ku kirim lagi balasan padanya, sambil mengelus-elus permukaan memekku yang sudah basah.
Lama tak ku terima balasan, sepertinya dia benar-benar sibuk.
Akhirnya aku searching di internet, mencari poto atau video yang bisa melonjakkan birahiku.
Jam segitu memang aku bebas sendirian dirumah, karena anakku sedang sekolah madrasah dan baru pulang sekitar jam empat sore.
Setelah mencari-cari, akhirnya aku menemukan sebuah vidio yang seketika melecutkan birahiku. Yaitu vidio seorang laki-laki yang sedang menjilati memek, berhubung aku suka sekali di jilmek maka spontan saja memekku terasa berdenyut-denyut.
“Say… pulang sini…!”
“Memeknya gatel pengen dijilat”
Ku kirim dua pesan singkat pada suamiku, berharap dia langsung pulang dan menjilati memekku penuh nafsu.
Sambil menunggu balasan, aku menanggalkan satu persatu pakaianku hingga akhirnya telajang bulat. Lalu aku memainkan klistoriku yang sudah tegang dengan jari jemariku, sambil terus menyaksikan adagen dalam video yang ku ulang-ulang.
Rasanya sunggah nikmat, walaupun tak senikmat jilatan lidah hangat suamiku.
Saat sedang memainkan klistoris dan sesekali menusuk-nusukan jariku, terdengar bunyi ringtons dan getaran hpku.
Mungkin ada balasan dari suamiku.
“Neng isiin pulsa yang sepuluh ribu..”
Argh! Sial.. ternyata bukan dari kang Bayu tapi dari pak Udin, dia tukang ojek yang selalu berlangganan pulsa dariku.
Untuk menambah penghasilan aku iseng-iseng jualan pulsa, kebetulan dikampung belum banyak yang jualan pulsa, dan ternyata hasilnya lumayan.
“Duh, sory say tadi lagi repot..”
“Mana memeknya…!”
Akhirnya sampai balasan chat dari kang Bayu, saat aku berniat mengisi pulsa Pak Udin.
“Ih.. ditungguin juga..!”
Tentu saja aku mendahulukan membalas chat dari kang Bayu.
Lalu aku mengarahkan kamera hp pada selangkanganku yang sedang terbuka mengangkang, lalu hasil tangkapan kameraku itu langsung ku kirim.
Entah kenapa setiap kali melakukan itu, adrenalinku selalu terpacu lebih cepat hingga akhirnya aku melupakan pak Udin yang minta pulsa malah melanjutkan aktifitas nikmat yang sempat tertunda.
“Argh..! “
Begitu nikmat rasanya saat jemariku menggesek klistoris sekaligus menusuk-nusuk memekku yang basah kuyup, walaupun tentu saja lebih nikmat jilatan lidah dan genjotan kontol kang bayu.
Ditengah kenikmatan yang melanda tubuhku, kembali terdengar suara pesan masuk diikuti getaran hpku.
Langsung ku ambil hp untuk melihat pesan, pastinya dari kang Bayu yang horny setelah ku kirimkan selangkanganku tadi.
Namun seketika tubuhku terasa lemas, saat melihat isi pesan dari layar hpku yang ternyata datang dari pak Udin.
“Wah, minta pulsa malah dikasih memek. Hehehehe”
Astaga… ternyata aku salah kirim, poto selangkangan ku tadi bukannya dikirim ke kang Bayu malah nyasar ke pak Udin.
Tanganku gemetar hebat, jangtungku berdertak cepat. Aku panik bingung harus berbuat apa.
Aku yang terbiasa melindungi tubuhku dengan pakaian tertutup dan longgar, agar terhindar dari pandangan nakal para lelaki hidung belang. Malah mempertontonkan bagian paling rahasia dari tubuhku pada lelaki asing yang jelas tak ada hak untuk melihatnya.
“Tring.!”Walaupun nafsuku ku selalu menggebu-gebu, tapi hanya suamiku yang mengetahui hal itu, Karena aku terbiasa menjaga diriku saat berada diluar rumah. Namun sekarang ada laki-laki lain yang tau sisi lain dalam diriku, dan bisa saja dia menyebarkan hal itu hingga semua orang tau.
Membayangkan kemungkinan itu membuat sekujur tubuhku menggigil hebat.
Birahiku yang sempat melonjak hilang seketika, berganti rasa takut dan cemas.
Terdengar suara pesan baru masuk, aku panik takut pesan itu datang dari pak Udin dan dia mengancamku menginginkan lebih, atau sekedar menghinakanku.
“Tring…!”
Kembali aku mendengar suara tanda ada pesan baru masuk, namun aku hanya menatap layar hp tanpa berani menyentuhnya.
Sumpah aku enggan membuka pesan itu, tak siap menerima kenyataan yang mungkin terjadi. Namun tak berselang lama muncul panggilan telpon dari kang Bayu, dan aku baru sadar cukup lama tak membalas pesannya gara-gara salah kirim tadi.
“Say, ko chatnya ga dibales..?”
Terdengar suara kang Bayu diujung telpon.
“Duhhh tadi tiba-tiba mules nih…”
Jawabku terpaksa berbohong karena tak mau membuatnya khawatir.
“Ow… kirain lagi enak-enak..”
Seru kang Bayu, yang tak sedikitpun curiga dengan kepanikanku.
“Mau enak-enak gimana kan kamunya ga ada say.!”
Balasku merajuk.
“Yaudah aku kerja lagi ya, lagi repot mmmmuach..!”
“Iya… hati-hati ya…!”
Lalu sambungan telponpun terputus.
Setelah obrolan singkat dengan kang Bayu, aku seperti punya keberanian untuk membuka pesan yang datang dari pak Udin.
“Tenang neng sama Bapak rahasia dijamin aman ko, oiya jangan lupa kirimin pulsanya ya..”
Aku cukup lega saat membaca isi pesan singkat dari pak Udin, sumpah aku tak menyangka jika reaksi pak Udin akan seperti itu.
