Penyerahan Ermita

Aku yakin belum banyak yang diperbuat Andi pada dirinya sewaktu aku membuka pintu depan dan melihat mereka di ruang tamu. Disamping pemuda itu dia tersandar di sudut sofa dengan wajah merah saga, rambut awut-awutan dan blus sekolah yang acak-acakan, kerut-merut di bagian dada.

“Kok cepat pulangnya Om?” Andi tidak kelihatan kikuk sama sekali.

“Ah biasa”, jawabku, “Sudah lama?”, kupandang gadis itu sekilas yang hanya menundukkan wajah tak berani memandangku. Menilik penampilan dengan seragam yang kelihatan setengah lusuh dan tas sekolah butut yang tergeletak tak jauh di depannya bisa ditebak dia warga kampung pinggiran. Entah darimana dia disambar keponakanku. Biasanya pemuda playboy itu membawa pacar cewek gedongan sesama mahasiswa kampus.

“Andi, di kulkas barangkali ada coca-cola.”

“Terimakasih Om, nanti kami ambil.”

Aku terus masuk ke dalam membuka kunci kamarku, ganti pakaian. Rasanya lega bebas dari dasi dan business suit di udara gerah Jakarta. Lalu seperti biasa sepulang kantor aku ke dapur memasukkan empat mangkok beras ke rice cooker. Aku memang hanya tinggal sendirian di rumah kontrakan tiga kamar yang cukup besar ini. Ibu Andi kakak-iparku menawarkan pembantu tetapi kutolak. Di apartemenku di New York-pun aku biasa mengurus keperluanku sendiri. Pernah Andi kuajak tinggal bersamaku, tetapi karena terlalu jauh dari kampusnya dia tidak betah dan memilih tinggal di sekitar kampus saja, hanya sekali-sekali dia datang membawa pacarnya pada saat dia kira aku tidak di rumah. Dia punya duplikat kunci untuk itu.

Tapi sebenarnya walau sedang di rumahpun aku tak begitu peduli pada apa yang diperbuat Andi dengan pacarnya di ruang tamu. Karena aku juga bukan orang suci. Terkadang aku juga membawa teman wanita yang terkadang kuperam beberapa hari di kamarku kalau dia mau. Walaupun aku tentu saja hati-hati jangan sampai nanti terpaksa mengawini mereka. Maksudku terjebak oleh salah seorang dari mereka.

Dari dapur aku terus ke kamar di sebelah kamar tidurku yang kujadikan ruang kerja, menekuni hingar-bingar lalulintas internet dan tenggelam dalam keasyikan sampai Andi muncul mengejutkanku.

“Om saya mau beli nasi bungkus, apa om mau pesan?”

“Tidak, om tadi masak nasi, terimakasih.”

“Saya tinggal Mita sebentar Om.” Aku menatap wajah Andi. Kuberi dia isyarat supaya mendekat. “Hati-hati kau Andi. Kalau dia hamil dia tuntut kau bertanggungjawab. Apa kau sudah siap jadi suami?”

“Ah saya tidak sejauh itu, Om”, Andi menyeringai.

“Ya, hati-hati saja”, kataku pelan.

Dan Andi keluar. Sebentar kemudian terdengar sepeda motornya meninggalkan gerbang halaman rumahku.

Aku masih mengutak-atik komputer sekitar limabelas menit ketika kudengar suara halus dari pintu kamar. “Om, apakah saya boleh memakai kamar kecil?” Aku menoleh ke arah datangnya suara merdu itu. Amboi mulut yang sempurna dengan bibir penuh dan sensual. “Oh ya ada di belakang. Atau pakai saja kamar mandi di kamar Om.” Aku bangkit dari duduk dan m*****kah melewatinya untuk menunjukkan kamar mandi dalam kamarku. Dia masuk dan aku memperhatikan bentuk tubuhnya. Bodi yang cukup memenuhi estetika keindahan. Walau ada kesan perkampungan kumuh, harus kuakui dia lumayan cantik.

Aku menunggu di pintu kamar sewaktu dia keluar kamar mandi tak s***** lama. Masih berjalan menunduk dia mengucapkan terimakasih.

“Siapa namamu?”

“Mita Om, Ermita.”

“Dimana kamu sekolah?” Dia menyebut sebuah SMU swasta sembari mengangkat mukanya melihat ke wajahku. Sekilas kami bertatapan, kulihat matanya begitu letih dan mukanya pucat.

“Kamu dari sekolah langsung kemari?”

“Iya Om.”

“Belum pulang ke rumah?”

“Belum Om.”

“Kemari dulu.” Aku cepat melangkah ke dapur memeriksa lemari es. Di sudut aku melihat kaleng coca cola terakhir. Aku sudah harus ke Carrefour lagi. Beberapa persediaan sudah tipis.

“Ini Ermita, coca cola!” Dia tersenyum gembira, “Makasih Om.” Segera saja dia tarik kaitan tutup kaleng aluminum itu dan mereguk isinya. Kentara soda dingin itu sangat dia nikmati. Barangkali di kamarmandi dia tadi minum air ledeng tapi belum dapat melepaskan rasa hausnya yang teramat sangat.

Aku memeriksa freezer dan mataku tertumbuk pada bungkus aluminium potongan kelebihan pesta pizza pesanan yang sudah sekitar tiga minggu di sana. Kubuka, ada dua potong, keduanya kuletakkan ke piring dan kumasukkan ke microwave. Tiga menit pizza yang sudah panas dan segar lagi kukeluarkan dengan mengalas tanganku ke piring dengan serbet kertas dan kusodorkan padanya. “Ini pizza makanan orang Italia, barangkali kamu sudah tahu. Roti dengan keju, pakai daging kambing, cendawan dan potongan-potongan … apa ya indonesianya green pepper?”

“Saya juga tidak tahu Om”, katanya menerima piring yang kusodorkan pada alas serbet kertas peganganku.

“Cabe yang sebesar tinju.”

“Ooo.” Dia letakkan kaleng cocacolanya di counter dapur dan diapun mulai hendak menggigit pizza itu, meniup-niupnya karena masih panas, kemudian menggigit lagi dan mengunyahnya. “Enak Om, biasanya cuman ngeliat di iklan televisi”, dan dia menghadapkan piring ke depanku supaya aku mengambil potongan yang satu lagi. “Tidak, makan saja, Om masih kenyang. Kamu belum makan dari pagi?”

“Belum Om, Mita memang lapar sekali.” Aku tahu. Bahkan sarapan sebelum berangkat sekolahpun barangkali dia belum. Keterlaluan si Andi. Pacar lapar kok disikat dulu.

“Om memang tidak mau?” Aku menggeleng, dan sepotong pizza lagi dia angkat ke mulutnya. Diam-diam aku suka padanya. Anak ini jujur, tidak berbasa-basi.

Kami masih berdiri di sana di dapur, aku memandang dia yang mengunyah pizza dan mereguk minuman kalengnya, sewaktu nasi dari rice cooker mengeluarkan aroma harum.

“Wah nasinya masak, kita bisa lanjutkan dengan makan siang, Ermita”.

