Siap Laksanakan
Spoiler: Click Here! Halo suhu – suhu semuanya! Baru kali ini saya kepikiran buat bikin thread. Jadi, selamat menikmati thread pertama saya di sini! Kritik dan saran sangat dipersilahkan. Cheers Spoiler Btw, jangan salah sangka ya suhu suhu semua. Saya gak salah room kok, emang alurnya akan sedikit bikin bingung di awalannya
Hari Jumat, 05.45
“Dhit, Dhito. Dhit bangun udah jam 6”
Mataku terbuka, tapi tidak bisa terbuka penuh karna ada cahaya terang dari jendela. Cahaya matahari telah berpergian sejauh 149,6 juta kilometer, dan sekarang sudah sampai di jendela kamarku, bersiap mengetuk kaca dan membangunkanku. Tapi alarm alami ku mendahuluinya
Kulihat ibu negara di rumahku berada di samping kasurku dan sudah sangat rapi
“Mama rapi banget? Mau ke mana?” Tanyaku dengan perasasaan bingung. Bingung karena mama ku sudah rapi, atau bingung karena nyawa masih setengah
“Lah gimana sih, Mama kan mau ikut Papa kunjungan ke cabang Bali. Sana cepetan mandi!”
Ah, aku baru ingat
Papa adalah seorang Manager di sebuah cabang perusahaan pendidikan di kota yang penduduknya dikenal kasar tutur bicaranya. Setiap sebulan sekali, beliau selalu keliling Indonesia untuk meeting bersama Manager dari cabang lain. Ada kalanya meeting dilakukan di cabang Papa, jadi Papa tidak perlu repot repot untuk keluar kota
Dan Mamaku, seorang ibu negara yang tempat kerjanya di rumah, alias ibu rumah tangga. Dulu sempat bekerja di salah satu bank swasta di Indonesia. Tapi beliau pensiun muda di umur 35 tahun.
Aku? Seorang cowok biasa saja, 25 tahun, single, gamer, keyboardist, dan bodo amat dengan trend yang sedang ada. Tapi setidaknya aku punya beberapa hal yang bisa dibanggakan. Saat ini aku menjabat sebagai Marketing Supervisor di salah satu start up yang sudah besar di sini, dan sejak umur 20 tahun, aku sudah bisa membeli mobil, keyboard + amplifier, dan sebuah computer gaming full set sendiri (meskipun saat itu beli mobilnya 80% uangku, 20% uangn Papa)
Yup, dari jaman kuliah aku sudah bisa mencari uang sendiri dari hasil ngamen dan kerja freelance sebagai copywriter.
Jam 06.15
Sekarang aku sudah rapi.
Pasang headset, ambil kunci motor, dan siap berangkat ke kantor.
“Eits jangan pakai motor. Hari ini pulang jam berapa?” Tiba tiba mama menarik tasku
“Lah kenapa ma? Hari ini ya sama jam 5 pulangnya”
“Nah pas. Kamu bawa mobil aja ya. Nanti jam 6 mampir bandara, jemput si Vania”
“HAH? VANIA?” Tanyaku sedikit berteriak. “Dia kok tiba tiba pulang?”
“Dia cuman numpang sampe besok. Besok kan Pakde Bude baru pulang dari Medan. Kalo Vania langsung pulang ke rumahnya. Kamu tau sendiri, Pakde Bude mu kan gamau kalo Vania sendirian di rumah. Besok mereka pulang dari Medan langsung jemput Vania di sini kok, terus mereka langsung pulang ke rumahnya. Udah sana berangkat, ini bekalnya”. Tidak lupa, Mama menyodorkan rantang kecil untuk makan siangku di kantor.
Aku heran kenapa banyak orang seusiaku yang malu jika dibawakan bekal oleh ibunya. Padahal itu salah satu cara penghematan. Dan lagipula, itu masakan seorang ibu! Tidak ada tandingannya!
“Yaudah deh. Ini mama ke bandara naik apa? Sekalian aku anter?”