Mungkin karena usianya yang sudah menginjak lima puluh tahun, dia sudah tak aneh lagi dengan memek, atau bisa saja nafsunya sudah menurun seiring usia yang semakin menua.
“Maaf ya pak, saya salah kirim tadinya mau ngirim buat kang Bayu. Pulsanya udah saya isi ya pak.”
Ku beranikan diri mengirim pesan pada pak Udin, lalu setelah itu aku harap-harap cemas menanti jawaban darinya.
“Makanya Neng jangan jauh-jauh biar gampang kalo pengen.. hehehe”
“Pulsanya bayarnya entar ya kaya biasa”
Tak lama berselang ku terima dua balasan dari pak Udin. Lagi-lagi aku merasa lega karena ternyata pak udin tak macam-macam.
“Fotonya tolong dihapus ya Pak,..!”
Ku kirim lagi pesan singkat padanya, namun tak kunjung ada balasan.
Jujur hal itu membuatku gelisah seharian.
****
Dua hari setelah kejadian itu, tak ada yang aneh semua berjalan biasa saja. Pak Udin yang ku khawatirkan akan berbuat jahat padaku, ternyata biasa saja bahkan saat berpapasan denganku dia hanya tersenyum seperti biasa dan semua itu tampak normal.
Sepertinya aku cukup beruntung karena poto itu nyasar sama pak Udin, jika sama orang lain bisa jadi aku akan kena masalah.
Sampai suatu sore, secara tak sengaja aku dipertemukan dengan pak Udin ditempat yang tak lazim bagi lelaki dan perempuan bertemu yaitu sebuah pemandian umum.
Sudah hampir empat bulan kampungku dilanda kemarau panjang, imbasnya sumur banyak yang kering termasuk sumur yang ada dirumah ku. Maka untuk mencuci dan memenuhi kebutuhan air bersih, warga kampung menggunakan pemandian umum yang terletak ditempat yang cukup susah dijangkau karena harus melalui pematang sawah dan jalanan yang menurun.
“Neng, masih lama ga?”
Aku dikejutkan oleh seseorang yang menyapaku dari luar pemandian, saat itu aku memang sedang fokus mencuci sambil melamun hingga tak terlalu memperhatikan sekeliling.
Sebenarnya pemandian itu hanya ditutupi oleh anyaman daun kelapa setinggi pinggang orang dewasa, jadi dari posisi mencuci aku bisa melihat orang yang berada di luar pemandian.
“Eh, pak Udin lumaya nih pak cuciannya masih banyak.”
Jawabku dengan hanya menolehnya sepintas saja, jujur masih ada rasa malu dalam diriku jika bertemu dengan pak Udin.
“Saya ikut mandi ya, buru-buru soalnya!”
Tanpa meminta persetujuan dariku, tiba-tiba pak Udin masuk ke pemandian umum yang memang tak berpintu.
Lalu tanpa permisi juga dia melucuti pakaiannya satu-persatu.
“Argh..!”
Spontan aku menjerit histeris, saat melihat aksi tak senonoh yang diperagakan oleh pak Udin.
“Si Eneng kaya ga pernah liat beginian!”
Seru pak Udin, sambil mengurut benda hitam yang menggelantung di selangkangnnya.
Sumpah awalnya aku jengah, namun entah kenapa aku merasakan sesuatu yang perlahan menggelitik birahi.
Jujur aku dibuat kagum oleh badan atletis pak Udin. Padahal umurnya tak lagi muda, sudah lebih dari lima puluh tahun bahkan mungkin seumuran dengan ayahku. Namun badannya masih terlihat kekar dan berotot, beda sekali dengan suamiku yang mulai tambun.pgotomemek.com
Selain itu ada sesuatu yang menarik perhatianku, yaitu sebuah benda tumpul yang bergelantung diselangkangannya.
“Hayo, ngelamunin apa?”Sumpah itu moment pertama kalinya dalam hidupku, melihat kejantanan pria dewasa selain suamiku secara langsung didepan mataku.
Bulu romaku dibuat berdiri karenanya, apalagi ukurannya yang terlihat besar padahal masih lemas. Aku membayangkan bagaimana jika benda itu berdiri tegak.
Ledek pak Udin, yang menangkap basah aku yang sedang bengong sambil melihat selangkangannya.
“Ihhh jorok sih pak!”
Kata ku, dan pura-pura buang muka.
“Biar adil, kan saya juga udah liat punya si Eneng!”
DEG….!
Jantungku rasanya kena hantaman palu, seketika saja ingatanku kembali pada kejadian memalukan waktu itu.
“Hmmm kirain udah lupa!”
Aku tertunduk malu, sambil menghela nafas panjang. Mencoba mengendalikan gemuruh di dada yang semakin membesar.
“Gak mungkin lupa atuh Neng..”
“Memek Eneng mulus gitu…!”
Ya tuhan, seketika badanku panas dingin mendengar ucapan pak Udin yang jelas sedang melecehkan ku.
“Tolong Pak jangan bahas itu lagi!”
Aku mencoba memelas pada laki-laki paruh baya yang sedang dalam kondisi telanjang bulat dihadapanku.
“Tenang aja sih Neng, yang penting rahasia terjamin!”
Walaupun terdengar santai, namun perkataan dari pak Udin, terasa seperti sebuah ancaman bagiku.
Seketika aku terdiam, seperti anak ayam yang di cengkram musang.
Tiba-tiba hening menyergap. Aku kembali meneruskan menggilas cucian dengan perasaan berkecamuk tak karuan, sementara pak Udin memulai ritual mandinya diawali dengan menggosok gigi.
Sungguh sebuah situasi yang janggal, dimana aku berada disebuah tempat sempit bersama dengan seorang lelaki yang bukan muhrimku. Parahnya lelaki itu dalam kondisi telanjang bulat.
Aku bingung untuk menentukan sikap, apakah aku harus diam saja atau pergi dari situ. Jika diam saja aku takut pak Udin berbuat nekat padaku, apalagi tempat itu sangat sepi. Sementara jika aku pergi pakaian kotorku masih banyak yang belum di cuci.