“Tapi Andi tadi pergi beli nasi bungkus, Om.”

“Kalau nanti dia datang, nasi bungkusnya kan bisa kamu bawa pulang”, kataku sambil mengeluarkan piring bersih dari lemari dan meletakkannya di meja makan. Periuk rice cooker langsung kuangkat pakai sarung tangan dan kuletakkan di meja makan dengan alas piring lain. Lalu potongan rendang, potongan kari dada ayam dan goreng ikan yang kubeli kemarin di Jalan Sabang masuk ke microwave dan Ermita membantu meletakkannya di piring dan membawanya ke meja makan. Dia juga membantu menyediakan air dingin es dari kulkas dan sendok garpu. Untuk sayur dia membantu memotong-motong tomat dan kol mentah.

Kami makan tanpa banyak bicara. Kudorong ke depannya potongan rendang yang dia terima dengan senang hati dan juga seekor ikan goreng seukuran tapak tangan. Dan aku yang sebenarnya juga lapar makan dengan lahap dengan lauk kari ayam, entahlah mungkin karena ada gadis murid SMU cantik menemani makan.

Tampaknya melihat aku makan lahap, Ermita juga makan lahap tak sungkan-sungkan. Saling mengangkat muka dari seberang meja mata kami bertemu. Wajah Ermita kini terlihat cerah dan segar, tidak lagi kuyu dan letih seperti tadi. photomemek.com Dan sekarang aku menilai dia benar-benar cantik, tidak hanya lumayan cantik. Bibirnya yang merah karena merica rendang tampak semakin sensual dan menggairahkan. Hidungnya bangir dan matanya cemerlang seperti bintang kejora.

“Kata Andi, Om dari Amerika?”

“Ya, dari New York. Om sekolah ngelanjutin kuliah di Boston lalu ada perusahaan multinasional yang nawarin kerja. Kerja tujuh tahun Om dikirim ke sini untuk tugas setahun membuka cabang baru.”

“Jadi Om bakalan kembali lagi ke sana?”

“Ya, sekitar enam bulan lagi.”

“Om punya keluarga di sana? Isteri?”

“Ndak. Kumpul kebo saja.” Tawa kami meledak, dia tersedak. Buru-buru dia minum air es.

Tiba-tiba aku ingat sesuatu. Segera aku berdiri kembali ke dapur menjangkau ke rak bagian atas. Kuraih sebotol anggur Malaga yang sudah lama kubeli tapi terlupakan. Kucabut sumbatnya dengan bor pencabut sumbat botol dan aroma harumpun keluar dari mulut botolnya. Kuambil dua buah sloki dan kubawa ke meja makan.

“Apa itu Om?”

“Anggur, kamu minum anggur?”

“Ndak pernah. Bisa mabuk Om?”

“Ah, anggur tidak menyebabkan mabuk kalau hanya satu sloki.” Kutuangkan ke satu sloki dan kusodorkan kepadanya, “Ayo coba Ermita.” Dia menghirupnya sedikit. “Enak Om.” Dan dia menenggak sereguk. “Enak Om, tapi dada rasanya panas.” Aku juga mereguk dari slokiku. Hmm anggur manis Spanyol yang harum. Tak kusangka anggur ini demikian lezat. Anggur tua rupanya. Kureguk lagi, dan kulihat Ermita juga mereguk dari slokinya langsung sampai habis.

“Om kasi lagi anggurnya”, ini adalah sloki yang ke-empat. “Sudah ini jangan lagi Ermita, nanti kamu mabuk.”

“Rasanya sekarang Mita memang agak pusing Om, apa mabuk ya?”

“Kamu minum hampir empat sloki, kalau Om masih belum apa-apa. Tapi memang bisa mabuk bagi yang belum biasa minum. Sesudah ini kamu tidak boleh tambah lagi. Ayo kita duduk di sofa.”

“Om, Mita mau ke kamar kecil. Dan sesudahnya apa Mita boleh berbaring di kamar Om? Mita capek sekali Om.” Dia kelihatannya memang sudah setengah mabuk, jalan pikirannya mulai tidak terkontrol, mengatakan saja apa yang terasa. Kalau pikirannya terang tentu dia akan segan sekali bertanya mau tidur di kamar-ku.

“Nanti Andi marah-marah mendapati kamu tidur di kamarku, Ermita?”

“Ah peduli amat. Mita ndak suka sama dia. Mita suka sama Om.” katanya tersenyum genit, kegenitan yang sebelumnya tak pernah ada. Wah gawat nih anak. Padahal aku sama sekali tidak pernah bermaksud membuat dia mabuk. Tapi aku memang ingin mengorek pendapatnya mengenai aku.

“Suka sama Om? Kenapa?”

“Om baik.”

“Apa lagi?”

“Om ganteng”.

“Andi kan juga ganteng?”

“Om lebih ganteng dan lebih tinggi … dan macho.” Dia kembali tersenyum genit memandang ke wajah, lengan dan dadaku. Aku tertawa, “Macho, apa itu?”

“Macho seperti Antonio Banderas.”

Aku tertawa lagi, “Ayo pergilah”. Dia tertatih dan terhuyung sewaktu berdiri dari kursinya sehingga aku cepat bangkit dari kursiku mengejar dan menyambar lengannya dan menuntunnya ke kamar mandi di kamarku. Aku keluar setelah dia berada di depan bowl seat menunggu dia pipis dengan berdiri membelakang. Pintu kamar mandi kubiarkan setengah terbuka karena aku takut kalau-kalau dia jatuh karena pusing. Desiran pipisnya membuat “adik”-ku berdenyut, tapi aku sungguh tidak ingin mengambil kesempatan dalam kesempitan. Aku baru tahu dia selesai sewaktu dia merangkulku dari belakang.

“Om Mita capek mau berbaring.”

“Boleh, berbaringlah?” kutuntun dia ke tempat tidur dan kugolekkan dia di sana. Dia memejamkan mata, tampaknya benar-benar lelah dan ingin istirahat. Dan sekali lagi aku terpesona memandang wajahnya dari jarak begitu dekat. Bibirnya yang merekah indah seakan mengundang aku untuk mencicipinya. Perlahan kudekatkan wajahku ke wajahnya. Kucipok bibir indah itu mula-mula lembut tapi berikutnya dengan melumat dan memilin bibir yang seperti jeruk dua ulas itu dengan bibirku. Dia membuka mulutnya dan lidahku bertemu dengan ujung lidahnya yang membuat tubuhku seperti terkena aliran listrik lemah yang membuat penisku bergeletar, sehingga bibir dan mulut itu kembali kuremas penuh nafsu dengan mulut dan lidahku. Lalu sementara lengan kananku menyangga di bawah kepalanya tangan kiri meremas gundukan dada kanannya yang terasa empuk walau masih di bawah blus dan branya.

“Om, om punya pacar?”, tanyanya dengan nafas sesak sewaktu mulut kami terlepas.

“Tidak. Kamu mau jadi pacar Om?”, kucium matanya.

“Mau.”

