Pengorbanan Seorang Ibu

Pengorbanan Seorang Ibu

Bagian pertama kisah ini dimulai ketika jam dua siang itu aku, Surti, meninggalkan pasar sambil membawa bungkusan isi dagangan batik, menuju ke hotel Melati. Pegawai hotel yang sudah mengenalku segera mengantar ke kamar Mas Jamal, langgananku pijat. Sudah tiga bulan ini selain jualan batik aku juga berusaha menambah penghasilan dengan menjadi juru pijat. Aku mengikuti jejak rekan seprofesi yang banyak bertebaran di pasar, terutama setelah beberapa bulan belakangan ini dagangan batik sepi. Kadang aku memijit ibu-ibu atau wanita pedagang yang capai, namun lebih banyak memijat pria. Seminggu dua atau tiga kali dipanggil, lumayanlah untuk menambah nafkah dua-tiga ratus ribu rupiah per bulan.

“Sore Mas. Sudah nunggu lama ya?” sapaku.

“Nggak, Mbak Surti. Baru juga selesai keliling. Duduk dulu Mbak, aku mandi sebentar” sahut Jamal, salesman keliling yang setiap mampir ke kota ini selalu memanggilku untuk memijatnya. Ini kali yang keempat aku dipanggilnya. Jamal masuk ke kamar mandi sementara aku duduk di kursi melepas penat. Kuseka sekitar leher yang berkeringat, kurapikan baju dan rok. Tak lama kemudian Jamal keluar berbalut handuk. Tinggi tubuhnya sekitar 170 cm lumayan kekar dan berotot.

“Saya permisi cuci tangan ya, Mas,” pintaku sambil menuju ke kamar mandi.

“Silahkan, Mbak.”

Selesai cuci tangan kudapati Jamal sudah tengkurap di ranjang tanpa melepas handuknya. Aku mendekat ke bagian kakinya.

“Tumben pakai handuk, Mas?” Tanyaku. Biasanya Jamal pakai celana pendek atau CD.

“Anu Mbak, celanaku kotor semua. Tiga hari keliling belum sempat nyuci Eee, biar lebih gampang mijatnya, naik ke ranjang aja, Mbak” kata Jamal.
Ranjangnya memang agak besar sehingga susah dapat memijat dengan enak kalau tidak naik. Aku naik ke ranjang dan berlutut di kiri Jamal. Mulai memijat telapak kaki, terus naik ke arah betis hingga paha. Ikatan handuk Jamal yang agak kencang menutupi paha agak menyulitkan memijat bagian itu.

“Maaf Mas, handuknya tolong dilonggarkan”
Jamal mengangkat perutnya dan membuka simpul handuknya sehingga handuk itu sekarang jadi longgar bahkan disisihkannya ke samping kiri-kanan hingga seperti selimut yang menutup pantat. Aku dapat merasakan di balik handuk itu tidak ada apa-apa lagi yang dikenakan Jamal. Jantungku, janda 40 tahunan ini, jadi berdegup agak keras. Tapi aku coba tidak berpikir buruk karena pernah tiga kali memijat Jamal dan pria itu selalu sopan. Agak hati-hati kupijat bagian paha dan pantatnya. Beberapa kali handuk itu tergeser sampai kadang-kadang tak mampu lagi menutupi. Beberapa kali pula kubetulkan letaknya namun sempat pula terlihat pantat Jamal, bahkan ceruk hitam di antara pangkal pahanya. Dadaku jadi berdesir. Bagian pantat ke bawah selesai, lalu kupijit bagian pinggang ke atas. Ia menggeser lututnya.

“Kelihatannya cape sekali, Mas?” sapaku mencairkan suasana diam.

“Iya Mbak. Sudah cape keliling, ordernya tambah sedikit aja. Dagangan sekarang lagi sepi Mbak,” jawab Jamal.
“Dagangan batik, Mbak sendiri gimana?”

“Sama saja, Mas. Sepi banget. Kalau nggak sepi nggak bakalan saya jadi tukang pijit”

“Tapi pijitan Mbak enak lho”

“Ala Mas ini menghina. Saya kan cuma belajar dari teman-teman”

“Bener lo Mbak, kalau nggak masak aku jadi langganan Mbak Kalau malam sampai jam berapa, Mbak?”

“Saya nggak terima pijit malam Mas. Pokoknya sebelum maghrib sudah harus sampai rumah. Saya nggak mau anak-anak saya tahu pekerjaan sampingan ibunya. Mereka hanya tahu saya jualan batik di pasar”

“Ooo kenapa mesti malu, Mbak?”

“Saya sih nggak malu, tapi kasihan kan kalau anak-anak saya ketahuan teman-temannya punya ibu tukang pijit? Sudah, sekarang balik Mas”

Jamal memutar tubuhnya, tentu saja handuknya ikut terlibat pantatnya sehingga nampaklah bagian depannya yang polos. Beberapa saat sempat kulihat zakar Jamal yang mulai tegang. Buru-buru kubantu Jamal menutupinya, namun tetap saja tonjolan itu membentuk pemandangan yang bikin dadaku berdesir. Bagaimana pun aku tetap wanita yang beberapa tahun silam pernah melihat hal demikian pada diri suamiku yang telah tiada. Dadaku berdegup semakin cepat, tubuhku agak gemetar. Buru-buru kukonsentrasikan pijatan pada kaki Jamal.

“Maaf, Mbak, adikku nggak mau tidur. Kalau lagi dipijat wanita memang selalu gitu sih Mbak”

“Ah, nggak apa, Mas. Biasa laki-laki” Aku coba bergurau.
Pemandangan demikian buat tukang pijit perempuan memang bukan hal aneh lagi. Malah kadang beberapa pria yang sudah tak bisa menahan nafsu memegang tanganku dan menempelkan pada batangannya. Tapi dengan halus aku berusaha mengelak. Satu dua kali kuremas benda di balik celana dalam itu tapi setelah itu kulepaskan lagi.

“Waktu mijit apa pernah dijahilin laki-laki Mbak?”

“Kadang-kadang ada sih Mas laki-laki yang nakal”

“Nakal gimana, Mbak?”

“Yah, maunya tidak sekedar dipijit tapi juga mijit hihihi”

“Lalu Mbak juga mau hehehe..?”

“Ah, enggaklah Mas, nggak baik. Takut”

“Apa ada yang pernah maksa Mbak?”

“Iya sih, kasar sekali orang itu. Aku dipeluk-peluknya Ya aku marah dong”

“Apa dia sampai meng anu Mbak?”

“Nggak sampailah, Mas Saya buru-buru keluar kamar”

Pijitanku sampai ke paha Jamal. Mau tak mau bagian handuk yang menonjol itu selalu terpampang di depan mataku. Malah kadang tonjolan itu seperti sengaja digerak-gerakkan Jamal. Lebih-lebih sewaktu tanganku bergerak di sekitar paha dalamnya dan mengenai rambut-rambut lebat di situ.

“Ufhh maaf, ya Mbak terus terang aku jadi terangsang lo setiap dipijit Mbak, Adikku jadi bangun terus” Jamal berterus terang tapi dengan nada bergurau.
Hal ini membuatku tersenyum. Aku percaya pria ini tidak bakal berbuat macam-macam, toh sudah tiga kali kupijat tanpa kejadian luar biasa.

“Nggak apa, Mas. Asal bisa menahan diri saja. Eh, maaf” tanpa sengaja tanganku menyenggol telur dan sebagian penis Jamal sehingga pria itu mendesis sambil mengangkat pantat dan menegakkan adiknya sehingga handuknya tergelincir ke arah perut. Batang keras kaku itu segera saja membuat mataku agak terbelalak karena ukuran panjang dan besarnya yang agak luar biasa. Mungkin sekitar 20 cm dengan diameter 3 cm. Cepat kututup dengan handuk namun bayangan benda itu di benakku tak kunjung hilang.

“Kalau aku nggak bisa nahan diri gimana, Mbak?”

“Jangan bikin saya takut ah, Mas” Aku menekan dada Jamal dan mulai memijat ke arah pundak. Mata kami bertatapan dan Jamal tersenyum. Aku buru-buru menunduk.

“Sebenarnya Mbak nggak cocok jadi tukang pijit lo”

“Kan sudah saya bilang ini terpaksa Mas, karena dagang batik tambah sepi”

“Eh, Mbak, aku tanya serius nih, tapi maaf ya sebelumnya”

“Tanya apa Mas?”

“Kalau Mbak lagi mijit laki-laki yang sedang terangsang kayak aku gini, apa Mbak nggak ikut terangsang?”

“Ah eh oh Mas ini kok tanya itu sih”

“Aku serius pingin tahu lho Mbak Soalnya Mbak kan juga wanita yang masih butuh seks kan? Apalagi Mbak sudah menjanda beberapa tahun”

“Sudah ah Mas, jangan tanya soal itu”

“Jujur sajalah Mbak Aku nggak yakin Mbak sudah mati rasa sama seks. Iya kan?” Aku diam saja, cuma pipiku terasa panas. Pijatanku di bagian dada jadi melemah dan tanganku bergeser turun ke perut Jamal.

“Iya kan, Mbak?” Mendadak Jamal semakin berani dengan memegang kedua tanganku yang sedang memijit perutnya. Kuangkat kepala dan coba menentang tatapan Jamal sambil berusaha menarik tangannya. Tapi pegangan Jamal begitu kuat, jadi aku pilih diam.

“Akh aku malu Mas..”

“Malu kenapa Mbak?”

“Masak soal gituan dibicarakan sama Mas?”

“Nggak apa kan Mbak. Kita kan sudah sama-sama dewasa.” Jamal tetap memegangi tangan. Aku diam saja dengan wajah menunduk. Pada dasarnya aku memang pemalu.

“Mbak lihat sini dong”

“Kenapa, Mas?”

“Terus terang nih ya, aku pingin memeluk Mbak, boleh nggak?”

Aku terjengak mendengar permintaan Jamal. Tak mampu bersuara. Perlahan Jamal bangun dan duduk mendekatiku, dipegangnya punggungku.
Katanya, “Sudah sejak pertama ketemu dulu aku ingin sekali memeluk. Boleh kan, Mbak?”
Tanpa menunggu jawaban, Jamal semakin kuat memeluk punggungku dan menarik ke arah dirinya. Aku yang dalam posisi bersedeku jadi kurang kuat bertahan sehingga mau tak mau tubuhku tertarik ke tubuh Jamal. Hanya tanganku saja yang coba menahan supaya tubuh tidak terhempas ke tubuh Jamal.