“Neng sabunin dong!”
Seru pak Udin, pelan namun terdengar jelas ditelingaku karena memang saat itu dia berada disampingku hanya berjarak satu jengkalan tangan.
“Ihhh.. Pak!”
Aku begidik ngeri, karena saat itu pak Udin menghadapkan selangkangannya padaku. Jelas terlihat sesuatu yang besar dan keras berdiri tegak dihadapanku.
“Sabunin Neng!”
Pak Udin mengulangi kalimatnya, sambil mengelus benda besar itu.
“Pak.. jangan gini saya mohon..!”
Aku berusaha mengiba kembali padanya, berharap dia mengurungkan niatnya. Jujur aku memang takjub dengan kejantanan pak Udin, namun sebagai seorang wanita yang terbiasa menjaga diri tentu saja tak mudah bagiku menuruti naluriku sendiri.
“Ayo Neng, sebentar aja!”
Sepertinya pak Udin tak berniat sedikitpun mengurungkan niatnya, namun dia tak melakukan kekerasan sedikitpun padaku, pemaksaan yang dia lakukan hanya secara verbal. Padahal jikapun dia memaksaku dengan kekerasan sudah pasti sebagai wanita aku tak mungkin bisa melawannya.
“Saya engga bisa Pak..!”
Aku mulai menangis, dan tetap bertahan dengan pendirianku.
“Lo mau yang kemarin Gue sebarin?”
Seketika tubuhku mendadak lemas, mendengar ancaman dari pak Udin.
Ancaman pak Udin diikuti oleh nada suara yang naik dua oktaf, serta raut wajahnya yang sangar. Wajar saja jika sekujur tubuhku mendadak lemas.
Rasanya tak mungkin bagiku menolak keinginannya, karena dia mempunyai senjata yang kapanpun bisa digunakan untuk mengancamku.
“Ayo Neng, entar keburu ada orang!”
Pak Udin kembali memaksaku, dengan nada suara yang semakin meninggi.
Aku yang memang bingung dan ketakutan, akhirnya tak punya pilihan selain menuruti keinginan pria paruh baya itu.
Dadaku bergemuruh hebat, dan kedua tanganku gemetar saat mencoba meraih sebuah benda yang berdiri tegak menantang dihadapanku.
“Nah gitu dong!”
Saru pak Udin, saat tangan kananku menggenggam batang kejantanannya yang berurat dan besar.
Badanku merinding saat mersakan tekstur kontol pak Udin yang terasa hangat, jika punya suamiku terasa mulus. Maka punya pak udin ini begitu berbeda terasa bergerinjal karena urat-uratnya yang menonjol, jujur saja selangkanganku perlahan mulai terasa basah.
Yah, tak bisa ku pungkiri aku horny. Birahiku melecut cepat, wajar saja itu pertama kalinya bagiku bisa menggenggam batang kejantanan lelaki lain, apalagi terasa begitu berbeda.
Aku mulai mengelus-elus benda pusaka milik pak Udin, dan melumurinya dengan sabun sesuai instruksi dari pak Udin.
Tentu saja aku sangat paham, menyabuni yang pak Udin maksud seperti apa. Maka aku sebisa mungkin melakukannya dengan baik, supaya dia cepat klimaks dan semuanya selesai.
“Gadean mana sama kontol si Bayu?”
Deg…..
Lagi-lagi aku merasakan seperti sesuatu menghantam jantungku, mendengar sebuah kalimat yang membuatku jengah sekaligus melecutkan birahi.
“Jawab…!”
Desak pak Udin, karena saat itu aku hanya terdiam walaupun tanganku tak berhenti mengelus bahkan mengurut batang kontolnya yang terasa semakin keras.
“Pu…punya Bapak!”
Aku menjawabnya dengan terbata, dan sepertinya pak Udin puas mendengar jawaban dariku.
Sungguh tak pernah terbayangkan sekalipun dalam hidupku, bahwa aku seorang wanita yang terbiasa menjaga diri saat itu sedang memberikan service kepada lelaki lain. Parahnya hal itu ku lakukan di tempat umum bahkan tempat terbuka, walaupun memang terpencil karena berada dilokasi perkebunan tapi tetap saja kapanpun bisa saja ada orang yang datang.
“Neng boleh liat memeknya lagi?”Anehnya selain merasa jengah dan bersalah, akupun merasakan sebuah sensasi nikmat yang begitu hebat, jika saja aku tak terbiasa menjaga diri mungkin aku sudah hilaf dan memberikan service lain, selain mengocok kontol pria paruh baya itu.
Entah itu benar-benar sebuah pertanyaan, atau perintah darinya.
Tentu saja aku menjawabnya dengan gelengan kepala tanda penolakan, namun tanganku tak berhenti mengocok kontolnya beharap semua itu cepat selesai.
“Ayo Neng biar Bapak cepet keluar!”
Kali ini pak Udin merengek seperti bocah minta jajan.
Memang pak Udin belum menunjukkan tanda-tanda akan ejakulasi, padahal sudah hampir lima menit kedua tanganku bergantian mengocok kontolnya. Sementara memekku terasa semakin basah, jika semua ini tak cepat selesai bisa-bisa aku yang tak tahan.
Maka sekali lagi aku menuruti keinginan pak Udin.
Aku merubah posisiku hingga membuat kami menjadi berhadapan, lalu merenggangkan kedua kakiku lebar-lebar dan melipat rok panjangku sampai pinggang.
Ada rasa malu saat aku melakukan hal itu, namun debaran jantung dan pacuan adrenalin mengalahkannya.
Sepertinya apa yang ku lakukan sukses membuat pak Udin blingsatan, karena dihadapannya terpampang paha mulus serta selangkangan ku walau masih tertutup celana dalam.
Tanpa basa-basi pak Udin langsung menggerayangi paha mulusku, bahkan tak ragu dia menyentuh selangkanganku.