“Gausah. Papa mama naik taxi aja. Udah pesen juga kok”
“Okedeh. Aku berangkat dulu, Pa, Ma” Kuambil tangan kedua orang tuaku dan menciumnya
Seperti pesan para orang tua, pamit lah ke orang tuamu sebelum berangkat ke manapun. Terutama kalau pamit untuk mengejar pendidikan dan mengejar rezeki
Mobil ku nyalakan, tak lupa ku sambungkan bluetooth mobil dan bluetooth handphone. Open spotify – select hard/rock playlist- now I am ready to rock this day
Jam 07.15
Mobil sudah terparkir rapi, kuambil tas dan rantang di jok belakang.
Aku berjalan masuk kantor. Pintu dibuka oleh Security
“Pagi, mas Dhito. Pagi seperti biasa ya”
“Pagi, pak Rahman. Iyo wes biasane, pak. Daripada telat kan mending dateng duluan. Masuk dulu, pak. Monggo”
“Monggo, mas”
Aku ingat, ketika baru masuk, awal awal jadi staff di sini, aku dipanggil “Bapak” oleh semua security dan OB. Yang di mana itu adalah peraturan kantor. Tapi selang seminggu kemudian, aku memaksa mereka untuk sekedar memanggil “Mas” saja, atau perlu panggil nama sekalian. Pikirku, buat apa aku dipanggil “Bapak”? Toh aku juga masih muda.
Ruangan ku sudah siap untuk aku huni selama seharian. Tanganku sudah berada di gagang pintu. Lalu terdengar teriakan yang selalu memekakakan telinga.
“PAGI, MAS DHITO!”
Sumber teriakan itu berasal dari mulut seorang wanita berusia 23 tahun. Dia imut, berbadan pendek, tapi mempunyai bentuk tubuh yang sangat ideal.
“Lah, Cindy. Tumben banget kamu jam segini sudah datang? Biasanya juga mepet jam 8”
“Iya nih, mas. Huhu. Kemarin lupa banget aku ngeprint berkas berkas promosi yang mau dikirim ke kampus kampus. Jadi tadi aku jam setengah 7an udah nyampe sini terus langsung ngeprint semuanya. Tapi ini udah selesai semua kok, mas. Hehe”
Tawa kecil itu, senyuman itu, dan mulut itu. Selalu membuatku teringat kejadian di awal awal dia menjadi staff baru di sini. Di mana pertama kali aku menjamah bibir, dan seluruh badannya. Membongkar sebuah rahasia pribadi yang selalu dia pendam dan dia sembunyikan dibalik tingkah laku dan jilbab yang selalu dia pakai ke manapun dia pergi serta pakaian yang tidak mencetak lekuk tubuhnya.
Ah. Rasanya terlalu panjang jika aku ceritakan di sini.
“Halah kamu ini. Orang deadlinenya kan masih nanti sore. Kenapa buru buru?” Jawabku sambil berjalan masuk ke ruangan lalu menaruh semua barangku di atas meja
Aku duduk di kursi lalu menyalakan komputer. Cindy mengikutiku dan duduk di kursi depan mejaku.
“Ya kan gaenak aja, mas. Biar hari ini kerjanya cuman dikit gitu niatnya. Eh malah lupa”
Cindy sudah setahun di sini. Dia menggantikan aku sebagai Content Writer ketika aku diangkat menjadi Marketing Supervisor. Salah satu yang aku suka dari kinerjanya adalah tanggung jawabnya. Dia jarang sekali melebih deadline. Bahkan hampir tidak pernah. Misal deadline di hari Senin, maka hari Minggu sore softcopy kerjaannya sudah dikirim ke email ku dan Managerku. Meskipun untuk revisi dan approval akan dilakukan di hari Senin.
“Mas, pagi ini mau ngapain?”
“Ya biasa. Abis ini paling mau bikin kopi terus ngerokok dulu”
“Hehe. Mas, yuk ke atas” Dia menawarkan sesuatu yang sangat tidak aku duga. Dengan senyum manis, nada manja, dan mata yang merayu
“Masih pagi woy! Ngawur nih. Baru kali ini lho kamu ngajak pagi pagi gini”
“Ke atas”, kode yang hanya berlaku untukku dan Cindy. Kode untuk suatu tempat. Suatu sudut di tangga darurat, tempatku untuk menyendiri dan merokok, di antara lantai 4 dan lantai 5, tempat yang jarang dilewati oleh staff lain, tempat di mana menjadi saksi bisu cerita ku dan Cindy selama hampir setahun ini. Mulai dari sekedar kissing, handjob, blowjob, bahkan quickie.