“Apa yang dilakukan Andi di sofa? Dia cium kamu seperti ini?” Kukecup lagi bibirnya.

“Hmmh.”

“Dia ciumi dan jilat lehermu seperti ini?”

“Hmmh”

“Dia remas juga dadamu?” Dan aku meremas lagi dadanya, sekarang yang sebelah kiri.

“Hmmh”, matanya terpejam kenikmatan.

“Dia masukkan tangannya kedalam blusmu dan dia pijit pentilmu di sini?” Mengatakan itu kumasukkan tanganku ke balik blus dan branya lalu kuremas tempurung dadanya, kupijit pentilnya mula-mula yang kanan kemudian yang kiri.

“Hmmh”. Dia meregangkan tubuh setiap kali kupencet puting susunya.

“Dan dia masukkan tangannya ke balik rokmu, mengelus bagian dalam pahamu, dan meremas bukit tempek-mu?” Sambil berkata demikian aku melakukannya dengan tanganku yang bebas dan melanjutkan menggerayang kesana kemari ke sekitar vaginanya sampai ke pusar lalu kembali lagi mengusap dan meremas bukit kemaluannya yang terasa tebal dan cembung di balik celdal, sambil kulumat lagi mulutnya. Dia tidak menjawab, matanya terpejam. Nafasku memburu.

“Dia masukkan jarinya ke sela celana dalammu dan mengorek kelentitmu?” Tiba-tiba dia menahan tanganku dengan tangannya dan melepaskan mulutnya dari mulutku yang melumat lagi.

“Jangan Om”, katanya lirih. Rupanya dia tersadar berada di pinggir jurang. “Om, Mita jangan diperkosa Om”, rintihnya memohon.

“Kamu kan mau ngasi tempek-mu ke Om?”

“Jangan Om, Mita takut nanti Mita hamil Om.” Rupanya walau separuh mabuk masih tersisa akal sehatnya.

Aku berhenti. Aku jadi kasihan padanya. Seharusnya aku tidak memanfaatkan keadaan dengan menyetubuhinya selagi pikirannya tidak cukup terang untuk membedakan yang baik dan yang buruk. Dan kulihat dia jadi tenang karena nafasnya tidak sesak lagi. Barangkali dia tahu aku bukan orang jahat.

“Kamu pernah ngentot?” Kataku setelah beberapa lama. Dia diam, dan beberapa saat menunggu jawaban kulihat rupanya dia sudah tertidur. Barangkali memang karena sangat lelah dan juga lebih-lebih lagi karena ditambah pengaruh alkohol. Kubetulkan kembali pakaiannya yang acak-acakan, kutempatkan bantal di bawah kepalanya menggantikan lenganku dan tak lama kulihat Ermita benar-benar tertidur pulas. Kututupi tubuhnya dengan selimut tipis dan akupun bangkit dari ranjang melangkah ke luar kamar.

Aku masih memasukkan piring ke mesin cucipiring sewaktu telpon berdering.

“Om ini Andi”

“Ada apa Andi?”

“Om aku tabrakan. Ada anak pengasong yang tiba-tiba nyebrang dan tertabrak.”

“Bagaimana dia?” aku khawatir, keponakanku bisa dapat masalah besar. “Luka Om, sudah dibawa ke rumahsakit. Sekarang saya masih berurusan dengan polisi.”

“Kamu sendiri bagaimana?”

“Saya tidak apa-apa Om…. Om….”

“Ya?”

“Saya minta tolong ngantarin Ermita pulang, Om.”

“Iya dah, Andi. Aku akan ngantar dia pulang, kami juga sudah makan kok.”

“Terimakasih Om. Om apakah saya bisa bicara dengan dia?” Aku tak mau dia tahu Ermita lagi tidur pulas di kamarku.

“Dia lagi di WC. Biar Om yang ngasih tahu dia Andi, jawab saja pertanyaan polisi sebaik-baiknya. Sanggupi untuk mengganti rugi semua biaya pengobatan. Jangan khawatir Ermita. Om akan mengantar dia pulang.”

“Terimakasih Om.”

Sudah beberapa jam Ermita tidur dan sudah pukul sembilan malam ketika aku mendengar dia bangun dan aku masuk melihat. “Ermita kamu sudah siap pulang?”, dia kelihatan linglung kebingungan, barangkali heran kok dia ada di kamar yang asing. Dan matanya melihat ke beker di meja di samping tempat tidur.

“Andi dapat kecelakaan, dia menabrak anak orang.” Dia terperanjat dan mencecar aku dengan pertanyaan dan aku menjelaskan.

“Dan kamu sekarang siap pulang?”

“Iya Om. Tapi …. “

“Aku akan mengantarmu. Dimana rumahmu?” Dia menyebut alamatnya. Terhuyung-huyung dia bangun dan kembali masuk kamarmandi, kelihatannya masih pusing. Aku menyesal telah memberi dia minuman ber-alkohol.

Masih kebingungan dipungutnya tas sekolah yang tergeletak di depan sofa di ruang tamu lalu kutuntun dia ke garasi dari pintu dapur. Dia tertegun lagi di pintu jip SUV-ku sehingga harus aku pondong untuk mendudukkan di passenger seat.

“Om?” bisiknya di telingaku sewaktu aku membetulkan duduknya dan memasang seat belt untuknya. Aku menatapnya. Apa yang dia pikirkan? “Ada apa?”

“Om?”, terlihat ada kemelut yang sangat merisaukannya.

“Apa Ermita?”

“Om … tidak … mengambil keperawanan saya?”

Aku terkejut. “Tidak Ermita, Om tidak mengambil keperawananmu.” Dia menatap ke mataku beberapa saat, lalu kulihat dia tersenyum lega, “Terimakasih Om.” Kucium keningnya. Entah mengapa saat itu aku merasa gembira tadi tidak menurutkan nafsu syahwatku mencelakakan dia.

“Apa orang tuamu tidak marah kalau kamu terlambat pulang Ermita?” tanyaku setelah mobil meluncur di jalan.

“Ibu akan marah dan ngamuk-ngamuk.”

“Bapakmu?”

“Bapak sudah bercerai dengan ibu, Om.”

“Ibumu kerja apa?”

“Bantu nyuciin pakaian orang Om.”

“Sudah berapa lama?”

“Sudah lama ibu kerjaannya itu, waktu bapak masih ada dia juga sudah kerja mencuci.”

“Kamu punya saudara?”

“Ya Om, empat orang. SMP dan sekolah dasar.”

Setengah jam kemudian aku menghentikan mobil di mulut jalan sempit menuju ke rumahnya. Kuberi dia uang dua ratus ribu. “Kamu naik becak atau ojek saja, sudah malam.”

“Terimakasih Om.”

“Nanti kalau ibumu nanya katakan ada teman sekolahmu perempuan yang mengajakmu ke tempat kakaknya di Bogor.”

“Iya Om.”