“Jangan, Mas” Tapi aku tak berdaya menahan ambruk tubuhku ketika Jamal kembali menjatuhkan tubuhnya ke ranjang sambil tetap memeluk. Tubuhku menimpa tubuhnya yang segera menguncikan pelukan ke tubuh sintalku tambah ketat. Wajah kami demikian dekat.

“Aku hanya ingin pelukan begini kok Mbak,” Jamal berbisik dan ia memang tidak melakukan apa-apa lagi selain memeluk tubuhku di atasnya. Aku jadi bingung, mau berontak atau tidak?
“Ah, biarkan saja dulu, toh dia tidak melakukan apapun selain memeluk” pikirku sambil berusaha lebih santai. Toh aku pernah mengalami perlakukan lebih kasar dari ini. Aku pernah ditindih pria yang kupijat dan diremas-remas tetekku. Beberapa lagi malah memaksaku mengonani sampai pria itu terjelepak lemas setelah ejakulasi. Perlakuan Jamal yang sekarang ini hanya memelukku termasuk lembut. Entah kenapa dengan pria ini aku tak banyak memberontak. Apa karena aku diperlakukan dengan halus? Atau karena aku menyukai Jamal? Atau? Ah, tiba-tiba aku merasakan bibirku dingin karena menyentuh sesuatu. Kubuka mata dan ternyata Jamal tengah mencium bibirku.

Ufh aku segera menggelengkan kepala menghindari bibir Jamal. Namun bibir pria itu dengan gigih mengejar, bahkan tangan kanannya ikut membantu menahan kepalaku hingga tak bisa menggeleng lagi. Aku pilih mengatupkan mulut dan mata rapat-rapat ketika bibir Jamal menggerayangi. Lidah pria itu berupaya menerobos masuk, tapi kutahan dengan katupan gigi.

“Buka bibirnya dong, Mbak” bisik Jamal. Aku menggeleng sambil berusaha mendorong tubuhnya ke atas. Namun Jamal menahan tubuhku dengan kuat malah sekarang kakinya ikut melibat pahaku dan tubuhnya bangun mendorong tubuh kenyalku sampai terbalik. Sekarang gantian aku telentang sementara tubuh polos Jamal di atasku. Bibir Jamal terus memburu bibirku. Dengan posisi di bawah ruang gerakku semakin sempit. Kecapaian membuat perlawananku kendor.

“Jangan, Mas” bisikku lemah.

“Nggak apa-apa, Mbak, aku cuma ingin ciuman” Desis Jamal sambil bibirnya terus memaksa bibirku membuka, sementara lidahnya pun menembus katup gigiku. Rasa takut, malu, marah dan bingung melandaku. Aku takut Jamal memaksa, memperkosaku. Aku juga malu karena sebagai janda tidak seharusnya diperlakukan begini. Aku ingin marah namun tak berdaya dibanding tenaga Jamal. Aku jadi bingung mau bertindak apa. Dadaku yang membusung pun jadi sesak ditindih tubuh kekar Jamal. Dengan nafas agak memburu, aku akhirnya tak mampu lagi mempertahakan katupan gigi. Kubiarkan lidah Jamal menerobos menjilati langit-langit mulutku. Bibir kami berpagutan semakin ketat. Air liur dan ludah pun membanjir dan mau tak mau ada yang tertelan. Jamal benar-benar menggila dengan ciumannya. Sepuluh menit lebih ia mencium, menjilat, menyedot lidahku tanpa lepas. Akibatnya, aku jadi ikut terbawa iramanya. Aku yang janda ini lama-kelamaan ikut mengimbangi tingkah Jamal. Ya, aku yang melihat Jamal tidak melakukan hal lain kecuali mencium, akhirnya membalas ciuman hot Jamal.
“Ah, biarlah, toh Jamal hanya pingin berciuman. Tidak lebih” pikirku sambil lidahku memasuki rongga mulut Jamal, dan mendadak disedot dengan kuat oleh Jamal seperti hendak ditelan.aku jadi gelagapan.

Agak lama barulah Jamal melepaskan lidahku, lalu beralih menciumi sekujur wajahku. Dari mata, hidung, pipi, dahi, telinga, sekitar leher, dagu sampai akhirnya balik lagi ke bibir manisku. Selama setengah jam lebih aku hanya manda saja diciumi pria yang menurutku tidak berniat buruk ini. Ya, dibanding pria-pria lain yang pernah memaksaku, Jamal tergolong lembut. Dan entah kenapa, ada rasa suka dengannya. Apa karena kegantengannya, apa karena usianya yang masih muda, atau karena aku memang butuh sentuhan lelaki setelah beberapa tahun ini tak lagi kurasakan?

Bahkan, aku hanya mendesah “Jangan, mas” ketika merasakan jemari Jamal mulai meremasi payudaraku yang masih menantang ini. Namun aku tak berusaha memberontak. Toh Jamal hanya meremas dari luar, pikirku. Sementara bibir pria itu terus melumati bibirku. Tangan itu terus bergerilya, satu persatu kancing bajuku dilepasnya.

“Jangan, mas” Desisku lagi tanpa menolak dengan serius.
Toh, aku masih pakai BH, pikirku. Ugh, BH itupun diremas tangan Jamal berkali-kali. Kadang membuatku sakit, namun juga memberi rasa lain yang nikmat. Mataku malah terpejam erat ketika jemari Jamal bergerilya di bawah BH dan menggapai putingku.
“Egh jangan, mas” Aduuh nikmatnya. Toh, dia hanya memainkan payudaraku, tak apa-apa, pikirku semakin menikmati. Aku justru hampir tak merasa ketika baju dan behaku sudah dilempar Jamal entah kemana.

Yang terasa kemudian adalah payudaraku kiri-kanan bergantian diremas dan dihisap Jamal. Digigit-gigit, dikemot, disedot, “dimakan”, dimainkan putingnya oleh lidah yang lihai dan tubuhku semakin tergial-gial ketika perut pun ditelusuri lidah berbisa Jamal.
“Aduh, aku tak tahan. Tak apa, toh Jamal hanya menjilati perutku” pikirku lagi menerima perlakuan nikmat itu.
Malah tanganku kini ikut meremasi kepala Jamal yang terus turun dan turun mencapai pusarku. Menjilati pusarku yang berlubang kecil, kemudian meluncur turun lagi, membuat geli sekaligus nikmat.

“Jangan, mas” lagi-lagi aku hanya mampu mendesiskan kata itu ketika terasa rok panjangku perlahan tertarik ke bawah.
Karet elastis di bagian perut tak mampu menahan tarikan itu, apalagi aku berpikir,
“Biar saja, toh aku masih pakai celana dalam”
Sekarang tinggal segitiga pengaman melekati tubuh polosku. Terasa pahaku dikangkangkan dan sesuatu terasa mengelus-elus daerah vitalku. Sesaat kemudian aku kembali merasa tubuhku ditindih Jamal yang menekan-nekankan penisnya ke CD-ku. Mulut kami berpagutan lagi. Tangan Jamal meremas-remas payudara lagi.
“Aduh aku tak tahan lagi” Kubalas perlakuannya yang liar dan aku tak mampu lagi mendesis, “Jangan, mas” ketika dengan cepat tangan Jamal menyabet CD hitamku dan melorotkannya ke bawah terus melepasnya dari kakiku.

Lalu sejurus kemudian kurasakan sesuatu yang panjang besar memasuki gua garbaku. Mula-mula perlahan dan agak sulit, menyakitkan. Namun lama-lama semakin dalam, lalu semakin cepat dan cepat keluar masuk, naik turun. Disertai lonjakan-lonjakan tubuh kekar di atasku yang memaksa pahaku terkangkang selebar-lebarnya. Rasa sakit pun berubah jadi nikmat.

Aku lupa segalanya, tak ingat siapa pria yang sedang menyetubuhiku. Jamal, salesman keliling, yang katanya berasal dari Bandung kubiarkan menyebadani, menggauli, menyenggamai, menembus, mengocok dan menggumuli tubuhku. Aku terlena dan yang ada hanya rasa nikmat yang harus kunikmati sepuasnya. Mumpung ada kesempatan, mumpung ada yang memberi, mumpung aku butuh, mumpung aku haus, mumpung ada yang memuasiku. Tubuhku masih butuh seks, libidoku masih tinggi, bibirku masih butuh diciumi, payudaraku butuh disedot-sedot, vulvaku butuh penis yang tegar panjang perkasa. Aku masih punya nafsu seks yang harus dipenuhi. Aku tak mau hidup gersang.

Dan, aku pun masih bisa orgasme ketika hunjaman zakar Jamal yang bertubi-tubi mencapai klimaks. Genjotan pantatnya begitu kuat membuat penis itu terbenam dalam-dalam di vulvaku yang sempit. Nikmat bertemu nikmat dan jreet jreet jreet kurasakan sperma Jamal menyemprot, sementara hampir bersamaan aku cepat-cepat menggamit paha Jamal sambil mengejan menumpahkan mani. Tubuh kami terkejang-kejang kelojotan sambil mengejan menggelegakkan sperma dan mani bertubi-tubi. Kedua kelamin kami yang bertemu saling berdenyut-denyut, meninggalkan kesan mendalam sehingga kami lama tidak melepaskannya. Kubiarkan burung Jamal itu tetap mendekam di sarangku meski lendir membasahi di mana-mana.

“Maaf ya, mbak, aku lupa diri,” bisik Jamal.
Aku diam memejam, nafasku tersengal-sengal menahan beban tubuh polos di atasku. Sementara penis Jamal masih terbenam, aku hanya bisa kangkangkan paha dan merasakan denyut-denyutnya yang masih tersisa.

“Mengapa ini terjadi?”
Aku membatin tak habis mengerti bagaimana persetubuhan ini berlangsung begitu saja, padahal selama jadi pemijat aku selalu menghindarinya. Ya, selama ini ada cap bahwa setiap wanita pemijat pasti bisa diajak main seks. Aku berusaha keras menepis sebutan itu, namun akhirnya bobol juga hari ini. Justru dengan Jamal, pria yang sudah jadi langganan.
“Kalau sudah begini, apa bedanya aku dengan pelacur?”

Aku masih terbengong-bengong dengan pemikiranku, ketika kembali terasa tubuh Jamal menekan-nekanku. Zakar pria itu pun kembali membesar panjang mengaduk-aduk vulvaku. Ya, ternyata Jamal dengan cepat bangkit birahiya lagi dan bangunlah “adik”nya yang perkasa itu, kembali menikam-nikamku yang perlahan-lahan kembali terbawa arus kenikmatan. Malah ikut mengerang ketika nikmat bersebadan itu menyeruak di vaginaku. Tak ingat lagi, apakah aku pelacur atau bukan. Yang penting saat ini aku butuh nikmat! Persenggamaan pun terulang lagi, kali ini malah lebih lama. Hampir satu jam Jamal menusuk-nusukku, menghunjamiku dengan super torpedonya. Kadang pantatku diangkatnya atau aku yang mengangkatnya secara refleks karena terbawa nikmat tiada tara setelah beberapa tahun aku tak merasakannya. Sepertinya aku ingin memuntahkan seluruh kerinduan persetubuhan.