“Mas. Bentar aja. Please. Udah gatel dari kemarin” Dia masih merayu sambil mencubit pelan lenganku.
“Gitu kenapa kemarin ga bilang?”
“Ih kan kemarin aku nungguin kamu, mas. Tapi aku gatau kamu meeting dulu sampe malem. Kalo aku nungguin kamu kan dikira yang enggak enggak. Lah kok aku lupa mau ngechat kamu pas di kantor. photomemek.com Pas nyampe kosan aku ketiduran. Bangun bangun udah jam 10 malem. Apesnya lagi pulsa abis, paketan abis, wifi kosan juga mati! Yaudah aku kentang dari kemarin malem. Ayo dong, maassss. Masih jam 08.30 lho ini, bentar aja ya”
Selain tanggung jawab yang aku suka, hal lain yang aku suka dari anak ini adalah keagresifannya. Apalagi agresifnya hanya ke aku! Ya, dia ke orang lain sangat biasa saja. Tidak menunjukkan bahwa dia bisa seliar ini. Bahkan ketika lagi nongkrong sama anak kantor dan lagi ngobrolin sesuatu yang dewasa, dia berakting seolah dia tidak paham apa yang sedang dibicarakan. Sampai sampai orang kantor menyebut dia sebagai Cindy bocah polos.
Wajah manja Cindy seakan membuat my little-big brother meronta, “Sudah terima saja tawarannya! Ini masih pagi, aku masih fresh!”
“Yasudah, kamu ke sana dulu”
“Ihihihih siap, mas”
Cindy lalu berlari kecil menuju tempat rahasia kami. Tidak lama aku juga mengikutinya.
Untuk menghindari kecurigaan, kami tidak pernah masuk ke tangga darurat berbarengan. Cindy masuk dari lantai 4, dan aku masuk dari lantai 5
Di tempat kecil itu Cindy sudah bersiap dengan membuka resleting celananya. Serta kaitan bra yang sudah terlepas
Belum ada 5 detik kami bertemu, Cindy sudah melumat bibirku. Kami beradu lidah. Tanganku berpetualang di balik kemejanya. Memijat lembut dadanya dan bermain dengan kedua putingnya. Lalu tanpa komando, Cindy sudah meraba celanaku dan membuka resleting celanaku.
Aku duduk di tangga, membiarkan Cindy melumasi my lil-big bro. Celana yang sudah terbuka sedikit membuat tanganku mudah untuk meraba liang kewanitaannya.
Sudah sedikit basah
Jariku langsung menggesek vagina Cindy. Setelah cukup basah, kumasukkan 2 jariku dan membuat Cindy kehilangan arah ketika mengoral penisku
Begitupun dengan aku. Aku menggelinjang parah karena mulut Cindy. Campuran antara hangat, licin, dan kenikmatan. Kepalanya naik turun semakin tidak beraturan ketika aku mempercepat tempo jariku
Tidak ada 10 menit, Cindy sudah berhenti
“Udah nih, mas. Udah basah. Yuk” Cindy mengeluarkan tanganku sambil tetap mengocok lembut penisku
Cindy lalu menungging di tangga. Biasanya penisku akan kugesekkan dulu ketika sudah di posisi ini. Namun apa daya, ini di kantor, kami sedang quickie, dan sebentar lagi orang oran pasti akan segera datang. Tidak pikir panjang aku langsung membenamkan penisku ke dalam vaginanya.
“Arghh, mas!” Segera kututup mulut Cindy agar tidak mengerang semakin keras
Satu tangan menutup mulut, satu tangan lagi meremas payudara Cindy tanpa ampun. Payudaranya yang kenyal, indah, dan sangat imut, serta puting yang berwarna pink. Membuatku tidak bisa berhenti bermain main mereka.
“Cindy, Cindy. Aku ga pernah kepikiran main sama kamu pagi pagi gini, di kantor pula”
Plak! Tanganku mendarat sedikit kasar di pantat putihnya.