***

Entah kenapa sejak itu aku rindu untuk bertemu lagi dengan dia. Aneh kok aku bisa tertarik pada gadis kampungan seperti Ermita yang makan pizza-pun tak pernah sebelumnya. Pakaiannya saja kelihatan lusuh baik blus maupun roknya walau tidak kumal, barangkali karena terus-terusan dipakai tiap hari. Tapi aku akui, dia punya kecantikan yang mempesona, kecantikan alami dan juga kepribadian yang membangkitkan rasa ingin tahu.

Dan entah sudah untuk ke berapa kalinya aku menunggu di depan sekolah yang dia sebut tapi aku tetap saja tidak melihat dia. Sampai tak ada lagi siswa yang keluar kemudian ku-start mobilku beralih ke mulut gang dimana aku mendropnya malam hari dua pekan yang lalu, tapi dia tak juga kelihatan.

Aku justru bertemu dengan dia secara tak disangka-sangka sebulan kemudian. Waktu itu kami berjalan di pusat perbelanjaan Blok M dengan Rena bergelayut di lenganku. “Om!!” kulihat dia melambai dari jarak enam meter. “Hei Ermita, kemana saja? Ndak pacaran lagi sama Andi?” tanyaku tersenyum lebar menggoda. Dia kelihatan bersama tiga temannya yang seperti dia masih berseragam sekolah. Rambutnya sudah dipotong, dikurangi jadi lebih pendek sampai bahu sehingga tampak lebih rapi. “Ndak Om, dia dapat yang baru,” jawabnya ketawa sambil melirik ke pacarku. Aku hendak bertanya dia sekolah sebenarnya dimana, karena tak pernah kulihat dia di sana, tapi Rena sudah menarikku pergi, sehingga aku harus melambai ke dia.

“Om, Mita kepingin dibikin mabuk lagi sama Om dan tidur lagi di kamar Om!” Kudengar dia mengatakan itu berteriak ditahan ketika kami sudah menjauh. Dan teman-temannya cekikikan. Kurang asin ini anak. Sudah terang dia mengatakan itu untuk membuat Rena panas dan memang perempuan itu segera melepaskan tangannya dari lenganku.

Ah gangguan anak nakal saja kok didengar”, kataku. Tapi mukanya masam dan sewot. Setiba di rumahnya kami bertengkar. Aku mencoba membela diri tanpa hasil.

***

Hari itu aku menunggu lagi dalam mobilku di depan sekolah itu. Gagal disana meluncur ke mulut gang dimana dia saya drop dua bulan yang lalu, mencari tempat berhenti dan merenung.

“Om Rob nunggu siapa?” Aku mengenal suaranya. Suara yang kurindukan. Kutengok ke samping. Dia.

“Ayo naik Ermita.”

“Naik kemana?”

“Ayo naik saja.”

“Nanti ada yang marah.”

“Siapa yang marah? Tidak ada yang marah.”

“Mita harus ngantar belanjaan ini dulu pulang.”

“Ya antarkan. Tapi segera kembali ya?”

Dia tidak menjawab. Kulihat dia menyeberangi jalan.

Seperempat jam kemudian, saat kukira dia tidak mendapatkan izin dari ibunya, kulihat Ermita datang. Mengenakan T Shirt dan jaket butut dan blujins. Kelihatannya pakaian bekas kiloan tapi pas membalut tubuhnya dengan garis lekuk-lengkung yang indah. Ermita adalah perempuan yang seksi sekali.

“Kemana kita Om?”

“Ke rumahku lagi, masak nasi di rice cooker, makan dengan rendang, kari ayam dan ikan goreng. Om baru membelinya di Jalan Sabang kemarin.”

“Ada pizza dan cocacola juga?”

“Ada banyak cocacola tapi pizza lagi tidak ada, tapi bisa kita singgah membelinya di PizzaHut kalau kamu mau.”

“Dan anggur manis Malaga yang bikin mabuk?”

“Ya masih ada, tapi tidak perlu harus mabuk. Minum satu sloki saja tidak akan mabuk.”

“Dan kalau sudah mabuk tidur di ranjang kamar tidur Om sampai pagi?”, lanjutnya tanpa mempedulikan jawabanku.

“Om akan mengantarmu pulang sebelum senja.”

“Sebelum senja besok?” Aku terdiam sejenak, walau sebenarnya nafsuku jadi menggelegak.

“Sebelum senja hari ini juga. Besok kamu sekolah kan? Om juga kerja besok.”

Tak seorangpun kami yang berbicara beberapa lama.

“Om berkelahi dengan pacar Om yang cantik itu?”

“Hmm iya, kok kamu begitu jahat ya?” Dia ketawa cekikikan. “Ndak sengaja Om. Tapi rasanya Mita betul-betul kesel banget waktu itu. Pacar Om itu kelihatan sombong sekali, melihat kita-kita ini kayak ngeliatin pe-es-ka murahan aja.”

“Ah tidak benar itu. Rena itu baik kok.”

Kami kembali diam. Lama.

“Om.”

“Ya?” Aku tetap memusatkan perhatian ke jalan yang penuh kendaraan lain.

“Berapa … berapa … om mau membayar kalau aku … kalau aku .. ngasi .. keperawananku?” Aku terdiam. Pertanyaan yang sama sekali tidak aku sangka-sangka.

“Berapa kamu minta, Ermita?”

“Berapa Om menilai harganya?”

Aku terdiam lagi beberapa saat. Ku ingat di New York tarifnya seratus dollar sekali main dibawa ke hotel. Itupun pelacur jalanan yang mangkal di traffic light dengan risiko ditangkap polisi dan terjangkit penyakit kotor kalau bukan AIDS. Lady Escort high class 500 dollar per-jam di luar tip dan dia akan mendesak klien-nya make kondom. Dan perawan cantik seperti bidadari disampingku ini?

“Sepuluh juta rupiah Ermita? Atau duapuluh?”

“Om sanggup membayar 20 juta rupiah untuk saya? Untuk satu kali saja?”

“Mengapa tidak? Tigapuluh juta aku juga sanggup bahkan lebih.” Aku tahu aku berkata jujur.

“Om, aku minta sepuluh juta saja, tapi Om belikan aku pil anti hamil.”

“Kamu sungguh-sungguh Ermita?”, aku menoleh sejenak melihat ke wajahnya*”

“Ya”, katanya pendek.

“Mengapa tidak 30 juta? Aku juga bisa membelikanmu pil anti-hamil.”

Dia menggeleng. “Rasanya seperti menjual diri betul.”

“Jadi dengan sepuluh juta bukan menjual diri?”

“Sepuluh juta aku minta karena keperluan untuk bayar tunggakan uang sekolah dan untuk pendaftaran ujian akhir. Kalau ndak, tidak bisa ikut ujian.”

“Jadi dengan sepuluh juta itu bukan menjual diri, Ermita?”

“Bukan. Om menilainya lebih tinggi kan? Dan aku menyerahkannya pada Om.”

“Menyerahkan demi uang.”

“Menyerahkan karena Mita sayang Om.”

Gombal, teriakku dalam hati.