Aku kembali menggapit paha Jamal, ini kali yang ketiga aku orgasme. Tubuhku mengejang terlonjak-lonjak. Jamal sendiri memang tahan lama dan baru beberapa menit kemudian melenguh mengeluarkan energi terakhirnya menyemprotkan sperma. Sampai kurasakan hangat cairan itu memasuki perut. Kami benar-benar habis-habisan. Untuk berdiri pun harus menunggu beberapa menit setelah deru nafas mereda.

Jam enam kurang sedikit kutinggalkan hotel Melati. Jalanku seperti melayang, tak peduli dua lembar ratusan ribu yang baru saja masuk ke dompet, pemberian Jamal. Aku tak bisa menolak, tapi “Semoga Jamal tidak menganggapku pelacur murahan” pikirku.
“Kami melakukannya suka sama suka”
Kupanggil becak untuk mengantar ke rumah.

Itulah yang menjadi awal kisahku selanjutnya yang lebih mengejutkan karena aku kemudian terperosok ke jurang perzinahan yang lebih dalam dengan orang-orang yang semestinya kupeluk dengan kasih sayang. Namun, sebaliknya, justru merekalah yang akhirnya memelukku dengan nafsu.

*****

“Sampai malam begini, Laris bu?” sambut Bari, bungsuku yang kelas 3 SMU, ketika aku tiba di rumah.
“Lumayan” jawabku.
“Ini Ibu bawakan gorengan” kuberikan sebungkus makanan lalu terus berjalan ke kamar.
Banu, kakak Bari, mengangkat bungkusan batikku dan menaruhnya di atas lemari. Ia sudah empat bulan ini dipehaka dari pabrik sepatu di Tangerang bersama Basuki kakaknya. Jadilah tiga pemuda tanggung anakku sekarang jadi pengangguran dan kembali bergantung padaku di rumah. Ya, semuanya terjadi gara-gara krisis di negeri ini. Banyak perusahaan gulung tikar, pehaka terjadi dimana-mana. Cari pekerjaan pengganti juga sulit bukan main. Mau usaha sendiri, tak ada modal. Hanya kadang mereka jadi makelar jual-beli motor tapi inipun hasilnya cuma cukup buat jajan.

Seusai mandi dan makan, aku ingin cepat-cepat tidur. Tubuh cape sekali setelah tadi bertempur habis-habisan dengan Jamal di Hotel Melati.
“Ibu tidur dulu ya” kataku pada ketiga anakku yang sedang asyik main kartu.
Aku masuk ke kamar belakang. Rumah itu memang hanya memiliki dua kamar. Sejak dua anakku dipehaka maka satu kamar depan untuk Banu dan Basuki dan satunya di belakang untukku dan Bari. Kumatikan lampu lalu kubaringkan diri melepas penat.

Bayangan pergumulanku dengan Jamal ternyata tak kunjung hilang dari benak. Setengahnya ada rasa penyesalan, namun sebagian lain justru rasa nikmat itu terus bergelenyar di dadaku, di peruku, di kulitku, di vulvaku. Tak lama kemudian aku pun terlelap, ada seulas senyum di bibirku. Akankah di mimpi aku berjumpa Jamal lagi?

Ya, ternyata harapanku jadi kenyataan. Jamal muncul lagi di mimpiku. Kami bercumbu bagai sepasang kekasih yang lama tak bertemu. Tubuh telanjangku dibaringkannya di ranjang, kemudian dia merangkak di atasku. Menjilati sekujur tubuh dari perut naik terus hingga bibirku dan akhirnya agh, terasa sesuatu menusuk bawah perutku dengan keras dan tubuhku ditekannya dengan keras. Tubuhnya terasa semakin berat, berat, berat dan argghh!
Aku terbangun, dan.. mendapati sesosok tubuh sedang menindihku. Kurasakan selangkanganku telah ngangkang dan sesuatu memasukinya. Kubuka mata memperhatikan dan dalam sinar lampu yang masuk dari ventilasi terlihat Bari sedang menyetubuhiku! Gila!!

“Bar! Bari! Ini aku, ibumu, Bar!” protesku pada bungsuku yang masih 18 tahun sambil mendorong tubuhnya sampai terjengkang ke luar ranjang. Sekilas terasa penisnya yang tegang keluar dari vaginaku. Aku segera duduk di ranjang dan kututup tubuh telanjangku dengan selimut sambil memperhatikan Bari yang nampak ketakutan.

“Kenapa kau lakukan ini, Bar?” tanyaku emosi.

“Ttt ta tadi Ibu sendiri yang mulai”

“Apa? Ibu yang mulai?!” aku tambah sewot tapi tidak berani teriak keras-keras takut dua anakku yang lain terbangun.

“Bukankah Ibu tadi sudah tidur?”

“I..iya Bu tapi Ibu seperti mengigau lalu memelukku” bisik Bari.
Aku yang mendengar penjelasannya jadi mendelong. Sekilas aku ingat mimpiku bersama Jamal.

“Ibu terus memelukku dan ak aku jadi terangsang, bu..” Bari terus terang sambil menunduk. Sementara aku masih bertanya-tanya benarkah itu?

“Ceritakan apa yang sudah kulakukan padamu, Bar?” Sambil kutarik tangannya ke atas ranjang. Bari menurut sambil menutupi penisnya dengan sarungnya. Kududukkan ia di sebelahku.

“Waktu aku tidur, kudengar Ibu mengigau seperti orang gelisah dan tubuh Ibu bergerak-gerak. Lalu mendadak Ibu memelukku dan” Bari diam, aku pingin tahu kelanjutannya.

“Lalu?”

“Ibu menciumi aku”

“Apa benar?”

“Sumpah, bu.” Jawabnya, membuatku jadi salah tingkah.

“Sebenarnya aku sudah berusaha membangunkan Ibu tapi gagal. Malah aku jadi terangsang Apalagi daster Ibu juga tak karuan lagi letaknya sampai paha Ibu terbuka”

“Aku tambah terangsang waktu tersenggol payudara Ibu berkali-kali dan terangsang untuk meremasnya Aku tambah berani ketika Ibu hanya mendesis waktu kuremas, sampai akhirnya pelan-pelan, maaf, Ibu kutelanjangi. Maaf Bu, nafsuku, sudah sampai ke kepala sampai aku menyetubuhi Ibu” cerita Bari sambil menunduk.

Aku terdiam, tak percaya apa yang kulakukan di dalam mimpi ternyata jadi kenyataan. Sialnya, aku telah bersetubuh dengan darah dagingku sendiri. Akhirnya akupun menerima penjelasan Bari.
“Baiklah, Bari. Ini jadi rahasia kita berdua saja. Sekarang tidurlah kembali,” pesanku.
Bari segera melingkar di bawah sarungnya.

Akupun kembali berbaring sambil berselimut. Kami berdiam diri saling memunggungi. Begitu mengejutkan peristiwa tadi sampai aku tak ingat untuk memakai dasterku lagi yang entah dilempar kemana. Begitu pula Bari hanya bertelanjang di dalam sarungnya. Namun rasa capai mempercepat tidurku. Dan, mungkin, inilah salahku karena menganggap sepele peristiwa ini. Aku menganggap ini peristiwa kecil dan sudah berakhir, namun tidak demikian dengan Bari. Pemuda tanggung ini ternyata tetap memendam hasrat. Kuceritakan yang berikut ini berdasarkan pengakuannya setelah segala sesuatunya terjadi.

Malam masih panjang. Aku telah tidur kembali. Sementara itu, Bari justru tetap nyalang matanya. Tak ada lagi kantuk di benaknya. Yang ada justru ingatan bagaimana tadi dia baru saja menyetubuhi ibunya. Sayang, belum tuntas. Namun, kesempatan itu kayaknya masih terbuka, karena tubuh yang barusan digelutinya itu masih tergolek di sisinya. Telanjang dan hanya berselimut lurik. Andai saja selimut itu bisa dilepas, pasti bisa tuntas hasratku, pikir Bari.

Setelah terdengar dengkur halus ibunya, Bari mulai berani membalikkan tubuhnya sampai telentang. Diliriknya tubuh di samping kirinya dan tubuh Bari bergetar ketika melihat sebagian punggung atas ibunya tidak tertutup selimut. Sementara kain sarungnya sendiri yang hanya menutupi sekitar perut dan paha tak mampu menyembunyikan gejolak syahwat yang membuat zakarnya tegang berdiri. Dengan tak sabar dilemparnya sarung ke bawah ranjang hingga dirinya bugil, lalu perlahan berguling lagi sampai ia kini menghadap punggung ibunya. Didekatinya tubuh bungkuk udang ibunya dari belakang sampai bau wanita itu tercium kian merangsangnya.

Ingatannya saat bagaimana dia meremas tetek ibunya tadi membuatnya berani menarik ke bawah selimut yang menutupi punggung mulus itu. Perlahan punggung itu sekarang terbuka sampai ke pinggang dan otomatis pasti bagian depannya pun terbuka polos pula. Teringat bagaimana tadi ia memeluk ibunya, perlahan Bari melingkarkan tangan memeluk ibunya dan merapatkan zakar ke pantatnya. Kulit dadanya bertemu kulit punggung ibunya, tangan kanannya memeluk perut ibunya dan perlahan jemarinya merambat ke atas. Menggapai dua gunung kembar yang membusung itu.

Sementara itu kaki Bari tak tinggal diam membantu menarik selimut ibunya ke bawah. Terus ke bawah sampai paha-paha mulus gempal itu tak tertutup lagi. Maka bugillah kedua ibu dan anak itu. Tidur berdekapan. Satu terlelap, satunya bernafsu.

Tak sabar, Bari mulai mengelus dan meremas pelan payudara montok mulus itu. Tangannya agak gemetar ketika menyentuh puting dengan ibu jari dan telunjuknya. Ditempelkan zakar ke pantat ibunya yang cukup besar. Dibiarkannya posisi itu bertahan hampir 30 menit. Dan ketika ibunya tetap lelap tertidur, Bari semakin berani. Sambil pura-pura menggeliat, perlahan ditariknya bahu dan paha ibunya sampai tubuh wanita itu telentang. Kemudian dengan penuh nafsu buah dada yang menggunduk itu dijilatinya. Dikuaknya selangkangan si ibu lalu perlahan mengarahkan zakar ke gua nikmat itu. Tak mau gegabah dan terlalu kasar seperti tadi, kini Bari melakukannya dengan halus.