Kulirik jam tanganku. 07.52.
“Gila, ini 3 menit lagi biasanya rame yang dateng nih” Pikirku dalam hati
“Cin, aku keluarin ya. Udah jam segini. Sini cium dulu”
“Engghh, iya, mas. Aduh geli, mas. Cepetin” Tempo gerakan langsung aku cepatkan. Kepala Cindy mengarah ke belakang. Bibir kami bertemu, untuk beradu, serta untuk menutup mulut Cindy agar tidak terdengar erangannya.
“ENGHHH”
Kurasakan Cindy sudah keluar, erangannya tertahan oleh bibirku.
Segara kulepas penisku. Cindy sudah paham. Dia membalikkan badan dan menyambut penisku. Dikulum habis penisku dan membiarkan aku membuang calon anak anakku di dalam kerongkongannya.
“Ah, you are so good, Cin. Gini ya rasanya main pagi pagi”
Cindy hanya tersenyum manja
Kami segera berdiri dan merapikan pakaian kami. Sudah pasti aku selesai duluan, karena aku hanya butuh merapikan celana saja. Sedangkan Cindy masih harus merapikan celana dan bra nya.
“Now, who’s my bad girl, huh?” Godaku sambil meraba payudaranya
“Hihihihi apasih, mas. Bentar dong, orang lagi ngerapihin baju malah diberantakin lagi”
07.58
“Brengsek, udah jam segini, Cin. Buruan balik sana”
“Iya iya, mas. Makasih ya” Cindy mengecup pipiku lalu mengeluarkan senyuman manjanya, lagi
Cindy lalu keluar dari tangga darurat. Lalu aku turun ke lantai satu langsung lewat tangga darurat dan menuju ke pantry untuk membuat kopi dan merokok sebentar.
Tidak lama aku sudah kembali ke ruangan staff. Kulihat Cindy sudah duduk manis di mejanya dan mengerjakan task untuk hari ini
Lalu aku masuk ke ruanganku, kembali berkumpul dengan pekerjaan yang seakan ber anak pinakk.
16.00
Satu jam lagi waktunya pulang. Tapi semua task sudah aku selesaikan. Kulihat dari ruangan, beberapa staff sudah tampak santai. Aku bosan.
*drrrt* *drrrtttt*
Handphoneku tiba tiba bergetar. Ada telepon masuk, dari nomor tidak dikenal
Yah jangan sampai ini klient Gumamku
Dengan malas aku mengangkat telepon masuk itu. Halo
Halo, Dhito? Terdengar suara wanita dari seberang telepon
Iya, halo. Ini siapa?
Parah banget. Ini Vania
Waaaaaah tumben banget nih majikan nelpon supir. Ada apa, Van?
Asu. Aku cuman mau ngabarin, nanti aku landing jam setengah 7. Nanti tunggu aja. Aku flight dari Makassar
Hooooo iya. Kamu gak lupa muka kan?
Paling ya lupa. Kamu tambah jelek kan?
Jadi dijemput apa kamu naik taxi sendiri? Aku menggoda dia dengan nada serius
Hehe iyo iyoo. Udah ya. Jangan lupa jam setengah 7. Aku mau boarding dulu. Bye!
*tuuuuut*
Wealah, kok langsung mati? Gumamku kesal
17.00
Akhirnya pulang juga. Cek cek. Komputer sudah mati. Handphone, dompet, bekal semua sudah masuk. Sip
Aku berjalan keluar dari ruanganku. Lalu Cindy datang menghampiri
Mas, duluan ya. Aku mau pulang dulu
Iya, Cin. Eh btw, besok malem nganggur gak? Hehe Tanyaku sambal mengerlipkan mata. Cindy harusnya sudah tau maksutku
Yah, aku ini mau pulang ke Malang maksutnya mas hihihi
Yah Rasa kekecewaan langsung keluar begitu saja. Yaudah deh. Mau gimana lagi
Aku dan Cindy perlahan berjalan keluar kantor. Kami bercakap cakap sangat pelan, agar tidak ada yang mendengar
Gantian, kamu yang kentang, mas. Atau besok aku video call aja gimana? Cindy menawari. Senyum manjanya membuatku sulit untuk menolaknya
Awas kalo sampe enggak
Cindy hanya tertawa kecil.