Badanku bergetar saat jemari pak Udin mengelus-elus permukaan memekku yang masih tertutup celana dalam.
“Argh… Neng stop!”
Seru pak Udin sambil berusaha meraih tanganku, tentu saja aku tak menghentikan aksiku karena aku tahu pasti gejala seperti itu pertanda pria paruh baya itu akan mencapai puncaknya.
Benar saja, beberapa detik kemudian pak Udin menggeram diikuti sebuah cairan putih kental muncrat dari kontolnya seperti gunung yang meletus.
Tak ku kira, pria paruh baya itu masih mampu menyemprotkan lahar panas dengan begitu hebat.
Aku menarik nafas panjang berusaha mengendalikan debaran jantung, dan nafsuku yang menggebu. Jujur saja momen saat pak Udin menyemprotkan spermanya benar-benar membuat birahiku memuncak maksimal, apalagi sperma pak Udin berceceran menyemprot tangan, paha, bahkan ada sebagian yang mengenai wajahku.
“Argh…! Makasi ya neng!”
Seru pak Udin yang Nampak terpuaskan.
Sementara aku masih menggantung dengan birahi yang sudah sampai ubun-ubun.
Ingin rasanya aku meminta pak Udin untuk menjamahku lagi, bahkan aku ingin memintanya melesakan kontol jumbonya kedalam memekku yang terasa basah kuyup. Namun lagi-lagi ada sesuatu yang menahanku, sesuatu yang selama ini ku jaga dengan baik.
Setelah terpuaskan pak Udin seakan tak memperdulikanku, dia langsung saja meneruskan mandinya, dan setelah selesai dia pergi begitu saja tanpa berbasa-basi sepatah katapun.
Sumpah aku dibuat geram dan kesal olah sikapnya, padahal jika dia memaksaku lagi mungkin aku tak akan melawan bahkan bisa jadi aku memberikan perlawanan maksimal.
Aku mencoba menggilas lagi pakaian kotor yang masih menumpuk, namun aku merasa tak nyaman karena ada sesuatu yang mengganjal dan harus segera dikeluarkan.
Aku mengamati kondisi sekitar yang tampak sepi, bahkan pak Udin sudah benar-benar pergi dan batang hidungnya tak ku lihat lagi. Lalu dengan debaran jantung yang begitu kencang, aku berniat melakukan sesuatu yang gila dan menantang.
Yah… aku berniat masturbasi ditempat itu, sebuah pemandian umum yang berada ditempat terbuka. Sial membayangkannya saja sudah membuatku merinding hebat.
Dengan satu gerakan cepat aku meloloskan celana dalam yang kupakai, aku memang tak berniat telanjang untuk berjaga-jaga jika tiba-tiba ada orang yang datang.
Saat itu aku memakai pakaian yang biasa ku pakai, yaitu sebuah rok panjang dipadu dengan kaos tangan panjang yang longgar, lengkap dengan kerudung yang selalu menutupi rambutku.
Kemudian aku membuat diriku senyaman mungkin dengan duduk di batu penggilasan, merenggangkan kedua kakiku, menelusupkan jari-jemariku kedalam rok, dan memulai aksiku.
Ah… gila sensai nikmat yang begitu hebat.
Rasa takut ketahuan, bercampur dengan kenikmatan yang menerpa tubuh saat aku memainkan klistoris dan sesekali mengocok memekku dengan jari tengah.
Sungguh tak bisa ku gambarkan rasa nikmat yang kurasakan saat itu, nyaris saja aku memejamkan mata namun tentu saja hal itu tak bisa ku lakukan karena aku harus tetap memantau keadaan sekitar.
“Argh…!”
Tak perlu waktu lama, akhirnya aku mencapai orgasme yang hebat, bahkan lebih nikmat dari yang pernah kurasakan saat bercinta dengan kang Bayu.
Setelah hasrat berhasil dituntaskan, aku buru-buru melanjutkan mencuci pakaian. Birahiku memang berhasil diredam, namun bayangan kontol pak Udin tetap tergambar jelas dalam ingatan.
Semenjak kejadian erotis bersama pak Udin di pemandian, aku tak bisa sedikitpun melupakan batang kontol pak Udin. Bahkan aku selalu berharap momen waktu itu bisa kembali terulang, namun sayangnya tak pernah sekalipun aku bertemu dengan pak Udin lagi dipemandian.
Ah, gila sepertinya aku sudah menjadi pribadi yang berbeda hanya kerena batang kontol lelaki tua, parahnya saat aku bercinta dengan kang Bayupun dalam pikiranku malah terbayang kontol besar milik pak Udin.
Sampai akhrinya suatu hari aku dipertemukan lagi dengan pak Udin.
***
Hari itu aku pulang dari pasar, biasalah membeli kebutuhan dapur selama sebulan. Anak ku gak ikut karena asyk bermain dengan teman-temannya, lagian aku memang selalu melarangnya ikut jika aku hendak ke pasar, karena kehadirannya justu malah membuatku kerepotan.
Berhubung perkampungan tempat tinggalku belum tersentuh oleh mobil angkot, maka seperti biasa seturunnya dari angkot aku menggunakan jasa tukang ojek supaya bisa sampai cepat didepan rumah.
Sebenarnya jalan kakipun bisa, hanya saja harus ditempuh dengan waktu yang cukup lama mungkin jika ibu-ibu sepertiku membutuhkan waktu satu jam perjalanan, apalagi aku juga harus membawa barang belanjaan.
Tukang ojek yang mangkal saat itu hanya tingal pak Udin. Yah.. sepertinya memang sudah saatnya aku bertemu lagi dengannya, jujur ada rasa canggung dan malu saat bertatap muka dengannya.
“Pulang dari pasar Neng!”
Sapa pak Udin ramah, dia terlihat biasa saja seolah tak pernah terjadi sesuatu diantara aku dan dia.
“Iiiya pak, sepi yah pangkalannya?”
Jawabku sambil berbasa-basi sekedar meredam segala gejolak di dada.