“Bleess” ditancapkan zakar dalam-dalam ke vagina ibunya lalu pantatnya diam. Tidak menekan terlalu keras. Malah lidahnya mulai menyusuri tetek dan dada ibunya sampai mencapai bibir dan menciuminya sambil tangannya meremasi susu montok itu. Aneh benar, Surti, ibunya, tetap tertidur, seolah tak merasakan apa-apa. Mungkin ia terlalu penat karena cape bergelut dengan Jamal tadi siang dan tidur yang terpotong barusan.

“Eeehhghh..” Surti mendesis lirih ketika lidah Bari memasuki mulutnya, namun matanya tetap terpejam. Hanya tubuhnya saja bergeser kecil dan Bari memberinya ruang dengan sedikit mengangkat badannya sehingga tidak terlalu memberati Surti. Setelah ibunya tenang, kembali Bari menumpangkan badan di atas tubuh bugil Surti. Perlahan ia mulai memompakan zakarnya.
“Shleeb.. shlebb.. jleeb.. jleebb..” berhenti lalu sambil menekankan zakarnya di kemutnya puting Surti.

“Egghh eggh..,” desis Surti sambil menggerakkan tubuhnya sedikit namun tetap tidur.
Anehnya lagi, Bari merasa zakarnya seperti ada yang menghisap-hisap. Nikmaat dan membuatnya cepat mencapai puncak. Buru-buru Bari memompa lagi cepat-cepat, dan kini ia tak peduli kalau ibunya bakal bangun karena gerakan kasarnya.

“Heeh.. heeh.. heeh..” nafas Bari memburu ketika ia menggerakkan pantatnya dengan gencar naik turun keluar masuk menusuk-nusuk lahan Surti sambil memeluki ketat tubuh ibunya itu dan mencium ketat bibirnya yang menggairahkan. Otomatis diperlakukan demikian Surti terbangun, namun terlambat Dalam keadaan belum sadar benar, mendadak Surti merasakan tubuh di atasnya mengejang-ngejang belasan kali dan terasa semprotan-semprotan sperma di rahimnya. Barulah tubuh itu terjelepak layu menindihnya.

Surti segera mendorong tubuh itu dan ia segera sadar bahwa Bari telah berhasil menuntaskan nafsu di atas tubuhnya.

“Ooh Bari.. Bari kenapa kamu tega menodai ibu?” ratap Surti sambil menangis dan memukuli tubuh Bari yang hanya diam membisu memunggunginya. Beruntung suasana kamar gelap sehingga mereka tidak dapat melihat kondisi masing-masing. Bayangkan betapa malu bila mereka saling bertatapan mata.

“Ma.. maafkan saya, bu. Sss..saya benar-benar khilaf tidak bisa menahan nafsu” jawab Bari lirih. Pelan ia berbalik dan menyelimuti tubuh telanjang Surti. Kemudian turun dari ranjang, memakai sarungnya dan melangkah keluar kamar. Dicarinya air dingin di dapur.

Surti sendiri dalam isak tangisnya kembali merebahkan diri. Tak tahu harus berbuat apa pada anak bungsunya itu. Mau dimarahi? Toh ini sudah terlanjur terjadi. Mau diusir dari rumah? Ia tak tega. Ia menyesali dirinya telah tertidur begitu pulas sampai tak merasa sedang disetubuhi anak kandungnya sendiri. Kenapa ia tadi begitu ceroboh dan menganggap sepele kejadian perkosaan yang pertama? Sampai tak memperhitungkan bahwa Bari ternyata nafsunya tetap berkobar-kobar. Pemuda seumur Bari memang sedang panas-panasnya. Nafsunya cepat naik. Apakah sebaiknya mereka tidak tidur seranjang? Bari biar tidur dengan kakaknya saja. Tapi ranjang kamar depan terlalu sempit untuk bertiga. Apakah ia perlu tukar tempat dengan Banu?

Namun setelah memikirkan bahwa Banu pun mungkin juga akan terangsang nafsunya bila tidur bersamanya (ini nampak dari bahasa tubuh Banu dan Basuki, si sulung, yang selama dirantau menurut dugaan Surti pasti pernah berhubungan dengan wanita) maka Surti memutuskan tetap tidur sekamar dengan Bari. Biarlah kejadian ini hanya kami berdua yang tahu, pikirnya. Setengahnya ia juga menyalahkan diri karena telah merangsang Bari secara tak sengaja ketika tadi mimpi bersetubuh dengan Jamal.

Sambil merenung-renung kejadian yang menimpa dirinya dan Bari, Surti mulai bisa memaklumi tindakan Bari. Ternyata anak bungsuku sudah dewasa dan mampu melakukan kewajibannya sebagai lelaki, bathinnya. Perlahan mata Surti kembali terkantuk-kantuk. Masih sekitar jam 2 dini hari. Sementara itu Bari yang usai minum air dingin duduk melamun di dapur, mengenang apa yang baru saja dilakukan atas tubuh ibunya. Barusan ia juga telah mencuci zakarnya dengan air dingin sampai benda lunak itu mengkerut lagi. Rasa kantuk yang menyerang membuatnya beranjak kembali ke kamar tidur.
“Biarlah kalau ibu mau marah lagi,” pikirnya pasrah.

Perlahan Bari membuka pintu, masuk lalu menutupnya lagi. Ternyata Surti telah tidur kembali. Kali ini ia malah telentang dan lagi-lagi hanya berselimut lurik. Bari mengambil sedikit tempat di pinggir untuk merebahkan tubuhnya. Sekilas diliriknya wajah ibunya dalam gelap, hanya nampak siluet wajah seorang wanita yang belum tua benar. Namun tetap menarik.

Bari coba memejamkan mata dan tidur. Tanpa sadar ternyata ia juga tidur hanya berbalut sarung yang melingkari bagian perut ke bawah.Cukup lama pemuda tanggung ini berusaha tidur sewaktu tanpa diduga Surti mengerang dan menggeliat ke arah dirinya. Bari gelagapan ketika tangan Surti justru memeluknya.

Dan tubuh Bari kembali berdesir karena dada montok ibunya menekan dadanya meski masih terhalang selimut. Ini merupakan rangsangan hebat buat Bari, namun ia tak mau gegabah seperti tadi. Ia tak mau kejadian tadi terulang. Maka ia harus mampu menahan nafsunya. Kami boleh pelukan tapi zakarku tak boleh tegang, bathinnya. Dengan prinsip itu akhirnya Bari memberanikan diri balas memeluk ibunya. Malah lebih dari itu, lagi-lagi Bari melempar sarungnya yang mengganggu gerakan paha dan kakinya sampai bugil. Perlahan ia masuk ke dalam selimut ibunya dan balas memeluk tubuh bugil montok semok itu. Ibu dan anak itu pun tidur berpelukan. Kali ini Bari hanya menempelkan zakarnya di paha Surti dan bertahan sekuat tenaga supaya tidak ereksi. Beruntung matanya terasa sangat berat sehingga tak lama kemudian ia pun tertidur berpelukan dengan ibunya.

Udara panas dini hari itu membuat tubuh mereka berkeringat. Sekitar pukul empat pagi, seperti kebiasaannya, Surti terbangun. Lagi-lagi ia hampir terkejut mendapati dirinya telanjang berpelukan dengan Bari yang bugil. Selimutnya tak cukup lebar menutupi tubuh mereka berdua hingga yang tertutup praktis hanya sekitar pinggul saja, sedangkan bagian lain benar-benar terbuka. Surti ingin mendorong tubuh Bari, namun ia segera menyadari bahwa Bari saat itu sedang tidur nyenyak. Ia jadi tak tega sehingga dibiarkannya posisi tubuhnya yang telentang sementara Bari menindih sambil memelukkan tangan dan satu kakinya berada di sela-sela paha Surti. Surti agak tenang karena tidak merasakan zakar Bari ereksi.

Yang menggelisahkan justru tangan Bari yang menelangkupi buah dada kirinya serta ketelanjangan mereka. Bagaimanapun ia masih normal dan gesekan kulit dengan kulit demikian malah menimbulkan rangsangan yang perlahan menggelitikinya syahwatnya. Surti semakin tak tahan dan berusaha menggeser tangan serta menjauhkan tubuh Bari perlahan agar ia tak bangun.

“Eee,” terdengar suara erangan Bari yang merasa tidurnya terganggu.
Ia malah tak mau melepaskan pelukannya, justru sedikit meremas buah dada Surti, membuat Surti mendesis.

“Bari, lepaskan Ibu mau bangun” bisik Surti ke telinga Bari sambil mendorong lebih kuat.

“Eee.. sebentar, Bu” desis Bari sambil mempererat pelukannya, menaikkan tubuhnya dan mengulum puting Surti.

“Sudahlah, Bari jangan diulang kejadian semalam” Surti menjangkau kepala Bari sambil menggigit bibir menahan gejolak syahwat yang berputar di pusarnya.

“Ibu tidak marah?” desis Bari lagi dengan mata masih setengah terpejam.

“Tidak, Bar sekarang sudahlah, nanti kamu terangsang lagi” Perlahan Bari menggeser tubuhnya menjauhi ibunya. Ia melanjutkan tidurnya, sementara Surti segera bangun, mencari dasternya yang tercecer di lantai dan mengenakannya sebelum beranjak keluar kamar. Sekilas diliriknya tubuh bugil Bari.
“Ia ternyata sudah dewasa” bathinnya.

Dan, sejak itulah saat-saat tidur bersama seranjang dengan Bari mulai memasuki babak baru. Surti tak mampu menolak manakala Bari dengan manja memeluknya, menindihnya, bahkan dengan nakal meremasi teteknya atau malah memaksa Surti membuka dasternya dan menetek seperti anak kecil. Bagi Surti sendiri pelukan, tindihan, kuluman dan hisapan-hisapan Bari di sekujur tubuh dan buah dadanya sungguh merupakan rangsangan yang sulit dihindari. Ia tak mampu menolak itu semua, bahkan seolah memberi izin Bari melakukannya setiap malam. Ya, setiap malam kini ia harus menerima perlakukan seksual Bari yang tak kenal lelah. Pemuda tanggung yang tengah panas-panasnya ini seperti mendapat mainan baru yang menggairahkan.