Eh kamu mau dianter?
Gausah, mas. Aku udah pesen ojol kok. Langsung ke Stasiun soalnya. Itu juga udah dateng. Duluan ya, mas! Cindy berlari kecil ke arah ojol yang sudah dia pesan
Iya ati ati
18.15
Mobilku sudah terparkir di Bandara. Aku menyalakan rokok dan berjalan menuju pintu kedatangan.
Di papan kedatangan ku lihat keterangan bahwa flight dari Makassar delay. Sial. Aku harus menunggu lagi.
18.50
Entah ini Rokok yang ke berapa batang. Aku sangat bosan. Yang menemaniku hanya handphone, rokok, dan tempat sampah yang digunakan menjadi asbak ini.
*plak*
Sebuah tamparan membangunkan aku dari lamunan kosong.
Woy! Wanita itu mengagetkanku
Seorang wanita berambut pendek, bercelana legging hitam, berkaos hitam, dan berkacamata bening. Wanita itu bermuka garang, tapi sangat cantik. Dan badannya. Damn! Perfect!
Dia membuatku melamun sebentar, sambil memandangi dia
Wanita itu, Vania. Anak dari Pakde Bude ku, alias Sepupuku
Kenapa sih?
Eh, Van. Setahun ngilang kok sekarang udah di sini
Ngapain. Aku nyari nyari kamu di pintu kedatangan tapi gak nemu. Yaudah aku jalan ke sini. Pikirku nunggu di kursi itu. Eh ternyata kamu di sini
Ada 2 hal yang membuatku bingung, atau lebih tepatnya 3 hal.
1. Dada nya yang begitu menonjol di balik kaosnya
2. Kacamata
Aku kenal Vania dari kami masih kecil. Dia sudah menjadi sahabat akrab ku di keluarga kami. Secara kami hanya berbeda 1 tahun, dan kami tumbuh besar bersama. Umumnya, dia harusnya memanggilku Mas, karena aku lebih tua. Tapi karena Ibu nya adalah kakak tertua Ibu ku, maka aku yang seharusnya memanggil Vania Mbak. Biasalah. Sebuah adat. Tapi, aku selalu membangkang. Beberapa kali diingatkan, tidak oleh orang tuaku, tidak juga oleh orang tua Vania, tapi diingatkan oleh keluarga yang lain. Tetap saja aku memanggil dia Vania. Sampai akhirnya mereka menyerah.
Aku paham kenapa dadanya bisa menjadi besar dan bulat seperti itu. Bisa jadi karena memang pertumbuhan. Meskipun terakhir kali kami bertemu, tidak seperti ini. Tapi, kacamata?
Vania ini adalah seorang aparat. Setahun ini dia ditugaskan di Makassar. Tidak selalu di Makassar sebenarnya. Dia sering berkeliling Indonesia, beberapa kali tugas ke luar negeri juga.
Lalu, bukankah aneh jika seorang aparat, terutama masih muda, sudah menggunakan kacamata?
Eh kok kamu sekarang pake kacamata?
Halah ini cuman buat style aja sih, bukan kacamata minus. Cocok kan?
Aku mengangguk setuju. Tidak hanya cocok, namun di mataku, Vania menjadi semakin cantik karena kacamatanya. Entah memang karena cantik, atau karena salah satu fetish ku adalah wanita berkacamata.
Nih, bawain Tukas Vania sambil menyerahkan kopernya. Kini dia hanya membawa tas selempang kecil
Wah, sialan. Yaudah ayo Aku mulai berjalan sambil menggandeng tangannya
Ngapain sih kok nggandeng tangan?! Vania melepas tanganku
Biar kamu gak nyasar!
Kami berjalan sebentar saja, lalu sudah sampai di mobilku.