Kami telah sampai. Segera kumasukkan mobil ke garasi. Dari garasi kami ke dapur. Kumasukkan beras ke periuk rice cooker, kupanaskan rendang beserta bungkus daun pisangnya ke microwave, lalu kari ayam, lalu ikan goreng. Ermita menunggu di meja makan. Aku menyiapkan semuanya. Cocacola kaleng, gelas dengan air es, dan kutuang anggur manis Malaga kedalam sloki cantik. Irisan tomat dan kol mentah. Setelah nasi masak kami makan dengan berdiam diri.

Dan makan itupun selesai. Ermita menghirup anggurnya. Aku juga. Lalu dia permisi ke kamarmandi. Kembali lagi ke meja makan dan kami berdiam diri lagi. Limabelas menit sudah berlalu, kelihatannya dia menunggu aku, tapi aku diam saja.

Akhirnýa aku masuk ke kamar mengeluarkan uang tiga juta dari kantong, jumlah maksimum yang bisa kuambil tadi saat singgah di mesin ATM selagi Ermita menunggu di mobil: Ditambah sekitar lima juta persediaan uang tunai cadanganku yang masih ada di lemari, kumasukkan uang itu ke balik kemejaku dengan lebih dulu membuka kancingnya. Delapan puluh lembar seratus ribu dan lima puluh ribuan.

“Oke Ermita, kuantar kamu pulang.”

“Kenapa?”

“Aku tidak punya uang tunai sepuluh juta sekarang. Saya biasa memakai credit card. Dan bank-nya tadi sudah tutup. Saya akan mengambil perawanmu setelah aku punya sepuluh juta.”

Kutarik dia dari kursi dan kubimbing ke garasi. Seperti sebelumnya kududukkan dia di mobil lalu kulumat mulutnya. Kami tidak berbicara apapun sampai aku menghentikan mobil di mulut gang menuju rumahnya. Sebelum dia turun kutanya: “Ermita, apakah tujuh setengah juta cukup untuk membayar uang sekolahmu yang belum dibayar?” Aku mengeluarkan uang itu dari balik kemeja dan memberikan kepadanya. Dia menatapku. “Cukup Om”, katanya. Dan dia turun.

Esoknya pulang dari kantor kulihat Ermita menunggu di depan gerbang rumahku dengan sebuah bungkusan. Memakai T- shirt dan blujins yang dia pakai kemarin. Kubuka pintu mobil dan dia naik, lalu mobil kuteruskan masuk ke garasi.

“Bungkusan apa, Ermita?”

“Nasi bungkus Om.”

“Nraktir ya?”

“Iya.”

“Ayo kita makan.” Dari garasi kami masuk ke dapur. Di dapur kuraih bungkusan nasi dari tangannya dan kuletakkan di counter dapur. Lalu kutarik tubuhnya dan kulumat mulutnya yang sensual itu. Diberikannya lidahnya yang segera kusambar dan kuhisap. Kutarik T-shirt-nya ke atas dan kujelajahi dengan mulutku lereng bukit diantara belahan dadanya sembari tanganku menanggalkan kaitan BH di punggungnya. Tak lama penutup payudara itu sudah kulempar ke lantai dapur. Tak babar kuhisap putingnya berganti-ganti kiri dan kanan, bahkan kugigit gemas. Kulihat wajahnya meringis mungkin terangsang atau mungkin oleh sebab lain, aku tak begitu peduli. Terus kuangkat tubuhnya dan melangkah hendak kupondong ke kamar tidur. “Om bawa pakaianku”, bisiknya dalam pondonganku. Kuturunkan dia kembali ke lantai untuk memungut T-Shirt dan bra-nya. Lalu kupondong dia lagi, kubawa ke kamar tidur dan kutegakkan dia di sana selagi aku mengunci pintu kamar. Lalu aku berjongkok menanggalkan sepatunya lalu menanggalkan kaitan dan menarik resleting blujins-nya sambil memandang keindahan buah dadanya yang seperti batok kelapa dan wajahnya yang merah padam.

Kuturunkan blujins itu ke bawah sekalian dengan celana dalamnya sehingga vaginanya yang indah terpampang sejenak di depan mataku sebelum dia menutup dengan kedua tangannya. Sekalipun demikian dia membantu aku meloloskan blujins dan celana dalam dari kakinya itu dengan mengangkat mula-mula yang kiri kemudian yang kanan. Ermita berdiri telanjang bulat dengan kedua tangan di selangkangan sewaktu aku buru-buru menanggalkan pula seluruh pakaianku. Mataku terus saja menikmati keindahan tubuhnya yang bagai patung perunggu Dewi Venus itu saat aku menelanjangi diri. Sepatu, dasi, jas, kemeja, singlet, lalu celana dan kolor kutarik sekali jalan. Semuanya kulempar saja di lantai.

Kulihat matanya melihat ke penisku yang mengacung tegak dua puluhan sentimeter dengan bonggol kepala yang sudah sering mendapat pujian para perempuan yang pernah kutiduri. Mukanya semakin merah padam. Kudekati dia, kupondong dan kukecup lagi lalu kubawa ke tempat tidur.

“Apa yang akan kita lakukan, Ermita?” bisikku tersengal di telinganya sambil membaringkan dia di ranjang. “Bersetubuh”, bisiknya gemetar.

“Kemana kita berdua akan berlayar, Ermita?” bisikku lagi.

“Ke langit yang ke-tujuh”, bisiknya hampir tak terdengar. Aku menyertai dia berbaring miring di ranjang. “Ya, kita akan mengharungi sorga dunia. Kamu pernah ke sana sebelumnya?”

“Belum, Om saja yang nunjukin jalan.”

“Jangan khawatir, akan Om tuntun kamu baik-baik.”

Lalu kususupkan lenganku di bawah tengkuknya. Kucium belahan dadanya dan naik ke leher. Baru keringatnya harum sekali. Dia merangkulkan tangannya ke leherku. Aku bisa mendengar degupan dadanya yang cepat sekali.

“Om”, desahnya. “Mita ingin merasakan Om.”

“Iya sayang, Om juga ingin sekali. Kamu cantik sekali Ermita. Bentuk tubuhmu bagus sekali. Sempurna.” Hirupan nafasku memang sudah panjang-pendek karena darah yang bergelora dan mengalir kencang. Langsung kuposisikan tubuhku di atas badannya dan merenggangkan pahanya dengan kedua lututku dan bermaksud menuntun batang kelelakianku untuk langsung ditancapkan ke liang nikmatnya.

Tetapi tiba-tiba aku sadar aku harus mengendalikan diri, tidak boleh terburu-buru. Aku sedang hendak merobek selaput dara seorang gadis perawan yang belum pernah dimasuki laki-laki. Dia bisa kesakitan sekali kalau aku tidak menyiapkannya lebih dulu. Dan kalau dia terus kesakitan aku juga bakalan sukar menikmati.