Kini Bari tak segan lagi bertelanjang di depan ibunya, bahkan seringkali ia ikut menelanjangi Surti hingga hanya tersisa CD. Bari tak segan lagi menyuruh Surti memegang zakarnya dan mengocoknya. Sementara tangannya sibuk memerah tetek Surti bahkan tak jarang coba mengelus-elus lubang nikmat Surti meski dari luar CD. Merasa sudah kepalang basah, Surti pun menikmati permainan seksual itu meski ia masih menjaga agar gua garbanya tak lagi ditembus zakar Bari. Ia menjepit zakar Bari dengan pahanya dan membiarkan sperma perjaka itu muncrat di luar atau di perutnya. Bahkan akhirnya Bari memaksa Surti mengulum zakar tegang itu dan menerima muntahan lahar panas. Mula-mula dimuntahkannya tapi lama-lama justru dinikmati dan ditelannya. Ibu dan anak ini akhirnya saling belajar memuasi dan dipuasi.

Tak tahan, Surti mulai mengajari Bari memuasi dirinya pakai tangan dan akhirnya pakai lidah. Bari yang semula jijik, lama-lama terbiasa juga menjilati lubang sempit bergelambir milik Surti. Biji kelentit dan daerah G-spot merupakan kenikmatan tersendiri bagi Surti. Sampai ia kadang orgasme. Mereka berdua kemudian malah setiap malam tidur telanjang berpelukan, dan akhirnya Surti juga mengizinkan Bari menancapkan zakar ke vaginanya. Bari sudah cukup bisa menahan diri untuk tidak mengeluarkan sperma di dalam vagina Surti setelah diberitahu kemungkinan kehamilan bila spermanya masuk ke rahim. Ya, selama beberapa minggu, tanpa sepengetahuan siapapun, mereka bagai dua pengantin baru yang asyik dilanda nafsu. Berpacu mengumbar birahi, tak peduli merupakan hubungan incest. Bari yang masih muda begitu semangat dengan kegiatan seksual mereka sementara Surti yang sudah lama tidak merasakan belaian laki-laki ingin kerinduannya dipuasi. Nafsunya belum padam. Berbagai gaya mereka lakukan, dari yang konvensional sampai gaya anjing kawin, 69, sambil duduk berhadapan atau Surti di pangkuan Bari dan seterusnya. Pokoknya nikmat dan uenaak tenaan..

Sampai di suatu pagi sekitar jam 6 pagi Surti merasa tubuhnya sedang digerayangi Bari, padahal ia merasa masih sangat mengantuk setelah semalaman bertempur seru sampai dini hari. Dibiarkannya Bari merenggangkan pahanya dan untuk kesekian kalinya menelusupkan zakar tegangnya lalu mulai mengocoknya. Keras, cepat dan semakin cepat seperti terburu-buru Bari mengayun pantatnya. Ia ingin menyalurkan nafsunya yang muncul di pagi hari, sementara jam tujuh ia juga harus masuk sekolah. Genjotan Bari yang sedemikian keras lambat laun juga merangsang Surti menggapai nikmat di pagi itu. Sayangnya selagi Surti baru mencapai tahap pemanasan, mendadak tubuh Bari sudah terkejang-kejang lalu buru-buru ia mencabut penisnya dari lubang nikmat ibunya serta merta menyemprotkan sperma dengan deras ke perut ibunya. Disusul mengoser-oserkan zakar tegang itu ke seluruh dada hingga berakhir di jepitan tetek Surti.

Vagina Surti masih berdenyut-denyut ingin dipuasi ketika Bari sudah meloncat keluar kamar untuk bersiap ke sekolah. Tinggallah Surti sendiri kecewa sambil mengelus-elus vagina dan meremasi teteknya sendiri. Nafsunya belum tuntas! Bari egois, hanya mau memuasi dirinya saja, tak peduli ibunya kelojotan menahan nafsu. Baru sekitar jam tujuh pagi Surti bangkit mengelap noda-noda di badan dengan CD-nya lalu mengenakan dasternya dan merapikan ranjang yang hampir tiap hari harus ganti sprei karena penuh bercak sperma dan mani mereka. Dibawanya sprei dan pakaian kotor ke tempat cucian, direndamnya dan ditaburi deterjen bubuk.

Terdengar ada yang sedang mandi, pasti Banu pikir Surti. Banu, kakak Bari, termasuk rajin cari tambahan penghasilan. Meski kadang pulang dengan tangan hampa tapi ia selalu rajin bangun pagi, mandi lalu pergi entah kemana. Cari obyekan, katanya setiap ditanya.

Pintu kamar mandi terbuka, Banu muncul.

“Mau kemana Nu?” tanya Surti.

“Cari motor, Bu. Kemarin ada teman cari motor bekas yang murah-murahan. Moga-moga motor Pak Panut belum dijual.”

“Rumah Pak Panut agak masuk ke desa kan?”

“Iya, Bu, saya tahu. Paling nanti sampai sore baru pulang”

Sementara Surti menjemur pakaian, terdengar Banu pamit mau pergi.

“Saya pergi ya, Bu!” serunya.

“Ati-ati ya Eh, Basuki dimana?”

“Biasa, belum bangun, Bu” jawab Banu sambil keluar rumah. Pintu rumah ditutupnya. Selesai menjemur pakaian, Surti lalu mandi, dicucinya sekalian daster yang dipakainya. Seusai mandi ia hanya berbalut handuk menutupi payudara hingga pahanya, menjemur pakaiannya. Melangkah masuk ke rumah, dilihatnya Basuki duduk bersarung dan telanjang dada di kursi makan, melamun. Pandangannya kosong. Surti kasihan juga melihat sulungnya yang 25 tahun itu tak juga kunjung bekerja lagi.

“Sudahlah Bas, jangan melamun terus” bujuk Surti sambil mengambilkan segelas teh.
Diangsurkannya teh itu kepada Basuki, kemudian dijangkaunya kepala Basuki dan dielus-elusnya seperti kebiasaannya waktu kecil dulu. Basuki memejamkan mata dan mendadak tubuhnya seperti menggigil.

“Kamu kenapa Bas?” tanya Surti heran melihat putranya.
Dan lebih terkejut lagi ketika tiba-tiba Basuki bangkit dan berbalik memeluki dirinya seperti orang kesetanan.

“Bu.. tolong aku.. Bu” desisnya membuat Surti tambah panik.

“Bas, Bas! Kamu kenapa?” Surti bingung dan berusaha melepaskan diri.
Tapi tenaga dan tubuhnya yang hanya setinggi pundak Basuki tak mampu menahan ketika perlahan namun pasti Basuki mendorongnya ke kamar. Bahkan pergulatan mereka serta gesekan dengan kulit dada Basuki membuat handuknya terlepas dan sarung Basuki melorot. Surti geragapan ketika tubuh bugilnya diangkat Basuki ke atas ranjang dan digeluti.

“Bas! Bas! Gila kamu.. ini aku ibumu!” Surti terus berontak sambil mendorong dan memukuli. Namun Basuki terus menggelutinya.

“Bu tolong Bu, aku pingin sekali aku butuh.” dan sadarlah Surti bahwa saat itu Basuki sedang dilanda birahi. Ia pasti pernah merasakan tubuh wanita dan sekarang, setelah lama puasa, butuh penyaluran.
“Apakah aku harus memenuhi hasratnya?” pikir Surti cepat.

“Bas Bas jangan Ibu kau jadikan pelampiasan Ugh” Surti tak menyelesaikan kata-katanya karena putingnya dihisap keras sementara tangan Basuki menggosok-gosok dan memasukkan jemari ke vaginanya dengan ganas. Mengaduk-aduknya. Surti tergerinjal, nafsunya yang tadi belum dituntaskan Bari kembali bangkit.
“Ah, kenapa lagi-lagi aku dinodai anakku?” jerit hati Surti.
Tenaganya melemah.

“Bas egh jangan Bas,” lemah suara Surti ketika melihat zakar Basuki tegang panjang memerah dengan urat-urat kehitaman di sekelilingnya.

“Aku tidak tahan lagi, Bu” Basuki menempatkan pantatnya di antara paha Surti, mengarahkan pedang tumpulnya ke lubang nikmat ibunya lalu.
“Sleepp sleep bless bless” Surti sampai terangkat pantatnya ketika zakar panjang nan tegar milik Basuki mencapai rahimnya dan menyentuh-nyentuh pusat kenikmatannya. Kemudian dengan cepat menusuk-nusuk dan memompanya bertubi-tubi.

“Shh shh sudah Bas.. cukup stop Ibu nggak tahan” bibir Surti bergumam menolak tapi entah kenapa tangannya justru merangkul erat leher Basuki dan membuka pahanya semakin lebar. Basuki tak peduli, terus bergoyang dan bergerak naik turun.

“Hshh hshh cukup Bas jangan kamu keluarkan spermamu di dalam Ibu bisa hamil” Surti semakin terhanyut oleh gerakan Basuki yang jauh lebih lihai dibanding Bari.
Tanpa sadar ia mulai mengimbangi dengan putaran pantatnya Basuki sendiri seperti tak mendengar suara Surti dan benar saja beberapa menit kemudian, dengan zakar tetap menancap, tubuhnya mulai terkejang-kejang berkejat-kejat lalu
“croott croott..” bersamaan dengan tekanan pantat ke vagina ibunya sekeras-kerasnya muncratlah sperma membanjiri rahim Surti. Gilanya Surti justru menggapitkan pahanya erat-erat ke pantat Basuki serta memeluk punggungnya erat-erat dan maninya pun mengalir deras. Basuki ejakulasi. Surti orgasme. Bareng.

Sejurus kemudian dua tubuh layu yang berpelukan erat itu saling melepaskan diri. Terjelepak kelelahan, terbaring telentang. Dada mereka naik turun ngos-ngosan. Masing-masing dengan pikiran melayang-layang. Basuki dengan kesadaran sudah menyetubuhi Ibu kandungnya dengan nafsu sebagaimana ia dulu sering salurkan ke wanita bayaran. Sementara Surti sadar bahwa lagi-lagi ia telah bersetubuh dengan anak kandungnya. Lagi-lagi ia jadi pelampiasan nafsu anaknya. Tapi bukankah ia juga ikut menikmati lampiasan nafsu itu? Malah seperti membuka pintu kesempatan untuk terjadinya seks incest itu?

“Kamu sudah puas, Bas?” tanya Surti berusaha tegar, “kalau belum cepat lampiaskan lagi hasratmu ke tubuh Ibumu ini biar tuntas sekalian biar kamu tidak melamun yang tidak-tidak lagi” entah keberanian dari mana Surti mengucapkan tantangan ini.