“Iya nih, yang lain lagi pada narik!”
Balasnya sambil memacu motornya mendekatiku, seolah yakin aku akan menggunakan jasanya.
Memang tak ada pilihan lain bagiku.
Barang belanjaanku disimpan dibagian depan motor matik pak Udin, sementara aku duduk manis dibelakangnya.
Sepanjang perjalanan tak terjadi percakapan, hingga aku merasaka canggung dan kaku, karena pak Udin tak sekalipun menyapaku.
Namun aku terpaksa memulai percapakan saat pak Udin mengambil jalan yang tidak seharusnya.
“Loh ko kesini pak?”
Tanyaku, saat pak Udin membelokan motor menuju area perkebunan.
“Saya mau dibawa kemana?”
Tanya ku lagi, karena pak Udin masih diam saja tak menjawab pertanyaanku.
Sampai akhinya pertanyaanku terjawab sendiri saat motor yang dikendarai pak Udin berhenti disebuh gubuk kecil yang berada dia area perkebunan sawit yang cukup sepi.
“Masuk dulu yuk Neng!” Seru pak Udin seraya menarik tangaku.
“Ngapain pak?” Aku masih duduk diatas motornya, dan berusaha tak menuruti keinginannya yang sudah bisa ku tebak.
“Tolongin saya lagi Neng!” Aku diam seribu bahasa, karena terjadi pergolakan batin dalam diriku.
“Ayo Neng cepet, bentar aja!”
Desak pak Udin yang kembali menarik tangaku.
“Saya ga bisa Pak!” Jawabku, tetap berusaha menolak untuk mempertahankan harag diriku.
“Ayo Neng, bentar aja!”filmbokepjepang.com ak membentak atau mengancam malah dia seperti merayuku.
Entah kenapa, kerena hal itu aku malah menurut saja, turun dari motor dan mengikutinya masuk kedalam gubuk sempit dan kotor.
Sepetinya gubuk itu dulunya dipakai oleh para petani sawit sebagai tempat istirahat, hanya saja sudah tak terawat mungkin tak digunakan lagi.
“Ayo Neng, kaya kemarin!”Didalam gubuk, pak Udin langsung saja memelorotkan celananya hingga batang kontolnya yang sudah tegang kembali terpampang dihadapanku.
Seru pak Udin, sambil mengarahkan tanganku pada selangkangannya.
Aku yang memang beberapa hari terakhir selalu membayangkan kontol jumbo milik pak Udin, tentu tak mungkin menolak, maka dengan suka rela aku memberikan apa yang pak Udin mau, yaitu mengelus dan mengurut batang kontolnya.
Diiringi debaran di dada, tanganku perlahan tapi pasti mengelus-elus bahkan mengurut batang kontol perkasa itu.
“Argh…!”
Aku sempat berontak saat pak Udin meremas area dadaku, jujur aku kaget dengan serangan yang tiba-tiba itu.
“SSttt… jangan berisik nanti ketauan!”
Argh…! Gila… lagi-lagi sensai seperti itu membuat birahiku terpompa begitu cepat.
Maka aku diam saja saat pak Udin meremas sepasang gundukan kembar didadaku, bahkan aku diam saja saat pak Udin menggulung kaos longgarku keatas, dan membuka pengait BHku.
“Ough…!” aku tak kuasa mendesah saat laki-laki paruh baya itu mengulum dan mengemut putting ku yang telah mengeras.
“Kocok terus Neng!”
Pinta pak Udin, mungkin karena dia merasakan kocokanku melemah saat dia mengulum kedua toketku dengan ganas.
“Neng sepong kontol bapak mau ya!”
“Ih.. ga muat pak!”
“Cobain dulu ya…!”
Seperti kerbau yang dicocok hidungnya aku mau saja berusaha mengulum kontol pria paruh baya itu.
Aroma khas yang begitu menyengat tercium saat wajahku berada tepat dihadapan benda besar yang tengah berdiri tegak, namun bau itu tak membuat ku mual malah semakin melonjakkan birahiku.
Aku tak langsung mengulum kontol besar pak Udin, karena tak yakin benda itu akan muat dimulutku. Maka aku menggunakan lidahku dulu, untuk menjilati batang besar itu seperti menjilati eskrim magnum kesukaanku, dan sesekali mengecup-ngecup kepala kontolnya yang seperti jamur merekah dengan bibirku.
Apa yang ku lakukan itu sepertinya cukup membuat pak Udin geregetan dan tak sabar, hingga dengan kasar dia menekan-nekan pinggulnya yang membuat batang besar itu menyeruak masuk kedalam mulutku.
Sumpah aku cukup kerepotan, karena mulutku tak mampu menampung batang yang keras dan besar itu. Sementara pak Udin terus saja menggoyangkan pinggulnya hingga membuat ku kewalahan.
“Argh.. susah pak!”
Aku bergerak mundur, hingga kontol besar itu terlepas dari mulutku.
“Gesekin ke pantat saya aja ya!”
Sebuah ide gila yang entah kenapa terlintas begitu saja dipikiranku, tentu saja disambut antusias oleh pak Udin.
Awalnya ku pikir itu solusi terbaik, supaya pak Udin bisa melepaskan hasratnya dengan tidak menggunakan mulutku karena aku cukup tersiksa.
Lalu aku mengambil posisi menungging sambil berpegangan pada dipan kayu yang tampak lapuk dan berdebu, tanpa perlu basa-basi pak Udin menaikan rok ku hingga pinggang.
Sebenarnya aku dilanda malu yang teramat sangat, saat menyadari ada lelaki lain yang pastinya sedang melihat bagian pantatku. Namun rasa malu itu seketika sirna, saat tiba-tiba saja ada benda lembut dan hangat yang menyentuh area pantatku.
“Ough…!”
Ya tuhan, ternyata pak udin menempelkan wajahnya pada pantatku, dan yang sedang mengelus-elus area panatatku yang masih tertutup celana dalam sudah pasti lidahnya.