Dengan pikiran itu aku mulai mengalihkan perhatian pada gundukan dadanya yang kuserang dengan ciuman gemas diselingi remasan tangan. Lalu lehernya kembali kusosor dan kujilat, lalu hidung dan mulutku kembali ke celah diantara buah dadanya, kedua ketiak di bawah lengannya, lalu putingnya kugigit dan kuremas gundukan itu lagi dengan kedua tanganku. Tanpa memperhatikan reaksinya yang menggelinjang dan mendesis-desis setiap bagian tubuh atasnya yang peka kuserang, sebelah tanganku menyelip ke balik punggungnya, lalu ciuman dan jilatanku turun ke pusar. Dan tanganku turun dari punggung ke pinggangnya yang ramping, mengusap mesra lereng bukit panggulnya yang seksi saat aku menggeser tubuh ke bawah dan cumbuanku turun ke tumpukan jembut halus dan klitorisnya, mengecup dan menjilat dengan lidahku disana beberapa menit yang membuat dia semakin merintih-rintih. Lalu aku bergeser turun ke bawah beralih ke kakinya. Kuciumi jari dan telapak kedua kakinya, kumasukkan jempol kakinya ke mulutku dan kuhisap. Lalu beralih ke betisnya, mencium dan menjilat juga di sana, lalu lipatan lutut berganti-ganti kiri dan kanan, naik ke paha dan pangkal paha yang setengah mengangkang diantara kepalaku. Sebelah tanganku kembali masuk aktif membelai dan meremas lekuk pinggang dan panggulnya. Lalu kucium mesra gundukan hutan apemnya yang berdaging tebal. Lalu beralih ke celah memiawnya kukuhum labia mayoranya, lalu kelentit dan labia minoranya. Kurasakan dia mengangkat-angkat panggulnya dan tangannya menjambak rambutku. Kujilat terus sampai air kewanitaannya tergenang membanjir mendekati orgasme. Cukup sudah. Saya kira dia sudah siap untuk kumasuki tanpa merasa terlalu sakit. Akupun merayap naik di atas badannya. Kembali kukuakkan kedua pahanya dengan kedua lututku, dan dia menekukkan lututnya ke atas dan membuka kangkangannya lebih lebar memberi tempat pada panggulku. Kuambil posisi yang pas dan dengan sebelah tangan kutuntun penisku ke mulut liang vaginanya yang sudah tergenang dan kucecahkan di sana. Kurasakan reaksi tubuh Ermita yang meregang saat bonggol penisku yang lezat bagi perempuan menyelinap ke mulut liang nikmatnya. Dan dalam landaan gejolak birahi remajanya yang minta ditudtaskan seperti juga aku yang sudah dikuasai syahwat, Ermita dengan nafas tersengal-sengal merintih, dia tahu sebentar lagi kegadisannya akan kuambil. Kedua tangannya dipanggulku. “Pelan-pelan, Om”, isaknya lirih.

“Pelan-pelan apa sayang?” tanyaku tersengal, pura-pura bertanya.

“Pelan-pelan ngambil perawanku”,°

“Kalau pelan-pelan ndak enak, Ermita. Om mau mendobrak kegadisanmu, merobek selaput daramu dan melumatnya sampai tak bersisa lagi.”

“Mita takut sakit banget Om,” mulutnya mengatakan itu tetapi tarikan nafasnya dalam sekali menahan hasrat birahi yang minta segera dipenuhi. “Nanti Mita di sekolah diketawain jalan ngangkang.” Aku tak tahan menahan tawa, dan Ermita juga tertawa. Birahi kami agak mongendor karenanya. Lalu aku kembali melumat mulutnya, lalu gumpalan dada dan putingnya, Dan penisku kembali kubenam mesra di celah labia di mulut senggama-nya. Aku sudah tidak tahan lagi. Kudorong lebih dalam dan kurasakan ujung kepala penisku menyentuh hymen-nya, itulah santapan lezat bagi kepala butuhku.. “Sekarang ya Ermita?”

“Hmmh”, dia tersengal.

“Om dobrak ya?”

“Hmmh”, dia tersengal lagi mengusapkan jepitan pahanya ke panggulku.

“Om pecahkan selaput daramu ya sayang? Om ambil kegadisanmu ya?”

“Mmmh, ambillah Om, Mita serahkan buat Om”, dia sudah menyerahkan perawannya untuk diambil olehku dengan cara apa saja yang aku maui. Kulumat mulutnya, kuremas dadanya dengan sebelah tanganku. Kuperkuat posisi lututku di kasur dan bagaikan Ronaldinho yang mendapat umpan manis dalam kejuaraan Piala Dunia, dengan satu gerakan indah akupun mendobrak masuk ke gawang Ermita. Kurasakan selaput daranya robek diterjang kepala penisku. Dia menjerit lirih, cepat kusumpal mulutnya dengan mulutku dan kubenamkan penisku lebih dalam. Kulihat airmatanya keluar. Duhhh nikmatnya. Betul-betul nikmat, baru sekali ini aku menikmati gadis perawan. Kurasakan dia menjepit keras batang kejantananku. Kucium keningnya. “Sakit sayang?”

“Perih”, bisiknya di telingaku. Aku tak bisa menunggu lama, birahiku yang menggelegak minta dituntaskan.

“Om lanjutkan ya sayang?” Dia tidak menjawab. Kutikamkan lagi tombak tumpulku sehingga terpuruk sampai ke pangkal. Kulihat matanya basah dan keringat keluar di bawah anak rambut, di alis dan ujung hidungnya.

Tapi aku sudah tidak sabar. Segera saja dia kugenjot. Untuk mengalihkan perhatiannya dari rasa perih kuganggu dia.

“Kamu masih perawan sekarang Ermita?”, kugenjot dia dua kali lagi.

“Ya tidak lagi dong”, dia mendesis dan mencubit lenganku. Sesudah sepuluh genjotan lagi keluar masuk memiawnya tampaknya dia sudah tidak merasa perih lagi dan nafsunya bangkit lagi.

“Siapa yang ngambil perawanmu?” kataku sementara terus kugenjot lagi.

“Om Robby.”

“Om Robby siapa? Pacarmu?” kugenjot dia terus dan dia mulai menanggapi dengan menggoyang panggulnya. Tampaknya perihnya sudah hilang digantikan oleh birahi naluri hewannya.

“Maunya iya, tapi ndak bakalan dapat.” Dan kini dia melingkarkan kedua tangannya di leherku dan mulut kami saling melumat lagi. Goyangan panggulnya juga semakin liar menyambut genjotanku. Aku tahu ini goyangan alami yang spontan, reaksi seorang perempuan berdarah panas, bernafsu besar. Kulumat lagi mulutnya. Nafsuku makin bergejolak. Dan seperti kesetanan kutusuk lagi dia lebih dalam sampai seluruh batangku tenggelam lagi dan kepala penisku menyentuh dasar rahimnya. Lalu kukocok dia habis-habisan. Entah berapa lama aku memompa dahsyat saat dia melolong ketika kupurukkan lagi batang kejantananku sedalam-dalamnya untuk menyemprotkan bongkahan-bongkahan spermaku ke celah paling jauh bilik rahasia peranakannya. Aku meregang tubuh dan berteriak dan dia juga berkelojotan, otot-otot vaginanya mencengkeram dan bagai memerah sperma batang kelelakianku sampai kering sembari tangannya menarik kepalaku lalu mulutnya lengket menghisap mulut dan lidahku. Rupanya dia juga orgasme dengan hebat, walau pada saat-saat terakhir tadi aku tak peduli dia lagi. Aku hanya memikirkan kenikmatan bagi diriku, hendak mereguk dia sepuas-puasnya, karena bukankah ini adalah jual-beli? Aku hendak menikmati yang dapat dibeli uangku dengan sebaik-baiknya. Tapi ternyata diapun sangat menikmati keseluruhan permainan itu. Karena dia juga terang sangat menikmati saat perawannya kurobek walau perih. Aku tahu betul itu.