Tentu saja Basuki terkejut. Perlahan ia memiringkan tubuhnya dan dipandanginya wajah wanita setengah baya yang adalah Ibu kandungnya itu. Wanita yang tubuhnya bugil telentang itu matanya terpejam. Mengingatkan Basuki pada seorang wanita sebaya yang dulu pertama kali merenggut perjakanya di rantau. Ya, Basuki ingat benar bagaimana ia melepas perjakanya di atas tubuh istri majikannya yang kesepian karena sering ditinggal suaminya pergi bisnis. Beberapa bulan mereka berhubungan. Dan entah kenapa sejak itu Basuki selalu menyukai berhubungan badan dengan wanita yang lebih tua, baik wanita bayaran atau yang sekedar cari teman bersebadan.

Kini, setelah berbulan-bulan puasa, Basuki tak tahan untuk meletupkan hasrat syahwatnya. Untuk mencari wanita bayaran ia tak lagi punya modal, untuk mencari istri-istri kesepian tak lagi semudah di kota besar dulu. Akhirnya diam-diam ia memendam hasrat nafsu pada Surti, yang semula ditahan-tahannya karena bagaimanapun dia adalah Ibu kandungnya. Namun bendungan itu jebol pagi ini ketika nafsu telah merasuk sampai di ubun-ubun Basuki dan kesempatan terbuka manakala rumah sepi dan Surti seperti menantangnya dengan hanya berbalut handuk. Sama seperti wanita yang dulu memperjakainya juga hanya berbalut handuk ketika menyeretnya ke ranjang nikmat.

Demi mendengar tantangan ibunya, percaya nggak percaya Basuki mendekatkan wajah ke muka Surti. Namun mata Surti terus terpejam, seolah menanti aksi Basuki selanjutnya. Pandangan Basuki menyapu seluruh wajah lalu menurun ke payudara montok meski agak kendor, perut yang masih langsing lalu bukit rimbun di bawahnya yang masih tersisa lengket cairan mereka tadi. Antara sadar dan tidak Basuki menggerayangkan tangan ke sekujur tubuh ibunya. Tubuh Surti jadi merinding. Digigitnya bibir bawah, coba bertahan dari rangsangan itu. Namun sulit sekali, terlebih manakala Basuki dengan piawainya mulai menggunakan lidahnya menggantikan tangan. Seperti lintah, lidah itu bergerak menelusuri wajah, leher, payudara, perut, pusar hingga akhirnya bermuara di kerimbunan semak-semak lebat Surti. Dikangkangkannya paha Surti lalu. dengan ganas lidah Basuki menyapu, menelusup dan menjilat-jilat liar lubang nikmat Surti. Menimbulkan rangsangan hebat yang membuat Surti refleks memegang kepala Basuki dan menekannya seolah ingin memasukkan seluruhnya ke lubang vaginanya.

Sekejap saja Surti telah orgasme dan sekejap itu pula Basuki membersihkan seluruh mani yang keluar dengan lidahnya, diminumnya. Lalu lidah itu terus mengerjai vagina Surti, kadang kasar kadang halus. Sampai beberapa menit kemudian Surti kembali harus mengejan berkejat-kejat mengeluarkan maninya lagi. Orgasme lagi. Lagi dan lagi Entah sudah berapa kali Surti kelojotan orgasme tapi Basuki tetap segar menggarap lubang nikmat itu dengan lidahnya.

“Agh.. am.. ampun Bas cukup Ibu tak tahan lagi Ibu lemes banget” desis Surti sambil terus meremasi rambut kepala Basuki setelah orgasmenya yang ketujuh atau delapan.
Tulangnya seperti dilolosi. Sementara lidah Basuki masih mempermainkan klitnya, menggigit-gigit kecil, menarik-nariknya. Ibu dan anak sudah tak ingat lagi hubungan darah di antara mereka. Yang penting gejolak nafsu terpenuhi.

Surti tak mampu menggerakkan tubuh lagi ketika Basuki merayapi tubuhnya lalu sekali lagi menancapkan zakar tegarnya ke lubang vagina Surti menggantikan lidahnya.

“Jangan keras-keras, Bas” pinta Surti yang merasa ngilu di vaginanya. Rupanya Basuki tahu itu dan ia menggerakkan pantatnya dengan santai, tidak tergesa-gesa. Justru kini ia lebih mementingkan pagutan bibir dan lidahnya memasuki mulut Surti. Saling belit, saling sedot, sambil tangannya meremas-remas gundukan gunung kembar Surti hingga puting itu jadi keras.

Sampai berjam-jam lamanya Basuki memperlakukan ibunya seperti itu tanpa sekalipun ia ejakulasi. Sementara Surti entah sudah berapa belas kali orgasme, rasanya habis seluruh maninya. Setelah hampir tiga jam, Basuki berbisik, “Ak aku mau keluar, Bu”

“Jangan di dalam, Bas Ibu bisa hamil”

“Keluar di luar tidak enak, Bu” Basuki meneruskan genjotannya.
Cepat, cepat dan semakin cepat. Surti ikut terlonjak-lonjak mengikuti irama tarikan zakar Basuki. Tak mampu menolak kemauannya sampai akhirnya Basuki kejang-kejang sambil menyemprotkan sperma berliter-liter. “Creett.. Cruutt..” belasan kali bagai air bah. Lalu tubuh kekar itu diam menelungkupi Surti tanpa mengeluarkan zakarnya dari vagina. Denyut-denyutnya masih dirasakan Surti. Gila benar ini anak bisa tahan sedemikian lama.

Kelelahan membuat mereka tidur berpelukan. Surti tak ingat lagi untuk pergi ke pasar. Sudah terlalu siang setelah empat jam pergumulan tadi. Justru yang terbayang kini adalah kejadian yang bakal dilaluinya di hari-hari berikut, yakni harus melayani kebutuhan seks si sulung dan bungsu bergantian. Si bungsu di malam hari, dan si sulung di siang hari. Mereka tidak boleh saling tahu.

Namun, bagaimana dengan Banu, anak kedua. Apakah ia juga akan minta jatah untuk menyetubuhinya? Kuatkah Surti menghadapi tiga “pejantan” ini setiap hari? Bagaimana kalau suatu ketika ia digarap mereka bertiga ramai-ramai? Atau sepanjang hari digilir mereka? Surti tak mampu membayangkan itu semua.

Surti mengharap tanggapan pembaca, apakah skandal nikmat dengan anak-anak kandung ini akan terus dilanjutkan dengan anak kedua, atau cukup dengan si bungsu dan si sulung saja? Adakah pembaca yang mau memberi saran buat Surti? Kirim email ke penulis, akan disampaikan kepada Surti sehingga ia memiliki kepastian dalam bertindak. Yang jelas ia sekarang rajin minum pil KB supaya tidak hamil dan melahirkan anak sekaligus cucu sendiri. Terima kasih. Salam dari Surti untuk semua pembaca.

Beberapa minggu setelah kejadian pertama dengan Basuki, aku telah berpikir. Aku rasa anakku yang kedua, Banu, juga harus mendapatkan jatah seperti kedua saudaranya. Tidak adil rasanya jika dia tidak mendapatkannya. Lagipula, semua yang aku lakukan sudah telanjur jauh. Mengapa tidak aku teruskan saja. Hanya saja aku belum mendapatkan cara yang tepat untuk meminta anakku Banu. Mungkin aku sudah terkena penyakit kelainan sex karena aku sangat menikmati hubunganku dengan anak-anakku sendiri. Tapi biarlah, daripada harus menjajakan diri, aku pikir lebih baik begitu. Kesempatan untuk bersetubuh dengan Banu akhirnya datang ketika kedua Saudaranya sedang tidak ada di rumah.

Bari sedang ke rumah temannya, sedangkan Basuki pergi ke kota lain selama beberapa hari. Jadi otomatis aku tidak mendapatkan kepuasan selama beberapa hari itu, karena aku tidak disentuh oleh kedua anakku yang telah menjadi pemuas nafsuku. Aku tidak mampu lagi menahan nafsuku untuk bersetubuh, dan aku tidak mau bersetubuh dengan orang lain yang tidak aku kenal. Aku bingung. Sampai ketika aku sedang duduk di ruang tengah aku melihat Banu yang baru saja selesai mandi dan keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan celana pendek. Aku terkesiap. Ternyata tubuh Banu tidak jauh berbeda dengan kedua saudaranya. Atletis dan juga mengagumkan. Hasratku yang sudah sampai ke ubun-ubun menggelapkan nuraniku. Aku berpikir, biarlah sekalian aku nikmati tubuh semua anak-anakku. Tanpa pikir panjang, aku panggil Banu.

“Banu, kemari sebentar Nak,” panggilku. Banu menoleh ke arahku dan berjalan menghampiriku.
“Ada apa Bu? Banu baru mandi nih. Mau pake baju dulu,” kata Banu sambil menghampiriku.
“Tidak usah pakai baju Nak. Kemari sebentar. Ibu mau bicara dengan kamu.” Kataku meyakinkan Banu.
“Tapi Bu, Banu kedinginan. Banu mau pakai baju dulu,” jawab Banu ngotot.
“Udah, nggak usah membantah Ibu,” kataku sambil berdiri dan menarik tangan Banu untuk mendekat.
“Duduk di samping Ibu,” kataku lagi.

Banu pun akhirnya menurut dan duduk di sampingku. Aku pandangi tubuh setengah telanjang yang duduk di sampingku. Sempurna. Itulah yang ada di benakku saat ini.

“Boleh Ibu tanya Nak?” tanyaku kepada Banu.
“Ya tentu saja boleh Bu, emang ada apa sih?” Banu balik bertanya kepadaku sambil matanya memandangku penuh selidik.
“Kamu udah punya pacar Nak?” tanyaku basa basi.
“Ya belum donk Bu, emang kenapa sih Ibu tanya itu?” jawab Banu.
“Jadi kamu belum pernah ciuman donk?” tanyaku memancing.

Banu kelihatan keheranan dengan pertanyaanku tadi. Dia hanya diam beberapa saat.

“Ya belum pernah donk. Kok Ibu tanya begitu sih? Ada apa?” tanya Banu keheranan.
“Nggak kok. Kalau memang belum pernah, Ibu cuman ingin mengajari kamu ciuman. Itu pun kalau kamu mau?” jawabku ngawur.
“Ibu serius? Ibu nggak sedang bercanda kan?” tanya Banu lagi dengan nada tidak percaya.