Koper Vania aku masukkan ke dalam bagasi. Sedangkan sang pemilik koper sudah duduk manis di dalam mobil
Langsung ke rumah aja atau makan dulu? Tanyaku sambil memilih lagu
Vania dengan sigap langsung merebut handphone ku dan memilih lagunya sendiri. Udah langsung aja. Aku udah makan. Eh selfie dulu dong, aku baru beli polaroid nih
Anak ini, untung sepupu sendiri. Tapi aku tidak terlalu kesal, karena ternyata taste lagunya sama sepertiku. Lalu kami berfoto. Tidak lama, hasil fotonya sudah keluar. Keren sekali. Hasil fotonya didominasi oleh warna warna vintage.
Seatbelt pake tuh. Katanya aparat
Ngomong terus! Udah sana nyetir Vania langsung memakai sabuk pengamannya
*click*
Sabuk pengaman itu pas mendarat di antara dada Vania. Menekan kaosnya, dan mencetak bulatan indah tersebut
Aku sempat kaget. Langsung kuarahkan pandangan ke depan
Iya, ndoro. Apa gak mau sekalian duduk di belakang?
Vania hanya tertawa
Di sepanjang jalan kami berbincang. Dari basa basi semacam apa kabar, orang tua apa kabar, kerjaan, sampai alasan kenapa dia pulang. Yang intinya, dia mendapatkan libur seminggu dari atasannya.
19.45
Mobil sudah terparkir di garasi rumah. Entah kenapa perjalanan kali ini sangat cepat. Entah aku yang terlalu ngebut atau karena jalanan yang tiba tiba sepi. Atau kombinasi ke duanya
Kami berjalan masuk ke rumah. Tidak lupa membawa koper yang sangat berat ini
Ini kamu tidur di kamarku aja
Huwaaa. Dari kapan kamu punya keyboard? Bisa main emang?
Lah kamu kira gimana aku bisa beli keyboard ini?
Gaya banget sih
Ada satu yang terlupa. Kunci kamar orang tua ku
Bajingan, aku lupa minta kunci kamar papa mama
Kenapa emang? Tanya Vania sambil merebahkan badannya di kasurku
Ya terus aku tidur di mana? Males banget tidur di luar. Dingin, banyak nyamuk
Hadeeeeh Vania keheranan, Yaudah sih tidur sini aja. Masih cukup kan kasurnya
Hmmm Aku sejenak berfikir, tidur di samping wanita berbadan indah ini? My little-big brother pasti akan sengsara, Yaudah deh gampang
Aku mengganti pakaian ku, lalu bergegas mandi.
Tidak lama aku mandi, tidak ada 5 menit aku sudah selesai. Aku masuk ke kamarku. Kulihat Vania sudah berbaring sambil memainkan handphonenya di kasur memakai boxer dan tanktop, yang lagi lagi berwarna hitam. Damn!
Tak taukah anak ini kalau pakaian hitam juga salah satu fetishku. Kalau ini anak memakai pakaian seperti itu dan memakai kacamatanya, hancur sudah. My little-big brother pasti kecapekan karena tanganku.
Gak mandi dulu?
Enggak. Males buka koper. Besok aja sekalian
Aku bukain deh kopernya Aku sedikit menggoda
*buk*
Vania melempar bantal ke arahku
Gausah aneh aneh!
Ku lemparkan balik bantal tersebut ke arahnya.
Makan gak? Aku mau pesen makan nih
Vania sudah memeluk guling dan menghadap tembok membelakangiku, hanya menggerakkan tangannya, mengisyaratkan kata tidak.
Aku keluar kamar, mengambil minuman dingin di kulkas, lalu berjalan ke arah taman. Siapa yang tidak tergoda dengan duduk santai di taman, memandangi langit malam, sambil ditemani minuman dingin dan rokok. Ditambah, besok libur sampai Senin!
Aku melamun, sambil tersenyum. Tiba tiba teringat Vania, pemilik wajah cantik dan body sexy, yang sedang tidur di kasurku.
Aku terbangun. Sedikit merinding.
Ini gila Pikirku dalam hati
Sel sel di otakku tiba tiba bereaksi. Mereka bersatu dan sekuat tenaga membangun sebuah ide. Rokok kumatikan, lalu aku bergegas ke kamar. Aku tidak peduli meskipun Vania sudah tidur. Aku sudah tidak tahan. Aku tidak mau menunggu kesempatan lain. Malam ini juga akan kueksekusi!
Bersambung
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,