Lidah pak Udin menari begitu liar dan lincah menjelajah setiap inci pantatku, bahkan sesekali lidahnya itu menyentuh area selangkanganku.
Sungguh begitu nikmat rasanya, bahkan kang Bayupun belum pernah melakukanya Karena biasanya dia hanya menjilati memekku saja.
Permainan lidah pak Udin benar-benar membuatku melayang, hingga aku terlena dan tak menyadari dia sudah berhasil meloloskan celana dalam yang ku pakai.
“Pak…”
Aku menoleh padanya saat dia menghentikan cumbuan lidahnya, padahal aku sedang berada diatas awan, lalu tiba-tiba sekujur tubuhku merinding saat melihat pak Udin yang mulai mengarahkan benda besar dan keras miliknya pada selangkanganku.
“Argh… gesekin aja pak!”
Pintaku sambil merintih, saat batang pak udin mulai menggesek permukaan memekku.
“Iya Neng, tenang aja!”
Seru pak udin, sambil memaju mundurkan pinggulnya.
Gila, sumpah baru digesekin saja rasanya begitu nikmat.
Terasa hangat, dan keras sekali batang jumbo milik pak Udin, dan terasa begitu mantap menggesek permukaan memekku yang telah basah.
“Arghhh…”
“Ough…!”
Aku tak kuasa menahan desahan, akibat rasa nikmat yang teramat sangat.
“Ssst.. jangan berisik Neng!”
Lagi-lagi pak Udin mengingatkanku.
“Ouggghhh…!”
Namun lagi-lagi aku terpaksa mengerang, saat kepala kontol pak udin terasa membelah lubang senggamaku.
Rasanya perih, tapi nikmat.
“Awas masuk Pak…!”
Aku mencoba memperingati pak Udin, karena aku masih belum rela jika ada batang kontol lain yang menerobos lubang senggamaku.
Namun sepertinya pak Udin tak menghiraukan ucapakankku.
Dia terus menggerakan pinggulnya maju-mundur dengan ritme yang cepat, padahal kepala kontolnya sudah terjepit sempurna oleh lubang senggamaku.
Mungkin hanya butuh satu hentakan keras saja, maka dapat dipastikan kontol jumbo itu bisa melesak sempurna kedalam lubang nikmatku.
“Kepalanya aja ko neng…!”
“Hm…..hh!”
Jawab Pak Udin sambil menggeram.
Pak Udin memang menepati perkataannya, dia menahan kepala kontolnya tetap terjepit oleh belahan memekku dan tak berusaha mendorongnya lebih dalam.
Sungguh gila, sensasi dan rasa nikmat yang kurasakan benar-benar gila. Hingga akhirnya seperti ada cairan yang mengalir deras dari lubang senggamaku, diikuti rasa nikmat yang teramat sangat.
“Arghhhh…!”
Saking nikmatnya aku menjerit histeris, tubuhku melengking, mataku terpejam. Serta pinggulku bergerak sendiri menghentak kebelakang, alhasil gerakan pinggulku itu membuat kontol jumbo pak Udin melesak begitu saja kedalam lubang senggamaku yang telah banjir oleh cairan licin.
“Oughhhh….!”
“Masuk Pak….!”
Aku kembali histeris, saat kontol jumbo pak Udin menancap sempurna didalam lubang senggamaku.
Sungguh gila, lubang senggamaku terasa penuh sesak tersumbat batang kontol pak Udin yang besar.
Sekali lagi tubuhku diterpa badai nikmat yang teramat sangat, sumpah seumur hidup itu pertama kalinya tubuhku diterjang rasa nikmat dua kali berturut-turut.
“Ehmmmm….!”
Tak berselang lama Pak Udin kembali menggeram, bersamaan dengan cairan hangat yang menyemprot didalam lubang senggamku bahkan mungkin memenui rahimku.
“Memeknya legit banget Neng…!”
Seru pak Udin, sambil memeluk tubuhku dari belakang.
Aku terengah-engah, seolah kesulitan mengatur nafas. Sepertinya karena jantung yang berdetak terlalu cepat.
Aku tak berani menatap wajah pak Udin, karena lagi-lagi setelah hasrat terpuaskan dan birahi menurun aku kembali dihinggapi rasa malu.
“Argh….!”
“Paaakk…”
Lagi-lagi aku terpaksa harus mengerang, saat pak Udin mencabut kontolnya yang sempat tertancap di lubang senggamaku. Gila padahal batang jumbo itu belum sempat mengaduk-ngaduk memeku, tapi rasanya sudah begitu nikmat.
“Lap dulu neng!”
Kata pak Udin, seraya menyodorkan celana dalamku yang tadi dia tanggalkan.
Aku mengerti maksudnya, lalu menggunakan celana dalam itu untuk mengelap lelehan sperma miliknya yang mengalir deras dari selangkanganku.
Setelah itu kami buru-buru pulang, karena takut perbuatan kami diketahui warga. Sepanjang perjalanan kembali tak terjadi percakapan. Aku diam membisu, pikiranku melayang pada kejadian beberapa menit yang lalu, ada rasa sesal yang menyeruak didalam dada, hingga membuatnya terasa sesak.
Aku masih tak percaya, bawah lubang senggamaku telah dimasuki oleh batang kejantanan milik laki-laki lain,. Padahal selama ini aku selalu menjaga seluruh tubuh dan kehormatan ku hanya untuk suamiku tercinta.
Namun aku juga tak bisa memungkiri, bahwa pak Udin telah memberikan sebuah kenikmatan yang belum pernah ku rasakan, dan sepertinya aku ketagihan.
Tak butuh waktu lama, akhirnya motor pak Udin berhenti didepan rumahku yang terlihat sepi.
Aku memang sengaja menitipkan anak semata wayang ku pada mertua, sebelum aku berangkat ke pasar tadi.
Seperti dikampung pada umumnya, jarak antara rumah yang satu dengan lainnya cukup berjauhan, tak seperti di kota yang berdempat-dempetan. Rumahkupun demikian, jarak dengan tetangga terdekat sekitar tiga puluh meter terpisah oleh halaman dan pepohonan rindang.