Aku hanya menganggukkan kepala, lalu mendekatkan tubuhku kepadanya. Kepala kami begitu dekat sehingga aku bisa merasakan hembusan nafasnya. Aku dekatkan bibirku ke bibirnya. Lalu aku tempelkan bibirku. Banu hanya diam saja dan tidak bereaksi. Aku mencoba lebih aktif lagi. Aku dekap tubuhnya, sehingga tubuh kami bersatu.

“Kalau ciuman, bibirnya dibuka sedikit donk Nak,” pintaku karena bibir Banu hanya tertutup rapat.

Aku cium lagi bibirnya, dia membuka bibirnya sedikit sehingga aku mencoba memasukkan lidahku ke mulutnya. Lidahku dan lidahnya beradu di dalam mulutnya. Terkadang aku sedot mulutnya untuk mendapatkan sedikit air ludahnya. Lalu aku telan air ludahnya yang terasa nikmat. Setelah sekitar 15 menit kami berciuman dengan mesranya, aku lepaskan dekapanku pada tubuhnya. Banu seperti tidak rela untuk melepaskan diriku.

“Bagaimana Nak? Kamu suka?” tanyaku.
“Enak sekali Bu. Boleh lagi? Banu masih pengen nih.” Kata Banu sambil terengah-engah.
“Boleh saja Nak. Bahkan lebih juga boleh kok.” kataku lagi.

Aku berdiri di hadapannya. Lalu aku perlahan-lahan menurunkan resleting dasterku. Aku turunkan dasterku dan aku buang ke samping sofa. Sekarang aku hanya menggunakan BH dan celana dalam saja. Aku lihat Banu terkesiap dan menelan ludah melihat pemandangan yang indah di depannya. Aku melangkah mendekat ke arahnya. Aku dekatkan wajahku. Kami pun berciuman kembali. Kali ini Banu sudah lebih mahir. Dia memasukkan lidahnya ke dalam mulutku. Lidah kami bertautan seperti dua ekor ular yang sedang bertarung.

Hanya suara desahan kami berdua yang memenuhi ruangan itu. Aku pegang tangan kanannya dan aku arahkan ke buah dadaku yang masih terbalut oleh bra. Secara alami tangan Banu mulai meremas-remas payudaraku dari luar bra. Aku semakin terangsang saat tangannya meremas payudaraku. Tangan kiriku mengusap-usap bagian luar celananya.

“Buka BH Ibu, sayang.. Ohh,” pintaku sambil mendesah.

Tanpa diminta dua kali, tangan Banu dengan cekatan membuka kaitan BH-ku. Kini di depan wajahnya terpampang dua buah bukit kembar yang sangat ranum dan menggairahkan.

“Bu, susu Ibu gede sekali, ukuran berapa sih Bu?” tanya Banu takjub melihat besarnya payudaraku.
“38B sayang, gede kan? Kamu suka sayang?” jawabku penuh nada kebanggaan pada propertiku yang satu ini.
“Pegang susu Ibu sayang,” pintaku sambil mendekapkan tangannya ke payudaraku.

Mungkin ini yang disebut dengan nafsu alami. Secara otomatis tangannya mulai meremas-remas payudaraku. Aku hanya bisa mendesah-desah tak karuan mendapatkan perlakuan seperti itu. Tak hanya meremas-remas, sepuluh menit kemudian Banu secara naluriah mulai mengecup dan menjilati kedua gunung kembar yang ada di depannya.

“Ahh.. Enaak.. Sayang.. Teruuss.. Emmpphh..” aku meracau tak karuan mendapat perlakuan seperti itu.

Kini hanya sehelai celana dalam yang melekat di tubuh kami. Tak sabar, aku menjauhkan kepala Banu dari kedua gunung kembarku. Aku suruh Banu untuk duduk di sofa. Peluh membasahi tubuh kami berdua meskipun permainan baru saja di mulai. Aku berjongkok di antara kedua belah pahanya yang terbuka. Aku pandangi tonjolan besar yang berada dalam penjara yang disebut celana dalam. Aku usap-usap bagian luar celana Banu. Banu menggelinjang mendapat perlakuan seperti itu. Perlahan aku pegang pinggiran celana dalam Banu dan aku berusaha untuk melepaskan celana dalam itu dari tubuhnya.

Sebuah pemandangan yang sangat indah bagiku terpampang begitu saja ketika celana dalam itu sudah lepas dari tubuhnya. Kini Banu sudah telanjang bulat. Kontol yang sangat besar, dengan panjang sekitar 18 cm dan diameter yang cukup besar membuat diriku menelan ludah. Aku pegang kontol Banu dengan tangan kananku. Aku elus-elus kontol itu pelan-pelan. Banu hanya mendesah saja mendapatkan perlakuan itu. Aku dekatkan wajahku ke kontol Banu. Aku ciumi ujung kontol yang merekah itu, lalu aku jilati kontol itu. Banu semakin tidak karuan mendapat perlakuan yang semakin merangsang itu. Lima menit kemudian, aku masukkan kontol Banu ke dalam mulutku dan aku oral kontol Banu.

“Ohh.. Enaakk Buu.. Teruus..” Banu mendesah.

Aku memasukkan kontol Banu ke dalam mulutku dan juga secara bergantian mengocok kontolnya dengan tangan kananku sambil menjilati buah pelirnya. Setelah itu aku masukkan lagi kontol Banu ke dalam mulutku lalu aku memaju mundurkan mulutku sedangkan tanganku bekerja meremas-remas kedua pelirnya dengan lembut.

“Enaakk.. Bu.. Kontooll.. enaakk.. Teruss..”

Kata-kata semacam itu terus-menerus keluar dari mulut Banu. Sekitar sepuluh menit kemudian Banu memegang bagian belakang kepalaku seakan-akan tidak mau melepaskan hisapan mulutku dari kontolnya.

“Buu.. Mauu.. Ke.. Lu. Aar.. Ceepaat..” teriak Banu.

Aku semakin mempercepat kocokan mulutku di kontolnya. Tidak lama kemudian aku merasakan adanya denyutan-denyutan yang menandakan kalau Banu akan mencapai puncak.

“Keluarkaan sayang, keluarkan di mulut Ibu,” kataku di antara desahan nafasku dan nafasnya dan di antara kesibukanku mengoral kontolnya.

Creet.. Croot.. Creet.., mungkin sebanyak sembilan atau sepuluh semprotan sperma Banu memenuhi rongga mulutku. Hampir saja mulutku tidak dapat menampung banyaknya semprotan sperma Banu yang sangat banyak itu. Wangi dan gurih, itulah yang aku rasakan. Mungkin dikarenakan Banu masihlah perjaka (atau tidak??). Banu duduk telentang dan bersandar di sandaran sofa dengan nafas yang terengah-engah seperti baru berlarian. Tapi, dia memang baru saja ‘berlarian’ mengejar nafsunya bukan? Aku lalu duduk di sampingnya. Aku biarkan dia istirahat dulu, aku tidak ingin terburu-buru meskipun nafsuku sudah sampai ke ubun-ubun. Ini adalah yang pertama baginya. Aku ingin kepuasan untuk kami bedua.

“Kamu capek Nak? Pejumu tadi benar-benar lezat Nak. Ibu sangat menikmatinya”, sanjungku tentang spermanya yang aku telan tadi. Banu hanya tersenyum saja mendengar sanjunganku.

Setelah aku melihat Banu sudah mulai tenang, aku dekatkan wajahku ke wajahnya. Seperti sudah mengerti yang aku maksud, Banu juga mendekatkan wajahnya ke wajahku. Mulut kami bersatu dan kami berciuman. Aku buka sedikit mulutku, bagitu juga Banu. Lidahnya mulai masuk ke dalam mulutku dan menyapu seluruh rongga mulutku. Kedua lidah kami beradu, saling membelit dan saling menjilat. Aku dekap tubuhnya erat sedangkan Banu memegang bagian belakang kepalaku. Aku rasakan kedua gunung kembarku bersentuhan dengan dada bidang milik Banu. Banu berusaha menidurkan aku di sofa sambil kedua tangannya bergerilya di seluruh tubuhku. Sekarang aku telentang di sofa dan Banu berada di atas menindihku.

“Ludahi Ibu, Nak. Ibu haus. Ludahi Ibu,” pintaku kepada Banu untuk memberikan air ludahnya kepadaku.

Banu menjauhkan sedikit mulutnya dari mulutku. Mulut Banu mengecap-kecap, berusaha mengumpulkan air ludah sebanyak-banyaknya. Setelah dirasa cukup banyak, Banu mendekatkan mulutnya kembali ke mulutku. Aku membuka mulutku seperti ikan yang megap-megap kekurangan air. Perlahan Banu membuka mulutnya. Aku dapat melihat air ludah yang mengucur keluar dari mulut Banu. Aku dekatkan mulutku dan aku satukan mulutku dengan mulut Banu. Aku tampung semua air ludah yang dikeluarkan oleh Banu. Aku katupkan mulutku lalu aku kecap-kecap sebentar kumpulan air ludah Banu yang berada di mulutku lalu aku menelannya. Aku dekap kepalanya lalu kami berciuman kembali. Aku rasakan di bawah, kontolnya kembali menegang. Sesaat kemudian, aku lepaskan dekapanku lalu aku dorong tubuh Banu ke bawah.

“Buka celana dalam Ibu Nak. Ayo lakukan,” aku meminta Banu untuk membuka celana dalamku.

Banu mendekatkan kedua tangannya ke pahaku lalu menarik celana dalamku ke bawah. Aku mengangkat pantatku sedikit untuk memudahkan dirinya menelanjangiku. Tak sampai hitungan menit, celana dalamku sudah lepas dari tubuhku. Kini kami berdua sudah dalam keadaan telanjang bulat. Sekarang Banu benar-benar terpana melihat pemandangan paling indah yang tidak pernah dilihat atau bahkan diimpikan sepanjang hidupnya. Di hadapannya, sebuah vagina yang bersih karena tidak ada bulu-bulunya terpampang jelas di depan matanya. Aku melihat keragu-raguan di matanya. Seperti seorang guru yang sedang mengajari muridnya, aku dekatkan kepala Banu ke vaginaku.

“Jangan bengong aja Nak. Cium memek ibu, jilat memek Ibu. Lakukan apa saja Nak,” aku menyuruh Banu untuk melakukan aksinya.

Tak lama, Banu mendekatkan kepalanya ke vaginaku dan mulai menciumi permukaan vaginaku. Aku mendesah pelan. Lima menit setelah puas menciumi seluruh permukaan vaginaku, Banu mengeluarkan lidahnya dan mulai menjilati vaginaku. Aku merasakan permukaan yang kenyal dan basah yang menyentuh vaginaku. Perasaanku semakin tidak karuan saja. Tangan kananku berusaha membantu. Dengan dua jari aku berusaha membuka vaginaku sehingga sekarang tidak hanya permukaanya saja yang tersapu oleh lidah Banu, tetapi lidah Banu juga mulai masuk ke dalam vaginaku. Banu bahkan bisa menggigit-gigit kecil.