Aku masih menggerak-gerakkan penisku beberapa saat dalam lobang vaginanya dan masih terus menghimpitnya beberapa lama. Dan setelah semuanya reda baru aku turun dari tubuhnya. Segera aku turun dari pembaringan pergi ke kamar mandi. Kuperiksa penisku yang masih panjang setengah tegang. Kulihat serabut-serabut jaringan merah darah lengket di rambut kemaluanku, dan juga batang penisku berlumar campuran sperma dan lendir warna merah jambu. Setelah kubersihkan aku ke luar kamar mandi masih bertelanjang. Kulihat dia sudah duduk di pembaringan. Di bekas tempat dia berbaring di bagian panggulnya juga kulihat cairan merah jambu bercampur serabut merah seperti yang kulihat di penisku.

Aku tak berbicara apapun kepadanya. Entah mengapa setelah berhasil mendapatkan kegadisannya aku jadi sinis dan jijik. Perempuan ini pelacur yang menjual keperawanannya. filmbokepjepang.com Entah kepada siapa lagi dia jual dirinya sesudah ini. Aku membungkuk mengambil dan memeriksa kantong jas-ku. Di sana sudah kusiapkan pil anti hamil yang kubeli di rumah obat sewaktu jam makan siang tadi dan uang tunai yang kutarik dari bank-ku tiga juta. Masih bertelanjang kuberikan uang itu padanya. “Ini uang kekurangannya Ermita. Dan ini pil anti-hamil. Tetapi sesudah ini tolong, tidak ada lagi hubungan antara kita. Aku tak mau lagi melihatmu berdiri di depan pintu halaman rumahku. Dan jangan lagi pernah menegur aku kalau kita berpapasan.”

Kulihat dia termangu. Barangkali tak pernah dia menyangka aku akan sampai hati mengatakan itu. Tapi aku tak peduli. Aku memang ingin hubungan antara aku dan dia berakhir sampai disini saja. Aku harus melindungi nama dan martabatku di depan umum.

Dikenakannya kembali semua pakaiannya. Diambilnya pil anti hamil, melangkah ke pintu membuka kunci dan keluar meninggalkan kamar. “Kok kamu tidak bawa uang ini?”, teriakku. Tidak menjawab dia terus melangkah berjalan ke pintu samping ke garasi lalu keluar ke gerbang terus ke jalan dengan rambut awut-awutan persis pelacur murahan yang baru saja digarap habis-habisan.

Sudah tiga bulan berlalu, ketika aku menerima kabar itu dari Andi lewat telpon.

“Om, Om masih ingat Ermita yang Om tolong antar pulang beberapa bulan yang lalu?”

“Iya kenapa Andi”, tanyaku berdebar.

“Dia dikeluarkan dari sekolahnya Om, karena hamil. Untung deh bukan aku yang ngerjain Om.”

Aku bergidik, kurasakan keringat dingin memercik. “Sejak kapan itu Andi?” aku berusaha keras agar tidak ada perubahan pada nada suaraku.

“Kurang jelas, tapi saya dapat kabar hari ini dari temannya. Anaknya memang aneh Om. Penampilan di luar kayak malu-malu dan alim, tetapi rupanya makan dalam.”

Intuisiku mengatakan aku akan mendapat masalah besar. Apakah Andi curiga dan menduga-duga? Mengapa dia menelpon aku memberitahu ini?

Dan benar saja. Masih jauh mobilku dari gerbang, aku sudah melihat dia berdiri di sana. Kuhentikan mobilku, membuka pintu untuknya, dan kuteruskan mobilku masuk ke garasi.

Kumatikan mesin mobil dan aku memandang kesamping melhatnya lebih teliti. Matanya sembab karena menangis.

“Om… saya hamil”, dan tangisnya tumpah meledak. “Saya diberhentikan dari sekolah, Om… Om tolonglah saya.” Dia menoleh padaku menghiba. “Saya ndak tahu apa yang mesti dilakukan Om.” Dia tersedu-sedan. Wajahnya penuh airmata.

“Kenapa jadi begini, Ermita? Apakah tidak kamu gunakan pil itu?”

“Pil itu tidak mempan Om. Mens saya terus saja tidak datang lagi sejak itu,” dia terisak-isak..

“Bagaimana sekolah bisa tahu sedang perutmu belum kelihatan sama sekali, aku melihat ke perutnya yang tampak masih saja ramping.

“Itu kesalahan Mita, Om. Mita curhat sama teman bilang takut mens Mita tidak datang, tapi dia rupanya mengatakan sama semua orang sampai guru dan kepala sekolah memanggil Mita dan dibawa paksa ke dokter kandungan.”

“Apa kata dokter itu?”

“Mita katanya positif hamil Om.”

Aku tercenung. Apa yang harus kulakukan? Aku tak berani membawa dia ke dokter pengguguran kandungan. Koran-koran sedang ribut memberitakan dokter aborsi gelap yang ditahan polisi karena pasiennya meninggal. Perhatian umum lagi kesana. Aku bisa masuk penjara kalau terjadi apa-apa pada Ermita. Atau kubawa dia ke Singapura?

“Apa maunya kamu, Ermita?”, tanyaku setelah diam beberapa lama.

“Digugurkan supaya saya bisa sekolah lagi dan ujian dua bulan lagi”, dia tersengguk lagi.

“Tapi kamu kan sudah diberhentikan?”, tangisnya makin keras. Berhenti dari sekolah tampaknya pukulan sangat berat baginya. Tampaknya dia ingin sekali dapat menyelesaikan SMU-nya dengan ijazah. Aku kembali berpikir keras.

“Kamu menyebut namaku kepada temanmu atau kepada kepala sekolah atau orang lain?”

“Tidak Om, saya tidak menyebut mengenai Om pada siapapun, walau ditanya. Saya tahu semuanya salah saya. Biarlah mereka mengejek saya perek”.

“Kamu sudah bayar uang sekolah lunas?”

“Sudah Om.”

“Dan bayar uang ujian?”

“Juga sudah Om.”

“Om akan minta tolong bapaknya Andi untuk menggertak kepala sekolah itu supaya kamu dibolehkan ikut ujian. Dia saudara kandung Om, seorang kolonel yang disegani preman Pasar Senen. Biar kepala sekolah kurangajar itu ketakutan.” Aku mengkertakkan gigi, geram.

Tangis Ermita belum berhenti. Dia menoleh ke arahku.

“Dan bagaimana dengan perutku ini, Om?” Dia meletakkan telapak tangan di perutnya.