Pak Udin menurunkan barang belanjaanku, dan membantu membawakan sampai kedalam rumah.
“Makasi ya Pak!”
Entah aku berterima kasih untuk apa. Apakah aku berterima kasih karena pak Udin sudah mengantarkanku bahkan membawakan barang belanjaan sampai kedalam rumah, atau karena dia telah memberikan kenikmatan yang tiada tara.
“Eh, gak usah neng gak apa-apa!”
Seru pak Udin, dia menolak saat aku memberikan uang senilai dua puluh ribu rupiah sebagai ongkos ojek.
“Bener nih Pak? Apa mau dibayar pake yang ini?”
Jawabku, sambil mengelus-elus selangkangan.
Yups, aku berani berbuat seperti itu tanpa perduli apa yang mungkin pak Udin pikirkan tentang dariku, semua itu karena aku begitu penasaran ingin merasakan genjotan batang keras dan besar milik pak Udin.
“Eneng mau?”
Tanya pak Udin, tampak ragu.
Dasar tua Bangka, padahal tadi dia sudah melecehkan ku.
Aku menjawab pertanyaannya dengan berlutut dihadapan pak Udin, lalu membuka celana lelaki tua itu.
Pak Udin tampak terkejut dengan keagresifanku, mungkin dia tak menyangka wanita alim sepertiku bisa berinisiatif melakukan hal itu.
Lalu dengan perlahan aku kocok kontol jumbo si tua Bangka yang masih lemas, bahkan aku melahap kontol itu dengan mulutku.
“Argh…. Neng!”
Pak Udin menggeram, sambil matanya merem-melek.
Wajar saja, karena aku melakukan segala cara yang ku bisa untuk membuat kontol pak Udin tegang maksimal.
Aku menjilati batangnya yang hitam dan besar, menciumi kepalanya yang seperti jamur merekah. Bahkan memasukan batang jumbo itu kedalam mulutku, dan menyedotnya dengan rakus.
“Argh Neng udah..!”
“Kontolnya masih ngilu..!”
“Ssss. Jangan berisik pak!”
Jawabku, membalikan omongan pak Udin beberapa waktu yang lalu.
Lagi-lagi pak Udin menatapku dengan pandangan yang seolah tak percaya dengan apa yang telah ku lakukan.
Jadilah kini aku setengah telanjang, bagian atas masih memakai pakaian lengkap bahkan kerudung, sementara bagian bawah tak tertutup selembar kainpun.Setelah aku berhasil membuat kontol pak Udin kembali tegang maksimal, lalu aku mendorong tubuhnya hingga duduk di kursi sofa, dan dengan satu gerakan aku melepas kaitan rok panjangku, hingga benda itu meluncur kebawah tanpa hambatan.
Pak Udin menatap nanar tubuhku, walaupun dia sudah berhasil melesakan kontolnya di memekku tapi dia belum pernah melihat memek yang selalu ku rawat dengan baik secara langsung.
Aku langsung naik keatas pangkuannya, lalu mengarahakan kontol jumbo pak Udin supaya berada sejajar dengan lubang senggamaku.
“Oughhh…!!!”
“Anjing Gedeee banget!” Aku meracau, saat kepala kontol pak Udin mulai membelah lipatan memekku.
“Arghhhh…!”
Kembali aku harus menjerit histeris, saat aku berhasil melahap batang kontol jumbo itu dengan memekku.
Beruntung lubang senggamaku masih di basahi sperma pak Udin, hasil dari persetubuhan sebelumnya, hingga membantu proses penetrasi menjadi lebih mudah.
Aku merasakan perih pada dinding-dinding memeku, tentu saja bercampur dengan nikmat yang teramat sangat.
“Oughh…!”
“Pak… Ngentot…!” Aku meracau sambil menggoyangkan pinggulku.
“Remes toketnya Pak…!”
Pintaku, cukup gemas karena pak Udin terlihat diam saja.
Aku sempat heran, kenapa tua Bangka itu tampak pasif, padahal aku begitu liar bahkan binal.
Dia hanya merem melek, tanpa melakukan jamahan atau remasan pada tubuhku padahal aku membutuhkannya.
Apakah lelaki paruh baya itu sudah kehabisan tenaga?
Argh.. perduli setan, aku terus bergoyang liar menikmati batang kontolnya yang masih tertancap sempurna didalam memeku.
Tak bisa digambarkan seperti apa kenikmatan yang kurasakan setiap kali pinggulku bergoyang, batang kontol pak Udin yang besar benar-benar memenuhi tiap rongga lubang senggamaku hingga rasanya tak ada celah begitu penuh sesak.
Setiap gesekan yang terjadi sudah pasti menghasilkan getaran nikmat yang dahsyat, dan dengan posisiku yang berada diatas membuat klistoriku tergesek oleh batang kontol pak Udin. Tak ayal lagi, tubuhku serasa dihujani butiran nikmat yang begitu hebat.
“Oughh.. Pak Enaaaak!”
Aku kembali meracau, karena sebentar lagi sepertinya gelombang kenikmatan kembali akan menghantamku.
Namun aku begitu gemas, karena pak Udin tak kunjung menjamah kedua toketku.
Maka saking gilanya, akhirnya aku menanggalkan kaos yang ku pakai sekaligus BHnya hingga yang tersisa dari tubuh bagian atasku hanya tinggal kerudung saja.
Kedua bola mata pak Udin terbelalak, saat melihat dua benda kembar dan kenyal menggelantung dihadapannya, namun tetap tak melakukan apapun hingga membuatku benar-benar gemas.
Akhirnya aku menarik kepala lelaki tua itu, dan menenggelamkannya di bongkahan dadaku.
“Arghhh…!”
“Enaak… Pakk…!”
“Toketnya emut pak..!”
Aku mengerang, sambil meracau tak karuan malah nyaris menjerit saat gelombang nikmat yang dahsyat kembali menerpaku. Seperti gelombang sunami yang meluluh lantakkan apapun yang dilaluinya.