Nafasku semakin tidak beraturan. Tanpa diperintah, Banu memasukkan dua jari tangan kanannya ke vaginaku. Aku semakin tidak karuan saja. Dia mengocok-ngocok vaginaku sambil tetap menjilatinya. Pantatku bergoyang-goyang tidak karuan. Tidak puas hanya menjilati vaginaku saja, saat pantatku terangkat Banu juga menjilati lubang pantatku. Aku sebenarnya ingin melarangnya karena itu menjijikkan tetapi aku tidak sanggup karena nafsu sudah menguasaiku. Tidak sampai lima belas menit kemudian aku merasakan ada dorongan kuat dalam diriku.

“Ahh.. Ibuu mauu keluuaar.. Naakk..” teriakku mendekati orgasmeku yang pertama.

Serr.., ser.., air maniku muncrat keluar. Seakan tidak ingin mengecewakan Ibunya, Banu membuka mulutnya lebar-lebar untuk menampung muncratan air maniku. Beberapa semprotan sempat mengenai wajahnya. Mulutnya menggembung seakan tidak muat menampung banyaknya air maniku yang memang sudah tidak keluar selama beberapa hari. Aku mengira Banu akan menelan air maniku, tetapi ternyata pikiranku salah.

Setelah yakin bahwa vaginaku sudah tidak mengeluarkan mani lagi, Banu mendekatkan kepalanya ke kepalaku. Aku masih belum tahu apa maksudnya. Tangan kanan Banu memegang pipiku memintaku untuk membuka mulutku. Aku dapat menebak apa maunya, dan entah mengapa aku mau saja membuka mulutku lebar-lebar. Banu membuka mulutnya sedikit demi sedikit. Dan sedikit demi sedikut pula, setetes demi setetes air maniku yang sudah ditampung Banu di mulutnya menetes ke mulutku. Aku menerima tetesan demi tetesan.

Tak lama, Banu mendekatkan mulutnya dan menciumku dengan mulut yang sedikit terbuka. Air mani yang sudah berpindah tempat ke mulutku dipermainkannya. Lalu Banu membalik tubuhku sehingga kini aku berada di atas tubuhnya sambil kedua mulut kami masih tetap menyatu. Dalam posisi di atas Banu, mau tidak mau air maniku yang sudah berada di mulutku kembali mengucur ke mulutnya karena mulut kami berdua membuka. Tak menyia-nyiakannya, kali ini Banu langsung menelan semua air maniku yang tadi kami buat mainan di mulut kami berdua. Ditelannya semua air mani itu tanpa sedikitpun yang tersisa untukku.

“Aahh.. Segar sekali air mani Ibu.. Enak Bu..,” kata Banu sambil tersenyum di sela daesah nafasnya yang masih tidak teratur.
“Kamu suka Nak? Ibu senang kalau kamu menyukainya. Peju kamu juga enak kok,” kataku menimpali, sambil tersenyum kepadanya.

Tak berlama-lama, aku turun ke bagian selangkangannya. Aku pegang kontolnya yang masih tegang seperti tiang bendera. Aku pegang kontol Banu dengan tangan kananku. Tidak menunggu lama, aku oral lagi kontol Banu. Banu kembali mendesah-desah mendapat perlakuan itu lagi. Aku memajumundurkan mulutku yang sedang menghisap kontol anakku. Sepuluh menit kemudian, aku minta Banu untuk berdiri dari sofa. Aku tidur telentang di sofa menggantikan dirinya.

“Masukkan kontolmu sayang. Memek Ibu sudah pengen ngerasain kontol gedemu,” pintaku kepada Banu sambl menyibakkan lubang vaginaku untuk memudahkan penetrasi yang akan dilakukan Banu.

Banu memegang kontolnya dan bersiap-siap untuk mencobloskan ke vaginaku. Diusap-usapkannya ujung kontolnya di pintu masuk vaginaku dan.. Breess..

“Aahh..,” teriakku ketika kontol gede itu menembus vaginaku.

Sleep.. Sleep.. Plok.., suara kocokan kontol banu di vaginaku.

“Enaakk.. Yaangg.. Teruss.. Kontolmu gede.. Naak..” aku meracau tidak karuan.

Banu tidak berkata apa-apa. Hanya desahan-desahan yang semakin keras yang keluar dari mulutnya. Keringat deras membasahi tubuhnya. Aku pandangi wajahnya. Betapa tampannya anakku ini, dalam hati aku berpikir. Aku menggoyangkan pantatku untuk mengimbangi permainan Banu. Aku mengusap keringat yang membasahi wajahnya dengan kedua tanganku. Mungkin ini adalah kasih sayang seorang ibu.

Lima belas menit kemudian, aku meminta Banu untuk mencabut kontolnya dari vaginaku. Banu melakukannya walaupun dengan keraguan. Lalu aku memintanya untuk tidur telentang di sofa. Setelah Banu tiduran, aku mengangkangi selangkangannya. Aku pegang kontol Banu, lalu aku mencoba untuk mengepaskan ke lobang vaginaku. Setelah aku rasa tepat, aku turunkan pantatku dan.., Bleess..

Kontol Banu kembali memasuki sarangnya. Aku menaikturunkan tubuhku untuk mengocok kontol Banu. Kedua gunung kembarku bergoyang naik turun seperti mau lepas. Aku pegang tangan Banu dan aku arahkan ke payudaraku. Banu sudah mengerti apa yang aku mau. Sambil menggerakkan pantatnya naik turun menyambut vaginaku, kedua tangan Banu bergerak aktif meremas-remas payudaraku. Hal ini semakin menambah rangsangan buatku dan..

Seerr.. Seer.. Seerr.., aku mengalami orgasme yang kedua. Tetapi Banu tampaknya tidak peduli dengan itu. Dia tetap saja menaikturunkan pantatnya. Aku biarkan saja dia meski sebenarnya aku ingin istirahat.

“Bu, ganti posisi donk, Ibu turun dulu,” kali ini Banu yang meminta untuk berganti posisi.

Aku lepaskan jepitan vaginaku yang basah karena sudah orgasme. Banu berdiri dari sofa.

“Sekarang Ibu berdiri menghadap sofa, lalu berpegangan ke sofa,” pinta Banu.

Aku yang masih tidak mengerti apa maksudnya mengikuti saja apa maunya. Setelah aku berposisi menungging sambil berpegangan ke sofa, Banu memasukkan kontolnya ke vaginaku dari belakang.

“Aahhggh.. Hebatt.. Kamu naakk..”, aku menjerit lagi.

Kali ini dengan posisi yang belakangan aku ketahui bernama “Doggy Style” kami berdua melanjutkan ‘olahraga’ seks kami. Dari belakang Banu meremas-remas dan mengusap-usap pantatku. Ruangan ini dipenuhi dengan suara-suara erotis yang menandakan dua insan sedang beradu kenikmatan. Tak hanya meremas pantatku, dari belakang Banu juga meremas-remas kedua payudaraku. Aku pun tidak mau kalah. Vaginaku meremas-remas kontolnya yang sedang berada di dalamnya. Pantatku pun tidak mau tinggal diam. Aku memutar-mutar pantatku untuk menambah sensasi yang dirasakan oleh Banu. Rupanya apa yang aku lakukan itu membuat pertahanannya runtuh juga. Aku pun tidak bisa lagi menahan orgasmeku yang ketiga.

“Sayaangghh Ibu mau keluaarr laggii..,” aku menjerit keras ketika aku merasakan akan orgasme untuk yang ketiga kalinya. Seerr.. Seerr.. Aku merasakan vaginaku basah oleh air maniku sendiri.
“Buu.. Aku juugaa mauu keluaarr..,” teriak Banu. Mendengar itu aku segera saja meminta Banu untuk mencabut kontolnya.
“Cabut kontolmu sayang.. Ibu mau minum air pejumu lagi..,” aku memintanya.

Banu segera mencabut kontolnya. Aku segera saja berbalik dan memasukkan kontolnya ke mulutku. Aku tidak peduli dengan air maniku yang masih menempel di kontolnya. Toh, rasanya juga enak. Sepuluh menit aku mengocok kontolnya dalam mulutku dan..

Croot.. Croot.. Croot.., sperma Banu menyemprot ke dalam rongga mulutku. Tidak sebanyak yang pertama memang, tapi aku tidak peduli. Semua sperma yang disemprotkan kontol Banu aku telan. Gurih dan wangi. Aku semakin menyukai rasa sperma dari anak-anakku. Setelah kontolnya tidak lagi mengeluarkan sperma, aku jilati kontolnya untuk membersihkannya.

Banu lalu duduk di sofa dengan nafas yang tidak karuan. Aku memandangnya, dan dia pun memandangku. Aku tersenyum kepadanya, begitu juga dia. Aku suruh dia mendekat. Aku peluk dia seperti seorang kekasih yang lama tidak bertemu.

“Terima kasih Nak. Ma’af, Ibu melakukan ini kepadamu. Kamu suka?” aku bertanya kepadanya.
“Banu bahagia sekali meskipun Banu tidak tahu mengapa Ibu melakukan ini. Tapi Banu tidak peduli. Banu sayang sama Ibu,” jawab Banu sambil tersenyum.
“Tapi, bolehkah Banu melakukan ini lagi sama Ibu?” tanya anakku itu. Aku tersenyum mendengar pertanyaannya. Toh, ini semua aku yang memulai.
“Tentu saja sayang. Kapanpun kamu mau, selama tidak ada orang,” jawabku sambil mengelus kepalanya.

Selama kedua saudaranya tidak ada di rumah, aku dan Banu terus melakukan hubungan sedarah itu. Kami melakukannya di tempat tidur, di dapur, di kamar mandi di mana saja asal memungkinkan. Aku pasti akan menceritakan kelanjutan hubungan yang kami lakukan selama kedua saudaranya tidak ada di rumah dalam tulisan selanjutnya.

Dan setelah kedua saudaranya pulang, ada satu kejutan besar yang aku lakukan. Aku menceritakan kepada mereka bertiga bahwa aku sudah bersebadan dengan ketiganya. Walau sangat terkejut mereka dapat menerimanya. Cerita tentang ini juga akan aku ceritakan dalam tulisanku selanjutnya. Aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada teman penulisku yang bersedia mendengar kisahku dan bersusah payah menuliskan cerita di situs ini.,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,

TAMAT

Related posts