“Apakah kita harus membunuh dia?” Ermita terperanjat mendengar ucapanku. Dia menatap tajam. “Dia belum manusia!”, protesnya, “dia masih sperma orang kaya yang mau iseng!!”

“Tiga bulan dia sudah manusia, Ermita. Sudah ada kepalanya, sudah ada tangan, kaki dan jari-jarinya meskipun masih kurus. Dan menggugurkan kandungan juga berbahaya. Kamu bisa mati. Dan kalau kamu mati saya masuk penjara.”

“Jadi bagaimana?? Apa saya harus mengandung anak tanpa bapak ini sembilan bulan lalu dicemplungkan di kali?” Aku tak dapat menahan tawa dan dia juga jadi ikut tertawa dalam tangis.

“Kenapa tanpa bapak? Apa kamu memberikan dirimu pada orang lain?” Dia kembali menoleh padaku tajam. “Rupanya Om memang mengira aku ini lonte!” katanya setengah berteriak.

“Jadi bapak janin dalam perutmu itu kamu tahu aku kan?”

Dia jadi tenang, mengangguk.

“Ibumu tahu kemana kamu pergi?”

“Tidak, aku lari dari rumah.”

“Aku akan menyuruh orang memberitahu ibumu bahwa engkau tidak apa-apa supaya dia tidak melaporkan kamu hilang ke polisi.”

“Mengapa tidak mendatangi sendiri?” Aku diam.

“Dan aku?”

“Kamu tinggal dengan aku disini sampai anakmu lahir. Apa kamu tidak suka tinggal bersamaku di rumah ini?”

“Sebagai gundik?”

“Sebagai apa saja menurut anggapanmu”, kataku ketus. “Tetapi apa yang aku punya kamu boleh memiliki dan menggunakannya. Apa yang aku makan, kamu juga ikut makan. Kamar tidurku adalah kamar tidurmu juga, tempat tidurku adalah tempat tidurmu juga”, kataku dengan nada membujuk.

“Gundik”, katanya tertawa sinis. Aku tak menanggapi. Aku tak mau terperosok kedalam kerangkeng yang sama sekali tidak aku kehendaki. Aku hanya sedang mengendalikan situasi dengan kepala dingin kalau tidak ingin menghadapi masalah lebih sulit lagi. Dia bisa dihasut orang untuk mencari pengacara menggugat aku. Atau ini bisa menjadi berita suratkabar, bukan tidak mungkin aku diberhentikan perusahaan karenanya.

“Terserah kamu mau menyebut apa saja. Tapi aku tak akan memaksa kamu melakukan sesuatu kalau kamu tidak mau.”

Dia diam sebentar.

“Sampai kapan?”

“Sampai anakmu lahir. Aku akan minta penugasanku di sini diperpanjang enam bulan.”

“Anakku?”

“Anakmu dan anakku.”

“Sesudah itu bagaimana?”

“Kita serahkan dia untuk diasuh ibumu. Aku akan memberi dana seratus juta untuk kesediaannya. Dan kamu bisa melanjutkan ke perguruan tinggi. Aku akan memberi uang masuk.”

“Saya mau digugurkan saja”, katanya.

Aku mengkertakkan gerahamku menahan marah.

“Kamu mau apa tidak?!”, teriakku. Dia diam, lama, tapi tak menangis lagi.

“Oke, aku jadi gundik.” katanya akhirnya.

Dan jadilah Ermita tinggal bersamaku.

Aku menyetubuhinya setiap malam. Bukan hanya setiap malam, setiap pagi juga, dan saban pulang kerja saat masih siang hari. Dan bersetubuh dengan Ermita nikmat sekali, karena dia juga sangat menyukainya. Nafsu birahinya meledak-ledak. Seimbang dengan gelora syahwatku yang seperti badei dan meletup-letup setiap menggumulinya, memompanya selagi dia bergelayut di leherku. Tidak hanya di ranjang, tetapi juga di meja makan, di sofa, di counter dapur, di kamarmandi, di lantai beralas selimut atau di kursi. Dan aku mengajarinya bahasa Inggris, aljabar, IPA, civic dan lain-lainnya dari buku pelajaran sekolahnya, mempersiapkan dia ujian akhir.

“Gimana punya guru aku, Ermita?”

“Sip. Guru pinter, lulusan MIT, ngerti apa saja, dan habis ngajar bisa dijilat dan dikulum seperti es krim, dan ditunggangi seperti kuda. Kalau guru sekolah mana bisa”. Dia cekikikan dan aku memencet hidungnya.

Dan bersetubuh dengan dia dari hari ke hari semakin lezat. Dia semakin pintar mengetahui cara membawa aku ke puncak kenikmatan sejalan dengan keinginan dan keperluan birahinya yang terutama dia tunjukkan kalau menempati posisi di atas. Goyangan panggul dan sedotan liang nikmatnya benar-benar membuat aku ketagihan dan semakin jatuh cinta padanya.

Tetapi kesedihan itu datang. Ermita keguguran. Restroom bowl penuh darah.

Kularikan dia ke dokter kandungan terdekat. Mukanya pucat-pasi. Tapi aku lega dia selamat.

“Om, sekarang aku sudah bisa dicampakkan lagi”, katanya melingkarkan tangan di leherku saat aku mengangkat dan menggendongnya dari mobil masuk ke rumah.

Campakkan? Aku semakin terperosok jatuh cinta padanya. Apalagi yang kucari dalam hidup ini? Aku sekarang sudah mengenal Ermita, bukan saja semua bagian tubuhnya yang nikmat, tetapi juga pribadinya yang polos dan jujur. Dia juga cerdas, hanya kemiskinan sajalah yang akan menyebabkan dia tak bisa berkembang. Tapi berilah dia kesempatan mengenyam pendidikan. Dan aku tahu dia jatuh cinta banget padaku, suka sekali pada genjotanku dan ingin menjadi isteriku. Dan aku yakin dia akan menjadi isteri setia. Kami menikah dengan upacara sederhana yang hanya dihadiri beberapa orang termasuk ibu dan adik-adiknya. Dan Ermita ikut ujian akhir SMU dan lulus dengan nilai baik sekali.

****

Lima tahun kemudian seorang perempuan Indonesia yang audzubile cantiknya keluar dari kantornya, melangkah di trotoar jalan Broadway Avenue di jantung kota New York. Mengenakan blus sutra warna gading tanpa lengan dan rok span hitam setengah paha yang menunjukkan busungan dada, lekukan pinggang dan panggul sempurna yang bergoyang indah, sunglasses, tas tangan menggantung di samping kiri dan blazer disandang di bahu, dia kelihatan luar biasa cantik dan seksi sekali. Dia sedang menuju ke bangunan parkir bertingkat, kelihatannya hendak mengambil mobilnya.

“Hai nyonya”, tegurku. Dia menghentikan langkah, menoleh.

“Ihh kukira pengemis Jakarta minta recehan,” katanya.

“Bukan playboy bernama Om Robby?”, kataku tertawa.

“Iya playboy yang jadi bapak kedua anakku”, katanya.,,,,,,,,,,,,,,,,,,

TAMAT.

Related posts