“Argh…..!”
Aku merintih dan menekan kuat-kuat kepala pak Udin ke dadaku, sambil mejambak rambutnya.
“Hmmmmmm… Nengggg….!”
Saat aku sedang menikmati orgasme yang hebat, tiba-tiba saja pak Udin mengerang bersamaan dengan cairan kental yang kembali terasa menyembur lubang senggamaku, namun semburannya tak sekuat sebelumnya.
“Makasi ya pak enak banget!”
Kataku, sambil beranjak dari atas pangkuannya dan duduk di sofa yang ada disampingnya.
Sumpah saat itu aku dibuat terkejut, karena melihat pak Udin yang memejamkan mata dan seperti tak bernafas.
“Pak…!”
“Pak… Udin..!”
Kataku, sambil menggoyangkan badannya.
Sumpah hampir aku panik, karena tak ada respon darinya.
“Pak Udin..!”
Kembali aku memanggil namanya, sambil menggoyangkan badannya.
Saat itu barulah aku melihatnya membuka mata.
“Eh… Neng…!”
Seru pak Udin tampak kebingungan.
“Bapak tadi pingsan?”
Tanyaku.
“Gak tau, kepala bapak pusing…!”
Argh, sial sepertinya tua Bangka itu beneran pingsan tadi.
Maka aku bergegas lari ke dapur, untuk mengambilkannya segelas air putih.
Pak Udin meneguk habis air putih yang kuberikan.
“Neng… bapak permisi ya!”
Pak Udin mencoba berdiri sambil mengenakan lagi celananya, walau terlihat masih tampak sempoyongan.
“Isitirahat aja dulu pak!”
“Gak apa-apa Neng, makasih.!” Jawabnya, seraya berjalan kearah pintu keluar.
“Pak…!”
“Ga mau nyelup lagi?”
Aku menggoda pak Udin, sambil duduk di kursi sofa dan membuka lebar-lebar kedua kakiku.
Pak Udin hanya menoleh ku sekilas, lalu buru-buru pergi.
Aku tersenyum puas, melihat tingkah tua Bangka itu.
Suruh siapa membangunkan singa yang sedang tidur.
Gumamku dalam hati.
Argh…! Sial..!
Sepertinya aku telah menjadi benar-benar binal, dan begitu ketagihan kontol besar dan berurat pak Udin. Entah apakah aku masih bisa menikmati sodokan kontol suamiku atau tidak.
Setelah peristiwa erotis dirumahku, pak Udin seolah berusaha menghindariku. Bahkan chat dariku tak pernah dibalas, padahal isi chat ku mengajaknya enak-enak.
Memang aku sudah kehilangan akal sehat, karena otak ku hanya diisi oleh kontol perkasa milik pak Udin.
Semua yang ku jaga selama ini, entah itu tubuh bahkan harga diriku seolah sirna begitu saja. Malah aku tak malu merengek meminta pak Udin kembali menggenjotku, namun sialnya tak sekalipun dia membalasnya.
Hingga akhirnya aku nekat menemui pak Udin, ke pangkalan ojek tempat biasa dia mangkal dengan nebeng motor si Rudi anak dari tetanggaku.
Benar saja aku melihat pak Udin yang sedang ngobrol dengan teman-temannya.
Sebenarnya aku hanya bermodal nekat menemui Pak Udin, tanpa tau apa yang harus ku katakan saat bertemu dengannya.
Pastinya tak mungkin jika aku langsung memintanya kembali memberikan kenikmatan padaku, secara langsung bahkan dihadapan teman-temannya.
Namun saat motor yang dikendarai si Rudi, berhenti tepat di pangkalan ojek, pak Udin lebih dulu melihatku dan ajaibnya dia langsung mengambil motornya dan tancap gas entah kemana?
Sial padahal aku bukan ingin menagih hutang pulsa yang belum dia bayar, aku sengaja datang menyerahkan tubuhku untuk dia nikmati.
“Pak Udin mau kemana ya?”
Tanyaku, pada tiga orang bapak-bapak yang sebelumnya nongkrong dengan pak Udin.
“Wah gak tau neng!”
“Dia punya hutang ya neng?”
Saut dua orang bapak-bapak yang tampak antusias menjawab pertanyaan dariku.
“Engga juga, saya cuman ada perlu sama dia!” Jawabku.
“Perlu saya telponin neng!”
Tanya salah satu orang bapak, yang dari tadi memandang tubuhku dengan tatapan liar seolah ingin menelanjangiku.
“Biarin aja pak!” Jawabku singkat.
Benar-benar kurang aja tuh tua Bangka, setelah membuatku ketagihan dengan kontolnya dia malah menghindar.
Sekarang aku kebingungan sendiri, padahal libidoku sedang tinggi-tingginya.
Kang Bayu masih dua hari lagi baru pulang, pak Udin yang ku harapakan malah hilang.
Apa mungkin aku harus mencoba sesuatu yang baru?
Ada tiga bapak-bapak mesum yang sedari tadi menatapku dengan tatapan buaya lapar, dan ada seorang remaja lugu yang tadi mengantarku.
Argh.. membayangkan hal itu membuat jantungku berdebar-debar.
“Neng gak apa-apa kan?”
Tanya seorang bapak berkumis tebal, sambil menggoyangkan bahuku.
Rupanya tanpa sadar aku malah melamun sendiri.
“Iyyaa pak gak apa-apa”
“Saya permisi ya..!” Jawabku. Lumayan gelagapan.
“Mau dianterin?”
“Gratis deh…!”
Tawarnya ramah.
“Ga usah pak, saya bareng si Rudi lagi aja!”
“Permisi Pak!”
Akhirnya aku kembali duduk di jok belakang motor matik si Rudi.
Sepanjang perjalanan aku membayangkan kejadian-kejadian nikmat yang mungkin bisa ku lakukan dengan si Rudi…
-Selesai-,,,,,,,,,,,,,,,,